Monday, May 28, 2012

CINTA DAN KESEMPATAN KEDUA



"Pernahkah terbayang dalam pikiranmu, untuk meninggalkanku, Nadia?" tanya Bima suatu hari.
"Tidak!" jawab Nadia mantap. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan dan tidak ingin meninggalkanmu."
"Tapi bagaimana jika aku yang meninggalkanmu?" tanya Bima lagi.
"Aku tak pernah terpikirkan jawaban atas pertanyaan kamu itu." Nadia tersenyum tipis.

Bima memeluk Nadia erat.

"Apapun yang terjadi nanti, aku mau kamu tau, aku cinta kamu." ujar Bima tegas.
"Iya." ujar Nadia singkat.

***

Cinta tak pernah ikut menangis, ketika melihat cintanya menangis
Cinta tak pernah ikut terpuruk, ketika melihat cintanya terpuruk
Mengapa?
Karena cinta selalu akan membuat cintanya bahagia
Karena cinta selalu akan membuat cintanya kuat
Tapi bagaimanapun indahnya cinta,
Cinta pasti menyakitkan pada akhirnya
Kita hanya punya satu kesempatan untuk membuatnya bahagia
Kita hanya punya satu kesempatan untuk membuatnya kuat
Karena di kesempatan kedua,
Kita tak akan punya waktu yang sama

Nadia menangis membaca tulisan di kertas putih itu. Itu milik orang yang di cintainya. Bima Adiwidjaya. Dia telah pergi meninggalkan dunia, hari ini. Satu tahun lebih Bima melawan kanker di otaknya. Dan tuhan tak ingin dia lebih menderita lagi. Karena itu, Bima harus kembali pada yang memberinya hidup.

"Sabar ya, Nad." ujar Disa, teman sekolah Nadia dan Bima.
"Lagi gue coba, Dis." Nadia masih terisak.

Kemarin adalah hari pengumuman kelulusan bagi sekolah Nadia dan Bima. Mereka semua merayakannya dengan gembira. Tak ada yang menyangka, kalau kemarin adalah waktu terakhir Bima bersama-sama Nadia.

Nadia sedih, sangat sedih, tapi dia mencoba untuk kuat. Karena dia selalu mengingat kata-kata terakhir Bima padanya.

"Apapun yang terjadi nanti, aku mau kamu tau, aku cinta kamu."

Meskipun kini Bima telah pergi, tapi Nadia tau, Bima selalu mencintainya. Dan kini, Nadia mulai kuat menjalani hari-harinya sebagai seorang mahasiswa. Jika saja Bima masih di dunia ini, dia pasti akan sangat senang hidup sebagai seorang mahasiswa. Tak perlu pakai seragam sekolah lagi.

Nadia berjalan pelan memasuki wilayah kampusnya. Dia membawa sebuah gitar. Gitar pemberian Bima di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas waktu itu. Dan Nadia berjanji, akan menciptakan sebuah lagu untuk Bima, dengan gitarnya. Tapi begitu lagu itu selesai, Bimapun pergi dan tak sempat mendengarkan lagu itu di mainkan oleh Nadia. Akhirnya Nadia menyimpan lagu itu, tak pernah ia nyanyikan untuk siapapun.

"Nadia." sapa Disa.
"Hai, Dis." Nadia sudah bisa tersenyum lagi.
"Wah, kebetulan nih lo bawa gitar." Disa melirik gitar yang dibawa Nadia. "Ntar lo yang mainin gitarnya, terus gue yang nyanyi yah."
"Emangnya mau nyanyi buat apa?" tanya Nadia.
"Buat di rekam, terus gue masukin ke youtube." Disa tertawa sendiri menanggapi idenya. "Siapa tau gue bisa terkenal kayak Justin Bieber atau Greyson Chance gitu."
Nadia tertawa geli. "Iya deh. Mudah-mudahan bisa terkenal kayak mereka ya."
"Amin." Disa mengamini ucapan Nadia.

Usai menepati janjinya pada Disa, Nadia berjalan menuju ruang musik kampusnya. Dia berniat untuk bermain gitar dengan tenang disana. Tapi begitu masuk keruang musik, dia melihat seseorang yang sedang memainkan piano disana. Permainannya sangat bagus. Dan sepertinya, seseorang itu tak menyadari kedatangan Nadia. Nadia masuk perlahan, lalu duduk mengahadap ke seseorang yang sedang bermain piano itu.

Seseorang itu adalah seorang laki-laki yang tampan. Tapi Nadia melihat sebuah kesedihan di wajah tampan itu. Begitu permainan piano itu selesai, Nadia bertepuk tangan. Dan seseorang itupun baru menyadari keberadaan Nadia.

"Siapa lo?" tanya laki-laki itu kasar.
"Ehm, sebut aja gue ini penggemar lo." ujar Nadia.
"Penggemar apa?" tanya laki-laki itu lagi.
"Penggemar permainan piano lo yang keren itu." Nadia mencoba untuk akrab.
"Oh." laki-laki itu hanya menjawab cuek, lalu pergi.

Nadia sedikit kesal dengan sikapnya. Tapi dia tak mau memaksakan agar laki-laki itu mau bicara dengannya. Karena Nadia sempat membaca kesedihan di raut wajah laki-laki itu. Dan sepeninggalan laki-laki itu dari ruang musik, Nadia mulai mengambil alih ruangan, dan memainkan gitar kesayangannya.

Tanpa sepengetahuan Nadia, laki-laki itu mendengarkan diam-diam permainan gitarnya. Diapun mengakui keindahan suara Nadia saat bernyanyi dengan gitarnya.

***

Keesokan harinya, tanpa sengaja Nadia bertemu lagi dengan cowok piano itu, di kampus.

"Piano." sapa Nadia.
"Eh, penggemar." ujar cowok piano itu.

Nadia tertawa mendengar sapaan cowok piano itu padanya.

"Kenapa ketawa?" tanya si cowok piano.
"Abisan lucu aja, denger lo panggil gue penggemar." jawab Nadia.
"Bukannya kemaren, lo sendiri yang nyuruh gue buat nyebut lo penggemar?" ujar si cowok piano sinis.
"Hem, iya." Nadia membenarkan.
"Itu gitar lo?" si cowok piano menunjuk gitar yang di bawa oleh Nadia.
"Iya." Nadia melirik gitar itu.
"Bisa main gitar?" tanya si cowok piano lagi.
"Bisa. Tapi gak sejago elo dengan piano lo itu." jawab Nadia.
"Berlebihan deh." ujar si cowok piano sinis.
Nadia hanya tertawa kecil. "Eh, lo mau keruang musik kan? Bareng aja, yuk!"
"Boleh deh." ujar si cowok piano santai.

Merekapun berjalan bersama menuju ruang musik.

"Ayo dong, mainin lagi pianonya. Penggemar lo mau denger nih." pinta Nadia.
"Gimana kalo lo duluan yang mainin gitar lo. Gue mau denger." si cowok piano tersenyum licik.
"Ehm, oke deh." Nadiapun mulai memainkan gitarnya.

Si cowok piano mendengarkan dengan serius. Dan dia bertepuk tangan, di akhir permainan gitar Nadia.

"Ehm, kayaknya gue juga bakal jadi penggemar lo nih." ujarnya malu-malu.

