Good Bye !
Pagi ini, seisi rumah keliatan sangat tegang. Aku dengar, Papa tak bisa tidur semalam, gara-gara memikirkan urusan aku dan kak Rangga. Bi Minah sudah menyiapkan sarapan untuk kami semua. Dan kami semua juga sudah berkumpul di meja makan. Tapi hingga menit ke sepuluh kami duduk di sini, tak seorangpun yang menyentuh makanan yang sudah susah payah bi Minah siapkan. Semua diam.
"Papa sudah memutuskan." kata Papa, akhirnya.
Setelah begitu lama keheningan itu menyelimuti, akhirnya suara Papa yang memecah hening itu. Semua tampak diam, dan serius mendengarkan apa yang akan menjadi keputusan Papa. Aku pun pasrah.
"Setelah lulus SMA nanti, Rangga akan kuliah di London." ujar Papa.
Semua sangat terkejut mendengar keputusan Papa, kecuali Mama. Karena Papa memang sudah membicarakan ini pada Mama, semalam. Aku sangat tidak rela dengan keputusan ini. Tapi aku sudah berjanji untuk berpasrah. Aku rasa, kak Rangga yang paling tidak setuju dengan keputusan Papa ini.
"Tapi, Pa..." kak Yudha ingin mencoba untuk bicara pada Papa.
"Keputusan Papa sudah bulat, Yud." ujar Papa mantap. "Adik-adikmu ini sudah salah jalan. Mereka sendirilah yang membuat Papa memberi keputusan ini."
Papa segera berlalu dari meja makan, dan pergi kerja bersama Mama. Kini hanya tinggal aku, kak Rangga, dan kak Yudha yang duduk mematung di meja makan.
"Ga." kak Yudha memegang bahu kak Rangga. "Gue rasa Papa benar. Ini keputusan yang tepat. Agar hubungan kalian tidak lebih jauh lagi. Kalian harus di pisahkan."
"Gue gak mau, Kak." kak Rangga tertunduk lesu. "Gue gak mau ninggalin, Nayla."
"Tapi itu harus, Ga." ujar kak Yudha tegas. "Lo tau kan, kalian gak mungkin bisa nyatu. Kalian punya hubungan darah. Kalian kakak dan adik. Lupain perasaan itu."
"Gue gak bisa, kak." suara kak Rangga terdengar parau.
"Kakak pasti bisa." ujarku lembut.
"Nayla." kak Rangga terkejut mendengar ucapanku.
"Aku rasa, ini memang yang terbaik buat kita." aku memaksakan senyum. "Meskipun aku cinta sama kak Rangga, tapi aku sadar, kita gak mungkin nyatu. Jadi, sekuat tenaga, aku akan melupakan perasaan ini."
"Tapi, Nay..." kak Rangga menatapku sedih.
"Kakak pasti bisa ngedapetin cinta kakak yang sejati." meski sedih, aku tetap memotivasi kak Rangga.
Hal ini, tentu saja semata-mata untuk membuat semuanya kembali bahagia. Meski aku lupa bahagianya masa lalu itu, tapi aku yakin, semuanya selalu akan baik-baik saja. Ini keputusan yang tepat.
Good Bye, Nayla
Mungkinkah ini Ruben? Tapi kenapa dia menuliskan kalimat seperti itu. Apa itu artinya, dia sudah mengucapkan selamat tinggal untuk perasaan cintanya padaku? Jika benar, mengapa aku begitu sedih ketika mengetahui itu?
Aku mengambil gitar itu, dan mencoba memainkannya. Meski itu bukan kunci yang benar, dan aku cuma asal petik, tapi aku tetap merasa senang bisa memainkannya.
Gitar ini, mungkin juga milik Ruben, pikirku.
Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka semua.
"Hai." sapaku.
Mereka semua tak menjawab sapaanku, dan malah memalingkan muka.
