Sunday, April 29, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 26

Good Bye !


Pagi ini, seisi rumah keliatan sangat tegang. Aku dengar, Papa tak bisa tidur semalam, gara-gara memikirkan urusan aku dan kak Rangga. Bi Minah sudah menyiapkan sarapan untuk kami semua. Dan kami semua juga sudah berkumpul di meja makan. Tapi hingga menit ke sepuluh kami duduk di sini, tak seorangpun yang menyentuh makanan yang sudah susah payah bi Minah siapkan. Semua diam.

"Papa sudah memutuskan." kata Papa, akhirnya.

Setelah begitu lama keheningan itu menyelimuti, akhirnya suara Papa yang memecah hening itu. Semua tampak diam, dan serius mendengarkan apa yang akan menjadi keputusan Papa. Aku pun pasrah.

"Setelah lulus SMA nanti, Rangga akan kuliah di London." ujar Papa.

Semua sangat terkejut mendengar keputusan Papa, kecuali Mama. Karena Papa memang sudah membicarakan ini pada Mama, semalam. Aku sangat tidak rela dengan keputusan ini. Tapi aku sudah berjanji untuk berpasrah. Aku rasa, kak Rangga yang paling tidak setuju dengan keputusan Papa ini.

"Tapi, Pa..." kak Yudha ingin mencoba untuk bicara pada Papa.
"Keputusan Papa sudah bulat, Yud." ujar Papa mantap. "Adik-adikmu ini sudah salah jalan. Mereka sendirilah yang membuat Papa memberi keputusan ini."

Papa segera berlalu dari meja makan, dan pergi kerja bersama Mama. Kini hanya tinggal aku, kak Rangga, dan kak Yudha yang duduk mematung di meja makan.

"Ga." kak Yudha memegang bahu kak Rangga. "Gue rasa Papa benar. Ini keputusan yang tepat. Agar hubungan kalian tidak lebih jauh lagi. Kalian harus di pisahkan."
"Gue gak mau, Kak." kak Rangga tertunduk lesu. "Gue gak mau ninggalin, Nayla."
"Tapi itu harus, Ga." ujar kak Yudha tegas. "Lo tau kan, kalian gak mungkin bisa nyatu. Kalian punya hubungan darah. Kalian kakak dan adik. Lupain perasaan itu."
"Gue gak bisa, kak." suara kak Rangga terdengar parau.
"Kakak pasti bisa." ujarku lembut.
"Nayla." kak Rangga terkejut mendengar ucapanku.
"Aku rasa, ini memang yang terbaik buat kita." aku memaksakan senyum. "Meskipun aku cinta sama kak Rangga, tapi aku sadar, kita gak mungkin nyatu. Jadi, sekuat tenaga, aku akan melupakan perasaan ini."
"Tapi, Nay..." kak Rangga menatapku sedih.
"Kakak pasti bisa ngedapetin cinta kakak yang sejati." meski sedih, aku tetap memotivasi kak Rangga.

Hal ini, tentu saja semata-mata untuk membuat semuanya kembali bahagia. Meski aku lupa bahagianya masa lalu itu, tapi aku yakin, semuanya selalu akan baik-baik saja. Ini keputusan yang tepat.

***

Waktu berjalan begitu cepat. Sebentar lagi, kak Rangga dan anak-anak kelas tiga akan melaksanakan UN. Aku dan kak Rangga masih tetap berhubungan, malah semakin dekat. Tapi kami tetap memberi batas pada hubungan ini. Kak Rangga dan aku belum bisa melupakan perasaan yang ada diantara kami. Tapi kami bertekad untuk melupakannya. Meskipun sangatlah sulit.

Aku tetap menjadi siswa SMU biasa. Hanya bedanya, sekarang aku merasa sendiri. Sejak kejadian pemukulan hari itu, teman-temanku menjauhiku. Aku bahkan sudah tidak duduk sebangku lagi dengan Keyra. Mereka tak pernah lagi mengajakku bicara. Selain kakak kelas tiga yang akan melaksanakan UN, kamipun juga mulai di sibukkan dengan persiapan Ujian kenaikan kelas. Waktu kami banyak tersita untuk itu.

Pernah, suatu hari aku menyapa Ruben. Tapi dia malah mengacuhkannya. Kalau di tanya bagaimana perasaanku padanya, sejauh ini aku merasa, aku hanya bisa menyayanginya sebagai teman.

"Nay." seseorang menyapaku. Dan aku menoleh pada asal suara itu.
"Kak Rangga." ternyata yang menyapa adalah kak Rangga.
"Doain kakak ya. Semoga bisa ngerjain soal ujiannya, dan lulus."
"Pasti dong. Aku akan doain yang terbaik buat kakak."
"Makasih ya."

Hari ujian itupun datang. Sementara kakak kelas tiga melaksanakan ujian, kami yang adik kelas satu dan dua, di liburkan. Tapi di hari libur ini, rumah malah terlihat sepi. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan sendirian. Dan entah mengapa, aku malah menuju gedung itu.

