Saturday, March 31, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 18

Pengawasan


Perlahan aku membuka mata. Matahari pagi sudah bersinar. Akhirnya pagi datang. Aku segera mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Semua sudah berkumpul di meja makan. Aku duduk dikursi yang biasa, di sebelah kak Yudha. Yang lain hanya diam.

"Nayla." Papa mulai membuka percakapan. "Mulai hari ini, kamu dalam pengawasan Rangga. Dia akan ikut kemanapun kamu pergi."
"Apa?" aku membelalak terkejut. "Aku gak mau."
"Harus." ujar Papa tegas.
"Mungkin ini jalan yang terbaik, sayang." ujar Mama pelan.
"Gak akan pernah jadi terbaik, kalo Nayla sama dia, Ma." aku menunjuk kesal pada kak Rangga. Dia membelalak.
"Turutin apa kata Papa, Nay." ujar kak Yudha tenang.

Aku menoleh padanya. Tapi dia tidak berani menatap mataku. Dia hanya fokus pada sarapannya. Aku tau, kak Yudha terpaksa memintaku untuk menuruti kata-kata Papa. Sebenarnya, kak Yudha juga tidak setuju dengan permusuhan Papa dan om Agustira yang sampai harus melibatkan anak-anaknya. Tapi apa boleh buat. Yang memberi perintah itu adalah Papa, kepala rumah tangga di keluarga ini.

Tamat sudah riwayatku. Hari ini aku bahkan harus berangkat sekolah bersama kak Rangga. Sesampainya di sekolah, dia terus mengikutiku.

"Berhenti ngikutin gue!" perintahku padanya.
"Gak bisa. Gue harus terus ngikutin dan ngawasin lo, sesuai permintaannya Papa." ujar kak Rangga tegas.
"Lo mau satu sekolah tau kalo kita kakak-adek?" aku tetap berusaha untuk membuat kak Rangga menjauh.
"Nggak." jawabnya. "Dan gak boleh sampai ada yang tau."
"Tapi kalo lo kayak gini terus. Selalu ngawasin gue. Kita bakal ketahuan." ujarku kesal.
"Jelas nggak lah. Mereka cuma bakal mikir kalo gue masih ngejar-ngejar lo karena pengen balikan." ujar kak Rangga santai.
"Tapi anak-anak kan taunya gue ini pacarnya Ruben." aku mulai lelah memintanya menjauh.
"Itu dia yang harus di ubah. Gue minta lo putusin Ruben sekarang." bentaknya.
"Gak mau."

Aku langsung berlari cepat menuju kelas. Dan kak Rangga mengejarku. Tapi begitu sampai di kelasku, dia mengurungkan niatnya untuk masuk. Karena dia malu. Dan akhirnya dia pergi.

"Gue denger, lo dimarahin bokap lo, gara-gara pacaran sama Ruben ya?" tanya Keyra.
"Tau dari mana?" aku balik bertanya.
"Devand." jawab Keyra ragu.
"Dasar ember." umpatku.
"Emangnya kenapa sih, Nay? Kok bokap lo sampai nentang hubungan kalian gitu?" tanya Keyra lagi.
"Gue juga gak ngerti." jawabku.
"Gak ngerti, apa lupa?" goda Keyra.

Aku cuma manyun, menanggapi ucapan Keyra. Lalu aku menoleh pada Ruben. Dia hanya diam. Mungkin dia juga sudah tau soal hubungan kita yang udah ketahuan. Devand emang beneran cowok ember lah. Gak bisa denger kabar dikit aja, langsung di ceritain ke semua orang.

Jam istirahat tiba. Aku menarik tangan Ruben menuju taman, sebelum kami ketahuan sama kak Rangga.

"Ben, kita..."
"Ketahuan?"
"Gimana dong? Sekarang Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin aku. Kita bakalan susah buat ketemu."
"Gak tau nih, aku juga bingung."
"Kamu gak akan minta putus kan?"
"Ya nggak lah, Nayla. Aku gak mungkin semudah itu ngelepasin kamu. Orang yang aku sayang."
"Tapi kalo sampai nanti orang tua kita tetep maksa nyuruh kita pisah, gimana?"
"Apapun akan aku lakukan, agar mereka bisa nerima hubungan kita ini."

Tibe-tiba Ruben menarik tanganku, dan membawaku bersembunyi dibalik pohon.

"Ada ap..." Ruben menutup mulutku dengan tangannya.
"Sttt.." dia memberi tanda agar aku tidak berisik.

Aku menuruti perintah Ruben. Ternyata ada kak Andre. Makanya Ruben langsung ngajak aku buat sembunyi. Kami diam, sementara kak Andre lagi celingak celinguk cari sesuatu. Kayaknya kak Andre di suruh sama kak Rangga buat nyari dan ngawasin aku. Dasar!!

"Ben, kalo gitu aku pergi sekarang ya." aku berniat untuk pergi lebih dulu.
"Eh, jangan. Nanti ketahuan." Ruben menahan tanganku.
"Kalo kita berdua disini terus, nanti beneran bisa ketahuan. Mendingan aku pergi diam-diam sekarang. Dan kamu tetap disini." aku mundur perlahan, sambil mengendap-endap agar kak Andre tidak melihat kepergianku.

Ruben segera duduk tenang sambil membaca bukunya di bawah pohon. Sementara, aku berlari  cepat, setelah berhasil menjauh dari kak Andre.

"Eh, lo!" kak Andre berhasil menemukan Ruben di bawah pohon.
Ruben hanya menengok sebentar pada kak Andre. Kemudian dia kembali membaca bukunya.
"Dimana, Nayla?" tanya kak Andre.
"Mana gue tau." jawab Ruben.
"Bukannya, seharusnya lo tau yah! Nayla kan pacar lo." ujar kak Andre sinis.
"Dan keluarganya gak ngerestuin hubungan kami. Jadi, apa menurut lo? Apa gue masih harus nerusin hubungan yang dilarang?" Ruben berkata ketus. Membuat kak Andre kesal. Dan akhirnya pergi.

Saat sedang berlari dari taman sekolah, aku tidak sengaja menabrak seseorang.

"Auw..." ujarku kesakitan.
"Bangun." ujar orang yang ku tabrak tadi. Dia memegang kuat lenganku.
"Kak Rangga." aku membelalak terkejut.
"Mau kemana lo? Mau coba-coba kabur dari pengawasan gue?" tanya kak Rangga sinis.

Aku hanya diam. Berharap ada seseorang yang bisa membawaku pergi dari hadapan kak Rangga.

"Jangan macem-macem ya, Nay. Gue gak akan segan-segan buat ngelukain Ruben, kalo lo masih berani nemuain dia tanpa sepengetahuan gue." aku takut melihat raut wajah kak Rangga yang serius mengatakan itu.
"Abang macam apa sih lo." seseorang datang dan mengatakan itu. "Gak suka liat adeknya bahagia sama cowok yang dia cinta."
"Jonash." aku menyebut nama orang yang berkata seperti tadi.
"Jangan ikut campur lo." ujar kak Rangga ketus. "Ini urusan keluarga."
"Keluarga?" Jonash mengerutkan keningnya. "Jadi menurut lo, Nayla ini adalah keluarga lo? Terus, gimana bisa seorang keluarga, jatuh cinta dan minta keluarganya itu jadi pacarnya."

Kak Rangga terdiam mendengar ucapan Jonash. Tangannya yang tadi erat menggenggam lenganku, kini mulai melemah. Aku memanfaatkan situasi ini untuk mengajak Jonash kabur.

"Ayo kita pergi, Jo." aku menarik tangan Jonash, dan berlari.

Aku mengajaknya ketaman untuk menemui Ruben.

"Nayla. Jonash." Ruben kaget melihat aku dan Jonash yang ngos-ngosan. " Kalian kenapa?"
"Kita abis kabur dari kakaknya Nayla." ujar Jonash.
"Makasih ya Jo, tadi lo udah nolongin gue." ucapku tulus.
"Iya, Nay." Jonash berbaring dirumput. Keringatnya keluar membasahi wajah dan seragamnya. "Jadi sekarang, apa yang bakal kalian lakuin?" tanya Jonash.
"Gue juga gak tau, Jo." Ruben putus asa. "Gue ngerasa gak berguna banget disaat-saat kayak gini."
"Udahlah, Ben." Jonash menepuk bahu Ruben. "Kalo gue ada di posisi lo dan Nayla pun, gue juga gak tau harus berbuat apa."
"Sekarang masalahnya tambah berat, Jo." aku juga mulai putus asa.
"Apa lagi?" tanya Jonash.
"Papa nyuruh kak Rangga buat ngawasin gue." ujarku lemas.

Jonash menghela nafas, kemudian diam. Begitupun aku dan Ruben. Mungkin masalah ini terlalu sulit untuk anak seusia kami. Kami baru 15 tahun. Kami belum bisa menentukan jalan yang seharusnya.

***

Pulang sekolah, kak Rangga menarik tanganku menuju parkiran, dan membawaku pulang. Percuma aku menolak. Dia terlalu berkuasa. Teman-temanku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ruben diam membisu.

Aku menangis dalam perjalanan pulang. Akhirnya kak Rangga berhenti di salah satu warung makan pinggir jalan. Mungkin dia takut membawaku pulang dalam keadaan aku sedang menangis.

Kami duduk di warung makan itu, lalu kak Rangga memesan minuman.

"Nay," kak Rangga memegang tanganku. "Tolong berhenti menangis."

Aku masih terus terisak.

"Maaf. Tapi gue terpaksa ngelakuin ini. Lo emang perlu pengawasan." ujarnya lagi. "Lo boleh marah sama gue. Tapi nanti lo bakal tau, kenapa Papa memilih melakukan ini sama lo."