"Gue tau kalian marah. Karena itu, disini gue datang buat minta maaf." meskipun mereka tidak menggubris ucapanku, tapi aku terus saja berbicara. Aku tau, mereka mendengarnya. "Gue emang cinta sama kak Rangga. Gue gak tau apa yang terjadi dulu, sampai kalian membenci kak Rangga. Sekarang, gue udah bukan Nayla yang dulu lagi. Tapi gue bersedia menjalin persahabatan kita seperti yang dulu. Kalo kalian mau, tolong kasih gue kesempatan. Dan ceritain semuanya sama gue, apa aja kejadian yang udah gue lupain."
Keyra tidak bisa menahan air matanya untuk menetes.
"Kita mau kok, Nay." Keyra memelukku. Diikuti anak-anak yang lain.
"Maafin gue ya." ujarku.
"Lo jangan minta maaf sama kita, tapi lo minta maafnya sama Ruben." ujar Radit.
"Terus, sekarang Rubennya dimana?" tanyaku.
"Kayaknya dia udah pulang. Tadi dia keliatan buru-buru banget." jawab Devand.
"Kalo gitu, gimana caranya gue minta maaf?" aku sedikit putus asa.
"Ya samperin dia kerumahnya lah, Nay." usul Vivian.
"Hmm iya deh. Nanti gue bakal nyamperin dia ke rumahnya." aku kembali bersemangat.
Sesuai usul dari Vivian tadi, hari ini, aku datang ke rumah Ruben. Bi Narsih, pembantu Ruben, yang membukakan pintu untukku.
"Cari siapa, Non?" tanyanya lembut.
"Rubennya ada gak, bi?" aku malah balik bertanya.
"Oh, den Rubennya sedang keluar sebentar, Non."
"Bibi tau dia kemana, gak?"
"Wah, bibi ndak tau tuh, Non."
"Oh, ya udah deh, bi. Saya pulang aja."
"Loh, gak mau nunggu saja, Non."
"Gak usah, bi. Biar besok, saya kesini lagi. Makasih ya, bi."
"Iya, Non."
Aku melangkah gontai, keluar dari halaman rumah Ruben. Besok aku akan kesini lagi. Semoga Ruben ada.
Dear
Mipel,
Setiap hari, aku selalu ke tempat ini. Aku selalu memainkan gitar, dan menyanyikan lagu untuknya. Andai saja dia masih mengingat lagu itu. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mengingat semua hal yang telah dia lupakan. Tapi dia tidak pernah mengindahkan usahaku. Dia malah menyakiti perasaanku. Sulit rasanya, bila aku harus membencinya. Sudah ku coba untuk melupakan perasaanku padanya. Tapi selalu tak bisa. Aku ingin membencinya, tapi itu selalu malah membuatku sedih.
Suatu hari, dia menyapaku. Tapi aku mengacuhkannya. Rasanya sakit, ketika harus memperlakukannya seperti itu. Tapi ini semua aku lakukan, agar dia bisa bahagia bersama orang yang benar-benar dia cinta. Dan yang perlu dia tau, sampai detik inipun, aku masih mencintainya. Aku selalu memikirkannya. Aku selalu mengaguminya, melihatnya dari kejauhan. Saat dia terjatuh karena membawa banyak buku, aku meminta Jonash untuk menanyakan "Apakah dia tidak apa-apa?". Aku tidak pernah bisa membencinya. Aku tidak sungguh-sungguh mengacuhkannya. Bisakah dia tau itu?
Sekarang, tiba saatnya untukku pergi. Aku selalu ketempat ini, dan berharap dia juga datang kesini. Lalu aku akan memeluknya, dan mengucapkan selamat tinggal. Seperti yang dia lakukan pada seseorang, di bandara waktu itu. Tapi sampai hari terakhir aku berada di sini, aku tetap tak melihatnya. Hingga ku tuliskan surat ini. Berharap suatu hari nanti dia ingat tempat ini, dia menemukan surat ini, dan membacanya. Tapi aku tak berharap banyak darinya, ketika dia membaca surat ini. Aku tak akan memaksanya untuk kembali mencintaiku. Aku hanya ingin dia tau, cintaku masih sama besarnya seperti dulu. Dan aku tak pernah membencinya.
