Pengawasan
Perlahan aku membuka mata. Matahari pagi sudah bersinar. Akhirnya pagi datang. Aku segera mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Semua sudah berkumpul di meja makan. Aku duduk dikursi yang biasa, di sebelah kak Yudha. Yang lain hanya diam.
"Nayla." Papa mulai membuka percakapan. "Mulai hari ini, kamu dalam pengawasan Rangga. Dia akan ikut kemanapun kamu pergi."
"Apa?" aku membelalak terkejut. "Aku gak mau."
"Harus." ujar Papa tegas.
"Mungkin ini jalan yang terbaik, sayang." ujar Mama pelan.
"Gak akan pernah jadi terbaik, kalo Nayla sama dia, Ma." aku menunjuk kesal pada kak Rangga. Dia membelalak.
"Turutin apa kata Papa, Nay." ujar kak Yudha tenang.
Aku menoleh padanya. Tapi dia tidak berani menatap mataku. Dia hanya fokus pada sarapannya. Aku tau, kak Yudha terpaksa memintaku untuk menuruti kata-kata Papa. Sebenarnya, kak Yudha juga tidak setuju dengan permusuhan Papa dan om Agustira yang sampai harus melibatkan anak-anaknya. Tapi apa boleh buat. Yang memberi perintah itu adalah Papa, kepala rumah tangga di keluarga ini.
Tamat sudah riwayatku. Hari ini aku bahkan harus berangkat sekolah bersama kak Rangga. Sesampainya di sekolah, dia terus mengikutiku.
"Berhenti ngikutin gue!" perintahku padanya.
"Gak bisa. Gue harus terus ngikutin dan ngawasin lo, sesuai permintaannya Papa." ujar kak Rangga tegas.
"Lo mau satu sekolah tau kalo kita kakak-adek?" aku tetap berusaha untuk membuat kak Rangga menjauh.
"Nggak." jawabnya. "Dan gak boleh sampai ada yang tau."
"Tapi kalo lo kayak gini terus. Selalu ngawasin gue. Kita bakal ketahuan." ujarku kesal.
"Jelas nggak lah. Mereka cuma bakal mikir kalo gue masih ngejar-ngejar lo karena pengen balikan." ujar kak Rangga santai.
"Tapi anak-anak kan taunya gue ini pacarnya Ruben." aku mulai lelah memintanya menjauh.
"Itu dia yang harus di ubah. Gue minta lo putusin Ruben sekarang." bentaknya.
"Gak mau."
Aku langsung berlari cepat menuju kelas. Dan kak Rangga mengejarku. Tapi begitu sampai di kelasku, dia mengurungkan niatnya untuk masuk. Karena dia malu. Dan akhirnya dia pergi.
"Gue denger, lo dimarahin bokap lo, gara-gara pacaran sama Ruben ya?" tanya Keyra.
"Tau dari mana?" aku balik bertanya.
"Devand." jawab Keyra ragu.
"Dasar ember." umpatku.
"Emangnya kenapa sih, Nay? Kok bokap lo sampai nentang hubungan kalian gitu?" tanya Keyra lagi.
"Gue juga gak ngerti." jawabku.
"Gak ngerti, apa lupa?" goda Keyra.
Aku cuma manyun, menanggapi ucapan Keyra. Lalu aku menoleh pada Ruben. Dia hanya diam. Mungkin dia juga sudah tau soal hubungan kita yang udah ketahuan. Devand emang beneran cowok ember lah. Gak bisa denger kabar dikit aja, langsung di ceritain ke semua orang.
Jam istirahat tiba. Aku menarik tangan Ruben menuju taman, sebelum kami ketahuan sama kak Rangga.
"Ben, kita..."
"Ketahuan?"
"Gimana dong? Sekarang Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin aku. Kita bakalan susah buat ketemu."
"Gak tau nih, aku juga bingung."
"Kamu gak akan minta putus kan?"
"Ya nggak lah, Nayla. Aku gak mungkin semudah itu ngelepasin kamu. Orang yang aku sayang."