Aku tak merespon ucapan kak Rangga. Aku masih diam dalam tangisku.

"Percaya, Nay. Gue punya alasan kenapa gue ngawasin lo." itulah kata-kata terakhir yang diucapkan kak Rangga, setelah akhirnya kami diam dalam keramaian warung makan ini.

Kak Rangga baru membawaku pulang, setelah aku berhenti menangis. Saat sampai dirumah, ternyata semua orang pergi. Disini sepi. Aku melangkah lemas menuju kamarku. Rumah, kini sudah bukan tempat yang nyaman bagiku. Entah mengapa, aku merasa takut dan risih berada di sini. Semua itu kurasakan, sejak masalah yang terjadi antara aku dan kak Rangga.

Saat makan malam, aku hanya diam.

"Ga, gimana tadi Nayla disekolah?" Papa bertanya pada kak Rangga.
"Aman kok, Pa." jawab kak Rangga lesu.
"Oh, baguslah." Papa menarik nafas lega.

Aku masih duduk di meja makan dalam diam. Tiba-tiba kak Yudha memegang tanganku.

"Abis ini, kakak mau ngomong ya." ujarnya lembut. Dan ku balas dengan anggukan.

Begitu makan malam selesai, aku dan kak Yudha duduk berdua di teras.

"Apa kamu membenci kami, Nay?" tanya kak Yudha ragu.

Aku menoleh padanya, lalu menggeleng pelan. Dan kak Yudha tersenyum.

"Apa kamu benar-benar mencintai anaknya om Agustira itu?" tanya kak Yudha lagi. Dan aku hanya mengangguk.
"Kenapa?" kak Yudha bertanya lembut.
"Nayla gak tau kenapa kak." akhirnya aku bicara juga. "Ruben tiba-tiba saja datang. Memberi cinta dan kebahagiaan pada Nayla. Di saat Nayla kehilangan banyak cinta. Dan tanpa sadar, hati Nayla memilih Ruben, kak."

Kak Yudha tersenyum tipis, sambil mengelus pelan rambutku. Setelah itu kami saling diam. Dan akhirnya aku memilih untuk pergi duluan kekamar.

***

Kak Rangga sudah menungguku diluar, dengan motornya. Masih sama dengan kemarin, aku harus berangkat sekolah bersama kak Rangga. Aku masih dalam pengawasannya. Dan hari ini, entah kenapa, aku mulai menerima saja pengawasan ini. Meskipun, ini membuatku risih.

"Gue cuma minta satu, Nay." ujar kak Rangga, begitu kami sudah sampai diparkiran sekolah. "Jauhi Ruben, maka gue juga akan berhenti ngawasin lo."

Aku hanya diam, lalu segera pergi meninggalkan kak Rangga di parkiran. Sejak kemarin, aku tak pernah bicara lagi pada kak Rangga. Dan aku tau ini menyakitinya. Bagaimana tidak. Kami bersama, tapi aku tak pernah bicara padanya.

Ini adalah cara gue, agar gue gak harus membenci lo, kak. Batinku.

Aku terus berjalan menuju kelas. Dan begitu sampai dikelas, aku tak menemukan siapapun kecuali Ruben. Dia hanya sendirian dikelas ini. Dan aku langsung menghampirinya.

"Ben." aku duduk disebelahnya.
"Kamu gak apa-apa kan?" tanya Ruben.
"Aku baik-baik aja." jawabku mantap.

Ruben tersenyum, sambil mengelus lembut rambutku.

Ya tuhan, mampukah aku melupakan cinta yang begitu indah ini. Beri aku kekuatan untuk menjaga cinta ini, ya tuhan. Aku tidak bisa melepas Ruben. Tapi aku juga merasa bersalah, bila menentang Papa. Apakah cinta ini salah? Apakah aku memang harus melepaskannya?

***

Tak terasa, ini sudah hari ke 21, kak Rangga mengawasiku. Dan sudah selama itu pula, aku tidak pernah berbicara padanya. Aku masih menemui Ruben, pastinya. Dan itu tanpa sepengetahuan kak Rangga. Kak Rangga sudah tidak terlalu sering mengawasiku. Perhatiannya sudah banyak tersita oleh persiapan ujian akhir anak kelas 3. Ini sudah bulan Februari.

Devand dan tante Mery sudah tidak tinggal bersama kami lagi, sejak lima hari lalu. Mereka sudah menemukan rumah baru, yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kami. Jadi, tante Mery dan Devand bisa tiap hari mengunjungi kami. Seperti hari ini. Tante Mery dan Devand berkunjung kerumah kami.

"Wah, ada yang mau ulang tahun nih." ujar tante Mery padaku.
Aku tersenyum tipis. "Iya tante, tadi undangan pesta buat besoknya juga udah disebar sama anak-anak. Dibantu Devand lah pastinya."
"Iya dong, gue kan sahabat yang baik." Devand tersenyum bangga.

Tiba-tiba kak Rangga datang dengan tampang jutek.

"Gue mau ngomong sama lo." ujarnya serius.
"Nay," tante Mery memberi isyarat agar aku menyetujui permintaan kak Rangga.

Lalu aku mengangguk dan mengikuti langkah kak Rangga menuju halaman belakang rumah.

"Lo ngundang Ruben?" tanyanya ketus.
"Iya." ini untuk pertama kalinya, aku berbicara lagi pada kak Rangga.
"Gila ya. Lo mau Papa ngamuk." bentaknya. "Jangan lo pikir, mentang-mentang selama ini gue sibuk buat persiapan ujian, gue berhenti ngawasin lo. Nggak, Nay. Gue punya banyak mata yang selalu bantu gue buat ngawasin lo."
"Lo pikir gue peduli?" ujarku sinis.
"Ternyata selama ini lo masih berhubungan sama Ruben. Lo masih sering jalan berdua sama dia, tanpa sepengetahuan gue." kak Rangga kesal dengan kenyataan itu.
"Kalo itu murni salah lo." ujarku santai. "Katanya lo bakalan ngawasin gue. Tapi nyatanya, lo kebablasan juga."

Kak Rangga menahan marahnya. Dia menggenggam kuat kedua tangannya.

"Berhenti ngawasin gue. Karena itu, percuma."

Setelah mengatakan hal itu, aku langsung meninggalkan kak Rangga. Dan aku tau, dia sangat marah dengan perkataanku barusan. Tapi aku tak peduli.

***


Monday, March 26, 2012

27 NOVEMBER TERINDAH UNTUK ABIM




“Sureprise!!” teriak Dinda.

Tepat jam 00.00 malam ini, Abim berulang tahun yang ke-17. Dinda sahabat Abim, menyiapkan pesta kejutan untuk Abim. Dan di bantu teman-temannya yang lain.

“Happy Birthday Abim!” teriak Dinda lagi.

Sebuah kue, nampak dibawa oleh Dinda, dengan 17 lilin. Abim yang hampir terlelap, akhirnya bangun. Dan dengan berat, ia membuka mata. Dia sangat tau, suara siapa yang berteriak barusan. Itu jelas milik Dinda, sahabatnya.

“Wah, makasih yaa Dinda.” Ujar Abim, sambil meniup lilin pada kue yang di bawa Dinda.
“Yeee…” anak-anak lain yang ada dalam pesta kejutanpun, ikut berteriak. “Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga!” teriak mereka lagi.

Abim memotong kuenya, dan memberikan potongan pertama itu untuk Dinda. Anak-anak langsung pada tuit tuit gak jelas. Setelah potongan pertama yang diberikan untuk Dinda, kue itu langsung di lempar ke mukanya Abim. Seketika, mukanya Abim jadi putih-putih belepotan kue. Dan Abim merasa kesal. Akhirnya, Abim balas melempar kue pada teman-temannya yang lain. Jadi deh, muka semuanya pada belepotan kue.

Semua itu terus berlangsung sampai subuh menjelang. Lalu semuanya pulang. Untung hari ini adalah hari minggu, jadi mereka bisa santai dan melanjutkan tidur mereka yang tertunda karena memberi sureprise pada Abim semalam. Kecuali Dinda. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 07.00, Dinda kembali datang ke rumah Abim.

“Selamat pagi.” Sapanya penuh semangat, begitu Abim keluar membukakan pintu.
“Pagi.” Balas Abim yang masih sedikit ngantuk. “Ada apa, Din?”
“Buruan mandi, sana.” Perintah Dinda.
“Emangnya mau ngapain?” tanya Abim.
“Gue mau ngajakin lo pergi.” Jawab Dinda semangat.
“Pergi kemana?” tanya Abim lagi.
“ Aduh, lo banyak tanya banget sih. Udah, mandi sekarang pokoknya.” Dinda mendorong tubuh Abim sampai ke depan kamar mandi. “Gue tunggu di ruang tamu ya. Tiga puluh menit harus selesai.”
“Iya iya.” Ujar Abim pasrah. “Kalo mau minum atau makan, minta sama Bibi ya.” Teriak Abim dari dalam kamar mandi.”
“Iya.” Jawab Dinda dari ruang tamu.

Abim memang tinggal bersama kedua orang tuanya dirumah ini, tapi orang tuanya sering pergi keluar kota untuk urusan kerja. Jadi yaa, rumah besar yang ditempatinya ini jadi begitu sepi.

Tiga puluh menit kemudian, Abim sudah siap. Dia mengejutkan Dinda yang sedang asik nonton TV diruang tamu.

“Udah siap?” tanya Dinda.
“Udah. “ jawab Abim. “ Tapi emangnya kita mau kemana sih, Din?” kini dia yang balik bertanya pada Dinda.
“Seharian ini, sampai jam 12 malem nanti, gue bakal kasih lo tujuh belas kejutan. Pokoknya, 27 November tahun ini, bakalan jadi 27 November terindah buat lo.” Ujar Dinda penuh semangat.

