"Pernahkah terbayang dalam pikiranmu, untuk meninggalkanku, Nadia?" tanya Bima suatu hari.
"Tidak!" jawab Nadia mantap. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan dan tidak ingin meninggalkanmu."
"Tapi bagaimana jika aku yang meninggalkanmu?" tanya Bima lagi.
"Aku tak pernah terpikirkan jawaban atas pertanyaan kamu itu." Nadia tersenyum tipis.
Bima memeluk Nadia erat.
"Apapun yang terjadi nanti, aku mau kamu tau, aku cinta kamu." ujar Bima tegas.
"Iya." ujar Nadia singkat.
***
Cinta tak pernah ikut menangis, ketika melihat cintanya menangis
Cinta tak pernah ikut terpuruk, ketika melihat cintanya terpuruk
Mengapa?
Karena cinta selalu akan membuat cintanya bahagia
Karena cinta selalu akan membuat cintanya kuat
Tapi bagaimanapun indahnya cinta,
Cinta pasti menyakitkan pada akhirnya
Kita hanya punya satu kesempatan untuk membuatnya bahagia
Kita hanya punya satu kesempatan untuk membuatnya kuat
Karena di kesempatan kedua,
Kita tak akan punya waktu yang sama
Nadia menangis membaca tulisan di kertas putih itu. Itu milik orang yang di cintainya. Bima Adiwidjaya. Dia telah pergi meninggalkan dunia, hari ini. Satu tahun lebih Bima melawan kanker di otaknya. Dan tuhan tak ingin dia lebih menderita lagi. Karena itu, Bima harus kembali pada yang memberinya hidup.
"Sabar ya, Nad." ujar Disa, teman sekolah Nadia dan Bima.
"Lagi gue coba, Dis." Nadia masih terisak.
Kemarin adalah hari pengumuman kelulusan bagi sekolah Nadia dan Bima. Mereka semua merayakannya dengan gembira. Tak ada yang menyangka, kalau kemarin adalah waktu terakhir Bima bersama-sama Nadia.
Nadia sedih, sangat sedih, tapi dia mencoba untuk kuat. Karena dia selalu mengingat kata-kata terakhir Bima padanya.
"Apapun yang terjadi nanti, aku mau kamu tau, aku cinta kamu."
Meskipun kini Bima telah pergi, tapi Nadia tau, Bima selalu mencintainya. Dan kini, Nadia mulai kuat menjalani hari-harinya sebagai seorang mahasiswa. Jika saja Bima masih di dunia ini, dia pasti akan sangat senang hidup sebagai seorang mahasiswa. Tak perlu pakai seragam sekolah lagi.
Nadia berjalan pelan memasuki wilayah kampusnya. Dia membawa sebuah gitar. Gitar pemberian Bima di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas waktu itu. Dan Nadia berjanji, akan menciptakan sebuah lagu untuk Bima, dengan gitarnya. Tapi begitu lagu itu selesai, Bimapun pergi dan tak sempat mendengarkan lagu itu di mainkan oleh Nadia. Akhirnya Nadia menyimpan lagu itu, tak pernah ia nyanyikan untuk siapapun.
"Nadia." sapa Disa.
"Hai, Dis." Nadia sudah bisa tersenyum lagi.
"Wah, kebetulan nih lo bawa gitar." Disa melirik gitar yang dibawa Nadia. "Ntar lo yang mainin gitarnya, terus gue yang nyanyi yah."
"Emangnya mau nyanyi buat apa?" tanya Nadia.
"Buat di rekam, terus gue masukin ke youtube." Disa tertawa sendiri menanggapi idenya. "Siapa tau gue bisa terkenal kayak Justin Bieber atau Greyson Chance gitu."
Nadia tertawa geli. "Iya deh. Mudah-mudahan bisa terkenal kayak mereka ya."
"Amin." Disa mengamini ucapan Nadia.