Akupun menyusup masuk kedalam gedung itu, dan naik ke atapnya. Sampai di sana, aku langsung duduk di pinggir atap. Melihat pemandangan kota yang indah. Tiba-tiba saja, aku teringat akan liontin pemberian Ruben, yang tak pernah lepas melingkar di leherku. Aku menatap liontin itu.

"Sekarang gue baru sadar, ternyata gue emang udah banyak banget nyakitin lo ya, Ben." aku mengoceh sendiri. "Kak Rangga bilang, liontin ini emang dari lo, dan Diary itu juga. Sekarang gue percaya, kalo dulu, kita emang punya masa lalu, yang sekarang udah hilang dari otak gue."

Aku mengambil Diary itu dari tasku, dan kembali membacanya. Entah sudah berapa kali aku membaca Diary itu berulang-ulang. Dan kini, aku membacanya lagi.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Untuk menenangkan diri, aku berteriak sekuat tenaga dari atap gedung ini. Semuanya terasa lega. Dan tangisku semakin menjadi.

Andai aja kata maaf itu bisa mengembalikan hubungan baik kita, Ben, batinku.

Tapi aku sadar, itu tak mudah. Bisakah aku memperbaiki semuanya hanya dengan kata maaf?

Setelah puas berada di gedung itu, akupun segera turun dan lanjut pergi ke danau. Disini rasanya tenang. Akupun naik ke rumah pohon itu. Dan aku terkejut ketika sudah berada di atas. Di dalam rumah pohon ini, ada banyak sekali kertas putih dengan tulisan yang hanya di corat-coret. Rumah pohon ini jadi sangat berantakan. Juga ada sebuah gitar di sini. Aku mengambil kertas-kertas itu, dan melihat tulisannya. Meski sudah di corat coret, tapi aku masih bisa membaca tulisannya. Di kertas itu tertulis :

Good Bye, Nayla

Mungkinkah ini Ruben? Tapi kenapa dia menuliskan kalimat seperti itu. Apa itu artinya, dia sudah mengucapkan selamat tinggal untuk perasaan cintanya padaku? Jika benar, mengapa aku begitu sedih ketika mengetahui itu?

Aku mengambil gitar itu, dan mencoba memainkannya. Meski itu bukan kunci yang benar, dan aku cuma asal petik, tapi aku tetap merasa senang bisa memainkannya.

Gitar ini, mungkin juga milik Ruben, pikirku.

***

Sekali lagi ingin ku katakan, waktu benar-benar berlalu begitu cepat. Pesta kelulusan sedang berlangsung, hari ini. Kak Rangga, kak Andre, dan teman-temannya yang lain, sedang sibuk merayakan kelulusan mereka. Aku ikut bahagia, sekaligus sedih. Kini kak Rangga sudah lulus. Nama kak Rangga juga sudah terdaftar pada salah satu universitas di London. Besok, dia akan segera berangkat. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin kepergiannya memang adalah yang terbaik.

Kak Rangga melihatku yang sedang memperhatikan mereka semua dari jauh. Dan dia datang untuk menghampiriku.

"Nay." sapanya.
"Selamat ya, kak." ucapku tulus.
"Iya, makasih ya." kak Rangga memelukku.

Dan Ruben menyaksikan itu.

"Ruben." aku terkejut melihat Ruben yang tak sengaja melihat aku dan kak Rangga berpelukan. "Hai." sapaku.

Tapi Ruben tak membalas sapaanku. Senyumpun tidak. Dia hanya menatap sinis, lalu pergi.

"Aku harus ngomong sama dia, kak." ujarku pada kak Rangga.
"Jangan sekarang." usul kak Rangga. "Mendingan kamu fokus dulu sama ujian kenaikan kelas yang tinggal bentar lagi."
"Hmm, iya juga sih." akupun menyetujui usulan kak Rangga.

Kami berdua pulang. Sampai di rumah, aku membantu kak Rangga untuk membereskan barang-barangnya.

"Apa lagi yah?" kak Rangga berfikir. "Kayaknya udah semua nih, barang-barangnya. Cuma tinggal berangkat aja."
"Eh, ada satu nih yang kakak lupain." ujarku.
"Apa?" tanya kak Rangga.
"Nih." aku menunjukkan sebuah foto pada kak Rangga. "Kakak gak boleh lupa buat bawa foto keluarga kita."
"Oh iya." kak Rangga mengambil foto itu, lalu memasukkannya dalam koper. "Kalo kangen, kakak bisa liat foto ini."

Aku mulai menangis.

"Kamu kenapa?" tanya kak Rangga.
"Ya sedih lah." jawabku.
"Sedih kenapa?"
"Setelah ini, kita bakalan lama banget gak ketemu."

Kak Rangga memelukku.