Nadia hanya tersenyum.

"Ngomong-ngomong, nama lo siapa?" tanya si cowok piano. "Atau lo lebih seneng gue panggil penggemar?"
"Nama gue Nadia. Lo?"
"Gue Bima."

Nadia terkejut mendengar nama itu. Dia hampir pingsan. Air matanya menetes tak tertahan.

"Nad, lo kenapa?" tanya Bima.
"Gue gak apa-apa kok." Nadia menghapus air matanya. "Bima."
"Ada yang salah, sama nama gue?" tanya Bima curiga.
"Nama lo, mirip sama nama cowok gue yang udah meninggal." air mata Nadia semakin deras menetes.
"Oh, maaf." Bima mulai bingung. "Kalo gitu, lo bisa tetep panggil gue piano."
"Gak apa-apa kok, Bim." Nadia menghapus air matanya. "Itu kan gak adil buat lo. Masa cuma karena nama lo sama, sama nama almarhum cowok gue, lo harus ganti nama jadi piano. Pokoknya gue bakal panggil lo Bima."
"Ya udah, terserah lo aja." Bima menghapus air mata yang masih tersisa di pipi Nadia.

Sejak hari itu, Nadia mulai terbiasa bersama Bima si cowok piano. Bima yang satu ini sangat berbeda dari Bima Adiwidjaya. Bima yang satu ini bisa membuat Nadia tertawa, juga kesal dan marah. Bima yang ini juga selalu berusaha tegar, meski dia menyimpan masalah. Seperti saat pertama kali Nadia melihatnya di ruang musik. Ternyata saat itu, Bima sedih karena Mamanya yang mengajarkan piano padanya, sakit. Tapi untunglah, sekarang Mamanya sudah membaik.

Merekapun mulai sering menghabiskan waktu bersama di ruang musik. Nadia juga mulai mempercayai Bima untuk diceritakan tentang Bima Adiwidjaya yang di cintainya. Banyak hal yang belum sempat Nadia lakukan untuk Bima Adiwidjaya, di lakukannya pada Bima si cowok piano.

"Sekarang gue lebih ngerasa lega, Bim." ujar Nadia begitu mereka sampai di ruang musik.
"Lega kenapa?" tanya Bima.
"Impian gue buat ngelakuin banyak hal bareng almarhum Bima, akhirnya bisa gue wujudin sama lo." ujar Nadia bahagia. "Gue jadi ngerasa punya kesempatan kedua bareng almarhum Bima."
"Gue ikut bahagia kok, bisa bantu lo wujudin hal-hal itu." senyum tulus terukir di bibir Bima.
"Makasih ya, Bim." Nadiapun memeluk Bima.

Mereka menjadi teman baik, dan semakin dekat. Bima benar-benar menjadi penggemar permainan gitar Nadia. Bagitupun Nadia, pada permainan piano Bima. Hingga pada suatu hari, mereka berdua ditunjuk untuk mengisi acara pada hari ulang tahun kampus.

"Aduh Bim, gue deg-degan nih." Nadia terus menggenggam tangan Bima.
"Udah, santai aja. Kan ada gue." Bima menguatkan.

Sekuat tenaga Nadia menahan rasa groginya untuk tampil di depan semua penghuni kampus. Tapi untunglah, keberadaan Bima di sebelahnya membuat Nadia kuat. Mereka berhasil menampilkan yang terbaik dalam acara ulang tahun kampus.

***

"Nad," Bima memegang kedua tangan Nadia.
"Ada apa, Bim?" tanya Nadia.
"Gue suka sama lo." ujar Bima malu-malu. "Apa lo mau, menjalani kesempatan kedua sama Bima si cowok piano?"

Nadia terkejut mendengar pernyataan Bima. Dia tersenyum, lalu mengambil gitarnya dan bernyanyi. Itu adalah lagu yang dia ciptakan untuk almarhum Bima. Yang tak sempat dia nyanyikan untuk almarhum Bima. Kini, untuk pertama kalinya dia menyanyikan lagu itu. Dan itu kepada Bima si cowok piano.

"Lagunya bagus." komentar Bima, begitu lagunya berakhir. "Ciptaan lo sendiri?"
"Iya." Nadia menaruh kembali gitarnya. "Bima si cowok piano, gue juga suka sama lo. Dan gue mau ngejalanin kesempatan kedua sama lo."

Bima tak bisa berkata-kata lagi. Dia sangat senang mendengar jawaban Nadia.

"Terima kasih." ujarnya.

-END-


Saturday, May 26, 2012

KISAH SEDIH




Jadi pengurus mading sekolah itu gak gampang. Tapi Key selalu senang melakukannya. Key dan teman-teman pengurus yang lain harus mempersiapkan banyak bahan untuk di tampilkan setiap minggunya. Dan Key bertugas untuk mengisi kolom Cerpen. Meski terhitung mudah karena selama ini Key hanya mengambil cerpen dari tabloid maupun majalah mingguan, tapi untuk edisi minggu ini, Key harus memenuhi permintaan dari seorang cowok bernama Alva, untuk membuat cerpen hasil karya Key sendiri.

Gini nih ceritanya…

Pagi-pagi banget, Key udah datang kesekolah, dan sibuk mengganti isi mading minggu lalu dengan yang baru. Tiba-tiba seseorang menghampirinya.

“Ah, basi. Dari dulu, madingnya gak pernah ada perubahan, gitu-gitu aja.” Ujar seseorang yang tiba-tiba nongol di samping Key.
“Siapa lo?” tanya Key ketus. “Seenaknya aja ngehina mading bikinan kita.”
“Sekali-kali, cerpennya bikinan lo sendiri dong. Jangan ngambil yang di tabloid mulu, gak kreatif banget sih.” Ujar si cowok sinis.
“Selama ini gak ada anak-anak yang komplain kok soal cerpen yang di ambil dari tabloid.” Key membela diri. “Kok jadi lo yang masalah banget gini.”
“Kalo lo emang pengurus mading yang baik, tunjukin dong. Kalo lo emang bisa.” Tantang si cowok.
“Oke. Gue bakal buktiin sama lo.” Key memenuhi tantangan si cowok. “Minggu depan, gue bakal nempelin hasil cerpen buatan gue.”
“Ceritanya, harus tentang kisah sedih ya.”
“Kenapa gitu?”
“Mau gue cap sebagai pengurus mading yang baik , gak? Kalo mau, turutin tuh ide gue. Buat cerita yang sedih!”
“Oke. Eh, tapi lo siapa? Kok gue gak pernah liat lo sebelumnya di sekolah?”
“Gue anak baru. Baru hari pertama disini. Nama gue Alva.”
“Ah sial. Jadi gue di kerjain sama anak baru?”
“Weits, woles mbak.”
“Dasar!”

Nah, sejak hari itu Key berfikir keras buat bikin cerpen bertemakan kisah sedih. Dan ini adalah hari ke dua. Key belum juga bisa mendapatkan ide untuk cerpennya yang akan di terbitkan di mading minggu depan.