Abim tersenyum tipis, lalu memeluk Dinda. “Makasih ya Dinda.” Ujarnya.
“Bilang makasihnya entar aja, kali. Kan gue belum ngasih kejutannya.” Ujar Dinda.

Perjalanan pun dimulai. Tempat pertama yang mereka datangi adalah warteg. Abim sangat suka makan di warteg. Karena itu, Dinda membawanya kesini. Ini adalah kejutan kedua, setelah kejutan pesta ulang tahun semalam.

“Lo tau aja nih, kalo gue belum sarapan.” Ujar Abim.
“Iya dong. Sekarang silahkan lo pesen dan makan sepuas lo. Gue yang bayar.” Kata Dinda.
“Siaappp.” Abim segera memesan.
Saking lapernya, Abim sampai menghabiskan dua piring nasi beserta lauknya. Lalu dia memesan lagi untuk piring yang ketiga.

“Lo gak mau, Din?” tawar Abim. “Dari tadi gue cuma makan sendiri nih.”
“Udah, lo nikmatin aja makanannya. Gue udah kenyang kok.” Ujar Dinda sambil memainkan handphonenya.
“Gak bisa gitu dong. Lo tetep harus makan. Biarpun cuma satu sendok.” Abim menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya pada Dinda. Dan Dinda tak bisa menolak. Dia menerima suapan dari Abim.

Selesai makan di warteg, Dinda mengajak Abim ke tempat biasa mereka kumpul dengan teman-teman yang lain. Disana sudah ada teman-teman band Abim yang bersiap untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan alat-alat band mereka. Ini adalah kejutan yang ke 3.

Setelah teman-teman Abim itu nyanyi, mereka memberikan sebuah gitar untuk Abim.

“Kok gitarnya dikasih ke gue sih?” tanya Abim bingung.
“Ini kejutan yang ke 4.” Ujar Dinda. “Gue sengaja beliin gitar ini buat lo. Kan waktu itu, lo bilang lo pengen banget punya gitar ini.”
“Hah! Serius?” Abim setengah percaya. “Wah, makasih banget ya, Din.”
“Iya. Ayo sekarang ikut gue ke tempat dan kejutan berikutnya.” Ajak Dinda.

Kejutan ke 5 adalah anak-anak jalanan yang bernyanyi untuk Abim. Mereka adalah pengamen yang kemaren emang udah di mintai bantuan oleh Dinda, untuk kejutan ke 5 ini. Abim terharu banget liatnya. Dan setelah anak-anak jalanan itu bernyanyi. Kini Abim lah yang ingin membalasnya dengan bernyanyi untuk para anak jalanan ini. Dan kemudian mereka pergi.

“Mereka keren ya.” Yang di maksud Dinda adalah para anak jalanan yang tadi.
“Iya.” Abim membenarkan. “Mereka bukan sekedar anak jalanan, Din. Tapi bagi gue, mereka adalah musisi jalanan yang hebat. Gue bahkan mau belajar banyak dari mereka. Makasih ya, lo udah kasih kejutan yang tadi.”
“Iya.” Dinda tersenyum lembut.

Hari sudah siang. Dinda masih akan memberikan kejutan berikutnya kepada Abim. Tujuan mereka selanjutnya adalah taman kota. Disana, Dinda meminta Abim untuk mencari kejutannya sendiri. Dinda sudah menyiapkan kejutannya di sekitar taman ini. Dan Abim harus mencari dan menemukannya.

Setelah cukup lama mencari, akhirnya Abim menemukan kotak kecil berwarna merah. Dan didalamnya berisi sebuah cincin.

“Ini gak mungkin buat gue kan, Din?” tanya Abim bingung. “Apa gue salah nemuin kejutan?”
“Nggak kok, Bim. Itu emang buat lo.” Ujar Dinda yakin.
“Tapi ini kan cincin buat cewek. Terus juga gak muat sama gue.” Abim masih bingung.
“Gue ngasih ini ke elo, tapi bukan buat lo.” Dinda menjelaskan. “Tapi buat seseorang yang lo cinta, dan bakalan lo milikin nantinya.”
“Gue gak ngerti.” Abim menggaruk-garuk kepalanya.
“Udah lah simpen aja. Nanti juga lo tau apa tujuan gue ngasih cincin ini sama lo.”

Yang itu adalah kejutan ke 6 untuk Abim. Dan dia tidak sabar lagi untuk kejutan ke 7.

“Kejutan ke 7 nya apa?” tanya Abim penasaran.
“Siniin gitar lo.” Dinda meminjam gitar yang tadi di belikannya untuk Abim. Dan dengan tampang yang aneh dan masih bingung, Abim meminjamkannya.

Dinda lalu menyanyikan sebuah lagu untuk Abim, sambil memainkan gitar. Padahal setau Abim, Dinda tidak bisa bermain gitar. Tapi Abim hanya diam saking terpesonanya dengar nyanyian dan permainan gitar Dinda. Dia mendengarkan, sampai Dinda selesai menyanyi.

“Gue gak tau kalo lo bisa main gitar.” Kata Abim setelah Dinda selesai.
“Gue cuma belajar buat satu lagu ini aja kok.” Kata Dinda santai. “Gue udah pelajarin ini dari satu bulan yang lalu.”
“Dan ini semua lo lakuin buat gue?” tanya Abim tak percaya.

Dinda mengangguk pelan, sembari tersenyum.  Berikutnya adalah kejutan ke 8. Dinda mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

“Tebak apa yang bakal gue kasih sama lo, untuk kejutan ke 8 ini?” Dinda meminta Abim menebaknya.

Abim berfikir. Lalu menjawab asal, “Novel.” Ujarnya sembari tertawa.
“Ih, kok lo tau sih?” Dinda menunjukkan novel yang tadi ngumpet di tasnya. “Gak seru ih.”
“Hah.” Abim terkejut. “Gue tadi nebaknya ngasal aja loh. Karena gue pikir, lo gak mungkin ngasih ini.”
“Emangnya kenapa kalo gue ngasih lo ini?” tanya Dinda sinis.
“Ya karena lo tau kalo gue gak suka baca.” Jawab Abim.
“Gue tau kok kalo lo gak suka baca.” Ujar Dinda. “Tapi untuk kali ini, gue mau lo buat baca novel itu. Tapi bacanya nanti ya,  setelah lo nyampe dirumah.”
“Emangnya ada apa sama novel ini?” tanya Abim yang masih bingung.
“Gue mau tau komentar lo tentang novel buatan gue ini.” Jawaban Dinda benar-benar mengejutkan Abim.
“Lo nerbitin novel?” tanya Abim.
“Itu baru draft novel yang mau gue kasih ke penerbit. Tapi gue mau lo jadi orang pertama yang bacanya, terus kasih komentar deh.” Ujar Dinda.
“Oh, ok.”

Lalu mereka meneruskan perjalanan untuk kejutan yang ke 9. Tempat berikutnya adalah sebuah rumah. Disana Dinda memperkenalkan Abim pada sahabatnya yang bernama Romi.

“Rom, tolong lukis sahabat gue ini yah.” Dinda menunjuk kearah Abim.
“Ok.” Jawab Romi. “Bentar ya, gue siapin alatnya dulu.”

Abim cuma diem aja kayak patung, saat sedang dilukis. Ini adalah kejutan ke 9. Romi melukis wajah Abim. Dan jadinya keren banget.

“Gimana?” tanya Dinda pada Abim.
“Keren banget.” Abim sanget suka pada hasilnya.
“Tapi lukisannya belum bisa di bawa pulang sekarang ya.” Ujar Romi. “Itu belum selesai semua.”
“Iya.” Ujar Abim.
“Ok. Kalo gitu sekarang kita beralih ketempat berikutnya, yuk.” Ajak Dinda. “Makasih ya, Rom.” Ujarnya pada Romi.
“Iya.” Jawab Romi.

Selanjutnya, Dinda membawa Abim ke tempat tantenya. Disana tante Dinda sudah menyambut mereka.

“Udah jadi kan, tante?” tanya Dinda pada tantenya.
“Udah dong, Din. Bentar ya, tante ambil dulu.” Tantenya Dinda lalu kebelakang untuk mengambil kejutan ke 10 untuk Abim. Dan.. taraaaa….. Gelas bergambarkan wajah Abim, dan bertuliskan namanya juga. Tante Dinda lah yang membuatnya, atas permintaan Dinda. Dan Abim sangat senang menerimanya.

“Makasih ya, Din.” Ini sudah yang kesekian kalinya, Abim mengucapkan kata itu pada Dinda. Dan Dinda akan selalu membalasnya dengan senyuman lembut.

Selanjutnya untuk kejutan ke 11, Dinda membelikan topi untuk Abim.  Berikutnya, Dinda memberikan sebuah syal yang ia rajut sendiri, sebagai kejutan yang ke 12.

“Lo keliatan niat banget ya kasih kejutan ke gue. Sampai bikin syal rajutan lo sendiri gini buat gue.” Kata Abim kagum.
“Apa sih yang nggak buat sahabat gue ini.” Ujar Dinda, sambil merangkul bahu Abim.

Hari sudah malam. Kini Dinda membawa Abim kesebuah studio musik. Dan disana, Dinda mempertemukan Abim dengan band favorite-nya. Siapakah? Mereka adalah Pee Wee Gaskin. Abim ngefans banget sama band ini. Dinda susah payah banget buat ngasih sureprise yang ini. Tapi dengan usaha yang keras banget, akhirnya Dinda bisa mempertemukan Abim dengan band idolanya. Dan ini sebagai kejutan yang ke 13.