Usai menepati janjinya pada Disa, Nadia berjalan menuju ruang musik kampusnya. Dia berniat untuk bermain gitar dengan tenang disana. Tapi begitu masuk keruang musik, dia melihat seseorang yang sedang memainkan piano disana. Permainannya sangat bagus. Dan sepertinya, seseorang itu tak menyadari kedatangan Nadia. Nadia masuk perlahan, lalu duduk mengahadap ke seseorang yang sedang bermain piano itu.
Seseorang itu adalah seorang laki-laki yang tampan. Tapi Nadia melihat sebuah kesedihan di wajah tampan itu. Begitu permainan piano itu selesai, Nadia bertepuk tangan. Dan seseorang itupun baru menyadari keberadaan Nadia.
"Siapa lo?" tanya laki-laki itu kasar.
"Ehm, sebut aja gue ini penggemar lo." ujar Nadia.
"Penggemar apa?" tanya laki-laki itu lagi.
"Penggemar permainan piano lo yang keren itu." Nadia mencoba untuk akrab.
"Oh." laki-laki itu hanya menjawab cuek, lalu pergi.
Nadia sedikit kesal dengan sikapnya. Tapi dia tak mau memaksakan agar laki-laki itu mau bicara dengannya. Karena Nadia sempat membaca kesedihan di raut wajah laki-laki itu. Dan sepeninggalan laki-laki itu dari ruang musik, Nadia mulai mengambil alih ruangan, dan memainkan gitar kesayangannya.
Tanpa sepengetahuan Nadia, laki-laki itu mendengarkan diam-diam permainan gitarnya. Diapun mengakui keindahan suara Nadia saat bernyanyi dengan gitarnya.
***
Keesokan harinya, tanpa sengaja Nadia bertemu lagi dengan cowok piano itu, di kampus.
"Piano." sapa Nadia.
"Eh, penggemar." ujar cowok piano itu.
Nadia tertawa mendengar sapaan cowok piano itu padanya.
"Kenapa ketawa?" tanya si cowok piano.
"Abisan lucu aja, denger lo panggil gue penggemar." jawab Nadia.
"Bukannya kemaren, lo sendiri yang nyuruh gue buat nyebut lo penggemar?" ujar si cowok piano sinis.
"Hem, iya." Nadia membenarkan.
"Itu gitar lo?" si cowok piano menunjuk gitar yang di bawa oleh Nadia.
"Iya." Nadia melirik gitar itu.
"Bisa main gitar?" tanya si cowok piano lagi.
"Bisa. Tapi gak sejago elo dengan piano lo itu." jawab Nadia.
"Berlebihan deh." ujar si cowok piano sinis.
Nadia hanya tertawa kecil. "Eh, lo mau keruang musik kan? Bareng aja, yuk!"
"Boleh deh." ujar si cowok piano santai.
Merekapun berjalan bersama menuju ruang musik.
"Ayo dong, mainin lagi pianonya. Penggemar lo mau denger nih." pinta Nadia.
"Gimana kalo lo duluan yang mainin gitar lo. Gue mau denger." si cowok piano tersenyum licik.
"Ehm, oke deh." Nadiapun mulai memainkan gitarnya.
Si cowok piano mendengarkan dengan serius. Dan dia bertepuk tangan, di akhir permainan gitar Nadia.
"Ehm, kayaknya gue juga bakal jadi penggemar lo nih." ujarnya malu-malu.
Nadia hanya tersenyum.
"Ngomong-ngomong, nama lo siapa?" tanya si cowok piano. "Atau lo lebih seneng gue panggil penggemar?"
"Nama gue Nadia. Lo?"
"Gue Bima."
Nadia terkejut mendengar nama itu. Dia hampir pingsan. Air matanya menetes tak tertahan.
"Nad, lo kenapa?" tanya Bima.
"Gue gak apa-apa kok." Nadia menghapus air matanya. "Bima."
"Ada yang salah, sama nama gue?" tanya Bima curiga.