"Semua ini terjadi karena salah kita, Nay." ujar kak Rangga. "Kita harus tanggung akibatnya. Kan kamu bilang, ini keputusan yang terbaik."
"Iya, kak." aku mengangguk mantap. "Pokoknya, kalo udah di sana, jangan lupa hubungin aku ya, kak. Aku mau tau kabar kakak setiap harinya."
"Hmm, kalo harus terus ngehubungin kamu, gimana kakak bisa konsen belajar."
"Oh, iya juga yah. Ya udah deh, kapan kakak sempetnya aja."
"Siap, Mipel."
"Uh, kakak."

Waktu pertama kali dengar cerita kak Rangga tentang panggilan Mipel untukku itu, aku sampai tertawa terbahak-bahak. Sekarangpun., Pelupaku malah tambah parah. Ingatanku, semuanya hilang.

Hari keberangkatanpun tiba. Papa, Mama, tante Mery, kak Yudha, kak Andre, Devand, dan aku, mengantar kak Rangga ke Bandara.

"Ingat yah, kamu di sana buat belajar." pesan Papa.
"Belajar yang bener, dan jangan kecewain Mama sama Papa." ini adalah pesan dari Mama.
"Tetep jaga kesehatan." tante Mery juga memberi pesan.
"Jangan lupain gue ya, Ga." yang konyol ini, tentu aja pesan dari sahabat tersayang kak Rangga, yaitu kak Andre.

Kak Yudha baru aja mau nyampein pesannya untuk kak Rangga, tapi kak Rangga malah kasih pesan duluan sama kak Yudha.

"Titip Nayla ya. Jagain dia." pesan kak Rangga pada kak Yudha.

Kak Yudha mengangguk pasti. Kini giliranku. Aku memeluk kak Rangga erat. Seperti kak Rangga bakal pergi dan gak kembali lagi. Yang ini bisa di bilang pelukan yang berlebihan -__-

Devand hanya diam. Dan kak Rangga menghampirinya.

"Dev." kak Rangga menepuk bahu Devand. "Bantu Nayla buat balik lagi jadi dia yang dulu, ya."

Devand terkejut mendengar ucapan kak Rangga. Di saat yang sama, waktu kak Rangga untuk berpamitan pada kamipun habis. Kini tiba waktunya, untuk kak Rangga berangkat. Kak Rangga melambai-lambaikan tangannya. Entah kapan, kami akan berjumpa lagi.

Selamat jalan kak Rangga.

***

Setelah kepergian kak Rangga, aku kembali disibukkan oleh persiapan ujian kenaikan kelas. Temanku sekarang adalah buku-buku pelajaran. Sejenak, aku bisa melupakan masalah yang terjadi antara aku, Ruben, dan teman-temanku yang lain. Tapi setiap kali bertemu mereka di sekolah, dan melihat mereka yang selalu mengacuhkanku, aku menjadi sedih. Tapi untunglah, kak Rangga selalu memberiku semangat. Dia selalu menyempatkan untuk menelponku, disela-sela waktu belajarnya. Aku bersyukur akan hal itu.

Hubungan Papa dengan om Agustira? Baik-baik saja. Hanya hubunganku dan Ruben yang sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku bertekad, akan menuntaskan semuanya, selesai dari ujian kenaikan kelas ini.

Hari ini, aku di tugaskan oleh bu Asti untuk mengantarkan beberapa buku ke perpustakaan. Meskipun cuma "beberapa", tapi satu buah buku ini, tebalnya bisa mencapai sepuluh centimeter. Nah loh, buku macam apa ini?

Karena keberatan bawa buku, di tambah juga berat badanku yang nambah 2kg. Karena stress, aku jadi doyan banget makan. Gak sengaja, aku nabrak Kenzi. Alhasil, buku-buku yang ku bawa, jatuh semua.

"Aduh maaf banget ya, Ken." ujarku sambil memunguti buku-buku itu.
"Iya, gak apa-apa." Kenzi ikut membantuku memunguti buku yang jatuh.

Tiba-tiba saja sebuah bayangan yang sama, terlintas dalam pikiranku. Di situ tergambarkan, aku dan Kenzi sedang mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tiba-tiba Vivian datang.

"Ken, kamu ngapain disini?" tanya Vivian sinis. "Yuk kita pergi."

Vivian langsung menarik tangan Kenzi, dan membawanya pergi. Aku mulai kebingungan dengan kejadian yang terlintas di otakku tadi. Kemudian Jonash datang.

"Jonash."
"Lo gak apa-apa?" tanya Jonash penuh perhatian.
"Gak apa-apa, kok." aku tersenyum tipis.

Lalu Jonash pun pergi. Sedih rasanya, melihat semua teman-temanku menjauhiku seperti ini.

***

Fyuh!! Akhirnya aku bisa bernafas lega. Ini adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas. Semua soal di setiap mata pelajaran sudah kami kerjakan. Hanya tinggal menunggu hasilnya saja, saat pembagian rapor nanti.