“Gimana, udah dapet idenya, belum?” tanya Alva yang tiba-tiba nongol di sebelah Key.
“Ih, kaget gue!” Key mengelus-elus dadanya. “Lo datangnya kenapa selalu tiba-tiba gini sih?”
“Ya, biar keren aja!” ujar Alva santai.
“Gue belum dapet ide nih.” Ujar Key putus asa. “Kayaknya gue emang gak berbakat jadi penulis.”
“Dan sekarang lo mulai berfikir kan? Kalo lo bukan pengurus mading yang baik.” Ejek Alva.
“Enak aja. Ini baru hari kedua kan? Gue masih punya empat hari lagi sebelum mading edisi berikutnya terbit.” Key kembali bersemangat.
“Iya, iya.” Alva tersenyum tipis.

Bel pulang sekolah berbunyi, Key berjalan gontai menuju gerbang sekolah. Dia masih menunggu kakaknya, untuk menjemputnya. Dan lagi-lagi, Alva datang dengan tiba-tiba.

“Key.” Sapa Alva.
“Udah hafal gue, lo selalu aja datang tiba-tiba.” Key memberengut kesal.
“Hehe. Keren kan, gue?”
“Nakutin sih, iya.”
“Gimana, udah dapet idenya?”
“Kalo menurut gue sih, kisah sedih itu,pasti kalo ceritanya tentang seseorang yang punya penyakit serius, terus meninggal dan nyisahin kenangan buat yang masih hidup.”
“Jadi menurut lo, kisah sedih selalu berakhir kehilangan?”
“Umunya sih gitu.”
“Apalagi kalo ditambah kayak si meninggal yang belum sempat mengatakan sesuatu yang penting di dalam hatinya, buat si hidup.”
“Tepat. Oke, gue bakal nulis cerita yang kayak gitu.”

Tanpa meminta pendapat ataupun komentar lagi dari Alva, Key langsung pergi dengan semangatnya meninggalkan Alva. Dia segera menuju mobil kakaknya, yang telah datang menjemputnya.

Sejak hari itu, Key mulai sibuk menulis kisah sedihnya. Dan sejak saat itu juga, Alva tak pernah lagi muncul tiba-tiba. Key hanya berfikir, mungkin saja Alva tidak masuk sekolah.

Ini adalah hari kelima, Key hampir menyelesaikan tulisannya. Dan tiba-tiba dia teringat Alva. Ada satu hal yang tak pernah ia tanyakan pada Alva. Kelas berapakah, Alva? Keypun akhirnya memutuskan untuk mencari kelas Alva.

Key mencari kesemua kelas, tapi di setiap kelas tak ada yang tau kalau ada anak baru yang datang, dan bernama Alva. Key terkejut, dan langsung bertanya ke petugas Tata Usaha.

“Tidak ada siswa baru yang masuk minggu ini, Key.” Jawab petugas Tata Usaha.
“Ada kok, bu. Namanya Alva.” Key meyakinkan.
“Tidak ada yang bernama Alva di sekolah ini, Key.” Petugas Tata Usaha menegaskan.
“Apa ibu yakin?” Key belum bisa percaya.
“Saya yakin, seyakin yakinnya, Key.” Tegas petugas Tata Usaha lagi.

Kali ini Key tak bertanya lagi. Ini bukan lelucon. Petugas Tata Usaha itu dengan serius menjawab, tidak ada siswa baru, apalagi yang bernama Alva. Keypun terpaksa mempercayainya. Dia keluar dengan pikiran tak karuan mengenai Alva. Siapa Alva sebenarnya?

Sesaat baru keluar dari ruang Tata Usaha, tangan Key di tarik oleh seseorang.

“Eh, siapa lo?” tanya Key ketakutan.
“Gue Aldi.” Seseorang itu memperkenalkan diri.
“Aldi siapa? Gue gak kenal. Jangan-jangan, lo juga bukan siswa sini. Jangan-jangan, lo juga gak nyata kayak Alva.” Tuduh Key kalut.
“Alva nyata.” Seseorang yang bernama Aldi itu tertunduk lesu.
“Maksud lo?” Key semakin bingung.
“Dia adik gue.” Ujar Aldi. “Alva nyata. Tapi sekarang, dia memang lagi koma di rumah sakit.”
“Gue gak ngerti.” Key tertunduk sedih. “Alva itu siapa? Kenapa dia suka datang tiba-tiba. Nantangin gue buat bikin cerpen tentang kisah sedih. Ngaku sebagai anak baru disekolah ini. Gue bingung.”
“Lo ikut gue sekarang. Gue bakal nyeritain semuanya, nanti.” Aldi langsung menarik tangan Key dan mengajaknya pergi.

Key menurut saja, dan ikut kemana Aldi membawanya. Ternyata Aldi membawa Key kesebuah rumah sakit. Merekapun sampai di sebuah ruang rawat. Disana terbaring kaku seorang anak laki-laki seumuran Key. Key terkejut melihat sosok pucat yang tertidur di ranjang rumah sakit itu.

“Alva.” Key menyebut nama anak laki-laki tersebut.
“Seminggu yang lalu, dia mengalami kecelakaan.” Kisah Aldi. “Beberapa bulan terakhir ini, dia selalu pergi ke kios majalah yang ada di pinggir jalan dekat rumah, untuk melihat seorang gadis yang juga rutin membeli majalah disana.”
“Gadis itu…” Key tak melanjutkan ucapannya.
“Gadis itu adik kelas gue di sekolah.” ujar Aldi. “Dia pengurus mading sekolah. Gadis itu… elo Key.”

Key menangis tersedu di samping tubuh kaku Alva.

“Alva jatuh cinta sama lo, Key.” Aldi bercerita lagi. “Sejak pertama kali dia liat lo beli majalah di kios. Setiap minggunya, Alva selalu datang kesana, cuma buat liat lo. Tapi Alva gak pernah berani buat nyamperin dan ngajak lo kenalan. Sampai pada hari itu, saat dia datang ke kios seperti biasa. Dia terlalu semangat, sampai gak sadar waktu mau nyebrang ada mobil dan dia ketabrak. Lalu koma, sampai hari ini. Dan gue gak nyangka, ternyata rohnya pergi untuk nemuin lo.”
“Gue gak tau harus ngomong apa.” Ujar Key sambil terisak. “Tapi Alva udah ngajarin gue buat jadi pengurus mading yang baik. Kehadirannya mengubah gue. Gue harus ngucapin makasih sama dia. Dan dia juga harus liat hasil tulisan gue. Karena itu, Alva harus bangun.”

***

Hari ini adalah jadwalnya mading yang baru, terbit. Key menempelkan cerpen yang berjudul “Kisah Sedih” buatannya di kolom cerpen.

“Key, edisi minggu ini, cerpennya buatan lo sendiri ya?” tanya Siska, salah satu teman Key.
“Iya, Sis. Mulai edisi ini, gue bakal isi kolom cerpennya dengan cerpen buatan gue sendiri.” Key tersenyum tipis.
“Ceritanya bagus loh, Key.” Puji Siska. “Gue setuju kalo cerpennya dibuat sendiri sama lo.”
“Makasih ya, Sis.”

Ini adalah minggu kedua. Sebentar lagi, mading edisi berikutnya akan terbit. Key mulai sibuk menulis. Dia sudah memberikan cerpen yang diminta Alva, ke rumak sakit. Key juga sudah membacakannya di depan Alva, meski sekarang Alva sedang terbaring koma. Terakhir kali Key mengunjungi Alva dirumah sakit adalah tiga hari yang lalu. Karena setelah hari itu, Key mulai sibuk dengan tugasnya sebagai pengurus mading sekolah.

