Thursday, September 19, 2013

KEBAHAGIAAN DAN KESUKSESAN


Ini cerita yang saya tulis untuk lomba. tapi gak menang wkak :D
temanya adalah "Goresan tinta yang menginspirasi"


Tiga orang anak manusia. Berpijak ditanah yang sama. Menghirup oksigen yang sama. Dan hidup untuk satu tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan dan kesuksesan. Pertanyaannya adalah, bagaimana suatu tujuan itu bisa dicapai? Kebahagiaan dan Kesuksesan tidak diraih semudah membalikan telapak tangan. Butuh banyak usaha yang dikerahkan demi mencapai tujuan itu. Tapi benarkah yang kita butuhkan hanya usaha?
Ini adalah kisah tentang tiga anak manusia yang berjuang untuk menggapai tujuannya. Bahwa memang tak ada yang mudah untuk kebahagiaan dan kesuksesan yang bahkan ‘tidak sejati’. Tapi setiap orang berhak untuk kebahagiaan dan kesuksesan di hidupnya.


Kisah Manusia I
Sebutlah dia anak muda yang hidup dalam keluarga sangat mampu atau lebih dari cukup dalam materi. Sejak kecil, dia hidup dengan nyaman. Tak pernah ada yang menjadi beban untuknya. Bisa mendapatkan apa saja yang diinginkan. Tak ada cobaan hidup yang berarti. Hidupnya mulus. Tapi, apakah ia bahagia? Apakah dia telah sukses menata kehidupannya? Jawabannya adalah tidak. Karena saat ini, ia masih memperjuangkan kebahagiaannya dan mencapai kesuksesan yang di inginkannya.
Mengapa ia tidak merasa bahagia? Semua itu bersumber dari kedua orang tuanya. Bagaimanakah seorang anak bisa merasa bahagia, jika tak pernah ada orang tua disisinya? Ia kesepian, diantara semua orang yang banyak disekelilingnya. Namun apalah arti orang-orang yang disebut sahabat dan kenalan itu, bila tak ada kedua orang tua. Ayah yang selalu menjaga dan melindungi kita, serta ibu yang telah melahirkan dan merawat kita. Setiap ia meminta perhatian, kalimat yang ia dapat adalah, “Kami lelah sehabis kerja, nak. Kami ingin beristirahat.”. Pernahkah mereka mempertanyakan tentang keadaan sang anak? Lukakah ia? Bahagiakah ia? Ia telah berusaha menggapai kebahagiaannya, tapi ia tak bisa. Usahanya belum sempurna. Ia tak bahagia.
Lalu, bagaimana dengan kesuksesan yang ingin digapainya? Untuk hal ini, sejenak ia melupakan tentang kebahagiaan yang belum ia dapatkan. Kesuksesan, setidaknya ia ingin memiliki itu. Apakah kali ini dia berhasil? Ia ingin seperti kedua orang tuanya yang sukses dalam dunia kerja. Apa yang dibutuhkan untuk mencapai itu semua? Yang ia tahu, jawabannya ialah berusaha. Dan itulah yang ia lakukan sekarang, berusaha. Namun usaha apa yang ia buat? Ia kuliah jurusan Management disalah satu Universitas ternama. Ia tak keberatan untuk membayar jutaan per semesternya. Toh, dia memilki materi melimpah. Ia bisa membayar berapapun dan siapapun dengan uangnya. Itu adalah usahanya. Nilai bagus dari semua tugas yang diberikan oleh Dosen sangat gampang ia dapatkan. Bagaimana bisa? Padahal hampir setiap hari ia membolos dan tidak benar-benar mendengarkan materi pelajaran yang disampaikan Dosen. Lalu darimana semua nilai bagus itu? Yang ia lakukan adalah membayar teman-temannya yang bisa membuat tugas itu untuknya, dan bersedia memberinya contekan saat ujian. Sangat mudah. Dengan usahanya ini, dia bisa lulus kuliah dengan nilai yang sangat baik. Hingga tibalah ia pada dunia kerja yang begitu diimpikannya. Ia tak mau berkerja di perusahaan milik orang tuanya. Lalu memilih bekerja di perusahaan lain. Dengan latar belakang pendidikannya yang baik, ia berhasil menduduki jabatan yang tinggi diperusahaan tempat ia bekerja. Sudah sukseskah ia?
Di bulan kedua ia bekerja di perusahaan tersebut, ia di pecat. Kenapa? Meski ia memiliki nilai baik serta lulus dari Universitas ternama, tapi kemampuannya dalam bekerja adalah nol besar. Ia telah gagal. Sekarang ia tahu, usahanya salah. Dan satu lagi, dalam setiap usaha yang dijalaninya, pernahkah ia berdoa? Ia telah melupakan tuhan yang telah memberinya banyak. Di saat ia pikir ia telah memperoleh kesuksesannya, segala nikmat. Satu hal, berusaha saja tidaklah cukup. Kita harus menyertainya dengan doa, agar dilancarkan jalannya dan diberi kemudahan. Dan ia tak menyertakan doa pada setiap usahanya. Pastaskah ia menuntut kesuksesan bagi usahanya, sedang ia tak pernah meminta pada Yang Maha Pemberi.