Aku baru saja keluar dari kelas, dan bersiap untuk pulang. Aku melihat teman-temanku sedang berkumpul di parkiran sekolah. Mereka tertawa lepas. Seperti sudah tidak ada lagi beban. Berbeda denganku. Aku masih punya beban. Dan hari ini, aku harus menuntaskan beban itu.

Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka semua.

"Hai." sapaku.

Mereka semua tak menjawab sapaanku, dan malah memalingkan muka.

"Gue tau kalian marah. Karena itu, disini gue datang buat minta maaf." meskipun mereka tidak menggubris ucapanku, tapi aku terus saja berbicara. Aku tau, mereka mendengarnya. "Gue emang cinta sama kak Rangga. Gue gak tau apa yang terjadi dulu, sampai kalian membenci kak Rangga. Sekarang, gue udah bukan Nayla yang dulu lagi. Tapi gue bersedia menjalin persahabatan kita seperti yang dulu. Kalo kalian mau, tolong kasih gue kesempatan. Dan ceritain semuanya sama gue, apa aja kejadian yang udah gue lupain."

Keyra tidak bisa menahan air matanya untuk menetes.

"Kita mau kok, Nay." Keyra memelukku. Diikuti anak-anak yang lain.
"Maafin gue ya." ujarku.
"Lo jangan minta maaf sama kita, tapi lo minta maafnya sama Ruben." ujar Radit.
"Terus, sekarang Rubennya dimana?" tanyaku.
"Kayaknya dia udah pulang. Tadi dia keliatan buru-buru banget." jawab Devand.
"Kalo gitu, gimana caranya gue minta maaf?" aku sedikit putus asa.
"Ya samperin dia kerumahnya lah, Nay." usul Vivian.
"Hmm iya deh. Nanti gue bakal nyamperin dia ke rumahnya." aku kembali bersemangat.

Sesuai usul dari Vivian tadi, hari ini, aku datang ke rumah Ruben. Bi Narsih, pembantu Ruben, yang membukakan pintu untukku.

"Cari siapa, Non?" tanyanya lembut.
"Rubennya ada gak, bi?" aku malah balik bertanya.
"Oh, den Rubennya sedang keluar sebentar, Non."
"Bibi tau dia kemana, gak?"
"Wah, bibi ndak tau tuh, Non."
"Oh, ya udah deh, bi. Saya pulang aja."
"Loh, gak mau nunggu saja, Non."
"Gak usah, bi. Biar besok, saya kesini lagi. Makasih ya, bi."
"Iya, Non."

Aku melangkah gontai, keluar dari halaman rumah Ruben. Besok aku akan kesini lagi. Semoga Ruben ada.

***

Ini adalah hari ketiga aku berkunjung ke rumah Ruben, tapi dia selalu tidak ada di rumah. Hari ini, aku malah hanya bertemu dengan om Agustira.

"Nayla." sapa om Agustira.
"Eh, halo Om." aku balas menyapa.
"Cari Ruben ya?" tanyanya.
"Iya, Om." jawabku.
"Aduh, sudah hampir seminggu ini, Ruben sering pergi. Om juga gak tau dia kemana."
"Hmm, iya Om. Padahal, Nayla pengen banget ketemu sama dia."
"Oh iya. Harus Nayla. Kamu memang harus bertemu sama dia."
"Iya, om. Kalo gitu, Nayla pulang dulu ya."
"Hati-hati ya."

Untuk kesekian kalinya, aku pulang tanpa bertemu dengan Ruben.

Besok adalah hari pembagian rapor. Aku ingin datang lagi ke rumah Ruben, tapi aku takut Ruben tidak ada di rumah. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari dia saja. Aku mencari ke tempat-tempat yang dulu pernah aku dan Ruben kunjungi, sebelum aku dan dia tak saling sapa. Aku mencarinya kegedung, warung makan, dan yang terakhir, di rumah pohon. Tapi dia tidak ada di semua tempat itu. Aku tidak tau lagi tempat-tempat yang menjadi favorite Ruben. Amnesia ini benar-benar membuat aku menjadi orang yang tidak berguna.

Aku menangis, duduk di atas rumah pohon itu. Tiba-tiba aku menyadari satu hal. Kertas-kertas yang waktu itu pernah ku lihat berserakan di dalam rumah pohon ini, juga gitar itu, sekarang sudah tidak ada lagi. Itu berarti, seseorang pernah kesini sebelum aku. Tapi siapa? Mungkinkah Ruben?

Mataku tertuju pada sebuah kertas yang di selipkan pada salah satu sisi bangunan rumah pohon ini. Aku mengambil kertas itu, dan membaca tulisannya.