Hari itupun datang. Key kembali mengganti isi mading minggu lalu dengan yang baru. Tiba-tiba, petugas Tata Usaha menghampiri Key.

“Key, ini data siswa baru yang bernama Alva, yang kamu tanya waktu itu.” Petugas Tata Usaha itu memberikan sebuah kertas pada Key. Harusnya data yang seperti itu tidak boleh diperlihatkan pada Key. Tapi entah kenapa ini.
“Gimana bisa, bu?” tanya Key bingung.

Petugas Tata Usaha itu hanya tersenyum, lalu pergi. Key menatap pada kertas itu. Sepertinya, itu benar-benar milik Alva.

“Gue nyata kan, Key?” suara itu mengejutkan Key.
“Alva.” Key serasa ingin pingsan melihat sosok yang saat ini berdiri di depannya.
“Mulai hari ini, gue adalah anak baru disekolah ini, dan ini adalah hari pertama gue.” Ujar Alva bersemangat.
“Lo emang selalu ngagetin gue, Va.” ujar Key kesal.
Alva tertawa geli. “Gue udah baca kisah sedihnya. Ya, lumayanlah buat penulis pemula kayak lo.”

Key memberengut kesal. Saat Key mulai sibuk dengan mading edisi minggu ini, dia jadi tidak sempat menjenguk Alva dirumah sakit. Dan saat itulah, ternyata Alva sadar dari komanya. Dia akhirnya meminta untuk pindah kesekolah yang sama dengan abangnya, Aldi.

“Lain kali bikin kisah sedih lagi ya, Key.” Pinta Alva.
“Nggak ah, sekarang gue mau bikin kisah bahagia aja.” Key tersenyum licik. “Ayo dong, Va. Bilang apa yang sebenarnya mau lo omongin sama gue sebelum lo kecelakaan.”
“Apaan?” Alva tersenyum malu. “Orang gue, gak mau bilang apa-apa kok.”
“Katanya kak Aldi, lo mau bilang cinta sama gue.”
“Nggak kok. Kak Aldi bohong tuh.”
“Jangan gitu kali, Va. Kalo gak kesampaian, nanti kisahnya berakhir sedih loh.”
“Biarin.”
“Ih, kok gitu sih!”

-END-


Saturday, May 19, 2012

ARA



Ara hampir terlambat masuk kelas gara-gara masih usaha untuk menghabiskan bubur ayam yang di pesannya di kantin. Tapi lagi-lagi, waktu memaksanya untuk segera beranjak dari kantin dan segera masuk kelas. Beruntunglah bu Ani belum masuk ke kelas. Ara segera duduk di bangkunya. Barulah guru berumur tiga puluh tahunan itu masuk bersama seorang anak laki-laki yang tak di kenal sebagai siswa SMA ini.

"Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru." ujar bu Ani. "Namanya Jovand Aditya."
"Hai, Jovand." sapa teman-teman sekelas Ara.
"Baiklah." bu Ani melirik kemeja Ara. "Kamu duduk di meja paling belakang itu ya, Jovand." bu Ani menunjuk ke meja Ara.
"Baik, bu." Jovand berjalan ke meja yang di maksudkan.

Ara menatapnya sinis. Jovand langsung duduk, tanpa beramah tamah pada Ara.

"Kita mulai pelajarannya." ujar bu Ani. "Buka halaman 52, ya."

***

Bel yang paling di tunggu itu berbunyi juga. Bu Ani keluar kelas, di susul anak-anak yang lain. Begitupun si anak baru itu. Ara sangat kesal dengan tingkahnya yang tengil. Denger-denger, katanya Jovand terpaksa pindah dari sekolah yang sebelumnya, gara-gara sering berantem sama temannya yang lain. Padahal, sekolahnya yang dulu masih dikota yang sama dengan yang sekarang ini. Mungkin Jovand memang di takdirkan untuk mengusik hidup Ara.

Setelah jam istirahat selesai, semua siswa kembali masuk ke dalam kelas. Ara lebih dulu duduk di bangkunya, barulah Jovand datang dan duduk di bangku sebelahnya. Menit berikutnya, bu Ratihpun masuk kelas dan memulai pelajaran kedua.

"Eh, lo." Ara mengajak bicara Jovand. Agak berbisik agar tak terdengar oleh bu Ratih.
"Nama gue, Jovand." ujar Jovand tanpa menoleh.
"Kita bakalan kayak gini terus nih?" tanya Ara.
"Kayak gini gimana?" Jovand balik bertanya.
"Ya gini, satu meja, tapi gak saling kenal satu sama lain, dan gak saling ngobrol."
"Ini, kita udah ngobrol. Gue juga udah bilang kalo nama gue, Jovand."
"Gak bakalan ngobrol kalo bukan gue yang mulai duluan. Lo pasti gak tau nama gue."
"Siapa?"
"Apanya?"
"Nama lo."
"A..."

Duarrr!! Meja itu di pukul oleh bu Ratih.

"Ini waktunya belajar, bukan ngobrol." bentak bu Ratih.
"Maaf, bu." ujar Ara.
"Awas ya, kalo sekali lagi kalian berisik." ancam bu Ratih. "Siap-siap untuk berdiri selama tigapuluh menit di lapangan."

Bu Ratih kembali ke depan kelas, dan melanjutkan pelajaran. Jovand dan Arapun diam, dan tak bicara lagi hingga pelajaran bu Ratih selesai.

Pulang sekolah, seperti biasa, Ara selalu pergi ke taman dekat rumahnya. Dan hari ini, di sana dia bertemu seseorang. Itu Jovand. Dia kelihatan sedang sedih. Awalnya Ara tak mau peduli. Tapi tiba-tiba dia mendengar suara tangisan dari Jovand. Akhirnya Arapun memutuskan untuk menghampirinya.

"Nih." Ara menyodorkan sapu tangannya pada Jovand.
"Apaan nih?" tanya Jovand ketus.
"Ini buat ngelap keringat yang ada di bawah mata lo itu." ujar Ara cuek.

Sebenarnya Ara tak sebodoh itu, mengira bahwa air mata adalah keringat. Tapi Ara berusaha buat cari aman. Jangan sampai Jovand merasa malu karena ketahuan menangis. Arapun berniat pergi, setelah Jovand mengambil sapu tangannya. Tapi Jovand menahannya.

"Lo ngikutin gue ya?" tanya Jovand asal.
"Geer banget lo." bentak Ara.
"Terus, kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Jovand lagi.
"Ini tuh taman favorite gue." Arapun duduk di sebelah Jovand. "Gue selalu kesini tiap pulang sekolah."
"Oh." Jovand menghapus air matanya. "Boleh gue cerita?"
"Silahkan!"
"Lo cewek terbego yang pernah gue temuin, karena bilang air mata ini keringat. Tapi menurut gue itu sopan. Makasih ya."
"Santai aja."
"Ini kedua kedua kalinya gue nangis."
"Hah!"
"Maksud gue, selama yang gue sadar. Yang masih bayi sih gak usah di hitung."
"Oh, oke."
"Tangis yang pertama, waktu abang gue keluar dari rumah dan hidup mandiri di luar sana, setahun lalu. Karena sejak itu gue jadi kesepian. Dan yang kedua, ya sekarang."
"Ohh."
"Yang ini karena cinta gue di tolak."
"Gitu doang nangis."
"Itu karena cewek yang gue cinta, malah lebih milih buat sama cowok lain. Rasanya gue pengen benci sama cowok itu. Tapi, cowok itu adalah abang gue sendiri."