"Papa sudah memutuskan." kata Papa, akhirnya.
Setelah begitu lama keheningan itu menyelimuti, akhirnya suara Papa yang memecah hening itu. Semua tampak diam, dan serius mendengarkan apa yang akan menjadi keputusan Papa. Aku pun pasrah.
"Setelah lulus SMA nanti, Rangga akan kuliah di London." ujar Papa.
Semua sangat terkejut mendengar keputusan Papa, kecuali Mama. Karena Papa memang sudah membicarakan ini pada Mama, semalam. Aku sangat tidak rela dengan keputusan ini. Tapi aku sudah berjanji untuk berpasrah. Aku rasa, kak Rangga yang paling tidak setuju dengan keputusan Papa ini.
"Tapi, Pa..." kak Yudha ingin mencoba untuk bicara pada Papa.
"Keputusan Papa sudah bulat, Yud." ujar Papa mantap. "Adik-adikmu ini sudah salah jalan. Mereka sendirilah yang membuat Papa memberi keputusan ini."
Papa segera berlalu dari meja makan, dan pergi kerja bersama Mama. Kini hanya tinggal aku, kak Rangga, dan kak Yudha yang duduk mematung di meja makan.
"Ga." kak Yudha memegang bahu kak Rangga. "Gue rasa Papa benar. Ini keputusan yang tepat. Agar hubungan kalian tidak lebih jauh lagi. Kalian harus di pisahkan."
"Gue gak mau, Kak." kak Rangga tertunduk lesu. "Gue gak mau ninggalin, Nayla."
"Tapi itu harus, Ga." ujar kak Yudha tegas. "Lo tau kan, kalian gak mungkin bisa nyatu. Kalian punya hubungan darah. Kalian kakak dan adik. Lupain perasaan itu."
"Gue gak bisa, kak." suara kak Rangga terdengar parau.
"Kakak pasti bisa." ujarku lembut.
"Nayla." kak Rangga terkejut mendengar ucapanku.
"Aku rasa, ini memang yang terbaik buat kita." aku memaksakan senyum. "Meskipun aku cinta sama kak Rangga, tapi aku sadar, kita gak mungkin nyatu. Jadi, sekuat tenaga, aku akan melupakan perasaan ini."
"Tapi, Nay..." kak Rangga menatapku sedih.
"Kakak pasti bisa ngedapetin cinta kakak yang sejati." meski sedih, aku tetap memotivasi kak Rangga.
Hal ini, tentu saja semata-mata untuk membuat semuanya kembali bahagia. Meski aku lupa bahagianya masa lalu itu, tapi aku yakin, semuanya selalu akan baik-baik saja. Ini keputusan yang tepat.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Sebentar lagi, kak Rangga dan anak-anak kelas tiga akan melaksanakan UN. Aku dan kak Rangga masih tetap berhubungan, malah semakin dekat. Tapi kami tetap memberi batas pada hubungan ini. Kak Rangga dan aku belum bisa melupakan perasaan yang ada diantara kami. Tapi kami bertekad untuk melupakannya. Meskipun sangatlah sulit.
Aku tetap menjadi siswa SMU biasa. Hanya bedanya, sekarang aku merasa sendiri. Sejak kejadian pemukulan hari itu, teman-temanku menjauhiku. Aku bahkan sudah tidak duduk sebangku lagi dengan Keyra. Mereka tak pernah lagi mengajakku bicara. Selain kakak kelas tiga yang akan melaksanakan UN, kamipun juga mulai di sibukkan dengan persiapan Ujian kenaikan kelas. Waktu kami banyak tersita untuk itu.
Pernah, suatu hari aku menyapa Ruben. Tapi dia malah mengacuhkannya. Kalau di tanya bagaimana perasaanku padanya, sejauh ini aku merasa, aku hanya bisa menyayanginya sebagai teman.