Kisah Manusia II
Ia terlahir di keluarga sederhana. Kehidupan keluarga yang begitu harmonis dan yang pastinya diimpikan banyak orang. Memiliki seorang Ayah yang bertanggung jawab serta begitu mengayomi. Seorang Ibu yang perhatian dan penuh kasih sayang. Dan dalam hidupnya, ia juga mengejar kebahagiaan dan kesuksesan. Tujuan pertama, kebahagian. Bahagiakah ia? Bagaimanapun ia hidup di dalam keluarga yang harmonis. Jawabannya adalah belum. Ia tidak cukup bahagia dengan keluarga harmonis yang ia miliki sekarang. Kebahagiaan yang ia impikan berasal dari kesuksesan yang akan ia peroleh nanti. Dan untuk kesuksesan dimasa depan, ia harus memulainya dari sekarang. Ia sadar, untuk mencapai semua itu tidaklah mudah. Ia butuh berusaha dan juga berdoa.
Ia belajar dengan giat untuk ujian SMA nya dan tak lupa berdoa. Ia lulus, lalu orang tuanya bahagia. Ah, ini baru awal. Saat kuliah, perjuangannya masih akan berlanjut. Ia masihlah ia yang sama, masih manusia yang mengejar impiannya. Ia mendapat beasiswa disaat kuliah dan tinggal jauh dari orang tuanya. Itu bukanlah hal yang sulit. Apapun ia lakukan demi menggapai impiannya.
Suatu hari ia mendapat kabar bahwa Ayahnya sakit dan memintanya untuk pulang kerumah sebentar. Tapi apa jawabnya? “Aku sedang sibuk dengan semua tugas kuliahku, Ayah. Aku tidak bisa pulang sekarang. Mungkin bulan depan.” Begitulah ucapnya. Tidak masalah, Ayahnya tersenyum kala itu. “Anakku sedang berusaha rupanya. Aku senang. Gapailah apa yang menjadi mimpimu. Itu yang menjadi bahagiamu, bukan? Ayah berdoa untuk kesuksesanmu, nak.”. Oh, tak tahukah ia bahwa Ayahnya sedikit menyampaikan luka pada kalimat bijaknya? Ia tahu, ia telah mendapat restu. Tujuannya mencapai kebahagiaan dan kesuksesan akan menjadi mudah.
Semuanya berjalan lancar seolah tak pernah terdapat hambatan, meski kecil. Sejak janjinya dihari itu, bahwa ia akan pulang, nyatanya ia tak kunjung datang menemui kedua orang tuanya, hingga kini ia berdiri dengan pakaian wisudanya. Ia telah lulus. Ibunya kembali memintanya untuk pulang dan mencari pekerjaan di kota tempat tinggal mereka. Tapi jawabannya adalah tidak. Ia akan mencari pekerjaan di kota kuliahnya saja. Tak apa, Ibunya tersenyum dan akan selalu mendukung semua kebahagiaan untuknya. Ia sangat senang, keluarganya benar-benar mendukungnya.
Tahun berikutnya, ia telah menjadi sukses. Ia berhasil mendapatkan kebahagiaannya dari kesuksesan yang ia miliki. Ibunya kembali tersenyum. “Ibu bangga.” Ujarnya. Tunggu! Mengapa hanya Ibu? “Ayahmu telah tiada, nak. Dulu saat ia sakit dan memintamu pulang, sebenarnya ia tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Tapi demi tak mempersulit perjuanganmu mencapai kesuksesan yang kau impikan, ia tahu, ia harus mengerti. Dan ketika ia telah pergi, kami telah berjanji untuk tak memberitahumu. Karena kami tak mau kau terganggu.”. Dan detik itu juga ia menangis. Yang ia cari selama ini adalah kebahagiaan. Tapi demi itu semua, ia membiarkan keluarganya tak bahagia. Tak tahukah ia? Kebahagiaan terbaiknya adalah keluarga yang selalu membuat semua orang iri. Kehidupan keluarganya yang harmonis,dulu.


Kisah Manusia III
Dia berbeda dari dua manusia sebelumnya. Hidupnya bahkan jauh dari kata sukses dan bahagia. Dia punya orang tua? Jawabnya tidak. Sejak ia kecil hingga kini ia menginjak usia remaja, ia bahkan tak pernah melihat orang tuanya. Ia sebatang kara dan hidup nomaden. Apakah ia bersekolah? Lagi-lagi jawabnya, tidak. Ia tak tahu segalanya. Betapa luasnya dunia ini. Betapa canggihnya teknologi saat ini. Betapa banyaknya kasus yang disebut korupsi, merajalela. Ia tak pernah tahu itu.
Ia tak tahu apa yang orang-orang tulis pada pinggiran jalan atau pertokoan yang dilewatinya. Ia tak bisa membaca, apalagi menulis. Oh, seperti apakah hidup manusia ini? Ia bahkan tak berani bermimpi untuk bahagia, apalagi memperoleh kesuksesan. Ia takut kecewa. Tapi itu bukan berarti ia tak berusaha. Ia bahkan bekerja dan bisa menghasilkan uang dengan jerih payahnya untuk ia melangsungkan hidup. Dan ia senang, setidaknya ia mengenah satu hal. Tuhan. Adalah yang menciptakannya dan berhak atas dirinya. Setidaknya ia tahu bagaimana cara dekat dengan sang pencipta. Tempat dimana ia bisa meminta.
Suatu sore ia memandang hiruk pikuk kota. Disaat semua orang meninggalkan tempat mereka bekerja dan kembali kerumah. Namun ada juga yang baru berangkat bekerja dan meninggalkan rumah. Semua orang dengan segala kehidupan yang dijalaninya. Ia tak mengerti, apakah mereka semua bahagia? Ia menatap wajah itu satu per satu, untuk menemukan jawabannya. Seseorang dengan muka kusut dan lelahnya. Seseorang yang tampak sumringah dan bersemangat. Ia berpikir, harusnya orang-orang yang sedang ia perhatikan ini bahagia. Mereka bisa hidup dengan gaji lumayan bahkan lebih dari cukup dengan pekerjaan yang mereka miliki. Harusnya mereka bahagia dengan kesuksesan yang telah mereka raih. Namun ia tak yakin ia melihat itu pada orang-orang ini.
Ia tersenyum, lalu berkata, “Meski aku miskin, tapi hatiku kaya. Aku tidak seperti mereka yang selalu tersenyum dalam hati yang terluka. Aku bukan makhluk Tuhan yang menggunakan cara haram untuk mencari nafkah. Aku berusaha dengan caraku sendiri dan aku selalu berdoa agar Tuhan menyertai.”. Jeda sesaat. Ia masih memandang pada orang-orang itu. Langit senja mulai berganti menjadi sedikit gelap. Ia kembali berucap, “Dengan itu, aku bahagia. Dan akupun telah sukses menata hidupku dengan berusaha untuk tetap mencari nafkah dengan jalan yang diridho’i Allah SWT.”
Bisakah kita sadari? Kebahagiaan dan Kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah hal yang bisa kita lihat dengan mata. Itu semua ada pada kita. Kenapa selama ini kita selalu merasa tak bahagia dan belum sukses? Jawabnya ialah, karena kita tidak mau melihat kebahagiaan dan kesuksesan kecil dahulu, sebelum melihat kebahagiaan dan kesuksesan yang besar.
***

Friday, April 12, 2013

HALTE BIS


Ini kisah tentang cinta pertama. Suatu kisah cinta sederahana yang dimulai dari pertemuan, perkenalan, lalu menjadi teman, dan seterusnya. Dan ini kisahku.

Namaku Larisa. Gadis biasa berumur 15 tahun yang jatuh cinta pada seorang anak laki-laki yang selalu kutemui di halte bis. Dia selalu datang pada waktu yang sama, menunggu bis yang sama, membawa gitar yang sama, senyum yang sama, dan aku jatuh cinta.

Hari ini, aku melihatnya lagi. Haruskah aku mengajaknya berkenalan kali ini? Apa harus aku yang memulai? Baiklah, kamu yang disana, mari kita memulai hari baru.

“Hai.” Sapaku. Tak ku lupakan memasang senyum manis.
“Hai.” Balasnya. Oh, aku tak tau bagaimana wajahku sekarang. Memerahkah? Semoga ia tak melihatnya.
“Namaku Larisa.” Ku ulurkan tangan kearahnya, bermaksud untuk mengajaknya berkenalan.
“Fito.” Dia menyambut uluran tanganku. Ish! Kenapa begitu dingin?
“Kita selalu bertemu di halte ini, setiap hari loh.” Aku memulai percakapan.
“Aku tau.” Jawabnya. Masih dengan wajah dan ucapan sedingin es.