Dear Mipel,
Setiap hari, aku selalu ke tempat ini. Aku selalu memainkan gitar, dan menyanyikan lagu untuknya. Andai saja dia masih mengingat lagu itu. Aku tak pernah lelah untuk membantunya mengingat semua hal yang telah dia lupakan. Tapi dia tidak pernah mengindahkan usahaku. Dia malah menyakiti perasaanku. Sulit rasanya, bila aku harus  membencinya. Sudah ku coba untuk melupakan perasaanku padanya. Tapi selalu tak bisa. Aku ingin membencinya, tapi itu selalu malah membuatku sedih.
Suatu hari, dia menyapaku. Tapi aku mengacuhkannya. Rasanya sakit, ketika harus memperlakukannya seperti itu. Tapi ini semua aku lakukan, agar dia bisa bahagia bersama orang yang benar-benar dia cinta. Dan yang perlu dia tau, sampai detik inipun, aku masih mencintainya. Aku selalu memikirkannya. Aku selalu mengaguminya, melihatnya dari kejauhan. Saat dia terjatuh karena membawa banyak buku, aku meminta Jonash untuk menanyakan "Apakah dia tidak apa-apa?". Aku tidak pernah bisa membencinya. Aku tidak sungguh-sungguh mengacuhkannya. Bisakah dia tau itu?
Sekarang, tiba saatnya untukku pergi. Aku selalu ketempat ini, dan berharap dia juga datang kesini. Lalu aku akan memeluknya, dan mengucapkan selamat tinggal. Seperti yang dia lakukan pada seseorang, di bandara waktu itu. Tapi sampai hari terakhir aku berada di sini, aku tetap tak melihatnya. Hingga ku tuliskan surat ini. Berharap suatu hari nanti dia ingat tempat ini, dia menemukan surat ini, dan membacanya. Tapi aku tak berharap banyak darinya, ketika dia membaca surat ini. Aku tak akan memaksanya untuk kembali mencintaiku. Aku hanya ingin dia tau, cintaku masih sama besarnya seperti dulu. Dan aku tak pernah membencinya.


Aku menangis saat membaca tulisan itu. Ini dari Ruben. Tapi aku bingung, apa yang di maksudnya dengan mengucapkan selamat tinggal. Kemudian aku teringat akan kertas-kertas yang di corat coret waktu itu. Disitu, Ruben juga menuliskan "Good Bye, Nayla". Apa artinya ini semua?

Tiba-tiba handphone-ku berdering, ada telpon dari Keyra.

"Halo, Key?"
"Nay, lo dimana?"
"Gue lagi ada dirumah pohon."
"Hah! Ya ampun, jauh banget."
"Ada apa sih?"
"Aduh, Nay. Mendingan lo kebandara deh sekarang."
"Ngapain?"
"Ruben mau pergi ke Singapore. Dia bakal nerusin SMA di sana."
"Apa?"
"Iya, sekarang mendingan lo cepetan kebandara. Atau lo gak akan pernah ketemu sama Ruben lagi."
"Iya, iya. Gue ke sana sekarang."

Aku segera turun dari rumah pohon, dan bergegas ke bandara. Sepanjang perjalanan, aku terus menangis. Aku masih menggenggam surat dari Ruben. Semoga aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya, meminta maaf, memeluknya, mengucapkan selamat tinggal, dan mengatakan kalau kini, aku mencintainya.

Satu jam lebih perjalanan, aku baru sampai ke bandara ini.  Jarak danau dengan bandara memang jauh. Dan aku tau, ini sangat terlambat. Kecuali jika penerbangannya delay, atau Ruben memutuskan untuk batal berangkat.

Aku berlari mencari Ruben dan yang lainnya. Air mataku semakin deras mengalir.

"Nayla." seseorang memanggil namaku. Dan aku segera menoleh ke asal suara itu.

Aku terdiam. Yang memanggil namaku tadi adalah Devand. Dia bersama yang lain. Mereka semua menghampiriku.

"Nayla." Keyra memelukku.
"Gue telat?" tanyaku sembari terisak.
"Iya, Nay." ujar Keyra, juga menangis.
"Gue..." aku tak sanggup lagi untuk berbicara. "Gue belum sempet minta maaf sama dia."
"Dia bilang, dia udah maafin lo kok, Nay." ujar Idon.

Aku masih menangis dalam pelukan Keyra. Tiba-tiba saja pandanganku kabur, dan aku pingsan.

Good Bye, Ruben.

***


Friday, April 27, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 25

Maaf, Aku Mencintainya !


Setelah memastikan Ruben pulang, aku segera beranjak masuk ke kamar untuk tidur. Tapi kak Rangga mengahadangku.

"Kak Rangga!"
"Ngapain kamu jalan sama Ruben?"
"Pengen aja."
"Dia bilang apa aja sama kamu?"
"Banyak hal."
"Misalnya?"
"Kakak kenapa sih? Cemburu ya?"
"Iya."

Aku terdiam. Mata kak Rangga terus menatapku. Membuatku salah tingkah.