"Nay." seseorang menyapaku. Dan aku menoleh pada asal suara itu.
"Kak Rangga." ternyata yang menyapa adalah kak Rangga.
"Doain kakak ya. Semoga bisa ngerjain soal ujiannya, dan lulus."
"Pasti dong. Aku akan doain yang terbaik buat kakak."
"Makasih ya."
Hari ujian itupun datang. Sementara kakak kelas tiga melaksanakan ujian, kami yang adik kelas satu dan dua, di liburkan. Tapi di hari libur ini, rumah malah terlihat sepi. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan sendirian. Dan entah mengapa, aku malah menuju gedung itu.
Akupun menyusup masuk kedalam gedung itu, dan naik ke atapnya. Sampai di sana, aku langsung duduk di pinggir atap. Melihat pemandangan kota yang indah. Tiba-tiba saja, aku teringat akan liontin pemberian Ruben, yang tak pernah lepas melingkar di leherku. Aku menatap liontin itu.
"Sekarang gue baru sadar, ternyata gue emang udah banyak banget nyakitin lo ya, Ben." aku mengoceh sendiri. "Kak Rangga bilang, liontin ini emang dari lo, dan Diary itu juga. Sekarang gue percaya, kalo dulu, kita emang punya masa lalu, yang sekarang udah hilang dari otak gue."
Aku mengambil Diary itu dari tasku, dan kembali membacanya. Entah sudah berapa kali aku membaca Diary itu berulang-ulang. Dan kini, aku membacanya lagi.
Tanpa sadar, air mataku menetes. Untuk menenangkan diri, aku berteriak sekuat tenaga dari atap gedung ini. Semuanya terasa lega. Dan tangisku semakin menjadi.
Andai aja kata maaf itu bisa mengembalikan hubungan baik kita, Ben, batinku.
Tapi aku sadar, itu tak mudah. Bisakah aku memperbaiki semuanya hanya dengan kata maaf?
Setelah puas berada di gedung itu, akupun segera turun dan lanjut pergi ke danau. Disini rasanya tenang. Akupun naik ke rumah pohon itu. Dan aku terkejut ketika sudah berada di atas. Di dalam rumah pohon ini, ada banyak sekali kertas putih dengan tulisan yang hanya di corat-coret. Rumah pohon ini jadi sangat berantakan. Juga ada sebuah gitar di sini. Aku mengambil kertas-kertas itu, dan melihat tulisannya. Meski sudah di corat coret, tapi aku masih bisa membaca tulisannya. Di kertas itu tertulis :
Mungkinkah ini Ruben? Tapi kenapa dia menuliskan kalimat seperti itu. Apa itu artinya, dia sudah mengucapkan selamat tinggal untuk perasaan cintanya padaku? Jika benar, mengapa aku begitu sedih ketika mengetahui itu?
Aku mengambil gitar itu, dan mencoba memainkannya. Meski itu bukan kunci yang benar, dan aku cuma asal petik, tapi aku tetap merasa senang bisa memainkannya.
Gitar ini, mungkin juga milik Ruben, pikirku.
***
Sekali lagi ingin ku katakan, waktu benar-benar berlalu begitu cepat. Pesta kelulusan sedang berlangsung, hari ini. Kak Rangga, kak Andre, dan teman-temannya yang lain, sedang sibuk merayakan kelulusan mereka. Aku ikut bahagia, sekaligus sedih. Kini kak Rangga sudah lulus. Nama kak Rangga juga sudah terdaftar pada salah satu universitas di London. Besok, dia akan segera berangkat. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin kepergiannya memang adalah yang terbaik.
Kak Rangga melihatku yang sedang memperhatikan mereka semua dari jauh. Dan dia datang untuk menghampiriku.
"Nay." sapanya.
"Selamat ya, kak." ucapku tulus.
"Iya, makasih ya." kak Rangga memelukku.
Dan Ruben menyaksikan itu.