Ara ikut sedih mendengar cerita Jovand. Tapi dia sadar, dia tak boleh ikut sedih. Dia harus menguatkan Jovand.

"Lo sedih, denger cerita gue?" tanya Jovand sinis.
"Biasa aja." jawab Ara asal. "Gak lebih menyakitkan, waktu gue harus kehilangan kelinci kesayangan gue yang mati ketabrak motor."
"Huh!" Jovand tertawa renyah. "Jadi, siapa nama lo?"
"Ara. Ara Dwinda Putri."

Begitulah awal keakraban mereka. Sejak hari itu, mereka selalu pergi ketaman setiap pulang sekolah.

"Ikut gue, yuk!" ajak Jovand.
"Kemana?" tanya Ara.
"Liat abang gue." Jovand menarik paksa Ara untuk ikut dengannya.

Merekapun sampai di depan rumah kontrakannya abang Jovand. Ada seorang laki-laki tinggi-putih, dan seorang gadis cantik-anggun, duduk bersama di teras rumah itu.

"Itu dia abang gue." Jovand menunjuk laki-laki berbaju biru. "Namanya Vino."
"Dan si cewek itu....." Ara menunjuk gadis berbaju putih.
"Dia sahabat, sekaligus cewek yang paling gue cintai." ujar Jovand. "Namanya Livia."
"Owh." Ara mengangguk-angguk paham.
"Mereka cocok banget kan?" tanya Jovand.
"Biasa aja." Ara menjawab cuek. "Lebih cocok pasangan Edward Cullen sama Bella Swan."
"Dasar."

Lagi-lagi Jovand harus tertawa dan menerima saja jawaban Ara itu.

"Ya udah, pulang yuk!" Jovand menarik tangan Ara untuk segera pergi.

***

Jovand menunggu Ara di gerbang sekolah. Seperti biasa, mereka akan pergi ke taman, di jam pulang sekolah. Tapi tiba-tiba, seseorang datang menemui Jovand.

"Livia." Jovand terkejut melihat gadis yang sekarang berada di depannya.
"Hai, Vand." Livia tersenyum tipis. "Maaf. Tapi kak Vino sama sekali gak tau kalo kita punya hubungan."
"Kak Vino emang gak boleh tau." ujar Jovand sinis. "Gue gak akan pernah tega nyakitin abang gue sendiri."
"Vand, aku bisa jelasin semuanya." Livia memegang tangan Jovand.
"Gue gak mau denger." Jovand melepaskan paksa tangannya yang di pegang Livia, lalu pergi.
"Jovand." Livia pasrah melihat kepergian Jovand itu. Dan dia juga memutuskan untuk pergi.

Ara berjalan menuju gerbang, karena tadi sempat ke toilet sebentar. Dan dia tak melihat Jovand di sana.

"Loh! Tuh anak kemana?" Ara menggaruk-garuk kepalanya bingung. "Tadi katanya mau nungguin gue di gerbang."

Ara pergi ke taman sendiri, karena mengira Jovand telah pergi lebih dulu. Tapi begitu sampai di sana, Jovand tetap tidak ada. Ara tak bisa menghubungi Handphone Jovand, karena dia tidak punya nomornya. Akhirnya Ara memutuskan untuk pulang, setelah menunggu selama dua jam.

***

Keesokannya, Ara berniat untuk menanyakan perihal menghilangnya Jovand kemarin. Tapi sebelum pertanyaan itu terlontar dari mulut Ara, Jovand sudah memberikan jawabannya.

"Kemarin gue sakit perut. Jadi buru-buru pulang. Maaf!" jawabnya.
"Oh." Ara mengangguk paham.

Ara bisa melihat bahwa ada sesuatu yang terjadi kemarin. Tapi dia tak mau mengetahuinya. Jovand akan bercerita tanpa ditanya, jika dia ingin. Seperti saat dia menangis di taman waktu itu.

Dua minggu kemudian, kabar yang paling mengejutkan pun datang. Vino meninggal. Jovand mengajak Ara untuk melihat abangnya, dan Ara setuju untuk ikut.

Semua orang sedang menangis di salah satu kamar rawat rumah sakit. Begitupun Jovand. Dia langsung memeluk tubuh tak bernyawa itu. Tak ada yang bisa menghalanginya, hingga Jovand memang ingin berhenti sendiri. Begitulah sifat Jovand.

Jenazah itupun di kuburkan keesokan paginya. Ara juga datang, dan ikut ke tempat pemakaman. Seseorang yang dia ketahui, tapi tak pernah mengenalnya. Vino meninggal karena kanker paru-paru yang di deritanya sejak satu tahun lalu. Vino tak pernah memberitahu siapapun, hingga dia bertemu Livia, dan jatuh cinta padanya. Itulah alasan Vino meninggalkan rumah dan hidup mandiri, karena dia tak mau keluarganya terlalu mengkhawatirkannya. Karena Livialah, Vino bisa bertahan hingga hari ini. Hanya Livia yang tau perihal penyakit Vino. Dan Livia tak pernah memberi tau siapapun, atas permintaan Vino sendiri. Inilah alasan mengapa Livia lebih memilih Vino, daripada Jovand.

Setelah suasananya tenang, dan Jovand sudah tak sekalut kemarin, Ara berniat menghampirinya. Tapi yang lain mendahului Ara, hingga Ara terpaksa mengalah dan pergi.

Livia menghampiri Jovand yang sedang duduk di teras rumahnya.

"Nih." Livia memberikan sebuah amplop putih pada Jovand.
"Apaan nih?" Jovand menatap amplop itu.
"Kak Vino bilang, kalo sudah tiba waktunya dia untuk pergi, gue harus ngasihin amplop ini sama lo." Livia menjelaskan sambil menahan tangisnya.

Jovand mengambil amplop itu, membukanya, dan membaca tulisan pada sebuah kertas yang ada di dalam amplop itu.

Dear Jovand,
Sekarang gue udah pergi. Dan gue mau minta tolong sama lo, untuk jaga seseorang yang paling gue sayang. Namanya Livia. Dia seumuran dengan lo. Lo bisa liat fotonya di dalam amplop ini.


-Vino-

Jovand mengambil sebuah foto yang berada dalam amplop itu. Itu benar-benar foto Livia.

"Kak Vino minta gue buat jagain lo." ujar Jovand sambil memberikan amplop itu pada Livia.

Livia ikut membaca surat itu, lalu menangis.

"Gue sayang sama dia, Vand." ujar Livia sambil menangis. "Tapi gue sedih, karena perasaan sayang gue, sebenarnya lebih besar buat lo."

Jovand terkejut mendengar ucapan Livia. Dia senang mendengar kalau ternyata, selama ini Livia juga sangat mencintainya. Hanya saja, Livia lebih memilih bersama kak Vino, dan menemani kak Vino di hari-hari terakhirnya.