"Tapi kalo sampai nanti orang tua kita tetep maksa nyuruh kita pisah, gimana?"
"Apapun akan aku lakukan, agar mereka bisa nerima hubungan kita ini."
Tibe-tiba Ruben menarik tanganku, dan membawaku bersembunyi dibalik pohon.
"Ada ap..." Ruben menutup mulutku dengan tangannya.
"Sttt.." dia memberi tanda agar aku tidak berisik.
Aku menuruti perintah Ruben. Ternyata ada kak Andre. Makanya Ruben langsung ngajak aku buat sembunyi. Kami diam, sementara kak Andre lagi celingak celinguk cari sesuatu. Kayaknya kak Andre di suruh sama kak Rangga buat nyari dan ngawasin aku. Dasar!!
"Ben, kalo gitu aku pergi sekarang ya." aku berniat untuk pergi lebih dulu.
"Eh, jangan. Nanti ketahuan." Ruben menahan tanganku.
"Kalo kita berdua disini terus, nanti beneran bisa ketahuan. Mendingan aku pergi diam-diam sekarang. Dan kamu tetap disini." aku mundur perlahan, sambil mengendap-endap agar kak Andre tidak melihat kepergianku.
Ruben segera duduk tenang sambil membaca bukunya di bawah pohon. Sementara, aku berlari cepat, setelah berhasil menjauh dari kak Andre.
"Eh, lo!" kak Andre berhasil menemukan Ruben di bawah pohon.
Ruben hanya menengok sebentar pada kak Andre. Kemudian dia kembali membaca bukunya.
"Dimana, Nayla?" tanya kak Andre.
"Mana gue tau." jawab Ruben.
"Bukannya, seharusnya lo tau yah! Nayla kan pacar lo." ujar kak Andre sinis.
"Dan keluarganya gak ngerestuin hubungan kami. Jadi, apa menurut lo? Apa gue masih harus nerusin hubungan yang dilarang?" Ruben berkata ketus. Membuat kak Andre kesal. Dan akhirnya pergi.
Saat sedang berlari dari taman sekolah, aku tidak sengaja menabrak seseorang.
"Auw..." ujarku kesakitan.
"Bangun." ujar orang yang ku tabrak tadi. Dia memegang kuat lenganku.
"Kak Rangga." aku membelalak terkejut.
"Mau kemana lo? Mau coba-coba kabur dari pengawasan gue?" tanya kak Rangga sinis.
Aku hanya diam. Berharap ada seseorang yang bisa membawaku pergi dari hadapan kak Rangga.
"Jangan macem-macem ya, Nay. Gue gak akan segan-segan buat ngelukain Ruben, kalo lo masih berani nemuain dia tanpa sepengetahuan gue." aku takut melihat raut wajah kak Rangga yang serius mengatakan itu.
"Abang macam apa sih lo." seseorang datang dan mengatakan itu. "Gak suka liat adeknya bahagia sama cowok yang dia cinta."
"Jonash." aku menyebut nama orang yang berkata seperti tadi.
"Jangan ikut campur lo." ujar kak Rangga ketus. "Ini urusan keluarga."
"Keluarga?" Jonash mengerutkan keningnya. "Jadi menurut lo, Nayla ini adalah keluarga lo? Terus, gimana bisa seorang keluarga, jatuh cinta dan minta keluarganya itu jadi pacarnya."
Kak Rangga terdiam mendengar ucapan Jonash. Tangannya yang tadi erat menggenggam lenganku, kini mulai melemah. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengajak Jonash kabur.
"Ayo kita pergi, Jo." aku menarik tangan Jonash, dan berlari.
Aku mengajaknya ketaman untuk menemui Ruben.
"Nayla. Jonash." Ruben kaget melihat aku dan Jonash yang ngos-ngosan. " Kalian kenapa?"
"Kita abis kabur dari kakaknya Nayla." ujar Jonash.
"Makasih ya Jo, tadi lo udah nolongin gue." ucapku tulus.
"Iya, Nay." Jonash berbaring dirumput. Keringatnya keluar membasahi wajah dan seragamnya. "Jadi sekarang, apa yang bakal kalian lakuin?" tanya Jonash.