"Ruben." aku terkejut melihat Ruben yang tak sengaja melihat aku dan kak Rangga berpelukan. "Hai." sapaku.
Tapi Ruben tak membalas sapaanku. Senyumpun tidak. Dia hanya menatap sinis, lalu pergi.
"Aku harus ngomong sama dia, kak." ujarku pada kak Rangga.
"Jangan sekarang." usul kak Rangga. "Mendingan kamu fokus dulu sama ujian kenaikan kelas yang tinggal bentar lagi."
"Hmm, iya juga sih." akupun menyetujui usulan kak Rangga.
Kami berdua pulang. Sampai di rumah, aku membantu kak Rangga untuk membereskan barang-barangnya.
"Apa lagi yah?" kak Rangga berfikir. "Kayaknya udah semua nih, barang-barangnya. Cuma tinggal berangkat aja."
"Eh, ada satu nih yang kakak lupain." ujarku.
"Apa?" tanya kak Rangga.
"Nih." aku menunjukkan sebuah foto pada kak Rangga. "Kakak gak boleh lupa buat bawa foto keluarga kita."
"Oh iya." kak Rangga mengambil foto itu, lalu memasukkannya dalam koper. "Kalo kangen, kakak bisa liat foto ini."
Aku mulai menangis.
"Kamu kenapa?" tanya kak Rangga.
"Ya sedih lah." jawabku.
"Sedih kenapa?"
"Setelah ini, kita bakalan lama banget gak ketemu."
Kak Rangga memelukku.
"Semua ini terjadi karena salah kita, Nay." ujar kak Rangga. "Kita harus tanggung akibatnya. Kan kamu bilang, ini keputusan yang terbaik."
"Iya, kak." aku mengangguk mantap. "Pokoknya, kalo udah di sana, jangan lupa hubungin aku ya, kak. Aku mau tau kabar kakak setiap harinya."
"Hmm, kalo harus terus ngehubungin kamu, gimana kakak bisa konsen belajar."
"Oh, iya juga yah. Ya udah deh, kapan kakak sempetnya aja."
"Siap, Mipel."
"Uh, kakak."
Waktu pertama kali dengar cerita kak Rangga tentang panggilan Mipel untukku itu, aku sampai tertawa terbahak-bahak. Sekarangpun., Pelupaku malah tambah parah. Ingatanku, semuanya hilang.
"Siap, Mipel."
"Uh, kakak."
Waktu pertama kali dengar cerita kak Rangga tentang panggilan Mipel untukku itu, aku sampai tertawa terbahak-bahak. Sekarangpun., Pelupaku malah tambah parah. Ingatanku, semuanya hilang.
Hari keberangkatanpun tiba. Papa, Mama, tante Mery, kak Yudha, kak Andre, Devand, dan aku, mengantar kak Rangga ke Bandara.
"Ingat yah, kamu di sana buat belajar." pesan Papa.
"Belajar yang bener, dan jangan kecewain Mama sama Papa." ini adalah pesan dari Mama.
"Tetep jaga kesehatan." tante Mery juga memberi pesan.
"Jangan lupain gue ya, Ga." yang konyol ini, tentu aja pesan dari sahabat tersayang kak Rangga, yaitu kak Andre.
Kak Yudha baru aja mau nyampein pesannya untuk kak Rangga, tapi kak Rangga malah kasih pesan duluan sama kak Yudha.
"Titip Nayla ya. Jagain dia." pesan kak Rangga pada kak Yudha.
Kak Yudha mengangguk pasti. Kini giliranku. Aku memeluk kak Rangga erat. Seperti kak Rangga bakal pergi dan gak kembali lagi. Yang ini bisa di bilang pelukan yang berlebihan -__-
Devand hanya diam. Dan kak Rangga menghampirinya.
"Dev." kak Rangga menepuk bahu Devand. "Bantu Nayla buat balik lagi jadi dia yang dulu, ya."