Sejak hari itu, hubungan Jovand dan Livia membaik. Mereka kembali menjadi teman. Tapi sejak hari itu juga, Jovand tak pernah lagi melihat Ara. Ara tak pernah ada di sekolah. Tak ada di taman. Dan itu membuat Jovand bingung. Dia mencoba bertanya pada orang-orang di sekolah dan sekitar taman, tapi tak ada seorangpun yang tau tentang Ara. Ara memang orang yang tertutup. Untuk menghubunginya pun, Jovand tak memiliki nomor ponsel, apa lagi alamat rumah Ara. Ara seperti hilang di telan bumi. Tak ada yang tau dimana Ara saat ini.

Ini adalah hari ke tujuh hilangnya Ara. Dan hari ini, Jovand ke taman bersama Livia.

"Lo kangen banget sama dia ya, Vand?" tanya Livia.
"Iya, Liv." Jovand menghela nafas berat. "Hidup gue serasa mati tanpa dia. Dia orang yang udah bantu gue buat bangkit dari keterpurukan gue selama ini."
"Lo, cinta sama Ara?" tanya Livia hati-hati.

Jovand menatap Livia bingung. Jovand baru sadar, kalau dia benar-benar sangat merindukan Ara. Dia tak pernah berhenti memikirkan Ara. Apakah, Jovand telah jatuh cinta pada Ara?

"Gue gak tau, Liv." Jovand tertunduk lesu.
"Gue cinta sama lo, Vand." ujar Livia sungguh-sungguh. "Dan lo juga pernah bilang kalo lo cinta sama gue kan? Gimana kalo kita pacaran?"

Jovand sangat senang mendengarnya. Sejak dulu, Jovand memang menantikan saat-saat ini. Tapi, tiba-tiba saja dia ragu. Tiba-tiba Jovand berfikir, andai saja Ara yang mengatakan kalimat itu padanya.

"Vand." Livia menepuk bahu Jovand. "Gimana?"
"Iya, Liv. Gue juga cinta sama lo." Jovand tersenyum tipis. "Tapi maaf, gue gak bisa."
"Karena Ara?"
"Gue juga gak tau. Tapi jujur, gue sayang sama dia."
"Kalo gitu lo harus cari dia, Vand. Bilang semuanya tentang perasaan lo ini."
"Terus, gimana sama lo?"
"Mungkin gue butuh waktu untuk mencari cinta yang lain, setelah gue kehilangan kak Vino dan elo."

Jovand memeluk Livia. "Makasih ya, Liv. Gue tetep akan nepatin janji gue sama kak Vino buat jagain lo."

Dan Jovandpun pergi meninggalkan Livia. Livia sangat sedih, tapi dia sadar, sejak awal dia memang tidak di takdirkan untuk Jovand.

Jovand mencari dan terus mencari, hingga pada hari ke sepuluh, seorang wanita berumur empat puluh tahunan, datang ke rumah Jovand.

"Selamat siang." wanita tua itu tersenyum manis.
"Siang." Jovand membalas tersenyum.

Jovandpun mempersilahkan Ibu itu untuk masuk dan duduk. Awalnya Jovand juga menawarkan untuk minum apa, tapi Ibu itu menolak.

"Kamu, Jovand Aditya?" tanya Ibu itu.
"Iya." Jovand mengangguk. "Ada apa ya, Bu?" tanya Jovand.
"Saya mencari tau alamat rumah kamu, dari data sekolah." Ibu itu memulai ke topik pembicaraan. "Saya ingin memberikan surat ini untuk kamu." Ibu itu memberikan sepucuk surat kepada Jovand. "Bacalah!" perintahnya.

Perlahan, Jovand membuka lipatan surat itu, dan membaca isinya.

Dear Jovand Aditya...
Kalo lo baca surat ini, itu artinya, gue udah gak ada lagi di dunia ini. Lo liat siapa wanita yang membawa surat ini buat lo? Dia Bunda gue. Dan supaya lo gak bingung, gue kasih tau alasan mengapa gue pergi untuk selamanya. Gue mengidap tumor, sejak enam bulan lalu. Dan saat gue tulis surat ini, gue udah ngerasa capek dengan tumor ini. Karena itu, gue minta bunda untuk kasih surat ini sama lo, ketika gue meninggalkan dunia ini. Makasih. Makasih banget lo udah mau jadi temen gue. Gue harap, lo bahagia bersama Livia. Dan kalo sampai nanti gue ketemu sama kak Vino, gue bakal gantiin posisi Livia untuk menjaganya. Karena gue dan kak Vino punya dunia yang sama, sekarang. Begitupun elo dan Livia. Jangan pernah nangis lagi ya. Lo kan cowok.
Satu hal lagi, gue sayang sama lo. Sebagai sahabat, juga sebagai cewek ke seorang cowok. Maaf.

-Ara-

Jovand menangis membaca surat dari Ara. Dia mendekap erat surat itu di dadanya.

"Tante, tolong bawa saya ke makamnya Ara." pinta Jovand sambil terisak.
"Iya." Bunda Ara ikut menangis.

Merekapun pergi ke makam Ara, yang ternyata berada tepat di samping makam Vino. Jovand mengusap lembut nisan itu.

"Aku juga cinta kamu, Ara." air mata Jovand semakin deras mengalir. "Sebagai sahabat, juga sebagai cowok ke seorang cewek."

-END-


Friday, May 18, 2012

SCHOOL MOMENT

Perpisahan Sekolah !!


Harusnya saya posting tulisan ini pada tahun lalu. Tapi berhubung saya lupa, dan baru punya blog juga, jadi baru bisa di post sekarang.
Flashback tanggal 30 April 2011. Hari itu, kami para anak-anak kelas tiga akan mengadakan acara perpisahan. SMA Negeri 1 Manggar (Belitung Timur). Yang cewek mesti pake kebaya,, dan yang cowok mesti pake batik.

Ini dia nih sedikit foto yang bisa di abadikan sama pengurus sekolah :


Taraaa......
Ini adalah guru-guru tercinta sayaaa.... Mereka yang berjasa dalam mendidik kami hingga menjadi anak bangsa yang seperti ini. Mereka juga yang menjadi orang tua kedua kami bila berada di sekolah. Kangen banget sama bapak dan ibu guru ku ini. Gimana- gimana? Ganteng-ganteng sama cantik-cantik kan guru-guru saya ini? Kyaaa.... Love you full my teachers :*


Berikutnya adalah foto-foto saya, teman-teman saya, dan ibu Azizah (wali kelas kami) :

one

two

three

xoxo inilah kami. Warga kelas XII IPS 1. Berserta wali kelas tersayang kami, bu Azizah.



Suasana acaranya nih :


Yang ada di barisan depan itu guru-guru saya. Yang pake selempang biru-biru itu kita (Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Manggar). Dan si kecil berbaju hitam di dalam foto itu adalah anaknya Kepala Sekolah. Acara ini bertempat di Bukit Samak (A1), Manggar (Belitung).