Setelah puas ngobrol-ngobrol seputar musik dengan idolanya, Abim dan Dinda pun memutuskan untuk pergi.

“Din, kejutan yang tadi itu bener-bener deh. Gak bakalan bisa gue lupain.” Ujar Abim takjub.
“Kejutan yang ke 14 sampai 17 nya juga pasti gak bakalan lo lupain kok.” Dinda menarik tangan Abim, menyebrang jalan dan naik ke atas sebuah gedung dengan 15 lantai. Mereka naik keatapnya.
Dan disini, Abim di buat terkagum lagi. Diatap gedung ini, Dinda sudah menyiapkan satu meja penuh makanan dan dua kursi.

“Lo mau ngajakin gue candle light dinner?” tanya Abim.
“Lo emang bakalan candle light dinner. Tapi bukan sama gue.” Dinda tersenyum lembut.

Ini adalah kejutan ke 14.

“Terus sama siapa dong?” Abim melihat di sekelilingnya. Tak ada orang lain selain mereka berdua disini.
“Yang bakalan dinner sama lo ini adalah kejutan ke 15.” Jawab Dinda.

Tapi Dinda sudah tidak bersemangat seperti tadi lagi. Dia mulai lelah berjalan seharian tadi.

“Dua jam lagi, jam 12 malam.” Dinda melirik jam di tangannya. “Itu artinya, tugas gue hampir selesai.”
“Makasih ya, Din.” Abim memeluk Dinda.

Lalu kejutan ke 15 pun datang.

“Chaca.” Seru Abim tak percaya.
“Itu kejutan ke 15 lo.” Dinda menunjuk ke arah Chaca.

Chaca adalah gadis yang sangat disukai Abim, tapi Abim tidak pernah berani mengatakan cintanya hingga saat ini.

“Hai Bim, selamat ulang tahun ya.” Chaca tersenyum lembut.
“Hmm iya, makasih ya, Cha.” Abim malu-malu.

Dinda meminta mereka untuk segera makan malam. Tapi sebelum itu, Dinda ingin memberikan kejutan yang ke 16. Dinda mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Itu scrapbook. Di dalamnya ada banyak foto-foto Abim. Dari sewaktu ia berumur satu tahun, sampai sekarang.

“Dinda.” Abim benar-benar terharu.
“Sekarang bukan saatnya buat terharu. Sana, dinner sama Chaca. Terus tembak dia. Dan kasih dia cincin yang tadi gue kasih sebagai kejutan ke 6.” Dinda berbicara agak berbisik, agar Chaca tak mendengar.

Sekarang Abim tau, apa maksud Dinda memberikannya cincin. Ternyata ini untuk Abim berikan ke Chaca.

“Ok. Nikmati dinner lo sama Chaca ya. Sekarang gue udah harus pergi.”
“Loh. Tapi kan lo belum kasih kejutan ke 17.”
“Kejutan ke 17 adalah jawaban Chaca. Dan kita sama-sama belum tau apa jawaban Chaca untuk pernyataan cinta lo nanti. Jadi, siap-siap deg-degan buat kejutan ke 17 ya. Bye.”

Dinda segera pergi. Dan Abim kembali ketempat duduknya, di depan Chaca.

“Gue sama sekali gak tau soal ini. Ini semua ulahnya Dinda.” Abim mulai bicara pada Chaca.
“Hmm iya. Dia juga cuma bilang kalo gue harus kesini dan ngucapin ultah sama lo. Gue gak tau kalo ada candle light dinner segala.” Chaca malu-malu.
“Ya udah. Kita makan yuk.” Ajak Abim.

Abim dan Chaca makan tanpa berbicara sekalipun. Barulah setelah mereka selesai makan, Abim kembali berbicara. Menuruti ucapan Dinda. Menanti kejutan ke 17 nya. Abim memainkan gitarnya yang tadi di berikan Dinda. Dia juga memakai Topi dan Syal pemberian Dinda. Keren sudah penampilan Abim sekarang. Dia menyanyi untuk Chaca. Dan tanpa Abim dan Chaca ketahui, Dinda masih disini. Mengintip mereka dari pintu.

Abim mengeluarkan cincin dari saku celananya. Lalu berlutut di depan Chaca.

“Chaca. Gue suka sama lo. Udah lama banget. Dan gue baru berani buat ngomong sekarang. Apa lo mau jadi pacar gue?” Abim membuka kotak cincin itu.
“Aku mau, Bim.” Jawaban Chaca membuat Abim sangat senang. Tapi membuat Dinda sedih.

Abim memeluk Chaca, lalu memasangkan cincin itu pada jari Chaca. Dan dari balik pintu, tangis Dinda pecah.

“Tugasku selesai.” Ujar Dinda pada dirinya sendiri sambil terisak. “Semoga engkau bahagia sahabatku.”

Lalu Dinda pergi. Keluar dari gedung ini. Kemudian, Abim dan Chaca juga turun dari gedung ini, beberapa menit setelah Dinda.

Dan saat sudah berada diluar gedung, Abim dan Chaca terkejut oleh kerumunan orang yang ada di tengah jalan. Ternyata baru saja terjadi kecelakaan disini. Abim dan Chaca melihat kearah kerumunan itu. Dan betapa terkejutnya mereka. Orang yang baru saja tertabrak itu adalah Dinda. Abim segera menganggkat kepala Dinda, meletakkannya pada pangkuan Abim. Dinda masih bisa berbicara.

“Sekarang tepat jam 12.” Ujar Dinda terbatah-batah. “Gue bener kan, ini bakal jadi 27 november terindah buat lo.”
“Dinda.” Abim menangis.
“Selamat ya, lo udah jadian sama Chaca.” Dinda bicara lagi dengan terbatah-batah. Sorry, tadi gue ngintipin kalian.”

Tangis Abim semakin keras. Orang di sekitar itu ikut sedih melihat Abim dan Dinda.

“Abim. Sebenernya, gue cinta sama lo. Dari sejak kita masih kecil. Tapi gue tau, lo cuma menganggap gue sebagai sahabat. Dan gue tetep seneng akan hal itu. Makasih ya, udah jadi sahabat terbaik gue selama ini.”

Seketika, Dinda menghembus nafas terakhirnya. Abim benar-benar terpukul dengan kejadian ini. Tapi untunglah, sebelum Dinda pergi, Dinda memberi Chaca untuk Abim. Jadi Chaca bisa mengobati kesedihan Abim, dan menguatkannya.

Seminggu setelah kematian Dinda, Abim mengirimkan draft novel Dinda ke penerbit. Abim telah selesai membacanya.

“Dia hebat, Cha.” Ujar Abim pada Chaca.
“Iya, Bim.” Chaca membenarkan.

Sekarang mereka sedang ada di tempat pemakaman Dinda. Abim mengusap nisan itu lembut.

“Terima kasih untuk 27 November terindahnya ya, Din. Meskipun, dari segala keindahan yang lo kasih itu, lo juga kasih gue kesedihan. Yaitu kepergian lo. Itu seperti menjadi hari terburuk buat gue, Din.” Abim tak bisa menahan tangisnya.
“Itu benar hari terindah, Bim. Karena saat Dinda meninggalkan kita untuk selamanya. Arah jam sudah melewati angka dua belas. Jadi 27 November itu sudah berlalu.” Chaca menghapus air mata Abim.
“Sekali lagi, terima kasih sahabatku.” Ucap Abim.


-END-


MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 17

Ketahuan !!


Aku gak bisa ngebayangin, kalo sampai Mama-Papa dan om Agustira mengetahui hubunganku dengan Ruben. Aku mungkin akan sangat sakit, andai mereka menentang dan meminta aku dan Ruben mengakhiri hubungan ini. Maka untuk ketiga kalinya, aku harus kehilangan orang yang aku cintai.

Aku berjalan gontai menuju kelas, setelah sampai di sekolah. Tiba-tiba seseorang mengejutkanku. Memainkan boneka tangan elmo yang lucu dari balik tembok. Menyapaku.

"Halo Mipel. Selamat pagi. Perkenalkan, namaku Elmo. Ini pasti akan jadi hari yang buruk. Karena masih terlalu pagi, Miss Pelupa sudah murung." boneka itu seolah benar-benar bisa bicara. "Ayolah Mipel, tersenyum seperti aku. Maka aku yakin, harimu akan indah. Ayo senyum, senyum."

Aku tertawa geli melihat boneka tangan yang aku tak tau siapa yang memainkannya.

"Hmm Mipel." serunya lagi. "Aku menyuruhmu tersenyum. Bukan tertawa. Jika kau tertawa, maka hari ini akan menjadi hari yang mengejutkan."
"Hmm." aku berdehem. "Aku akan tersenyum, jika kamu mau memperlihatkan, siapa wajah yang ada dibalik tubuhmu itu." ujarku.
"Siapa?" tanyanya dengan suara yang lucu. "Tidak ada siapa-siapa dibelakangku."
"Hmm ok. Karena Elmo bohong, aku gak mau lagi ngomong sama Elmo. Dahh, Elmo." aku membalikkan tubuhku untuk segera pergi.

"Tunggu." kini yang mengatakan itu, adalah sungguh-sunggu suara si pemain boneka tangan Elmo. Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah suara itu.

Tau siapa yang ternyata ada dibalik Elmo tadi? Yup, benar buat kamu yang jawab 'Ruben'. Sekarang dia sudah keluar dari tempat persembunyiannya. Menatap malu padaku. Aku hanya tersenyum tipis, lalu berjalan mendekatinya.

"Hai Elmo." sapaku.
Ruben tertawa geli. "Suka gak sama pertunjukkan Elmo tadi?"
"Suka gak yaa..." 