Devand terkejut mendengar ucapan kak Rangga. Di saat yang sama, waktu kak Rangga untuk berpamitan pada kamipun habis. Kini tiba waktunya, untuk kak Rangga berangkat. Kak Rangga melambai-lambaikan tangannya. Entah kapan, kami akan berjumpa lagi.
Selamat jalan kak Rangga.
***
Setelah kepergian kak Rangga, aku kembali disibukkan oleh persiapan ujian kenaikan kelas. Temanku sekarang adalah buku-buku pelajaran. Sejenak, aku bisa melupakan masalah yang terjadi antara aku, Ruben, dan teman-temanku yang lain. Tapi setiap kali bertemu mereka di sekolah, dan melihat mereka yang selalu mengacuhkanku, aku menjadi sedih. Tapi untunglah, kak Rangga selalu memberiku semangat. Dia selalu menyempatkan untuk menelponku, disela-sela waktu belajarnya. Aku bersyukur akan hal itu.
Hubungan Papa dengan om Agustira? Baik-baik saja. Hanya hubunganku dan Ruben yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku bertekad, akan menuntaskan semuanya, selesai dari ujian kenaikan kelas ini.
Hari ini, aku di tugaskan oleh bu Asti untuk mengantarkan beberapa buku ke perpustakaan. Meskipun cuma "beberapa", tapi satu buah buku ini, tebalnya bisa mencapai sepuluh centimeter. Nah loh, buku macam apa ini?
Karena keberatan bawa buku, di tambah juga berat badanku yang nambah 2kg. Karena stress, aku jadi doyan banget makan. Gak sengaja, aku nabrak Kenzi. Alhasil, buku-buku yang ku bawa, jatuh semua.
"Aduh maaf banget ya, Ken." ujarku sambil memunguti buku-buku itu.
"Iya, gak apa-apa." Kenzi ikut membantuku memunguti buku yang jatuh.
Tiba-tiba saja sebuah bayangan yang sama, terlintas dalam pikiranku. Di situ tergambarkan, aku dan Kenzi sedang mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tiba-tiba Vivian datang.
"Ken, kamu ngapain disini?" tanya Vivian sinis. "Yuk kita pergi."
Vivian langsung menarik tangan Kenzi, dan membawanya pergi. Aku mulai kebingungan dengan kejadian yang terlintas di otakku tadi. Kemudian Jonash datang.
"Jonash."
"Lo gak apa-apa?" tanya Jonash penuh perhatian.
"Gak apa-apa, kok." aku tersenyum tipis.
Lalu Jonash pun pergi. Sedih rasanya, melihat semua teman-temanku menjauhiku seperti ini.
***
Fyuh!! Akhirnya aku bisa bernafas lega. Ini adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas. Semua soal di setiap mata pelajaran sudah kami kerjakan. Hanya tinggal menunggu hasilnya saja, saat pembagian rapor nanti.
Aku baru saja keluar dari kelas, dan bersiap untuk pulang. Aku melihat teman-temanku sedang berkumpul di parkiran sekolah. Mereka tertawa lepas. Seperti sudah tidak ada lagi beban. Berbeda denganku. Aku masih punya beban. Dan hari ini, aku harus menuntaskan beban itu.
Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka semua.
"Hai." sapaku.
Mereka semua tak menjawab sapaanku, dan malah memalingkan muka.
"Gue tau kalian marah. Karena itu, disini gue datang buat minta maaf." meskipun mereka tidak menggubris ucapanku, tapi aku terus saja berbicara. Aku tau, mereka mendengarnya. "Gue emang cinta sama kak Rangga. Gue gak tau apa yang terjadi dulu, sampai kalian membenci kak Rangga. Sekarang, gue udah bukan Nayla yang dulu lagi. Tapi gue bersedia menjalin persahabatan kita seperti yang dulu. Kalo kalian mau, tolong kasih gue kesempatan. Dan ceritain semuanya sama gue, apa aja kejadian yang udah gue lupain."