Kepsek dan Para Wali Kelas XII :
 
Nyanyi :


Cantik-cantik dan Ganteng-ganteng XOXO :
 
Anak-anak Kelas XII IPS :

Gak tau lagi ngapain :

Bagian paling mengharukan :

Tari selamat datang dari anak-anak Sanggar Anggrek : 



 
Salam-salaman :



Anak-anak kelas XII IPA : 
 

Dan yang terakhir, ini nih foto saya dan teman-teman saya seusai acara. Dandanan udah berantakan. Rambut udah acak-acakan. Saya agak gak nyaman gitu pake kebaya. Tapi lebih risih dan gak suka banget karena mesti pake HIGH HEELS -___-

Berikut fotonya :


Sempet di ketawain gara-gara narik rok sama nenteng High Heels saking malesnya pake. Wanita macam apa itu? -__-
Cuma segitu aja yang bisa saya share. Abisnya udah lupa apa-apa aja yang terjadi waktu itu hehe

Enjoy your school moments, guys :)

***

Sunday, May 13, 2012

BERHENTI BAHAGIA




Sejak Jossi meninggal, Grey seperti sudah tidak punya semangat hidup lagi. Jossi adalah gadis yang paling Grey cintai. Tapi tiga bulan lalu, Jossi meninggal oleh sakit Leukimia yang di deritanya. Grey yang dulunya adalah vocalis sekaliagus gitaris dari sebuah band, kini seperti mati. Dia tak pernah lagi merasakan apa itu bahagia, sejak bahagianya pergi karena Leukimia, untuk selamanya.

Orang tua, keluarga, dan juga teman-teman Grey, sudah tidak tau lagi, bagaimana caranya membuat Grey kembali seperti dulu. Yang ceria, yang selalu bahagia, yang menyenangkan, yang selalu semangat. Semuanya berubah, sejak Jossi meninggal.

Hingga suatu hari, Keluarga dari teman Papanya Grey datang untuk makan malam di rumah. Papa dan Mama Grey lah yang mengundangnya.

“Thomas, apa kabar?” tanya Papa Grey, sambil memeluk sahabatnya itu.
“Aku baik.” Jawab seseorang yang bernama Thomas itu. “Bagaimana dengan kau dan keluargamu?”
“Aku dan istriku baik.” Jawab Papa Grey. “Tapi Grey, tidak.”
“Ada apa dengan Grey?” tanya istri dari Thomas.
“Sejak kekasihnya meninggal tiga bulan lalu, dia jadi tidak punya semangat lagi.” Jawab Mama Grey sedih.
“Oh, kami turut prihatin, mbak.” Ujar Thomas.
“Iya.” Papa Grey mengangguk. Lalu melirik pada anak perempuan temannya itu. “Ini Aninda?” tanyanya.
“Ah iya, ini anakku, Aninda.” Thomas memperkenalkan anak perempuan yang sedari tadi berdiri diam di sampingnya itu.
“Halo, om, tante.” Sapa gadis manis yang bernama Aninda itu.

Setelah berbincang sebentar, dua keluarga ini pun memulai makan malam. Dan Grey juga diajak. Mereka makan malam dengan tenang. Dan sepanjang mereka semua makan di meja makan, Aninda terus menatap Grey. Grey yang menyadari itu, merasa sangat risih. Diapun memutuskan untuk menyudahi makannya, dan segera beranjak dari meja makan. Meski Papa dan Mamanya tak mengizinkan, dia tetap pergi. Aninda tertawa di buatnya. Pada dasarnya, Aninda adalah gadis yang jahil. Dan yang barusan dia lakukan pada Grey adalah menjahilinya.

Selesai makan, kedua keluarga ini berbicang di ruang tengah. Aninda yang tau bahwa dia akan bosan mendengar orang-orang dewasa ini membicarakan sesuatu yang tidak dia mengerti, memutuskan untuk menghampiri Grey yang sedang duduk termenung di gazebo belakang rumahnya.

“Hai.” Sapa Aninda.
“Ngapain lo disini?” tanya Grey ketus.
“Mau ngobrol sama lo.” Jawab Aninda santai.
“Gue lagi gak mau diajak ngobrol.” Ujar Grey masih dengan nada ketus.
“Ya udah, kalo gitu lo maunya diajak apa?” tanya Aninda tak mau menyerah.
“Gue maunya lo pergi.” Bentak Grey.

Aninda malah tertawa. Grey makin bingung. Kemudian Aninda melihat sebuah gitar yang berada di sebelah Grey. Aninda mengambil gitar itu, dan mencoba memainkannya. Tapi berhubung Aninda tidak bisa bermain gitar, permainan gitarnya jadi hancur, dan hanya membuat kuping Grey yang mendengarnya jadi sakit. Grey yang tidak tahan, lalu menyuruh Aninda untuk berhenti dan merebut gitarnya.

“Kalo gak bisa main, mendingan gak usah deh. Jadinya ancur banget tau gak.” Ujar Grey ketus.
“Seenaknya aja lo ngatain permainan gitar gue ancur. Nah, lo sendiri gimana?” Tanya Aninda sinis. “Jangan-jangan, lebih parah dari gue.” Ejek Aninda.
“Enak aja.” Grey menjadi kesal. “Gue bakal tunjukin permainan gitar gue sama lo.”
“Coba. Mana, gue pengen denger.” Tantang Aninda.

Grey pun mulai memainkan gitarnya. Secara dia emang udah jago banget, bagusnya mah jangan di tanya lagi. Dan ini adalah pertama kalinya lagi, Grey mau diajak bicara dan berinteraksi pada manusia lain, selain Papa dan Mamanya.

“Lumayanlah.” Komentar Aninda saat Grey sudah selesai memainkan gitarnya.
“Yang kayak tadi, lo bilang lumayan?” Grey bertambah kesal. “Huh, terserah deh.”

Grey meletakkan kembali gitar itu disampingnya dengan kesal. Dan Aninda tertawa geli melihat reaksi Grey dengan komentarnya itu.

“Eh, lo mau tau gak, apa yang sekarang lagi diomongin kedua orang tua kita.” Aninda mengajak Grey bicara lagi.
“Apa?” Grey bertanya setengah hati.
“Mereka lagi ngomongin masalah perjodohan kita.”
“Apa? Gak mungkin!”
“Yah, gak percaya. Ini beneran tau. Lo sama gue itu mau di jodohin.”
“Tau darimana lo?”
“Tadi, pas lo pergi duluan dari meja makan, mereka bilang soal itu sama gue.”
“Bohong!”
“Terserah, kalo lo gak mau percaya.”
“Kok lo santai banget sih sama berita ini?”
“Ngapain juga di bawa ribet.”
“Emangnya lo mau, di jodohin sama gue? Lo gak takut cowok lo marah?”
“Gue gak keberatan kok. Lagian, gue juga gak punya cowok.”
“Huh! Ya iyalah. Mana ada yang mau jadi cowok lo.”

Tiba-tiba, Mamanya Aninda memanggil Aninda dan mengajaknya pulang.

“Gue pulang dulu ya.” Pamit Aninda.
“Pulang aja sono. Jangan dateng-dateng lagi ya.” Ujar Grey.
Aninda tertawa. “Lo gak mau nganter gue sampe depan?”
“Ih, males banget.” Grey memalingkan wajahnya.

Aninda tertawa, lalu pergi meninggalkan Grey. Dia dan kedua orang tuanya berpamitan pulang pada kedua orang tua Grey.