"Aku..." aku menatap kak Rangga. "Aku jatuh cinta."
"Sama siapa?" tanya kak Rangga.
"Kakak." aku mencium pipi kak Rangga, lalu segera memasuki kamarku dan menutup pintunya.
"Nayla." kak Rangga mengetuk pintu kamarku. "Kakak juga, cinta sama kamu."

Duarrr!! Petir seperti akan menyambar rumahku. Dan hujanpun turun. Aku masih berdiri membelakangi pintu kamarku. Dan kak Rangga juga melakukan hal yang sama di depan pintu kamarku. Senyum bahagia, terukir di bibir kami. Aku membuka pintu kamar, dan memeluk kak Rangga.

***

Kak Rangga sudah menungguku di halaman, untuk segera pergi ke sekolah. Senyum lembut, terukir di bibirnya. Aku naik ke boncengan motor kak Rangga, dan kami pergi kesekolah.

Sesampainya di sekolah, aku dan kak Rangga bergandengan tangan menuju kelas. Dan itu membuat heboh satu sekolah. Kejadian itu terulang lagi. Radit yang melihat hal itu, langsung lari duluan menuju kelas, untuk memberitahukan ini pada anak-anak.

"Guys." seru Radit saat sudah menyampai kelas.
"Apa sih, Dit?" tanya Keyra.
"Nayla. Sama. Kak Rangga." Radit menekankan setiap kata.
"Maksud lo apaan sih, Dit?" tanya Ruben. "Kalo ngomong yang jelas dong."
"Iya, Dit." Devand menimpali. "Nayla sama kak Rangga, kenapa?"
"Mereka mesra banget, kayak waktu masih pura-pura pacaran dulu." ujar Radit, akhirnya.
"Apa?"

Anak-anak langsung berlari keluar untuk melihatnya. Dan kebetulan, aku dan kak Rangga sudah sampai di dekat kelasku. Tangan kami masih bergandengan.

"Nayla." Kenzi memanggil namaku.
"Hai, selamat pagi temen-temen." sapaku.
"Ehm, Nay, kakak masuk kelas dulu ya." kak Rangga bergegas pergi. Aku mengangguk pelan.
"Tunggu!" Ruben mengejar kak Rangga.
"Mau ngapain lo?" aku menahan langkah Ruben.
"Gue ada urusan sama dia." Ruben kembali mengejar kak Rangga.
"Ruben." aku berniat menahan Ruben lagi, tapi Jonash memegang tanganku, dan membawaku masuk ke kelas.

Kak Rangga hampir mencapai kelasnya, tapi Ruben menarik bahunya dan memukul wajah kak Rangga.

"Brensek" kak Rangga berniat membalas pukulan Ruben. Tapi di halangi oleh kak Andre.
"Jangan, Ga." kak Andre segera menahan tubuh kak Rangga, agar tak mendekat pada Ruben.
"Dia udah kurang ajar sama gue, Dre." bentak kak Rangga.
"Iya, gue tau." ujar kak Andre. "Tapi ya udah lah, gak usah di bales."
"Iya, Ga. Jangan di bales." kata Ruben sinis. "Kan gue baru sekali ini mukul lo. Sedangkan lo,"

Kak Rangga kesal mendengar ucapan Ruben, dia sekuat tenaga melepaskan pegangan kak Andre dan segera melayangkan pukulannya pada Ruben. Ruben membalasnya, hingga terjadilah perkelahian disana. Kak Andre tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sedangkan anak-anak kelas lain, malah mengadu mereka.

"Pukul terus, pukul terus." teriak mereka kompak.

Aku yang mendengar berita itu, langsung berlari menuju tempat kejadian, di susul anak-anak yang lain. Sesampainya di sana, aku melihat kak Rangga sudah babak belur di pukuli Ruben. Bisa di bilang, kali ini Ruben yang menang.

"Ruben." teriakku.

Rubenpun menghentikan pukulannya pada kak Rangga. 

"Lo apa-apaan sih?" aku mendorong tubuh Ruben, lalu menolong kak Rangga yang tubuhnya tergeletak di lantai.

Darah segar mengalir di pelipis mata, bibir dan hidung kak Rangga.

"Gue juga bisa main kasar kayak lo, Ga." ujar Ruben puas.
"Lo keterlaluan, Ben." aku berdiri dan langsung menampar Ruben.
Ruben tersenyum sinis. "Lo tau, Nay? Dulu lo yang ngelakuin hal ini (menampar), sama Rangga."

Ruben memegangi pipinya yang ku tampar, lalu pergi. Aku terdiam, dan kembali duduk di sebelah kak Rangga yang masih terbaring di lantai. Aku menaruh kepalanya di pangkuanku, menoleh pada teman-temanku. Tapi mereka malah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan pergi.

Aku yang hanya di bantu oleh kak Andre, membawa kak Rangga ke UKS, dan mengobatinya. Kak Andre melarangku untuk melaporkan kejadian ini pada guru.