"Gue juga gak tau, Jo." Ruben putus asa. "Gue ngerasa gak berguna banget disaat-saat kayak gini."
"Udahlah, Ben." Jonash menepuk bahu Ruben. "Kalo gue ada di posisi lo dan Nayla pun, gue juga gak tau harus berbuat apa."
"Sekarang masalahnya tambah berat, Jo." aku juga mulai putus asa.
"Apa lagi?" tanya Jonash.
"Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin gue." ujarku lemas.
Jonash menghela nafas, kemudian diam. Begitupun aku dan Ruben. Mungkin masalah ini terlalu sulit untuk anak seusia kami. Kami baru 15 tahun. Kami belum bisa menentukan jalan yang seharusnya.
Jam istirahat tiba. Aku menarik tangan Ruben menuju taman, sebelum kami ketahuan sama kak Rangga.
"Ben, kita..."
"Ketahuan?"
"Gimana dong? Sekarang Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin aku. Kita bakalan susah buat ketemu."
"Gak tau nih, aku juga bingung."
"Kamu gak akan minta putus kan?"
"Ya nggak lah, Nayla. Aku gak mungkin semudah itu ngelepasin kamu. Orang yang aku sayang."
"Tapi kalo sampai nanti orang tua kita tetep maksa nyuruh kita pisah, gimana?"
"Apapun akan aku lakukan, agar mereka bisa nerima hubungan kita ini."
Tibe-tiba Ruben menarik tanganku, dan membawaku bersembunyi dibalik pohon.
"Ada ap..." Ruben menutup mulutku dengan tangannya.
"Sttt.." dia memberi tanda agar aku tidak berisik.
Aku menuruti perintah Ruben. Ternyata ada kak Andre. Makanya Ruben langsung ngajak aku buat sembunyi. Kami diam, sementara kak Andre lagi celingak celinguk cari sesuatu. Kayaknya kak Andre di suruh sama kak Rangga buat nyari dan ngawasin aku. Dasar!!
"Ben, kalo gitu aku pergi sekarang ya." aku berniat untuk pergi lebih dulu.
"Eh, jangan. Nanti ketahuan." Ruben menahan tanganku.
"Kalo kita berdua disini terus, nanti beneran bisa ketahuan. Mendingan aku pergi diam-diam sekarang. Dan kamu tetap disini." aku mundur perlahan, sambil mengendap-endap agar kak Andre tidak melihat kepergianku.
Ruben segera duduk tenang sambil membaca bukunya di bawah pohon. Sementara, aku berlari cepat, setelah berhasil menjauh dari kak Andre.
"Eh, lo!" kak Andre berhasil menemukan Ruben di bawah pohon.
Ruben hanya menengok sebentar pada kak Andre. Kemudian dia kembali membaca bukunya.
"Dimana, Nayla?" tanya kak Andre.
"Mana gue tau." jawab Ruben.
"Bukannya, seharusnya lo tau yah! Nayla kan pacar lo." ujar kak Andre sinis.
"Dan keluarganya gak ngerestuin hubungan kami. Jadi, apa menurut lo? Apa gue masih harus nerusin hubungan yang dilarang?" Ruben berkata ketus. Membuat kak Andre kesal. Dan akhirnya pergi.
Saat sedang berlari dari taman sekolah, aku tidak sengaja menabrak seseorang.
"Auw..." ujarku kesakitan.
"Bangun." ujar orang yang ku tabrak tadi. Dia memegang kuat lenganku.
"Kak Rangga." aku membelalak terkejut.
"Mau kemana lo? Mau coba-coba kabur dari pengawasan gue?" tanya kak Rangga sinis.
Aku hanya diam. Berharap ada seseorang yang bisa membawaku pergi dari hadapan kak Rangga.
"Jangan macem-macem ya, Nay. Gue gak akan segan-segan buat ngelukain Ruben, kalo lo masih berani nemuain dia tanpa sepengetahuan gue." aku takut melihat raut wajah kak Rangga yang serius mengatakan itu.