Dan hari itu, cukup dengan beberapa dialog itu. Bis datang, dan kami berpisah. Ini... hari pertama.

***

Hari ini tidak boleh seperti hari kemarin. Aku harus bisa mengajaknya bicara lebih banyak. Begitulah, tekadku hari ini.

Aku berlari menembus derasnya hujan, sore ini. Dan disana, aku menemukannya. Seperti biasa. Dan hari ini, aku sudah tau namanya. Aku bisa memanggilnya Fito.

“Hai, Fito.” Aku langsung duduk disampingnya.
“Hai.” Dia menjawab, sambil memeluk gitarnya.
“Bisa main gitar ya?” tanyaku.
“Lumayan.” Jawabnya. Kali ini dibumbui senyum tipis pada bibirnya. Ini yang pertama.
“Mainin satu lagu dong.” Pintaku. Dia menoleh sebentar, lalu berpikir. “Anggap ini, sebagai tanda perkenalan dan... pertemanan kita.” Tambahku.

Dia mengangguk, kemudian mulai memainkan gitarnya.

Aku tau lagu ini. ‘Akhirnya ku menemukanmu’. Sebuah lagu pertemuan, perkenalan, dan pertemuan antara aku dan dia yang indah.

“Uangnya?” dia mengadahkan tangan kanannya didepanku. Aku melongo tak mengerti. Lalu kulihat dia terkekeh geli.
“Maksudnya?” tanyaku tetap mempertahankan wajah yang sama.
“Lupakan.” Dia berdiri, dan kemudian naik ke bis yang baru saja datang.
“Makasih.” Teriakku sebelum bis berjalan. “Untuk lagunya.” Tambahku.

Dia mengangguk, lalu tersenyum.

Semoga besok, aku bisa melihat senyum itu lagi.

***

Suasana halte bis hari ini benar-benar buruk. Sama seperti langit sore yang mendung ini. Lima belas menit yang lalu, aku sudah berada di halte, dan Fito tidak ada. Seharusnya, dia sudah duduk disini seperti hari-hari sebelumnya.

“Dia tidak datang.” Lirihku.

Dan disini, duduklah aku sendiri. Apa yang harus aku tuliskan pada buku diaryku hari ini? Tak ada Fito disini, berarti tak ada cerita. Padahal dua hari ini, aku selalu menulis tentangnya pada diaryku.

“Maaf telat.” Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Akupun segera menoleh pada asala suara itu.
“Fito?” aku senang melihatnya datang. Will be a good day?
“Hari ini aku ulang tahun.” Ujarnya. “Would you be my girl, Larisa Indah?” tanya.

Apa? Dia tau nama lengkapku? Dan... apa barusan dia memintaku menjadi kekasihnya?

“Yes, I do.” Jawabku, sedikit tercekat. Hope is it not a dream!
“Namaku Fito Anggara. Aku selalu melihatmu di halte ini, dan aku jatuh cinta.” Dia tersenyum sangat manis. “I love you.”

Well, ini kisahku. Cinta pertamaku, dihalte bis.

Friday, August 17, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 7 (END)


Willy sudah menunggu didepan rumah. Aku segera beranjak menemuinya, dan kami berangkat kesekolah.

Dimobil...

"Lo masih inget kan?" tanya Willy disela-sela menyetirnya.
"Apa?" aku balik bertanya.
"Besok." jawab Willy singkat.
"Oh. Iya gue inget. Besok kan hari kebebasan gue." aku tersenyum senang.
"Bukan itu." wajah Willy terlihat sedih. "Pas pertama kali gue bilang soal perjanjian 20 hari ini kan, itu karena dihari ke-20 adalah hari ulang tahun gue."

Aku terdiam. Astaga! Mengapa aku bisa lupa?

"Oh, itu ya?" aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Jadi, lo mau gue buat ngelakuin apa?" tanyaku ragu.
"Habisin waktu satu hari itu bareng gue." jawab Willy mantap.

Cuma itu? Benarkah Willy hanya ingin aku menemaninya selama seharian penuh dihari ulang tahunnya? Bukankah itu adalah sesuatu yang biasa? Aku bahkan telah menghabiskan waktu bersamanya selama 18 hari panuh. Bersamanya seharian penuh, itu hal yang biasa. Mengapa dia tidak meminta hal yang lain dihari special nya?

"Oh, oke." jawabku akhirnya.
"Kalo gitu, besok kita bolos." ujarnya.
"Oke." jawabku singkat.

Tak lama, kami sudah sampai disekolah. Aku dan Willy keluar bersamaan dari mobil milik Willy. Aku segera menyamakan langkahku mengikuti Willy. Kami berjalan bersama menuju kelas.

"Lo gak mau ngerayain hari ulang tahun lo sama keluarga atau temen-temen lo yang lain?" tanyaku disela-sela perjalanan kami menuju kelas.
"Awalnya sih, gue emang berencana kayak gitu." ujarnya santai.
"Terus?" aku penasaran.
"Tapi waktunya gak memungkinkan." Willy terlihat sedih.

Aku menatap Willy. Kenapa hari ini dia kelihatan lesu dan sedih? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Aku seperti kehilangan Willy yang sebelumnya. Willy yang menyebalkan. Menyusahkan. Dan selalu menyiksaku.

Kamipun sampai dikelas. Aku segera duduk dibangkuku, begitupun Willy. Tak lama, Lulu, Lucky, Bima, dan Bian juga datang.

"Pagi, Sasa, Willy." sapa Lulu.
"Pagi, Lu." aku tersenyum pada Lulu.
"Pagi." sahut Willy malas.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Lucky, yang sepertinya menyadari perubahan Willy.
"Nggak apa-apa kok." jawab Willy, sambil tersenyum tipis.
"Eh Will, besok ulang tahun lo kan? Berarti bakalan pesta lagi dong?" tanya Bima antusias.
"Nggak." jawab Willy singkat.
"Kenapa? Tumben lo gak ngadain pesta buat ulang tahun lo. Ini kan ulang tahun lo yang ke-17, Will." Bian nampak terkejut dengan jawaban Willy.
"Untuk kali ini, gue cuma pengen ngabisin sisa waktu gue bareng kura-kura ini." Willy menunjukku.
"Sisa waktu?" Lulu mengernyitkan dahinya.
"Oh, iya. Ini hari ke-19 kan?" Lucky baru ingat. "Berarti besok hari terakhir Sakura jadi asistennya Willy."
"Hmm, pantes aja lo lebih milih bareng Sakura, Will." Bian tersenyum jahil.
"Kayaknya, besok bakalan jadi ulang tahun terindah buat Willy." Bima ikut tersenyum jahil.