“Kami pulang dulu ya.” Pamit Papa Aninda.
“Iya.” Papa Grey mengangguk pelan.
“Om, Tante.” Seru Aninda. “Kalo besok Aninda mau main kesini lagi, boleh gak?”
“Nggak.” Grey yang menjawab begitu.
“Grey.” Seru Papa Grey dengan kesal.
“Boleh kok, Nin.” Ujar Mama Grey lembut.
“Makasih ya, Tante.” Aninda menatap licik pada Grey. “Daah, Grey. Sampai ketemu besok.”

Grey tertunduk lesu. Lalu berjalan masuk ke kamarnya.

***

Keesokan harinya, Grey akan berangkat kesekolah. Dan dia terkejut oleh keberadaan Aninda di depan rumahnya. Aninda memakai seragam yang sama dengan Grey. Dia juga sudah siap dengan sepedanya.

“Ngapain lo disini?” Tanya Grey.
“Mulai hari ini, kita satu sekolah. Dan mulai hari ini juga, gue sama lo bakal berangkat sekolah bareng.” Jawab Aninda semangat.
“Kok bisa?”
“Ya bisa lah. Kan kepsek sekolah lo itu adalah om gue. Jadi, gue bisa dengan cepat masuk kesekolah lo.”
“Aduh, buat apa sih lo kayak gini?”
“Biar lebih menjiwai perjodohan kita.”

Grey menggaruk-garuk kepalanya bingung. Lalu dia mengambil sepedanya, dan segera berangkat kesekolah bersama Aninda.

Sesampainya di sekolah, Aninda meminta untuk satu meja dengan Grey. Dan dia menyuruh teman sebangku Grey yang sebelumnya untuk pindah.

Aninda juga selalu mengikuti kemanapun Grey pergi.  Begitulah seterusnya. Sampai tanpa terasa, kebersamaan itu sudah berjalan selama seminggu. Meskipun Grey merasa sangat risih, tapi dia tidak memungkiri, kalau sejak kedatangan Aninda, hidupnya jadi kembali berwarna. Semangat hidup Grey kembali.  Dan itu membuat keluarga dan teman-teman Grey merasa senang.

“Heh!” Aninda menyenggol bahu Grey.
“Ada apa?” Tanya Grey.
“Lo sadar gak sih, udah satu minggu ini loh kita bareng. Tapi kita belum pernah kenalan, dan gak saling tau nama masing-masing. Selama ini, kita cuma ngomong lo-gue.”
“Gue kan udah tau nama lo.”
“Iya. Tapi kita belum kenalan secara resmi. Belum jabatan tangan.”
“Harus ya?”
“Ya harus lah.”

Aninda mengulurkan tangannya pada Grey.

“Gue Aninda. Biar lebih singkat, panggil aja gue Anin.”
“Gue Grey.”

Greypun menjabat tangan Aninda.

Hari demi hari berlalu. Grey dan Aninda semakin dekat. Grey bahkan sudah tak segan menceritakan sosok Jossi yang di cintainya pada Aninda. Sejak mengenal Aninda, Grey mendapatkan lagi hidupnya yang dulu. Grey bisa menemukan lagi kebahagiaannya yang sempat hilang. Aninda tak pernah lelah memberinya bahagia.

“Makasih ya, Nin.”
“Makasih buat apa?”
“Buat semua kebahagiaan yang lo kasih ke gue selama dua bulan ini.”
“Iya.”
“Semenjak Jossi meninggal, gue berhenti bahagia. Gue pikir, gak akan ada yang bisa bikin gue bahagia, kecuali kembalinya Jossi ke dunia ini. Tapi semenjak lo datang, gue sadar, kalo gue masih bisa bahagia, meski tanpa Jossi. Sekarang gue juga sadar, kalo kepergian Jossi adalah kehendak yang maha kuasa. Yang perlu gue lakuin, hanya ikhlas dan menerimanya.”
“Bagus deh kalo lo udah sadar.”
“Oh iya, ngomong-ngomong, perjodohan kita gimana ya?”
“Hah!”
“Kok orang tua kita gak ada rencana buat nyuruh kita tunangan, atau apaan gitu.”
“Ehm, Grey. Sebenernya, ada yang perlu lo tau, tentang perjodohan kita ini.”
“Apa?”
“Perjodohan kita itu, gak pernah ada.”
“Maksudnya?”
“Ya gue bohong mengenai perjodohan itu. Sebenernya, orang tua kita sama sekali gak ada rencana buat ngejodohin kita. Itu cuma karang-karangan gue aja, buat ngerjain lo. Abisnya waktu pertama kali kita ketemu itu, lo dingin banget.”

Grey terdiam mendengar pengakuan Aninda. Karena kesal, akhirnya dia memutuskan untuk pergi meniggalkan Aninda, tanpa berkomentar apapun mengenai pengakuan Aninda itu. Aninda tidak bisa berbuat apa-apa. Dia membiarkan saja Grey pergi.

Maaf Grey, kayaknya gue baru aja bikin lo berhenti bahagia lagi, batin Aninda

***

Sejak pengakuan Aninda itu, Grey sama sekali tak pernah mau bicara pada Aninda. Grey kembali seperti dulu, menjadi sosok yang dingin. Aninda benar-benar merasa bersalah.
Pada suatu hari, saat Aninda pulang sekolah dengan sepedanya, dia melamun. Sampai-sampai tak sadar, ada mobil yang melaju kencang, menabraknya.
Aninda segera di bawa kerumah sakit, dan dokter langsung memeriksanya. Lukanya tidak terlalu parah, bisa di sembuhkan. Tapi, Aninda mengalami koma. Selama itu, Grey selalu menemaninya. Bermain gitar dan bernyanyi untuknya.
“Nin, gue janji. Begitu lo bangun, gue bakal ngajarin lo main gitar. Biar permainan gitar lo gak berantakan lagi. “ Grey mengoceh di depan tubuh Aninda yang masih koma. “Dan soal perjodohan itu, gue udah gak marah lagi kok sama lo. Malahan kalo lo bangun, gue bakal minta orang tua kita, buat ngejodohin kita beneran.”
Grey menangis. “Anin, kalo lo pergi ninggalin gue, sama kayak Jossi, maka gue akan berhenti bahagia.”
Aninda masih belum bangun dari komanya. Dokter sudah mengupayakan banyak hal, tapi semuanya gagal. Sedangkan dalam dunia tidurnya, Aninda bertemu dengan sosok putih yang wajahnya tak terlihat.
“Kamu siapa?” Tanya Aninda.
“Waktu hidupmu akan segera habis. Kau akan kembali ketempat pertama kali kau tercipta. Tapi kamu berhak meminta satu permintaan terakhir. Katakanlah!”
“Aku, aku mau Grey gak berhenti bahagia.”

***

“Apa?” semua terkejut mendengar berita dari dokter.
“Ini benar-benar keajaiban.” Ujar dokter yang menangani Aninda itu.

Aninda berhasil bangun dari komanya, di saat semua orang berpikir bahwa tak ada lagi harapan untuk Aninda.

Semua langsung memeluk Aninda. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Dan keajaiban itu tercipta dari permintaan terakhir yang di ucapkan oleh Aninda. Aninda tak ingin Grey berhenti bahagia. Dan kebahagiaan Grey adalah bersama Aninda.

-END-