Aku melirik Ruben. Dia tersenyum puas. Yaa aku tau, aku tak perlu lagi mengatakan jawabanku. Karena Ruben sudah tau jawabannya.
Lalu dia memasukkan boneka tangan Elmo itu ke dalam tasnya, dan mengajakku masuk kelas bersama. Ruben menggandeng tanganku, sampai kekelas.

Saat sudah sampai kelas, semua mata tertuju padaku dan Ruben. Ruben tersadar, lalu melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Weits.. ada apaan nih?" Idon langsung menatap curiga. "Jadi ada pasangan baru lagi disekolah ini?'

Aku dan Ruben hanya diam membeku di depan kelas. Aku tidak pernah merasa se gugup ini. Semua mata memandang kami curiga. Semuanya. Seisi kelas ini. Ah, betapa malunya.

"Kalo kalian diem, berarti bener kan? Kalian udah jadian." Idon menyimpulkan seenaknya.
"Ini beneran, Nay?" tanya Keyra.
"Jangan diem dong. Kasih kepastian jawaban ke kita semua." Radit menatap penasaran. Sementara Jonash hanya tersenyum tipis.
"Gue yakin, sahabat kecil gue udah menemukan cintanya yang baru." Jonash menatapku lembut.

Aku tersenyum padanya. Ruben menggenggam tanganku lagi. "Gak ada yang keberatan kan?" tanyanya. Anak-anak keliatan shock banget, kecuali Jonash. Dia masih diam dengan senyum manis dibibirnya. Kelas menjadi hening.

"Ya jelas nggak lah, Ben." jawab Kenzi, memecah keheningan. "Malah kita bahagia banget denger kabar bahagia ini dari kalian." tambahnya.
"Dan kita mau ngucapin selamat buat kalian." Devand juga menambahkan.

Keyra menghampiri, lalu memelukku erat. Sedang yang lain, memberikan selamat pada Ruben.

"Bagus ya, kenapa gak cerita sama gue sih." ujar Keyra sedikit kesal.
"Gue malu, Key. Terus, takut ketahuan kak Rangga juga." itu pembelaanku.
"Hmm ok. Kalo gitu selamat ya Mipel. Akhirnya lo punya pacar beneran. Bukan cuma yang pura-pura." Keyra memelukku lagi.

***

Jam istirahat tiba. Aku tidak tau ada perjanjian apa yang dibuat oleh para cowok-cowok ini. Yang pasti, kini Ruben diminta untuk mentraktir mereka makan dikantin. Idon yang paling bersemangat untuk ini. Ya, Idon selalu yang akan paling semangat kalo dapet traktiran kayak gini.

"Mipel." Idon merangkulku. "Gue lupa ngucapin selamat nih. Selamat ya."
"Iya." ujarku pelan.
"Jangan sampai lupa loh. Sekarang, Mipel udah gak jomblo lagi. Lo udah punya pacar. Nama pacarnya adalah Ruben Agustira." Idon mengingatkan, agar aku tidak lupa. Yaa, itu usaha yang baik. Mudah-mudahan aku tidak lupa.
"Iya, Idon." aku mengacak-acak rambut Idon.

Anak-anak yang melihat kejadian itu, tertawa. Idon manyun. Lalu kami kembali melanjutkan langkah menuju kantin. Kini, peserta traktirannya bertambah tiga. Ada Vivian dan si kembar Kiran-Karin juga. Ruben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan anak-anak malah tertawa.

"Janji deh, Ben. Kita gak akan makan yang banyak kok." ujar Kiran.
"Iya." Karin menimpali. "Paling cuma tiga mangkok doang per orangnya."

Tawa kembali terdengar karena ucapan Karin barusan. Ruben manyun. Aku rasa, uang jajannya minggu ini, akan langsung ludes.

Vivian menghampiriku. "Selamat ya." ucapnya tulus, padaku. "Semoga, kali ini hubungannya langgeng dan gak bermasalah."
"Amin." 

Akhirnya kami sampai juga dikantin. Dan kita semua langsung memesan makanan. Ketika semua makanan sudah berada diatas meja, Idon langsung mengangkat gelas berisi es jeruk miliknya.

"Sebelum mulai makan, kita bersulang dulu dong buat pasangan baru kita." teriaknya yang langsung mendapat perhatian dari seluruh penghuni kantin.
"Setuju." anak-anak langsung ikut mengangkat gelas minuman mereka.
"Buat Ruben dan Nayla. Yeay!!" kita semua bersulang.

Dasar Idon. Suka berlebihan dan konyol banget. Tapi dia selalu menjadi teman yang menyenangkan bagi kami semua. Dia bisa memberi tawa pada kami. Dia bisa mengubah sedih menjadi gembira. Mengubah marah menjadi reda. Itulah Dony Satria.

"Apa?" terdengar suara itu dari meja sebrang. Ada yang berteriak terkejut atas ucapan Idon barusan.

Tau siapa? Itu adalah kak Rangga. Suasana menjadi hening karenanya. Anak-anak terdiam. Aku berusaha cuek dengan reaksi kak Rangga barusan. Lalu aku menyeruput es jeruk milikku. Aku baru mulai waspada, ketika kak Rangga melangkahkan kakinya, berjalan menuju meja kami. Ruben menggenggam erat tanganku. Dan itu sangat menguatkanku.

"Nayla." kak Rangga memanggil namaku.
"Apa!." aku berdiri dari dudukku. Berjalan kearah kak Rangga, dan berdiri angkuh didepannya. "Jangan rusak kebahagiaan gue." aku berbisik pada kak Rangga.

Kak Rangga hanya diam, sambil menahan marah. Dia mengepal kedua tangannya.

"Kalo lo emang kakak yang baik dan sayang sama gue, biarin gue bahagia." aku melanjutkan ucapanku, masih berbisik. Agar anak-anak yang lain tak mendengar.

Aku mundur perlahan dari hadapan kak Rangga, dan kembali ke tempat dudukku. Akhirnya ketahuan juga. Aku bisa menebak apa yang akan kak Rangga lakukan setelah dia mengetahui ini semua. Dan aku sudah bersiap untuk menerima konsekuensinya.

Kak Rangga masih diam mematung ditempatnya berdiri tadi. Sampai kak Andre datang, lalu mengajaknya pergi.

Suasana makan yang tadinya meriah dan menyenangkan dimeja kami, kini menjadi sepi dan semua diam. Idon yang tadinya bersemangatpun, kini jadi diam membeku di tempat duduknya.

Perayaan yang buruk, batinku.

Selesai makan, aku dan Ruben duduk dibawah pohon seperti biasa. Kami diam cukup lama. Sementara aku hanya mengusap-usap liontin pemberian Ruben.

"Kita ketahuan." ujar Ruben, setelah cukup lama kami diam.
"Iya." aku tersenyum. "Sekarang ataupun nanti, aku tau ini pasti akan terjadi."
"Dan aku gak bisa ngebayangin, apa yang akan kak Rangga lakukan setelah dia mengetahui semuanya." Ruben tertunduk lesu.
"Kita akan melewati ini semua bareng-bareng kan, Ben?" aku menggenggam tangan Ruben.
"Pasti." jawabnya mantap.

Aku menyandarkan kepalaku dibahu Ruben. Aku tidak tau, seperti apa kak Rangga akan menghancurkan kebahagiaanku ini. Tapi aku tau dia akan kejam untuk hal ini. Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan?

***

Ruben meminta padaku, untuk mengantarku pulang. Tapi aku menolaknya. Aku belum siap. Aku takut kak Yudha melihat, dan dia akan kecewa padaku. Dan syukurlah Ruben mengerti. Dia mengurungkan niatnya.

Aku pulang bersama Devand dengan menggunakan taksi. Karena kak Yudha masih dikampus.

Sesampainya dirumah,

"Sureprise!"
Tau siapa yang berteriak itu? Itu adalah Mama dan Papa. Inikah akhir hubunganku dan Ruben. Kini Mama dan Papa sudah pulang. Dan kak Rangga menatap dingin padaku.

"Sayang." Mama memelukku. "Kok kamu keliatan tegang gitu sih?"
"Mungkin dia kaget karena kita pulang tanpa memberitahunya, Ma." ujar Papa.
"Oh. Iya sayang. Mama dan Papa sengaja pulang cepat setelah menyelesaikan pekerjaan kami. Supaya Mama dan Papa bisa menyiapkan pesta ulang tahun kamu." ujar Mama bersemangat.
Aku tersenyum, "Nayla kangen banget sama Mama dan Papa."

Mama kembali memelukku. Mungkin kak Rangga belum menceritakan tentang hubunganku dan Ruben, sehingga Mama masih bisa memelukku penuh kasih seperti ini.

Malamnya, kami semua makan malam bersama. Aku masih melihat ketenangan diwajah Mama dan Papa. Berarti kak Rangga belum mengatakannya.

"Mery, aku makasih banget loh sama kamu. Karena kamu sudah menjaga anak-anakku." ucap Mama tulus.
"Iya, Mel. Aku senang kok bisa menjaga mereka. Mereka sudah ku anggap seperti anakku sendiri." tante Mery juga berkata tulus.
"Selama kami pergi, tidak ada kejadian yang buruk kan, Mer?" tanya Papa pada tante Mery.
"Nggak ada kok, Gar." jawab tante Mery.

Papa dan Mama tersenyum lega.

"Tapi memang sempet ada yang aneh sama kedua anakmu ini." yang dimaksud tante Mery adalah aku dan kak Rangga.
"Kenapa sama mereka, Mer?" tanya Mama.
"Sering banget berantem." jawab tante Mery.
"Oh, kalo itu sih sudah biasa, Mer." Papa memaklumi. "Rangga dan Nayla ini memang sering sekali berantem, hanya karena masalah-masalah kecil."
"Tapi kali ini, kita berantem bukan karena masalah kecil, Pa." kak Rangga mulai bicara.