Aku menatap Willy. Dia hanya tersenyum tipis. Hampir tak terlihat seperti sedang tersenyum. Ada apa dengan cowok populer ini?

Jam istirahat...
Aku, Willy, Lulu dan ketiga teman Willy sedang makan bersama dikantin. Sebenarnya hanya aku dan Lulu yang makan. Karena Willy sibuk dengan laptopnya. Lucky dengan bukunya. Bian dengan BB nya. Dan Bima dengan PSP nya.

"Lu, gue mau ngomong." aku berbisik pada Lulu.
"Ngomong apa?" Lulu ikut berbisik. Sepertinya dia tau, aku tak mau percakapanku dengannya didengar oleh anak-anak Winter (Willy cs.)
"Nggak disini. Ketaman yuk." ajakku pada Lulu. Lulupun mengangguk. "Ehm. Will, gak ada yang lo butuhin kan? Gue mau jalan-jalan bentar sama Lulu, boleh kan?" tanyaku pada Willy.
"Hmmm." Willy mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
"Mau kemana?" tanya Lucky.
"Taman." jawab Lulu.

Lalu aku dan Lulupun pergi menuju taman sekolah. Kami berdua duduk dibawah pohon rindang.

"Jadi, apa yang mau lo omongin, Sa?" tanya Lulu penasaran.
"Soal Willy." jawabku.
"Emangnya kenapa sama Willy, Sa?"
"Lo ngerasa gak sih, kalo hari ini tuh, Willy aneh."
"Cuma sedikit lebih pendiem. Apanya yang aneh?"
"Hari ini, udah dua kali gue denger dia ngomongin soal waktu, Lu."
"Waktu?"
"Perjanjian 20 hari itu."
"Oh. Mungkin dia sedih, kerena perjanjian itu bakalan berakhir, besok."

Aku tak menjawab perkataan Lulu lagi. Aku berfikir sejenak. Perjanjian 20 hari itu.

"Sasa." Lulu menepuk bahuku. "Kenapa? Kok ngelamun?" tanya Lulu.
"Nggak apa-apa kok, Lu." aku mencoba tersenyum pada Lulu.
"Lo sedih ya?" Lulu tersenyum jahil.
"Sedih kenapa?" aku menatap Lulu, bingung.
"Sedih karena setelah besok, lo gak bakalan punya waktu lebih banyak lagi sama Willy." Lulu masih dengan senyum jahilnya.
"Gue malah ngerasa, gak bakal punya waktu lagi bareng Willy." ujarku datar.
"Tenang aja." Lulu merangkulku. "Lo gak akan kehilangan Willy kok. Karena gue rasa, dia itu suka sama lo."
"Suka?" aku menatap Lulu lekat.
"Iya. Suka." Lulu menekan suaranya pada kata 'suka'. "Apa lo juga suka sama dia? Atau.... cinta?" tanya Lulu ragu.
"Gue emang suka sama dia. Makin hari, gue rasa, gue makin suka sama dia. Apa.... gue juga cinta?" aku sendiri bingung dengan perasaanku.
"Hmm... gue juga gak ngerti mana itu perasaan kagum, suka, atau cinta." Lulu menatap pada langit biru. "Tapi kalau otak lo gak pernah berhenti mikirin dia. Berdebar disaat sedang berada disampingnya. Bahagia melihat senyumnya. Sakit melihatnya terluka atau menangis. Tenang bila melihat wajahnya. Bergetar saat menyebut namanya. Katanya, itu cinta." terang Lulu.
"Apa bedanya semua perasaan itu dengan kagum atau sekedar suka?" tanyaku.
"Kagum itu, seperti memuja segala hal indah pada diri seseorang. Sedangkan suka, lo gak harus berdebar meski berada didekat dia. Suka ya cuma suka. Kayak lo suka sama satu barang. Sebatas suka." terang Lulu.

Aku kembali hanyut pada pemikiranku sendiri. Cinta ya? Benarkah?

"Jadi, gimana?" suara Lulu membuyarkan lamunanku. "Kagum. Suka. Atau... cinta?" tanya Lulu.
"Gue gak tau." jawabku datar.
"Semoga aja, lo gak telat buat nyadarin perasaan lo yang sebenernya." Lulu berkata begitu tanpa maksud apapun. Tapi dalam hatiku, kata-kata itu seperti sebuah pukulan. Aku tak mau terlambat menyadari, jika memang aku mencintai Willy. Tapi... apakah perasaan didalam hatiku ini benar-benar cinta?

***

Malamnya, aku tak bisa tidur karena terus teringat kata-kata Lulu. Cinta? Ahh... aku bingung dan tak tau. Lagi pula, kenapa harus Willy? Dia itu kan menyebalkan, menyusahkan, dan selalu menyiksaku. Bagaimana mungkin aku mencintainya? Itu sama saja dengan menyiksa hidupku selamanya.

Ketika sedang melamun, tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Ada telpon? Dan aku tak mengenal nomer ini. Siapa?

Aku mengangkatnya.

"Halo?"
"Kura-kura."
"Wi... Willy?"
"Iya, ini gue."
"Ada apa?"
"Cuma mau ngingetin aja. Besok gue bakal jemput lo jam tujuh pagi. Lo gak boleh telat sedetikpun."
"Oh. Oke."
"Jangan jadi kura-kura yang lambat ya."
"Bawel."
"Apa lo bilang?"
"Gue gak bilang apa-apa!"
"Barusan?"
"Lo salah denger kali. Eh, ngomong-ngomong, dari mana lo dapet nomer handphone gue?"
"Dari si 'kacamata'."
"Sekarang, Lulu udah gak pake kacamata lagi, Will."
"Terserah."

Tut... tut... tut..

Telpon itu langsung ditutup oleh Willy. What? Apa-apaan ini? Dasar! Selalu aja seenaknya sendiri. Eh, kenapa aku jadi kesal begini, saat Willy mematikan telponnya? Aish... padahal, ini kan percakapan pertama kami via telpon. Ah lupakan!

***

"Day 20" (Last Day)

Hah! Hari terakhir ya?

Aku bangun dari tidurku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Untuk apa aku bangun sepagi ini? Entahlah. Aku terlalu bersemangat, mungkin. Ini adalah hari terakhirku menjalani waktu bersama cowok populer itu.

Segera kuraih handuk kecil didekat kamar mandiku. Dan aku segera mandi, lalu bersiap.

Sudah jam setengah tujuh. Aku berjalan keluar dari kamarku. Aku menemui Ibu yang sedang memasakan sarapan untukku dan Ayah. Kupikir, Ibu akan kaget melihatku memakai pakaian bebas dan bukan seragam sekolah.