Setelah kak Rangga baikan, aku kembali ke kelas ku. Ku lihat Ruben sudah tidak ada di kelas. Dan semua teman-temanku menatap sinis. Aku duduk di bangkuku, sebelah Keyra. Dan Keyra langsung memalingkan wajahnya. Begitupun anak-anak yang lain. Hanya Kenzi yang masih memberi senyum, meski sebenarnya terpaksa. Rasanya ingin menangis melihat teman-temanku yang bersikap seperti ini.

Bel istirahat tiba, aku langsung menahan langkah anak-anak yang akan segera pergi ke kantin.

"Ruben mana?" tanyaku.
"Ngapain lo masih nanyain dia?" tanya Keyra sinis.
"Gue..." ucapanku terhenti.

Tiba-tiba Vivian dan si kembar datang kekelas kami. Mereka juga bersikap sama dengan teman-temanku yang lain. Menatapku, sinis.

"Kalian kenapa sih?" tanyaku bingung.
"Elo yang kenapa, Nay." bentak Vivian.
"Gue?" aku bingung.
"Iya." Vivian mengangguk. "Kecelakan itu ternyata udah mengubah lo seratus delapan puluh derajat."
"Orang yang dulunya lo benci, sekarang malah berbalik lo cintai. Sedangkan orang yang dulu lo cintai, sekarang malah berbalik lo benci." Kenzi yang tadinya hanya diam, sekarang mulai mau ikut berbicara.
"Terus gue mesti gimana?" aku mulai menangis. "Siapa yang mesti gue percaya?"
"Hati lo, Nay. Karena hati lo gak akan pernah bohong." ujar Jonash bijak.
"Dan hati gue bilang, kalo gue harus percaya sama kak Rangga." ujarku sambil terisak.
"Hati lo yang mana?" tanya Idon sinis. "Hati lo yang udah mencintai kak Rangga?"
"Maaf." hanya itu yang bisa aku ucapkan.
"Nayla, Nayla." Idon tak habis pikir. "Oke, gue tau kalo gue sama anak-anak gak bisa sepenuhnya nyalahin lo. Karena kita tau, lo kayak gini, karna lo lupa semuanya. Tapi coba deh lo pikir lagi. Apa pantas, lo ngerasain cinta yang lebih, sama kakak kandung lo sendiri?"
"Wajarlah Nay, kalo Ruben ngelakuin hal kayak tadi sama kak Rangga." ujar Devand. "Karena kak Rangga udah ngerebut orang yang paling dia cinta. Dan kak Rangga juga udah mencuci otak lo."
"Kalian gak ngerti." ujarku, lalu segera pergi.
"Sampai kapanpun, kita emang gak bakalan pernah ngerti." aku mendengar ucapan itu keluar dari mulut Vivian. Tapi aku tak lagi menghiraukannya.

***

Pulang sekolah, kak Rangga mengajakku jalan-jalan.

"Kenapa gak langsung pulang aja sih, kak?" tanyaku. "Kan kakak juga lagi sakit gini."
"Justru itu, Nay. Kakak gak mau Mama sama Papa liat muka kakak yang kayak gini. Jadi, kita jangan langsung pulang dulu ya?" bujuk kak Rangga.

Aku pun akhirnya menuruti permintaan kak Rangga. Kami tidak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu. Entah kemana?

Kak Rangga terus melajukan motornya tanpa tujuan, sampai akhirnya hujan turun. Sepertinya sedang musim hujan, karena sejak kemarin, hujan terus turun. Akhirnya aku dan kak Rangga berteduh di sebuah warung makan pinggir jalan.

"Kamu pasti laper. Sekalian makan yuk." ajak kak Rangga. Berhubung kami sudah berhenti di depan warung makan ini.

Aku mengangguk pertanda setuju. Kamipun segera masuk kedalam warung makan ini. Dan warung ini sangat ramai. Beruntunglah masih ada meja yang kosong, dan kami segera menempatinya. Aku sangat terkejut ketika menyadari tempat dan meja yang aku dan kak Rangga tempati ini. Ini warung makan dan meja yang sama, sewaktu aku makan dengan Ruben kemaren. Pelayannya pun tersenyum ramah padaku. Dan dia melirik bingung pada kak Rangga yang sekarang makan bersamaku. Entah bagaimana aku di pikirannya. Akupun tersenyum malu.

Selesai makan, aku dan kak Rangga tak langsung pergi, kami masih menunggu hujan reda. Sambil menunggu, aku memikirkan sesuatu. Hujan, warung makan ini, meja ini, mengingatkanku pada Ruben. Aku melihat keluar, ada pemandangan sebuah gedung yang tinggi menjulang, yang ku ketahui, aku pernah berada di tingkat paling atasnya, yaitu di atap gedung itu, bersama Ruben. Tanpa sadar, aku tersenyum. Dan kak Rangga bingung melihat gelagat anehku itu.