"Nama lo, mirip sama nama cowok gue yang udah meninggal." air mata Nadia semakin deras menetes.
"Oh, maaf." Bima mulai bingung. "Kalo gitu, lo bisa tetep panggil gue piano."
"Gak apa-apa kok, Bim." Nadia menghapus air matanya. "Itu kan gak adil buat lo. Masa cuma karena nama lo sama, sama nama almarhum cowok gue, lo harus ganti nama jadi piano. Pokoknya gue bakal panggil lo Bima."
"Ya udah, terserah lo aja." Bima menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Nadia.
Sejak hari itu, Nadia mulai terbiasa bersama Bima si cowok piano. Bima yang satu ini sangat berbeda dari Bima Adiwidjaya. Bima yang satu ini bisa membuat Nadia tertawa, juga kesal dan marah. Bima yang ini juga selalu berusaha tegar, meski dia menyimpan masalah. Seperti saat pertama kali Nadia melihatnya di ruang musik. Ternyata saat itu, Bima sedih karena Mamanya yang mengajarkan piano padanya, sakit. Tapi untunglah, sekarang Mamanya sudah membaik.
Merekapun mulai sering menghabiskan waktu bersama di ruang musik. Nadia juga mulai mempercayai Bima untuk diceritakan tentang Bima Adiwidjaya yang di cintainya. Banyak hal yang belum sempat Nadia lakukan untuk Bima Adiwidjaya, di lakukannya pada Bima si cowok piano.
"Sekarang gue lebih ngerasa lega, Bim." ujar Nadia begitu mereka sampai di ruang musik.
"Lega kenapa?" tanya Bima.
"Impian gue buat ngelakuin banyak hal bareng almarhum Bima, akhirnya bisa gue wujudin sama lo." ujar Nadia bahagia. "Gue jadi ngerasa punya kesempatan kedua bareng almarhum Bima."
"Gue ikut bahagia kok, bisa bantu lo wujudin hal-hal itu." senyum tulus terukir di bibir Bima.
"Makasih ya, Bim." Nadiapun memeluk Bima.
Mereka menjadi teman baik, dan semakin dekat. Bima benar-benar menjadi penggemar permainan gitar Nadia. Bagitupun Nadia, pada permainan piano Bima. Hingga pada suatu hari, mereka berdua ditunjuk untuk mengisi acara pada hari ulang tahun kampus.
"Aduh Bim, gue deg-degan nih." Nadia terus menggenggam tangan Bima.
"Udah, santai aja. Kan ada gue." Bima menguatkan.
Sekuat tenaga Nadia menahan rasa groginya untuk tampil di depan semua penghuni kampus. Tapi untunglah, keberadaan Bima di sebelahnya membuat Nadia kuat. Mereka berhasil menampilkan yang terbaik dalam acara ulang tahun kampus.
***
"Nad," Bima memegang kedua tangan Nadia.
"Ada apa, Bim?" tanya Nadia.
"Gue suka sama lo." ujar Bima malu-malu. "Apa lo mau, menjalani kesempatan kedua sama Bima si cowok piano?"
Nadia terkejut mendengar pernyataan Bima. Dia tersenyum, lalu mengambil gitarnya dan bernyanyi. Itu adalah lagu yang dia ciptakan untuk almarhum Bima. Yang tak sempat dia nyanyikan untuk almarhum Bima. Kini, untuk pertama kalinya dia menyanyikan lagu itu. Dan itu kepada Bima si cowok piano.
"Lagunya bagus." komentar Bima, begitu lagunya berakhir. "Ciptaan lo sendiri?"
"Iya." Nadia menaruh kembali gitarnya. "Bima si cowok piano, gue juga suka sama lo. Dan gue mau ngejalanin kesempatan kedua sama lo."
Bima tak bisa berkata-kata lagi. Dia sangat senang mendengar jawaban Nadia.
"Terima kasih." ujarnya.
-END-