"Udah siap, sayang?" tanya Ibu sambil terus mengaduk sup yang sedang dibuatnya.
"Hari ini, Sakura gak masuk sekolah ya, bu. Ada urusan." kataku sambil mendekat pada Ibu.
"Iya. Willy udah bilang, kok." ujar Ibu santai.
"Kok Ibu tau?" tanyaku sedikit terkejut. "Emangnya Willy bilang apa?"
"Kalian mau pergi kepanti asuhan kan?" Ibu tersenyum padaku. "Ibu sangat setuju dengan rencana kalian yang akan memberi sumbangan kesana." tambah Ibu.

Aku hanya terdiam. Panti asuhan? Apa lagi yang dibuat Willy kali ini? Dia berbohong! Aku saja, bahkan belum tau kami akan kemana. Yang jelas, bukan kepanti asuhan seperti kata Ibu. Mana mungkin, orang seperti Willy mau merayakan ulang tahunnya di panti asuhan.

"Sarapan dulu." Ibu menyikut sedikit lenganku, sambil membawa semangkuk sup keatas meja makan kami.

Aku tersenyum pada Ibu, lalu mengangguk patuh. Tak lama, Ayah juga keluar dari kamarnya dan duduk di meja makan, untuk segera sarapan.

Sarapan selesai. Aku melirik jam tangan berwarna putih milikku. Tepat jam tujuh pagi.

Tinnn... suara klakson mobil, mengejutkanku.

Itu dia. Willy sudah datang. Aku menatap Ayah dan Ibu sambil tersenyum dan pamit untuk segera pergi. Ayah dan Ibu hanya mengangguk pelan.

Diluar, Willy sudah menungguku.

"Tepat waktu kan?" tanyaku padanya.
"Telat 20 detik." ujarnya sambil berlalu, dan masuk kedalam mobilnya.

Apa? Telat 20 detik? Bahkan itu juga menjadi masalah baginya. Apa waktu itu benar-benar sangat penting untuknya? Aish... menyebalkan. Masih pagi, dia sudah merusak mood-ku.

"Ngapain masih berdiri disitu? Ayo buruan naik!" perintahnya.

Aku memanyunkan bibirku, lalu segera menuruti perintahnya dan masuk kedalam mobil itu.

Hah! Mobil ini? Setelah hari ini, apakah aku masih bisa duduk didalam mobil ini? Melihat Willy menyetir? Huh! Aku rasa, aku akan merindukan semua ini.

Mobil Willy telah melaju kencang meninggalkan rumahku. Kini, kami sedang melewati jalan raya yang ramai.

"Kita mau kemana?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Ikut aja." jawabnya ketus. "Dan jangan ajak gue bicara, disaat gue lagi nyetir kayak gini. Lo gak mau kita celaka bareng-bareng kan?" tambahnya, masih dengan nada bicara ketus.

Aku sangat kesal mendengar jawabannya. Akupun diam. Kuarahkan pandanganku keluar jendela. Kini, kami sudah tak berada dijalan raya lagi. Ini hanya jalan kecil yang dikelilingi hamparan hijau kebun teh. Pemandangan yang indah dipagi hari.

Entah berapa lama sudah mobil Willy ini melaju. Mungkin sekitar dua jam. Dan itu tanpa bicara sedikitpun. Membosankan.

Tak lama, Willy membelokkan mobilnya didepan sebuah bangunan. Rumah? Sepertinya begitu. Dan rumah ini nampak ramai oleh... anak-anak kecil? Mungkinkah?

Yup. Ini panti asuhan. Tertulis jelas pada sebuah papan persegi panjang didepan rumah ini, "Panti Asuhan Anggrek". Jadi, Ibu benar? Willy memang akan membawaku kepanti asuhan. Dan, disinilah kami berada sekarang. Willy keluar dari mobilnya, akupun begitu. Ku perhatikan setiap sudut panti asuhan ini. Halaman yang luas dengan hamparan rumput manila yang hijau. Pasti menyenangkan, berada disini. Bermain.

Aku menatap Willy yang juga masih berdiri disamping mobilnya, sama seperti posisiku saat ini. Dia juga menatap setiap sisi panti asuhan ini, sembari... tersenyum? Ah... senyumannya. Begitu lembut. Aku benar-benar menyukai senyuman itu. Willy tersenyum selembut itu, untuk tempat ini. Apakah tempat ini memiliki sesuatu yang begitu menyenangkan untuknya?

"Kura-kura, ayo masuk!" Willy berjalan duluan.
"Eh, iya." akupun mengikuti langkah Willy, memasuki panti asuhan itu.

Begitu sampai didalam, Willy langsung mendapat pelukan hangat dari anak-anak penghuni panti asuhan ini. Willy membalas pelukan mereka. Willy menatap mereka lembut, dan tersenyum. Aku... melihat sisi lain Willy lagi hari ini.

Seorang wanita, berumur sekitar 40 tahunan, datang menghampiri kami, lalu juga memeluk Willy.

"Selamat ulang tahun, anak Bunda." wanita itu mengecup kening Willy.
"Terima kasih, Bunda." Willy megecup pipi kiri wanita itu.

Aku hanya memandang mereka. Tak berani menyela apa yang sedang terjadi dihadapanku ini. Sampai wanita yang dipanggil Willy "Bunda" itu, menatapku. Willy jadi ikut menatapku, seolah mengikuti pandangan wanita dihadapannya.

"Kenalkan, Bunda. Dia Sakura." Willy memperkenalkanku pada Bundanya.
"Halo. Saya bunda Rika. Pengurus panti asuhan ini." Bunda Rika tersenyum padaku. Akupun membalas senyumnya, ramah.
"Halo, bunda Rika." sapaku. Bunda Rikapun kembali tersenyum.
"Pacarmu, Will?" tanya bunda Rika pada Willy. Pertanyaannya sukses membuat wajahku memerah. Aish... kenapa aku ini?
"Cuma temen, bunda." jawab Willy tenang.
"Belum menemukan pengganti Clara?" tanya bunda Rika lagi, pada Willy.
"Bunda kan tau, gak ada yang bisa menggantikan Clara." Willy tersenyum tipis. Entah mengapa, jawaban yang barusan Willy berikan itu, sedikit membuatku sedih.

Setelah cukup berbincang dengan posisi berdiri seperti ini, akhirnya bunda Rika mempersilahkan kami duduk.

"Kiriman Willy, udah sampai kan, Bun?" tanya Willy pada bunda Rika.
"Sudah. Terima kasih ya, Will. Tapi... kok rasanya, kali ini kamu memberikan sumbangan terlalu banyak?" bunda Rika menatap Willy.
"Semoga cukup untuk biaya anak-anak selama beberapa tahun kedepan, bunda." Willy tersenyum tipis.
"Itu sangat banyak, Will. Sekali lagi, bunda ucapkan terima kasih." bunda Rika tersenyum lagi.

Aku masih diam, terus menyimak setiap pembicaraan mereka. Meskipun, aku tak mengerti.