Keyra tidak bisa menahan air matanya untuk menetes.
"Kita mau kok, Nay." Keyra memelukku. Diikuti anak-anak yang lain.
"Maafin gue ya." ujarku.
"Lo jangan minta maaf sama kita, tapi lo minta maafnya sama Ruben." ujar Radit.
"Terus, sekarang Rubennya dimana?" tanyaku.
"Kayaknya dia udah pulang. Tadi dia keliatan buru-buru banget." jawab Devand.
"Kalo gitu, gimana caranya gue minta maaf?" aku sedikit putus asa.
"Ya samperin dia kerumahnya lah, Nay." usul Vivian.
"Hmm iya deh. Nanti gue bakal nyamperin dia ke rumahnya." aku kembali bersemangat.
Sesuai usul dari Vivian tadi, hari ini, aku datang ke rumah Ruben. Bi Narsih, pembantu Ruben, yang membukakan pintu untukku.
"Cari siapa, Non?" tanyanya lembut.
"Rubennya ada gak, bi?" aku malah balik bertanya.
"Oh, den Rubennya sedang keluar sebentar, Non."
"Bibi tau dia kemana, gak?"
"Wah, bibi ndak tau tuh, Non."
"Oh, ya udah deh, bi. Saya pulang aja."
"Loh, gak mau nunggu saja, Non."
"Gak usah, bi. Biar besok, saya kesini lagi. Makasih ya, bi."
"Iya, Non."
Aku melangkah gontai, keluar dari halaman rumah Ruben. Besok aku akan kesini lagi. Semoga Ruben ada.
***
Ini adalah hari ketiga aku berkunjung ke rumah Ruben, tapi dia selalu tidak ada di rumah. Hari ini, aku malah hanya bertemu dengan om Agustira.
"Nayla." sapa om Agustira.
"Eh, halo Om." aku balas menyapa.
"Cari Ruben ya?" tanyanya.
"Iya, Om." jawabku.
"Aduh, sudah hampir seminggu ini, Ruben sering pergi. Om juga gak tau dia kemana."
"Hmm, iya Om. Padahal, Nayla pengen banget ketemu sama dia."
"Oh iya. Harus Nayla. Kamu memang harus bertemu sama dia."
"Iya, om. Kalo gitu, Nayla pulang dulu ya."
"Hati-hati ya."
Untuk kesekian kalinya, aku pulang tanpa bertemu dengan Ruben.
Besok adalah hari pembagian rapor. Aku ingin datang lagi ke rumah Ruben, tapi aku takut Ruben tidak ada di rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari dia saja. Aku mencari ke tempat-tempat yang dulu pernah aku dan Ruben kunjungi, sebelum aku dan dia tak saling sapa. Aku mencarinya kegedung, warung makan, dan yang terakhir, di rumah pohon. Tapi dia tidak ada di semua tempat itu. Aku tidak tau lagi tempat-tempat yang menjadi favorite Ruben. Amnesia ini benar-benar membuat aku menjadi orang yang tidak berguna.
Aku menangis, duduk di atas rumah pohon itu. Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Kertas-kertas yang waktu itu pernah ku lihat berserakan di dalam rumah pohon ini, juga gitar itu, sekarang sudah tidak ada lagi. Itu berarti, seseorang pernah kesini sebelum aku. Tapi siapa? Mungkinkah Ruben?
Mataku tertuju pada sebuah kertas yang di selipkan pada salah satu sisi bangunan rumah pohon ini. Aku mengambil kertas itu, dan membaca tulisannya.
Setiap hari, aku selalu ke tempat ini. Aku selalu memainkan gitar, dan menyanyikan lagu untuknya. Andai saja dia masih mengingat lagu itu. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mengingat semua hal yang telah dia lupakan. Tapi dia tidak pernah mengindahkan usahaku. Dia malah menyakiti perasaanku. Sulit rasanya, bila aku harus membencinya. Sudah ku coba untuk melupakan perasaanku padanya. Tapi selalu tak bisa. Aku ingin membencinya, tapi itu selalu malah membuatku sedih.