Oh tidak. Tuhan, tolonglah aku. Jangan sekarang. Aku belum siap. Jangan biarkan kak Rangga mengatakannya sekarang, ya tuhan.

"Memangnya ada masalah apa sih, Ga?" tanya Mama.
"Nayla pacaran sama Ruben, Pa. Anaknya om Agustira." kak Rangga benar-benar mengatakannya. Ini bukan mimpi.
"Apa?"

Kini suasana di meja makan menjadi tegang. Aku meremas jari-jariku. Tante Mery menatap ngeri pada wajah Papa yang berang. Devand melirikku iba. Mungkin dia sungguh menyesali kejujuran kak Rangga. Kak Yudha hanya diam. Dia juga terkejut dengan berita ini. Tapi dia tau, dia tidak bisa marah.

"Nayla! Apa benar kamu pacaran sama anaknya om Agustira?" Mama meminta kepastian. Tapi aku hanya diam membisu.
"Nayla! Jawab!" bentak Papa.
"Iya." jawabku. "Aku cinta sama Ruben. Apa aku salah?"
"Jelas salah!" bentak Papa lagi.
"Apanya yang salah?" tanyaku sambil menahan tangis.
"Agustira itu musuh Papa. Dia saingan bisnis Papa." Papa berteriak. "Jadi kamu tidak boleh dekat dengan siapapun yang masih ada hubungan darah dengan om Agustira. Apalagi anaknya."
"Tapi, Pa. Nayla sayang dia. Dan dia juga sayang Nayla." aku masih sekuat tenaga menahan tangis.
"Apa kamu yakin?" Papa berteriak lagi. "Jangan-jangan dia memang sengaja mendekati kamu, untuk menghancurkan Papa."
"Nggak, Pa. Ruben gak kayak gitu." akhirnya tangisku pecah.

Tante Mery mencoba menenangkan Papa. "Sudahlah Anggara. Jangan memarahi Nayla lagi. Kasihan dia."
"Tapi dia sudah keterlaluan, Mer." Papa tetap tak bisa terima.
"Sayang, Mama mohon. Lupakan apa yang kamu bilang itu 'cinta'. Karena bukan hanya Mama dan Papa yang akan menentang ini semua. Tapi om Agustira juga." Mama berusaha memberi pengertian padaku.

Aku tetap diam di tempat dudukku.

"Kamu harus menjauhi dia. Sampai kapanpun, Papa tidak akan membiarkan kamu pacaran sama dia." Papa sungguh-sungguh pada ucapannya.
"Papa jahat." aku berlari menuju kamar, meninggalkan mereka semua.

Kak Yudha berniat mengejarku, tapi dihalangi oleh Papa. Mama menangis. Papa tertunduk lesu. Tante Mery dan Devand hanya diam. Mereka sadar, ini bukan bagian mereka. Sementara kak Rangga terlihat sangat puas. Dia merasa, apa yang dia katakan barusan adalah hal yang paling benar.

Aku menangis di kamar, memandangi liontin pemberian Ruben. Aku tak tega memberitahunya sekarang. Hubungan kami sudah ketahuan oleh kedua orang tuaku. Dan aku mulai takut. Apa yang akan terjadi besok? Mengapa cinta selalu sulit untukku?

Kupejamkan mataku perlahan. Semoga tidur bisa membuatku lebih tenang, dan lebih tegar menghadapi hari esok. Semoga.

***


Saturday, March 24, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 16

Backstreet


Setelah menemukan cinta yang baru, maka aku juga harus bersiap dengan masalah yang baru. Aku memandangi liontin pemberian Ruben. Kini kami sudah pacaran. Tapi berhubung orang tua kami menentang, kami terpaksa harus backstreet.

Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tersentak.

"Nay, ini kak Yudha." ujar si pengetok pintu. "Kakak boleh masuk gak?"
"Oh, iya. Masuk aja kak. Gak di kunci kok." jawabku dari dalam kamar.

Kak Yudha membuka perlahan pintu kamarku, dan masuk. Dia tersenyum, lalu duduk di sampingku.

"Belum makan malam kan?" tanyanya.
"Belum." aku menggeleng pelan.
"Makan malam diluar yuk." ajaknya.
"Boleh." aku setuju. "Kita cuma berdua, kak?"
"Nggak." kak Yudha menggeleng. "Sama tante Mery, Devand, dan Rangga."

Aku benci mendengar nama terakhir yang disebutkan oleh kak Yudha.

"Ya udah, ganti baju, sana." perintah kak Yudha. "Kakak tunggu di luar ya."

Aku mengangguk. Lalu kak Yudha pergi. Aku segera mengganti bajuku, dan bersiap untuk pergi.

***

Semua turun dari mobil yang dikendarai kak Yudha. Kami sudah sampai di Restoran tujuan. Aku menoleh kesebrang jalan. Ada gedung. Aku mencoba mengingat-ingat gedung itu. Sebab rasanya, aku pernah kesana bersama seseorang. Tapi lagi-lagi aku lupa.

Aku tersentak. Seseorang menepuk pundakku. Dan aku langsung menoleh. Ternyata kak Rangga.

"Lihat apa?" tanyanya lembut. "Yuk, masuk."

Aku mengangguk. Mengikuti langkahnya, masuk ke dalam Restoran. Ternyata yang lain sudah masuk lebih dulu, dan hanya tersisa aku dan kak Rangga.

Kami duduk bersama di salah satu meja Restoran itu, lalu memesan makanan. Dan sambil menunggu makanannya datang, kami mengobrol.

"Gak apa-apa kan kita makan malam di luar, hari ini?" tanya tante Mery.
"Gak apa-apa kok, tante." jawab kak Yudha lembut.
"Oh ya, gimana sekolah kalian?" tanya tante Mery padaku, Devand, dan kak Rangga.
"Gitu-gitu aja, Ma." Devand yang menjawab. "Biasalah. Ya nggak, Nay?"

Aku hanya tersenyum, lalu mengangguk pelan atas jawaban Devand.

"Kalo kamu, Ga?" tante Mery beralih ke kak Rangga. "Sebentar lagi sudah mau ujian kan?"
"Iya tante. Makanya sekarang jadi lebih sibuk belajar sama temen." jawab kak Rangga, lembut.

Tante Mery tersenyum tipis mendengar jawaban kak Rangga. Dan tiba-tiba, Handphone-ku berdering. Ada telepon. Aku segera meraih Handphone-ku dari dalam tas, dan melihat siapa yang menelpon. Ternyata Ruben. Semua menatapku penuh tanya. Dan itu benar-benar membuatku gugup.

"Ehm, Nayla ke belakang bentar ya." ujarku. "Mau terima teleponnya dulu."
"Iya." kak Yudha yang menjawab. Sedangkan tante Mery hanya mengangguk.

Aku berjalan menuju toilet, lalu segera menerima telepon itu.

"Halo, Ben."
"Nay, kamu lagi dimana?"
"Aku lagi dinner sama keluarga. Kenapa?"
"Oh. Nggak, tadinya kalo kamu lagi gak ada acara, aku mau ngajakin jalan."
"Aduh, maaf ya. Aku gak enak kalo harus pergi dari sini. Nanti mereka bisa curiga, terutama kak Rangga."
"Iya. Gak apa-apa kok. Next time aja."
"Sekali lagi aku minta maaf ya."
"Iya. Ya udah, dilanjut deh makan malamnya."
"Ok. Sampai ketemu besok ya."
"Iya. Bye."
"Bye."

Ruben menutup telepon itu. Dan aku langsung keluar dari toilet untuk kembali ke meja makan. Tapi begitu aku keluar dari pintu toilet, ada seseorang yang berdiri di depan pintu itu. Dia menatap sinis. Dan aku berusaha untuk tidak menanggapinya, lalu berniat pergi. Tapi dia menahan langkahku. Oh, tidak ada orang yang semenyebalkan ini, kecuali kak Rangga. Bisa-bisanya dia nekat menyusulku ke toilet.

"Telepon dari siapa?" tanyanya.
"Temen." jawabku sekenanya.
"Bohong." ujarnya sinis.
"Lo kenapa gak ngerti juga sih." aku mulai kesal. "Gue kan udah bilang, jangan pernah campurin urusan gue lagi."
"Gue cuma pengen tau, siapa orang yang nelpon lo barusan." bentaknya.
"Gue, lupa." ujarku santai.
"Nayla. Jangan jadiin itu alasan buat gak ngasih tau gue." kak Rangga juga mulai kesal.

Aku hanya diam. Dan tanpa ku sadari, mata kak Rangga tertuju pada liontin yang ada di leherku.

"Apa nih." tanyanya sambil memegang liontin itu.
"Jangan pegang!" aku menepis tangan kak Rangga.
"Nayla, ini apa?" kak Rangga mulai lelah bertanya. Sekarang, matanya menyiratkan kalo dia benar-benar ingin tau jawabannya. Dan memohon padaku, untuk memberitahunya. "Ini dari siapa?"
"Dari cinta baru gue." aku berusaha tetap tenang.
"Siapa?" kak Rangga bertanya lagi.

Aku kembali diam.

"Dari Ruben?" terka kak Rangga. "Bener, Nay? Cinta baru lo adalah Ruben?"

Kak Rangga menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu melanjutkan ucapannya, "Sampai kapanpun, gue gak akan ngebiarin lo pacaran sama dia. Gue bakalan bilang soal ini sama Mama-Papa."
"Terserah." aku langsung pergi. Kak Rangga hanya menatapku kesal. Wajahnya memerah. Dia benar-benar marah.