"Kura-kura." tiba-tiba, Willy memanggilku.
"Eh. Apa?" aku sedikit terkejut.
"Mau jalan-jalan sekitar panti?" tawar Willy. Aku tersenyum, lalu mengangguk.
"Kalau begitu, bunda kedapur dulu ya. Bunda akan siapkan makan siang untuk kalian." bunda Rika tersenyum, lalu melangkah pergi.

Kini, hanya tersisa aku dan Willy di ruang tamu ini. Willy menarik tanganku, untuk segera berkeliling melihat-lihat keadaan panti ini. Pertama-tama, Willy menunjukkan setiap ruangan untuk anak-anak panti. Ruang bermain, kamar, ruang makan, ruang belajar, dan lainnya. Bisa dibilang, panti ini cukup besar.

Setelah menjelajah setiap ruangan dalam panti, aku dan Willypun beranjak kehalaman panti. Kami duduk di ayunan yang ada di halaman belakang panti itu.

"Will, lo sering kepanti ini?" tanyaku membuka pembicaraan, saat kami telah duduk di ayunan masing-masing.
"Iya. Dulu, seminggu satu kali. Sama Clara." Willy tertunduk. Mungkin teringat lagi akan kenangannya bersama Clara.

Aku menatap Willy sekilas. Tak berani berbicara lagi.

"Kura-kura." Willy memanggilku lagi. Aku langsung menoleh padanya. "Menurut lo, gue itu orang yang kayak gimana sih?" tanyanya.
"Lo?" aku berpikir sebentar. "Lo itu orang yang nyebelin, ngeselin, nyusahin, suka semaunya sendiri, dingin, ketus, sombong...."
"Gak ada ya, sisi baik gue dimata lo?" Willy memotong ucapanku. Aku langsung menatapnya.
"Lo? Gue rasa, lo cowok yang baik dan berhati lembut." aku tak berani menatap Willy, setelah mengatakan hal itu.
"Clara bilang, gue itu cowok yang bodoh." Willy tersenyum hambar. "Dan gue marah, karena tau, Clara bener."
"Lo gak bodoh kok." aku menatap Willy.
"Gue bodoh, Ra." Willy menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Nggak, Will."
"Gue bodoh."
"Nggak!"
"Bodoh."
"Oke." aku bosan dengan perdebatan ini. "Iya. Lo bodoh. Lo bodoh karena menganggap diri lo itu bodoh. Lo bodoh karena gak pernah bisa liat ketulusan yang dikasih sama semua orang disekitar lo. Lo bodoh, Willy."

Aku hampir menangis mengatakannya. Willy menatapku sendu, lalu menghampiriku yang masih duduk di ayunan ini. Dia tersenyum, lalu... memelukku.

"Will." aku terkejut dengan perlakuan Willy.
"Maafin gue, Ra." Willy mempererat pelukannya. "Gue emang bodoh. Gara-gara gue, Clara meninggal. Gara-gara gue, selama 20 hari ini, lo selalu ngerasa tersiksa. Gue gak tau rasanya. Jadi anak baru, dan langsung nerima perlakuan buruk dari cowok populer yang bodoh kayak gue."
"Semuanya udah berlalu, Will." aku membalas pelukan Willy.
"Tapi lukanya gak akan pernah hilang, meski semuanya udah berlalu dan sia-sia." Willy terisak.
"Kita bisa apa?" tanyaku datar.

Willy melepas pelukannya.

"Setelah ini, lo harus memulai kehidupan baru lo dengan baik." Willy tersenyum padaku.
"Lo juga." aku membalas senyuman Willy.

Setelah itu, suasananya berubah hening. Sesuatu, telah merubah pandanganku tentang Willy si cowok populer. Willy. Ya. Aku mencintainya.

Hari ini, aku dan Willy menghabiskan waktu seharian di panti asuhan. Rasanya menyenangkan. Bermain bersama anak-anak ini. Kami tertawa bersama. Hari terakhir yang menyenangkan. Aku benar-benar bahagia. Adakah kesempatan untukku lagi, setelah hari ini?

***

Malampun datang. Jam sudah menunjukkan pukul 8. Aku dan Willy pamit pulang pada bunda Rika.

"Nanti, main kesini lagi ya, Willy, Sakura." pinta bunda Rika.
"Kalau ada waktu ya, Bun." Willy tersenyum tipis.

Bunda Rika hanya tersenyum, lalu mengangguk. Setelahnya, aku dan Willy benar-benar pergi meninggalkan panti ini. Aku terus menoleh kearah panti, sampai benar-benar hilang dari pandanganku. Hah! Sudah selesai ya?

"Gue masih bakal bawa lo kesatu tempat lagi." ujar Willy disela-sela aktivitas menyetirnya.
"Kemana?" tanyaku.
"Bukit diujung sana." Willy menunjuk pada bukit yang dikelilingi hamparan kebun teh yang hijaunya sudah tak nampak lagi karena gelapnya malam.

Aku menatap arah yang ditunjuk Willy itu. Pasti, disana sangat dingin.

Kamipun sampai. Willy menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan menuju bukit itu. Tapi, angin malam ini benar-benar menusuk tulangku.

"Dingin?" tanya Willy, begitu kami telah sampai dibukit. Aku mengangguk.

Willy segera membuka jaketnya, dan memasangkannya padaku. Aku sedikit terkejut. Apalagi ditambah oleh perlakuan Willy yang mengusap-usapkan kedua telapak tangannya pada kedua punggung tanganku.

"Hangat?" tanya Willy disela-sela aktivitasnya. Aku mengangguk. Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan. Aku benar-benar terkejut pada perlakuan Willy ini.

"Kura-kura."
"Hmm?"
"Lo gak mau ngasih hadiah ulang tahun buat gue?"
"Gue gak sempet beli."
"Emangnya, hadiah itu harus selalu dibeli ya?"

Aku terdiam. Oke. Aku memang lupa untuk memberi Willy hadiah. Nah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Willy menginginkan sebuah hadiah dariku. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Aku membuka tas milikku, dan mengambil sesuatu disana. Yang kuambil itu adalah sebuah kertas origami. Aku melipat-lipat kertas itu, dan menjadikannya sebuah bangau kertas yang manis berwarna merah. Lalu, kuberikan pada Willy.

"Bangau kertas?" Willy mengerutkan dahinya.
"Gue bener-bener gak nyiapin apa-apa buat hadiah ulang tahun lo. Maaf." aku menunduk.
"Makasih ya. Ini hadiah termanis yang pernah gue terima. Dari kura-kura lambat, pula." Willy mengelus rambutku lembut.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekarang, waktunya Willy membawaku pulang. Kami segera turun dari bukit, dan menuju mobil Willy. Willy langsung memacu mobilnya dan kami pulang.

Hampir dua jam. Lima menit lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Itu artinya, ini adalah menit-menit kebebasanku dari cowok populer ini.

Kami sampai dirumahku. Akupun segera turun dari mobil Willy, begitupun Willy. Aku berdiri menghadap Willy yang menyender pada mobilnya.