"Abang macam apa sih lo." seseorang datang dan mengatakan itu. "Gak suka liat adeknya bahagia sama cowok yang dia cinta."
"Jonash." aku menyebut nama orang yang berkata seperti tadi.
"Jangan ikut campur lo." ujar kak Rangga ketus. "Ini urusan keluarga."
"Keluarga?" Jonash mengerutkan keningnya. "Jadi menurut lo, Nayla ini adalah keluarga lo? Terus, gimana bisa seorang keluarga, jatuh cinta dan minta keluarganya itu jadi pacarnya."
Kak Rangga terdiam mendengar ucapan Jonash. Tangannya yang tadi erat menggenggam lenganku, kini mulai melemah. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengajak Jonash kabur.
"Ayo kita pergi, Jo." aku menarik tangan Jonash, dan berlari.
Aku mengajaknya ketaman untuk menemui Ruben.
"Nayla. Jonash." Ruben kaget melihat aku dan Jonash yang ngos-ngosan. " Kalian kenapa?"
"Kita abis kabur dari kakaknya Nayla." ujar Jonash.
"Makasih ya Jo, tadi lo udah nolongin gue." ucapku tulus.
"Iya, Nay." Jonash berbaring dirumput. Keringatnya keluar membasahi wajah dan seragamnya. "Jadi sekarang, apa yang bakal kalian lakuin?" tanya Jonash.
"Gue juga gak tau, Jo." Ruben putus asa. "Gue ngerasa gak berguna banget disaat-saat kayak gini."
"Udahlah, Ben." Jonash menepuk bahu Ruben. "Kalo gue ada di posisi lo dan Nayla pun, gue juga gak tau harus berbuat apa."
"Sekarang masalahnya tambah berat, Jo." aku juga mulai putus asa.
"Apa lagi?" tanya Jonash.
"Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin gue." ujarku lemas.
Jonash menghela nafas, kemudian diam. Begitupun aku dan Ruben. Mungkin masalah ini terlalu sulit untuk anak seusia kami. Kami baru 15 tahun. Kami belum bisa menentukan jalan yang seharusnya.
***
Pulang sekolah, kak Rangga menarik tanganku menuju parkiran, dan membawaku pulang. Percuma aku menolak. Dia terlalu berkuasa. Teman-temanku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ruben diam membisu.
Aku menangis dalam perjalanan pulang. Akhirnya kak Rangga berhenti di salah satu warung makan pinggir jalan. Mungkin dia takut membawaku pulang dalam keadaan aku sedang menangis.
Kami duduk di warung makan itu, lalu kak Rangga memesan minuman.
"Nay," kak Rangga memegang tanganku. "Tolong berhenti menangis."
Aku masih terus terisak.
"Maaf. Tapi gue terpaksa ngelakuin ini. Lo emang perlu pengawasan." ujarnya lagi. "Lo boleh marah sama gue. Tapi nanti lo bakal tau, kenapa Papa memilih melakukan ini sama lo."
Aku tak merespon ucapan kak Rangga. Aku masih diam dalam tangisku.
"Percaya, Nay. Gue punya alasan kenapa gue ngawasin lo." itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kak Rangga, setelah akhirnya kami diam dalam keramaian warung makan ini.
Kak Rangga baru membawaku pulang, setelah aku berhenti menangis. Saat sampai dirumah, ternyata semua orang pergi. Disini sepi. Aku melangkah lemas menuju kamarku. Rumah, kini sudah bukan tempat yang nyaman bagiku. Entah mengapa, aku merasa takut dan risih berada di sini. Semua itu kurasakan, sejak masalah yang terjadi antara aku dan kak Rangga.
Saat makan malam, aku hanya diam.
"Ga, gimana tadi Nayla disekolah?" Papa bertanya pada kak Rangga.
"Aman kok, Pa." jawab kak Rangga lesu.
"Oh, baguslah." Papa menarik nafas lega.
Aku masih duduk di meja makan dalam diam. Tiba-tiba kak Yudha memegang tanganku.