"Kamu kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanya kak Rangga.
"Ehm, gak apa-apa kok, Kak." kilahku.
"Nay." kak Rangga memegang kedua tanganku. "Kamu beneran cinta sama kakak kan?"
"Tentu dong, kak." aku tersenyum lembut.
"Kamu siap kan, mengahadapi hambatan apa aja yang bakalan kita lalui demi mempertahankan cinta kita ini?" tanya kak Rangga serius.
"Iya, kak." ujarku lembut.

Setelah hujan reda, aku dan kak Ranggapun memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, ternyata Mama dan Papa belum pulang kerja. Yang ada hanya kak Yudha yang asyik bermain dengan laptopnya.

"Eh, kalian udah pulang." ujarnya lembut. "Loh, Ga. Muka lo kenapa? Kok memar-memar gitu."
"Gak apa-apa kok, Kak." kak Rangga segera masuk ke kamarnya.
"Dia kenapa?" kak Yudha melemparkan pertanyaan itu padaku.
"Abis berantem." jawabku jujur.
"Sama siapa?" tanya kak Yudha lagi.

Tapi aku enggan untuk menjawabnya, dan langsung berlari menuju kamarku.

Malam harinya, saat kami makan malam bersama.

"Muka kamu kenapa, Ga?" tanya Papa.

Kak Rangga hanya diam.

"Katanya abis berantem ya?" tanya Papa lagi.
"Iya, Pa." akhirnya kak Rangga menjawab.
"Sama Ruben?" terka Papa.
"Kok Papa tau?" tanyaku.
"Huh! Pantaslah Ruben melakukan itu sama kamu." ujar Papa. Kak Rangga kembali terdiam.
"Kok Papa mgomongnya gitu?" tanyaku lagi.

Papa hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Tentu saja aku sudah lupa kalau kak Rangga juga pernah melakukan hal yang sama pada Ruben, sebelumnya.

"Ga, Papa akan menjodohkan kamu dengan Viona, anaknya om Faisal." ujar Papa tiba-tiba.

Sesendok nasi yang akan ku lahap, terjatuh kembali ke piring, beserta sendoknya. Kak Rangga juga tersedak, dan aku segera memberinya minum.

"Papa apa-apaan sih? Pokoknya Rangga gak mau." ujar kak Rangga.
"Kenapa?" tanya Papa sinis. "Kamu kan belum punya pacar."
"Iya. Lagi pula, kalian kan seumuran, Ga." Mama menimpali. "Viona juga adalah anak yang cantik dan baik. Dia juga pintar."
"Pokoknya Rangga gak mau." kak Rangga membanting sendok makannya. "Rangga udah jatuh cinta sama cewek lain. Dan Rangga gak akan ninggalin dia."
"Siapa gadis itu, Ga?" tanya Mama.

Kak Rangga bangkit dari duduknya, lalu menggenggam erat tanganku. Akupun ikut berdiri.

"Apa-apaan ini?" tanya Papa.
"Rangga cinta sama Nayla, Pa, Ma." ujar kak Rangga.
"Rangga. Nayla." kak Yudha terkejut mendengar pengakuan kak Rangga. Begitu juga Mama dan Papa.
"Rangga mohon, Pa." pinta kak Rangga sungguh-sungguh.
"Rangga, tapi itu gak mungkin, Nak." ujar Mama sambil menangis.
"Maaf, Ma. Aku mencintai Nayla." kak Rangga mempererat genggamannya.
"Nayla." kak Yudha memegang pundakku.
"Maaf, kak. Aku cinta sama kak Rangga." aku tertunduk.

Kak Yudha terdiam mendengar ucapanku. Papa tak bisa mengatakan apapun. Papa benar-benar shock dengan pengakuanku dan kak Rangga.

"Kamu gila, Rangga." Papa berjalan gontai sambil memegangi dadanya yang sesak. Mama segera membantu Papa yang berjalan menuju kamarnya.

Kak Yudha menunjukkan wajah kecewanya padaku dan kak Rangga. Diapun ikut pergi meninggalkan meja makan, tanpa mengatakan apapun. Bi Minah yang sedari tadi menyaksikan kejadian ini, ikut kecewa. Kini, hanya tinggal aku dan kak Rangga yang ada di meja makan. Aku masih terdiam. Dan kak Rangga langsung memelukku.

"Aku takut, kak." tangisku pun pecah.
"Kamu tenang aja ya." kak Rangga mempererat pelukannya. "Apapun yang terjadi, kakak gak akan ngelepasin kamu. Kakak cinta sama kamu."

Aku hanya diam. Entah mengapa, aku menjadi takut. Perasaanku pada kak Rangga telah menyakiti banyak orang. "Maaf" hanya itu yang bisa aku ucapkan pada semua orang yang telah aku kecewakan. "Aku mencintainya" salahkah perasaanku itu?

***