"Selamat ulang tahun, Willy." aku tersenyum manis padanya.
"Huh!" Willy menyeringai kesal. "Lo orang terakhir yang ngucapin selamat ulang tahun buat gue."
"Belum terlambat kan?" aku menyeringai. "Jam 12 masih satu menit lagi, kan?"

Willy diam, menatapku. Lalu, dia melirik jam ditangannya.

"3...2...1..." Willy menghitung mundur. "Oke. Lo bebas, sekarang. Lo bisa mulai ngejalanin hidup lo dengan normal. Waktu 20 hari lo bareng gue, udah selesai." Willy tersenyum.

Akupun membalas senyumnya. Sudah berakhir ya?

Setelah mengatakan itu, Willypun segera masuk kedalam mobilnya dan pulang. Aku menatap kepergian mobil Willy. Kenapa, rasanya sakit? Sesak. Semuanya sudah selesai.

***

Aku kembali pada kehidupanku. Sakura, siswa SMU biasa. Bukan lagi Sakura, si asisten cowok populer. Hari ini, aku bahkan berangkat sekolah sendiri.

"Gak dijemput Willy, sayang?" begitulah pertanyaan Ibu. Aku hanya tersenyum, dan menggeleng.

Kini, aku sudah berada di depan gerbang sekolah. Ah, mengapa aku baru menyadari, kalau gerbang dan sekolah ini benar-benar besar. Baiklah, lupakan! Aku akan berjalan menuju kelas. Bertemu Lulu, Lucky, Bima, Bian, dan... Willy.

Sesampainya dikelas...

Aku tak melihat Willy. Apa dia belum datang? Aku hanya melihat keberadaan Lulu, Lucky, Bima, dan Bian. Kini, mereka malah menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Willy belum dateng ya?" tanyaku sambil menaruh tasku dimeja.
"Willy gak akan datang, Sa." ujar Lucky.
"Dia gak masuk?" aku terkejut dengan jawaban Lucky. "Dia sakit? Izin? Kenapa?" tanyaku.

Kulihat, Bima menggeleng.

"Dia udah pergi, Sa." ujar Bima.
"Pergi? Kemana?" tanyaku, semakin tak mengerti.
"Mungkin, ini bisa menjawab semua pertanyaan lo." Bian memberikan sebuah amplop padaku.

Aku menatap mereka berempat bergantian. Kuambil amplop itu dari tangan Bian, dan membukanya. Isinya adalah sebuah kertas. Suratkah? Aku pun segera membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan didalamnya.

Dear Kura-kura,

Rasanya aneh banget. Ngasih surat, padahal gue bisa ngomong langsung, atau bahkan ngomong lewat telpon sama lo. Tapi gak tau kenapa, gue gak sanggup buat ngomong langsung dari mulut gue ini. Gue emang bodoh. Ninggalin lo dengan cara kayak gini. Dan sebelum lo bertambah bingung, gue bakal bilang yang sebenernya. Hari ini, tepat satu hari setelah hari ulang tahun gue. Juga tepat satu hari setelah hari kebebasan lo, gue pergi ke Jerman. Lo tanya kenapa?

Jawabannya adalah, ketika Clara meninggal tiga bulan yang lalu, gue mutusin buat pindah ke Jerman. Gue ikut tes masuk di salah satu SMA disana, dan gue keterima. Sekarang, ketika lo baca surat ini, mungkin gue udah dalam perjalanan menuju tempat baru gue. Gue akan memulai hidup baru gue di Jerman. Mengubur semua kenangan tentang Clara. Oke. Sekali lagi gue bilang, gue emang bodoh. Pergi ke Jerman, cuma karena pengen ngelupain seseorang yang gue sayang. Rasanya kekanak-kanakan banget. Tapi, inilah keputusan gue sekarang.

Ingat perjanjian kita? Waktu itu gue pernah bilang sama lo, selesai dari 20 hari itu, kita harus ngelupain semuanya. Dan sekarang, lo bebas. Lupain semuanya, dan mulai kehidupan SMU yang normal dan menyenangkan. Gue mau ngucapin makasih buat 20 hari terindah yang lo kasih. Mungkin, gue akan mengingkari perkataan gue yang bilang kalo gue akan melupakan semua yang terjadi di 20 hari itu. Gue gak bisa. 20 hari itu terlalu indah buat gue lupain gitu aja.

Kura-kura lambat, jaga diri lo baik-baik ya. Sampein salam gue buat kedua orang tua lo. Buat si Lulu juga. Ah, gue belum sempet bilang maaf sama dia. Tolong sampein permintaan maaf gue sama si 'kacamata' itu ya. Dan buat band gue, Winter. Gue berharap, lo mau ngengantiin gue buat jadi vocalisnya. Lo pantes.

Oh iya, makasih juga buat hadiah ulang tahunnya. Gue akan simpen terus, bangau kertas pemberian lo itu. Maafin gue ya, kalau selama kita bareng, gue selalu nyakitin lo.

Oke. Gue tau ini udah kebanyakan. Gue gak kuat buat nulis ini lagi. Sampai ketemu lagi ya. Gue harap, tuhan masih memberi kesempatan buat gue, ketemu sama lo lagi, suatu saat nanti. Semoga kita semua bahagia dengan hidup kita yang sekarang sampai nanti.

Sakura. Gue sayang sama lo. Meski belum bisa gue bilang cinta.

"Willy"

Aku menangis membaca tulisan didalamnya. Lulupun langsung memelukku. Lucky, Bima, dan Bian, hanya tertunduk sedih. Apa ini, Willy?

"Gue terlambat, Lu." aku menangis dalam pelukan Lulu.
"Tenang ya, Sa." Lulu mengelus lembut punggungku.

***

Setelah kepergian Willy, aku terus menjalani hidupku. Terus belajar sebagai siswi SMU. Menjalin pertemanan dengan banyak orang. Menjadi vocalis Winter. Meneruskan tradisi sekolah, sebagai cewek paling populer, menggantikan si cowok populer yang telah pergi jauh itu. Meski begitu, didalam hatiku, selalu ada nama Willy.

***

Tiga tahun kemudian.

Dan, disinilah aku sekarang. Di Jepang. Tepatnya di Osaka. Dua tahun yang lalu, setelah lulus dari SMU, aku mendapat beasiswa ke Jepang. Bahkan, satu bulan yang lalu, Ayah dan Ibu baru saja membuka cabang restoran mereka di Jepang. Aku rasa, kami akan menetap sangat lama di Negara ini.

Aku baru saja selesai dengan aktivitas kuliahku. Dan kini, aku sedang berjalan-jalan, sambil menikmati pemandangan indah kota ini. Bertemu banyak orang. Yah, begitulah kehidupanku yang sekarang.