Aku kembali ke meja makan Restoran. Makanan kami sudah datang. Bahkan Devand sudah lebih dulu melahap bagiannya. Aku sudah tidak bernafsu lagi untuk memakan makanan ini.
Kak Rangga datang beberapa detik setelah aku. Lalu duduk membisu dikursinya. Dan itu membuat kak Yudha dan tante Mery merasa aneh.

***

Keesokan paginya, aku sudah bersiap untuk berangkat kesekolah. Kak Yudha dan Devand sudah menungguku diluar. Dan lagi-lagi, langkahku harus terhalang oleh kak Rangga.

"Hari ini, lo berangkat sama gue." ujarnya.
"Gak mau." kataku cepat.
"Harus mau." paksanya. "Karena gue harus ngawasin lo. Lo gak boleh deket-deket sama yang namanya Ruben."
"Gue bilang, jangan pernah campurin urusan gue." bentakku. Lalu aku segera berlari menuju mobil kak Yudha, dan berangkat.

Sesampainya disekolah, aku langsung berlari menuju kelas. Sebelum kak Rangga menahan langkahku lagi. Dan memaksaku untuk mengikuti permainannya.

Di kelas, mataku langsung tertuju pada Ruben. Dia menatapku lembut. Lalu aku segera duduk dibangkuku, sebelah Keyra. Kak Rangga datang. Tapi sebelum dia sempat berbicara padaku, bel masuk berbunyi. Aku bisa bernafas lega.
Kak Ranggaa mengurungkan niatnya untuk bicara padaku. Dan memilih untuk segera masuk kekelasnya. Ruben menatap aneh. Tapi aku tau dia mengerti dengan apa yang akan kak Rangga lakukan. Dan kami harus berhati-hati. Aku dan Ruben harus menutupi hubungan ini dari siapapun. Belum saatnya anak-anak yang lain mengetahui soal ini.

Pada saat jam istirahat, tanpa ketahuan dari anak-anak dan kak Rangga, aku menemui Ruben di taman sekolah. Di bawah pohon yang biasa. Dan Ruben sudah disana. Duduk santai sambil membaca bukunya.

"Ben." sapaku.
"Nayla." dia tersenyum tipis. Memberi tempat untukku duduk disampingnya.
"Ini lebih sulit dari yang aku pikirin, Ben." ujarku sedikit putus asa. "Kak Rangga ngancem bakal ngelaporin ini sama Mama dan Papa."
"Jadi dia udah tau soal hubungan kita?" tanya Ruben.
"Dia sih cuma nebak. Dan aku gak pernah bilang 'bener' ataupun 'salah'. Tapi aku yakin, dia udah tau jawabannya."

Aku menatap Ruben. Dia cakep, baik, dan juga pengertian. Dia idaman banyak cewek. Tapi kenapa dia memilih aku. Aku yang pelupa. Serta sulit untuk dia miliki. Kenapa dia rela menderita seperti ini, demi untuk mempertahanku.

Ruben mengelus lembut pipiku. "Apapun yang terjadi. Aku gak akan ngelepasin kamu." ujarnya sungguh-sungguh.
"Makasih." kataku terharu. "Tapi kenapa, Ben? Kenapa memilih aku?" tanyaku.
"Karena aku cinta kamu." jawabnya mantap.
"Tapi kita harus backstreet." ujarku.
"Gak masalah." Ruben memelukku.

Aku tau ini sulit. Tapi untuk saat ini, aku masih bisa bertahan. Ini demi cintaku dan Ruben. Meskipun harus pacaran diam-diam dari semua orang.

***

Aku dan Ruben segera berlari cepat menuju parkiran sekolah, begitu bel masuk berbunyi. Kami harus cepat pergi, sebelum kak Rangga melihat.

"Nay." Keyra memanggil-manggil namaku. Tapi tak ku hiraukan.
"Tuh anak kok kayaknya buru-buru banget ya." terka Radit.
"Tau tuh. Padahal kan gue mau ngajakin dia jalan ke Mall." ujar Keyra.
"Udahlah. Mungkin dia lagi ada urusan penting." ujar Jonash.

Tiba-tiba Devand lewat. Dan Keyra langsung berinisiatif buat nanya.

"Vand, Nayla mau kemana sih? Kok buru-buru banget?" tanya Keyra.
"Gak tau. Dari kemaren dia aneh banget. Kayak orang yang lagi nutupin sesuatu gitu." jawab Devand.
"Kok dia gak cerita apa-apa sama gue ya." ujar Keyra kesal.
"Eh, diantara kalian, ada yang bersedia ngasih gue tumpangan gak?" tanya Devand tiba-tiba. "Gue gak di jemput nih."
"Eh, dasar lo, Vand." umpat Radit.
"Ya udah, pulang sama gue aja Vand." ajak Jonash.
"Loh, tapi kan kamu bilang mau nemenin aku ke Mall." kata Keyra pada Jonash.
"Kamu ditemenin Radit aja yah. Aku mau ngaterin Devand." ujar Jonash sambil membelai lembut rambut Keyra.
"Nah, itu baru bener." ujar Radit senang.

Keyra manyun. Dia tau, Radit pasti sering minta ditraktir makan, setiap harus nemenin Keyra ke Mall. Tapi Keyra terpaksa nerima aja. Bagaimanapun, Radit yang selalu setia dan gak pernah ngeluh setiap harus nemenin Keyra ke Mall.

Dan tiba-tiba kak Rangga datang sambil tergesa-gesa.

"Liat Nayla gak?" tanyanya.
"Tadi sih, dia bu..." ucapan Radit terhenti, karena Jonash menginjak kakinya.
"Kita gak liat, kak." ujar Jonash.
"Oh ya?" kak Rangga curiga dengan Jonash. "Lo siapa? Gue gak tau kalo lo temennya Nayla juga."
"Mungkin lo lupa, kak." ujar Jonash sinis. "Gue adalah teman SD nya Nayla."

Kak Rangga terdiam, dan memilih untuk segera pergi. Mungkin dia menyadari, kalo Jonash pastinya tau kalau dia adalah kakak kandungnya Nayla. Jadi kak Rangga mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Keyra, Radit, maupun Devand.

***

Motor Ruben melaju pelan dijalan. Aku tidak tau kemana dia akan membawaku pergi. Tapi aku sadar, kami sudah melaju cukup jauh dari sekolah. Mudah-mudahan, kak Rangga tak bisa menemukan kami.

Kami berhenti di TPU (Tempat Pemakaman Umum). Dan aku segera turun dari boncengan motor Ruben.

"Kita ngapain kesini, Ben?" tanyaku bingung.
"Aku mau ngenalin kamu sama Mama aku." ujarnya. "Ayo."

Ruben menggandeng tanganku memasuki wilayah pemakaman itu. Meskipun tidak mengerti maksud Ruben membawaku kesini, tapi aku menurut saja. Dan kami berhenti di sebuah kuburan dengan nisan yang bertuliskan nama Arinda. Siapa ini?

Ruben mengelus pelan papan nisan itu. Dan aku berjongkok disebelahnya.

"Ini makam siapa, Ben?" aku memberanikan diri bertanya.
"Makam Mama aku." jawab Ruben.
"Mama kamu, udah meninggal?" tanyaku lagi.
"Iya." jawab Ruben sedih. "Sejak umurku dua tahun. Mama meninggal karena kecelakaan."

Aku memeluk Ruben.

"Ma, ini Nayla." Ruben berbicara pada nisan itu. "Dia pacar Ruben. Cantik kan, Ma?"

Aku tersenyum mendengar ucapan Ruben.

"Ruben sayang banget sama dia, Ma." Ruben mulai bicara lagi. "Dan Ruben takut. Ruben takut banget kehilangan dia. Karena Papa menentang hubungan kami. Padahal hanya gara-gara urusan sepele."

Ruben terus berbicara pada nisan Mamanya. Aku hampir menangis. Tapi ku coba menahannya. Aku tidak mau terlihat lemah. Ruben menceritakan semuanya. Tentang penentangan yang kami alami, sehingga memaksa kami untuk backstreet.

"Nay." Ruben memanggil namaku. "Apa ada yang mau kamu katakan sama Mama aku?"
Aku mengangguk, "Halo, tante." sapaku. "Aku Nayla. Aku pacarnya Ruben. Dan aku sayang banget sama dia. Meskipun kita gak sempet ketemu, aku yakin, tante adalah seorang ibu yang hebat. Melahirkan anak laki-laki seperti Ruben. Dia pemberani, tante. Dia juga bukan orang yang gampang menyerah. Itulah yang aku lihat dari diri Ruben sekarang. Karena kami memang belum kenal lama. Tapi aku cinta sama Ruben, tante. Aku harap, tante merestui kami."

Aku mengakhiri kata-kataku. Dan Ruben terharu mendengarnya. Dia memegang erat tanganku.

"Ma, Ruben sama Nayla pulang dulu ya." ujar Ruben pada nisan bertuliskan nama Arinda itu.

Aku memutuskan untuk pulang sendiri. Karena tidak mungkin bila Ruben mengantarku.

Sesampainya dirumah, kak Rangga sudah menatap sinis padaku. Tapi aku tidak memperdulikannya.

"Lo jalan sama Ruben kan?" tanyanya sinis.
"Bukan urusan lo." bentakku.
"Gue serius ya, Nayla. Gue bakal laporin ini ke Mama sama Papa." ancamnya.
"Silahkan." tantangku.