"Abis ini, kakak mau ngomong ya." ujarnya lembut. Dan ku balas dengan anggukan.
Begitu makan malam selesai, aku dan kak Yudha duduk berdua di teras.
"Apa kamu membenci kami, Nay?" tanya kak Yudha ragu.
Aku menoleh padanya, lalu menggeleng pelan. Dan kak Yudha tersenyum.
"Apa kamu benar-benar mencintai anaknya om Agustira itu?" tanya kak Yudha lagi. Dan aku hanya mengangguk.
"Kenapa?" kak Yudha bertanya lembut.
"Nayla gak tau kenapa kak." akhirnya aku bicara juga. "Ruben tiba-tiba saja datang. Memberi cinta dan kebahagiaan pada Nayla. Di saat Nayla kehilangan banyak cinta. Dan tanpa sadar, hati Nayla memilih Ruben, kak."
Kak Yudha tersenyum tipis, sambil mengelus pelan rambutku. Setelah itu kami saling diam. Dan akhirnya aku memilih untuk pergi duluan kekamar.
Aku menangis dalam perjalanan pulang. Akhirnya kak Rangga berhenti di salah satu warung makan pinggir jalan. Mungkin dia takut membawaku pulang dalam keadaan aku sedang menangis.
Kami duduk di warung makan itu, lalu kak Rangga memesan minuman.
"Nay," kak Rangga memegang tanganku. "Tolong berhenti menangis."
Aku masih terus terisak.
"Maaf. Tapi gue terpaksa ngelakuin ini. Lo emang perlu pengawasan." ujarnya lagi. "Lo boleh marah sama gue. Tapi nanti lo bakal tau, kenapa Papa memilih melakukan ini sama lo."
Aku tak merespon ucapan kak Rangga. Aku masih diam dalam tangisku.
"Percaya, Nay. Gue punya alasan kenapa gue ngawasin lo." itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kak Rangga, setelah akhirnya kami diam dalam keramaian warung makan ini.
Kak Rangga baru membawaku pulang, setelah aku berhenti menangis. Saat sampai dirumah, ternyata semua orang pergi. Disini sepi. Aku melangkah lemas menuju kamarku. Rumah, kini sudah bukan tempat yang nyaman bagiku. Entah mengapa, aku merasa takut dan risih berada di sini. Semua itu kurasakan, sejak masalah yang terjadi antara aku dan kak Rangga.
Saat makan malam, aku hanya diam.
"Ga, gimana tadi Nayla disekolah?" Papa bertanya pada kak Rangga.
"Aman kok, Pa." jawab kak Rangga lesu.
"Oh, baguslah." Papa menarik nafas lega.
Aku masih duduk di meja makan dalam diam. Tiba-tiba kak Yudha memegang tanganku.
"Abis ini, kakak mau ngomong ya." ujarnya lembut. Dan ku balas dengan anggukan.
Begitu makan malam selesai, aku dan kak Yudha duduk berdua di teras.
"Apa kamu membenci kami, Nay?" tanya kak Yudha ragu.
Aku menoleh padanya, lalu menggeleng pelan. Dan kak Yudha tersenyum.
"Apa kamu benar-benar mencintai anaknya om Agustira itu?" tanya kak Yudha lagi. Dan aku hanya mengangguk.
"Kenapa?" kak Yudha bertanya lembut.
"Nayla gak tau kenapa kak." akhirnya aku bicara juga. "Ruben tiba-tiba saja datang. Memberi cinta dan kebahagiaan pada Nayla. Di saat Nayla kehilangan banyak cinta. Dan tanpa sadar, hati Nayla memilih Ruben, kak."
Kak Yudha tersenyum tipis, sambil mengelus pelan rambutku. Setelah itu kami saling diam. Dan akhirnya aku memilih untuk pergi duluan kekamar.
***
Kak Rangga sudah menungguku diluar, dengan motornya. Masih sama dengan kemarin, aku harus berangkat sekolah bersama kak Rangga. Aku masih dalam pengawasannya. Dan hari ini, entah kenapa, aku mulai menerima saja pengawasan ini. Meskipun, ini membuatku risih.