Setelah puas berjalan, akupun pulang ke Apartemen ku. Aku hanya tinggal sendiri disini, meski Ayah dan Ibu sudah memberi sebuah rumah di tengah kota. Entahlah. Aku hanya ingin hidup mandiri. Jadi, kuputuskan untuk tetap tinggal di apartemen ini. Lagi pula, jaraknya dekat dengan kampusku.

Kubaringkan tubuh lelahku kekasur. Kemudian, kutatap sebuah undangan tebal berwarna silver yang ada disamping tempat tidurku. Dicover undangan itu, tertulis inisial huruf "L & L". Baiklah, biar ku perjelas. Ini adalah undangan yang datang sekitar satu minggu yang lalu, dari Indonesia. Undangan pertunangan kedua sahabatku. Lucky & Lulu. Dua minggu lagi, aku harus menghadiri pertunangan mereka, dan mengharuskanku pulang ke Indonesia di tengah semester. Mereka memang benar-benar bisa membuatku gila. Tapi, aku pasti akan datang. Itu demi kedua sahabatku. Lagi pula, aku sudah sangat rindu dengan mereka semua dan tentunya negara kelahiranku itu.

Baiklah, aku lelah. Jadi, aku putuskan untuk tidur.

Keesokan harinya. Ini adalah hari sabtu. Weekend. Aku akan berjalan-jalan lagi hari ini. Melepaskan sedikit penat dan melupakan tugas-tugas kuliah yang berat itu. Ah, ada satu hal yang terlupakan. Hari ini, adalah hari ulang tahun Willy. Dan sekarang, aku jadi merindukannya.

Aku melewati sebuah kerumunan dipinggir jalan. Biasalah, itu mungkin pertunjukkan musik dari para seniman Jepang. Aku mendengar samar-samar lagu yang dimainkan seniman yang sedang dikerumuni itu. Tapi semakin lama, aku semakin mengenal setiap nada yang keluar dari petikan gitarnya.

"Lagu ini?" aku segera menerobos kerumunan itu, dan berdiri paling depan.

Astaga? Benarkah ini? Benarkah apa yang kulihat? Lagu ini? Gitar itu? Itu... Willy?

Tak lama, permainan gitar itu selesai. Semua orang bertepuk tangan. Pertunjukkannya selesai. Perlahan, semua orang yang tadi menyaksikannya, beranjak pergi. Akupun segera menghampiri seseorang yang tadi bermain gitar itu. Dia memang tidak sendiri, dia bersama ketiga orang temannya yang lain. Dan sepertinya, dia tidak menyadari kedatanganku.

"Willy." panggilku datar.
"Ya?" yang kupanggil itu segera menoleh.

Dia nampak terkejut, sama sepertiku.

"Sakura?" Willy langsung memelukku. Akupun membalas pelukannya.
"Udah lama ya." ujarku.
"Sangat lama." Willy mempererat pelukannya.

Kulihat, teman-teman Willy nampak bingung dengan pemandangan dihadapannya.

"Willy, would you introduce her to us?" tanya seorang teman Willy itu.

Willy melepas pelukannya padaku, dan segera memperkenalkanku pada ketiga temannya. Akupun memperkenalkan diriku. Willy meninggalkanku sebentar, dan berbicara pada ketiga temannya. Selesai berbicara, Willy kembali menghampiriku.

"Kalian udah mau pergi?" tanyaku pada Willy.
"Gue emang mau pergi. Tapi nggak sama mereka." Willy tersenyum, lalu menggandeng tanganku. Kami berjalan menjauh dari ketiga teman Willy.
"Kita mau kemana?" tanyaku.
"Lo gak kangen sama gue?" Willy menghentikan langkahnya. "Gue mau ngabisin satu hari ini bareng lo."

Aku tersenyum, kemudian mengangguk paham.

Sekarang, kami sedang duduk disalah satu bangku taman. Asal tau saja, sejak tadi, Willy tak melepaskan pegangan tangannya padaku. Dia terus menggenggam tanganku erat. Seolah tak mau kehilanganku.

"Jadi, gimana bisa lo ada disini?" tanyaku akhirnya, setelah lama kami hanya diam.
"Gue sama temen-temen band gue yang tadi, ikut festival musik yang diadain dikota ini." jawab Willy.
"Jadi, lo rela dateng dari Jerman ke Jepang, cuma buat ikut festival musik?" tanyaku tak percaya. Willy mengangguk.
"Mungkin, ini takdir. Kalau gue gak kesini, pasti kita gak bakal ketemu." Willy menatapku lembut.
"Udah nemuin kebahagiaan lo?" tanyaku ragu.
"Gue salah, nyari kebahagiaan sampe ke Jerman. Karena ternyata, kebahagiaan gue itu udah ada di Indonesia. Dan sekarang, lagi sama gue di Jepang." Willy mengusap lembut rambutku.

Aku tak bisa menahan air mataku untuk tak menetes. Ya Tuhan. Aku terharu.

"Sakura. Aku cinta kamu." Willy menghapus air mataku, lalu mengecup keningku singkat.
"Aku juga cinta kamu, Willy." aku langsung memelukknya.

Benarkah ini? Willy menyatakan cintanya padaku. Sesuatu yang telah lama aku nantikan.

Setelah pernyataan cinta itu, aku dan Willypun berjalan-jalan mengelilingi kota. Hingga malam datang. Kini, kami sedang berjalan dipinggiran kota, sambil berpegangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dan aku masih enggan untuk mengakhiri semuanya.

"Kamu akan datang ke pesta pertunangannya Lucky dan Lulu?" tanya Willy padaku.
"Kamu juga dapet undangannya?" aku balik bertanya.
"Iya. Sekitar tiga hari yang lalu." Willy mengeluarkan undangan itu dari tasnya.
"Kita datang sama-sama?" tanyaku.
"Tentu." Willy mengangguk mantap.

Kamipun kembali meneruskan perjalanan. Dan sampailah kami di depan bangunan Apartemen-ku.

"Kamu tinggal disini?" tanya Willy.

Aku mengangguk, lalu mengeluarkan kertas origami dari dalam tasku. Akupun melipatnya, dan menjadi sebuah bangau kertas berwarna biru.

"Selamat ulang tahun, Willy." aku memberikan bangau kertas itu pada Willy.
"Dasar!" Willy mengambil bangau kertas itu. "Selalu aja, jadi yang terakhir ngucapin selamat ulang tahun buat aku."
"Biarin." aku tersenyum jahil. "Itu karena, aku pengen jadi yang terakhir buat kamu." (Setelah Clara yang pernah menjadi yang pertama, tentunya).
"Pasti. Kamu yang terakhir dan selamanya." Willy mengecup keningku.

Terima kasih Tuhan. Telah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan orang yang kucintai sekali lagi. Setelah ini, kami akan bersama selamanya. Clara memang yang pertama ada di hati Willy. Tapi sekarang, akulah yang terakhir. Dan selamanya.


-END-