Suatu hari, dia menyapaku. Tapi aku mengacuhkannya. Rasanya sakit, ketika harus memperlakukannya seperti itu. Tapi ini semua aku lakukan, agar dia bisa bahagia bersama orang yang benar-benar dia cinta. Dan yang perlu dia tau, sampai detik inipun, aku masih mencintainya. Aku selalu memikirkannya. Aku selalu mengaguminya, melihatnya dari kejauhan. Saat dia terjatuh karena membawa banyak buku, aku meminta Jonash untuk menanyakan "Apakah dia tidak apa-apa?". Aku tidak pernah bisa membencinya. Aku tidak sungguh-sungguh mengacuhkannya. Bisakah dia tau itu?
Sekarang, tiba saatnya untukku pergi. Aku selalu ketempat ini, dan berharap dia juga datang kesini. Lalu aku akan memeluknya, dan mengucapkan selamat tinggal. Seperti yang dia lakukan pada seseorang, di bandara waktu itu. Tapi sampai hari terakhir aku berada di sini, aku tetap tak melihatnya. Hingga ku tuliskan surat ini. Berharap suatu hari nanti dia ingat tempat ini, dia menemukan surat ini, dan membacanya. Tapi aku tak berharap banyak darinya, ketika dia membaca surat ini. Aku tak akan memaksanya untuk kembali mencintaiku. Aku hanya ingin dia tau, cintaku masih sama besarnya seperti dulu. Dan aku tak pernah membencinya.
Aku menangis saat membaca tulisan itu. Ini dari Ruben. Tapi aku bingung, apa yang di maksudnya dengan mengucapkan selamat tinggal. Kemudian aku teringat akan kertas-kertas yang di corat coret waktu itu. Disitu, Ruben juga menuliskan "Good Bye, Nayla". Apa artinya ini semua?
Tiba-tiba handphone-ku berdering, ada telpon dari Keyra.
"Halo, Key?"
"Nay, lo dimana?"
"Gue lagi ada dirumah pohon."
"Hah! Ya ampun, jauh banget."
"Ada apa sih?"
"Aduh, Nay. Mendingan lo kebandara deh sekarang."
"Ngapain?"
"Ruben mau pergi ke Singapore. Dia bakal nerusin SMA di sana."
"Apa?"
"Iya, sekarang mendingan lo cepetan kebandara. Atau lo gak akan pernah ketemu sama Ruben lagi."
"Iya, iya. Gue ke sana sekarang."
Aku segera turun dari rumah pohon, dan bergegas ke bandara. Sepanjang perjalanan, aku terus menangis. Aku masih menggenggam surat dari Ruben. Semoga aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya, meminta maaf, memeluknya, mengucapkan selamat tinggal, dan mengatakan kalau kini, aku mencintainya.
Satu jam lebih perjalanan, aku baru sampai ke bandara ini. Jarak danau dengan bandara memang jauh. Dan aku tau, ini sangat terlambat. Kecuali jika penerbangannya delay, atau Ruben memutuskan untuk batal berangkat.
Aku berlari mencari Ruben dan yang lainnya. Air mataku semakin deras mengalir.
"Nayla." seseorang memanggil namaku. Dan aku segera menoleh ke asal suara itu.
Aku terdiam. Yang memanggil namaku tadi adalah Devand. Dia bersama yang lain. Mereka semua menghampiriku.
"Nayla." Keyra memelukku.
"Gue telat?" tanyaku sembari terisak.
"Iya, Nay." ujar Keyra, juga menangis.
"Gue..." aku tak sanggup lagi untuk berbicara. "Gue belum sempet minta maaf sama dia."
"Dia bilang, dia udah maafin lo kok, Nay." ujar Idon.
Aku masih menangis dalam pelukan Keyra. Tiba-tiba saja pandanganku kabur, dan aku pingsan.
Good Bye, Ruben.
***