"Gue cuma minta satu, Nay." ujar kak Rangga, begitu kami sudah sampai diparkiran sekolah. "Jauhi Ruben, maka gue juga akan berhenti ngawasin lo."
Aku hanya diam, lalu segera pergi meninggalkan kak Rangga di parkiran. Sejak kemarin, aku tak pernah bicara lagi pada kak Rangga. Dan aku tau ini menyakitinya. Bagaimana tidak. Kami bersama, tapi aku tak pernah bicara padanya.
Ini adalah cara gue, agar gue gak harus membenci lo, kak. Batinku.
Aku terus berjalan menuju kelas. Dan begitu sampai dikelas, aku tak menemukan siapapun kecuali Ruben. Dia hanya sendirian dikelas ini. Dan aku langsung menghampirinya.
"Ben." aku duduk disebelahnya.
"Kamu gak apa-apa kan?" tanya Ruben.
"Aku baik-baik aja." jawabku mantap.
Ruben tersenyum, sambil mengelus lembut rambutku.
Ya tuhan, mampukah aku melupakan cinta yang begitu indah ini. Beri aku kekuatan untuk menjaga cinta ini, ya tuhan. Aku tidak bisa melepas Ruben. Tapi aku juga merasa bersalah, bila menentang Papa. Apakah cinta ini salah? Apakah aku memang harus melepaskannya?
***
Tak terasa, ini sudah hari ke 21, kak Rangga mengawasiku. Dan sudah selama itu pula, aku tidak pernah berbicara padanya. Aku masih menemui Ruben, pastinya. Dan itu tanpa sepengetahuan kak Rangga. Kak Rangga sudah tidak terlalu sering mengawasiku. Perhatiannya sudah banyak tersita oleh persiapan ujian akhir anak kelas 3. Ini sudah bulan Februari.
Devand dan tante Mery sudah tidak tinggal bersama kami lagi, sejak lima hari lalu. Mereka sudah menemukan rumah baru, yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Jadi, tante Mery dan Devand bisa tiap hari mengunjungi kami. Seperti hari ini. Tante Mery dan Devand berkunjung kerumah kami.
"Wah, ada yang mau ulang tahun nih." ujar tante Mery padaku.
Aku tersenyum tipis. "Iya tante, tadi undangan pesta buat besoknya juga udah disebar sama anak-anak. Dibantu Devand lah pastinya."
"Iya dong, gue kan sahabat yang baik." Devand tersenyum bangga.
Tiba-tiba kak Rangga datang dengan tampang jutek.
"Gue mau ngomong sama lo." ujarnya serius.
"Nay," tante Mery memberi isyarat agar aku menyetujui permintaan kak Rangga.
Lalu aku mengangguk dan mengikuti langkah kak Rangga menuju halaman belakang rumah.
"Lo ngundang Ruben?" tanyanya ketus.
"Iya." ini untuk pertama kalinya, aku berbicara lagi pada kak Rangga.
"Gila ya. Lo mau Papa ngamuk." bentaknya. "Jangan lo pikir, mentang-mentang selama ini gue sibuk buat persiapan ujian, gue berhenti ngawasin lo. Nggak, Nay. Gue punya banyak mata yang selalu bantu gue buat ngawasin lo."
"Lo pikir gue peduli?" ujarku sinis.
"Ternyata selama ini lo masih berhubungan sama Ruben. Lo masih sering jalan berdua sama dia, tanpa sepengetahuan gue." kak Rangga kesal dengan kenyataan itu.
"Kalo itu murni salah lo." ujarku santai. "Katanya lo bakalan ngawasin gue. Tapi nyatanya, lo kebablasan juga."
Kak Rangga menahan marahnya. Dia menggenggam kuat kedua tangannya.
"Berhenti ngawasin gue. Karena itu, percuma."
Setelah mengatakan hal itu, aku langsung meninggalkan kak Rangga. Dan aku tau, dia sangat marah dengan perkataanku barusan. Tapi aku tak peduli.
***