Aku langsung pergi kekamar, meninggalkan kak Rangga yang masih ingin bicara denganku. Aku tidak peduli pada ancamannya. Bagaimanapun juga, dia tidak punya bukti. Aku dan Ruben akan terus menutupi hubungan ini. Kami akan mempertahankan hubungan ini, meski harus backstreet. Sampai suatu saat, semua orang yang menentang hubungan kami, bisa menerimanya.

***


Wednesday, March 21, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 15

Find New Love


It's gonna be another day with the sunshine. Lagu itu menggema di telingaku.
Selamat pagi dunia! Pagi ini, sinar matahari cukup terik menyinari.

Aku sadar aku telah kehilangan banyak cinta. Tapi aku bahagia, cintaku telah mendapatkan kebahagiaannya. Wish hari ini adalah find new love.

Begitu aku keluar dari mobil kak Yudha, sesampainya disekolah, kak Rangga tiba-tiba sudah ada dibelakangku. Dan itu membuatku terkejut. Apa lagi yang dia ingin lakukan padaku.

"Hai." sapanya.
"Hai." jawabku.

Aku menoleh pada Devand. Devand hanya diam, lalu pergi duluan menuju kelas.

"Bisa ngomong sebentar?" tanya kak Rangga, begitu Devand sudah meninggalkan kami.
"Bisa." jawabku.

Kak Rangga mengajakku duduk ditaman sekolah.

"Udah lama banget ya, kita gak ngobrol." kak Rangga memulai pembicaraan.
"Iya." ujarku singkat.
"Gimana kabar lo?" kak Rangga berbicara seperti kami adalah teman, bukan saudara.
"Gue baik." jawabku. "Lebih baik setelah terlepas dari lo." Aku sadar, aku harus keras pada kak Rangga. Dia tidak boleh terus-terusan begini padaku. Mengapa dia masih belum bisa mengerti.

Kak Rangga hanya tersenyum tipis. Kemudian suasana menjadi hening. Aku melirik jam ditanganku. Lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Aku meraih tasku yang tadi ku taruh di kursi sebelah kak Rangga. Lalu aku berniat pergi. Tapi kak Rangga menahanku. Dia memegang tasku. Memaksaku untuk menatap kearahnya lagi.

"Andai aja, kita gak terlahir sebagai saudara." kak Rangga berkata serius. "Gue mungkin gak akan patah hati kayak gini."
"Find new love. Itu yang harus lo lakuin sekarang." ujarku juga serius. "Gue yakin lo bakal nemuin cinta baru, yang bisa lo milikin, tanpa terlarang."

Aku menarik tasku dari genggaman kak Rangga, lalu segera pergi. Aku rasa, setelah hari ini, aku tak akan bisa menatapnya lagi. Aku tidak mau membenci kakak ku sendiri. Bagaimanapun, aku harus bisa menyadarkannya. Kami tidak bisa menjadi satu. Dia harus menemukan cinta yang baru.

Bel masuk sudah berbunyi. Dan aku baru saja memasuki kelas. Keyra tersenyum manis padaku. Dia pasti sedang bahagia. Dia salah satu wanita paling beruntung yang kutemui. Dia memiliki Jonash. Sang guardian angel. Aku menatap kagum padanya.

"Lo gak apa-apa?" tanyanya.
"Nggak kok." jawabku sembari tersenyum.
"Yakin?" tanyanya lagi. "Soalnya tadi gue denger dari Devand, lo disamperin sama kak Rangga."

Aku menoleh ke belakang. Menatap ke arah Devand. Dasar si mulut ember. Devand langsung salah tingkah, lalu memalingkan muka.
Aku kembali pada Keyra. Dia masih sabar menunggu jawabanku.

"Dia cuma ngajak gue ngobrol kok." jawabku.
"Oh." Keyra menarik nafas lega. Lalu dia berniat menatap ke meja pacarnya, Jonash. Tapi pandangannya malah tertuju pada Ruben yang ternyata sedang menatap ke arah mejanya dan aku. Ruben yang menyadari kalau dia tertangkap sedang memperhatikan seseorang dimeja ini, langsung memalingkan wajahnya.

Keyra tersenyum curiga. Lalu menepuk bahuku.

"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Kayaknya tadi Ruben ngeliatin elo deh." terka Keyra.
"Masa sih?" aku menoleh ke meja Ruben. Tapi yang aku liat, saat ini dia sedang ngobrol asik dengan Kenzi, Jonash dan Idon. "Nggak kok, Key. Perasaan lo aja, kali."
"Ya ampun, Nay. Gue tuh gak mungkin salah." Keyra tetap yakin akan apa yang dia liat.
"Ya udahlah, lupain aja." ujarku tak ambil pusing.
"Kayaknya dia naksir elo deh, Nay." Keyra berpendapat.

Aku hanya diam. Tapi hatiku berharap, kalo pendapat Keyra itu memang benar. 

Bu Murni masuk kelas. Dan jam pelajaran pertamapun dimulai.

***

Jam istirahat tiba. Keyra, Radit, dan Jonash sudah duluan pergi kekantin. Sementara aku masih mencatat pelajaran yang diberikan bu Murni tadi. Dan Ruben menghampiriku.

"Hai, Nay." sapanya.
"Hai, Ben." aku membalas sapaan Ruben sambil terus mencatat.
"Ada yang mau gue omongin nih sama lo." ujarnya ragu-ragu.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Ehm." Ruben terdiam sebentar. "Gak jadi deh. Lain kali aja ngomongnya."

Ruben langsung pergi setelah mengatakan itu. Uhh, aku kesel banget. Dia benar-benar membuatku penasaran. Kenzi yang melihat kejadian barusan itu, langsung menghampiriku.

"Ruben ngomong apa?" tanyanya.
"Dia bilang dia gak jadi ngomong. Katanya, ngomongnya lain kali aja. Apa coba, maksudnya." jawabku kesal.

"Aneh banget sih, si Ruben." Kenzi tertawa. "Tapi kayaknya, dia naksir elo deh, Nay."
"Ngawu aja deh lo, Ken." kataku cuek.
"Kalo dia beneran naksir lo, gimana?" Kenzi berandai-andai. "Udah saatnya lah Nay, lo cari yang baru. Jangan terus-terusan terpuruk gara-gara putus sama kak Rangga."

Aku hanya diam menanggapi omongan Kenzi itu. Lalu Vivian dan si kembar, datang. Mereka mau mengajak Kenzi buat kekantin bareng.

"Lo gak mau ikut, Nay?" tanya Vivian.
"Nanti gue nyusul deh." jawabku. "Mau nyelesain catatan dulu."
"Ya udah, kalo gitu kita duluan ya." ujar Vivian ramah. "Yuk, Ken."
"Daahh Mipel." si kembar mengatakan itu bersamaan sambil melambaikan tangan.

Aku hanya menghela nafas. Dasar kembar centil.

Selesai mencatat pelajaran, aku pergi ketaman sekolah dan duduk disalah satu bangku yang ada disana. Aku hanya diam sambil menikmati angin yang berhembus. Menyejukkan.

"Find new love." aku tersentak. Jonash yang mengatakan kalimat itu. Sekarang dia sudah duduk disampingku
"Gue nyariin lo kemana-mana." Jonash melanjutkan ucapannya. "Kenapa gak ikut kita kekantin?" tanyanya.
"Lagi males." jawabku sekenanya.
"Oh. Kirain, lo lupa jalan menuju kantin." Jonash menggoda.
Aku hanya tersenyum tipis. "Tadi lo bilang apa? 'find new love'?"
"Iya." Jonash mengelus lembut rambutku. "Menurut gue, lo bakalan nemuin keceriaan lo yang dulu, kalo lo bisa nemuin cinta yang baru. Secarakan, lo baru aja kehilangan Kenzi."
"Kayaknya, gue juga pernah ngomong itu sama seseorang deh." aku mengingat-ingat. "Tapi ke siapa yah?"
"Ah, bilang aja lo lupa." itu adalah jawaban paling tepat, Jonash. "Oh iya, tadi Ruben nanyain lo ke gue."
"Nanyain apa?" aku bersemangat mendengar berita dari Jonash.
"Ya, dia nanya lo dimana. Kan tadi lo gak gabung sama kita dikantin." ujar Jonash, menjelaskan.

Aku berfikir sebentar. Sepertinya aku perlu menemui Ruben. Entah kenapa, tapi aku ingin.

"Jo, gue pergi dulu ya." aku segera berlari menuju pohon besar ditaman sekolah ini.
"Loh, mau kemana?" pertanyaan Jonash barusan, sudah tak kudengar lagi. Aku sudah berlari jauh menuju pohon itu. Pohon yang ku yakini, ada orang yang kucari disana. Ya, aku tau. Setiap selesai makan dikantin, orang itu selalu duduk dibawah pohon ini.

"Ruben." sapaku. Ruben ada disana. Dibawah pohon yang ku maksud. Dia bersama bukunya. Selalu seperti itu.
"Nayla." Ruben terkejut akan kedatanganku.
"Ternyata tebakan gue bener, ya. Lo pasti ada disini." ujarku bangga.
"Ada apa?" tanyanya.
"Loh, pertanyaan itu kan, seharusnya buat lo." aku mengerutkan kening, dibalik poniku. "Kata Jonash, tadi lo nanyain gue."
"Oh iya yah." Ruben tersenyum malu. "Ehm, gua cuma pengen ngomong sama lo."
"Ngomong apa?" aku berusaha tetap tenang. Padahal tegang banget. Apa yang akan Ruben bicarakan padaku. Apakah dia memiliki perasaan yang sama denganku?
"Gue sih udah pernah ngomong ini sama lo. Tapi gue gak tau lo masih ingat atau nggak." Ruben terlihat serius.

Aku berfikir sebentar. Apa yang pernah Ruben katakan padaku. Aku tak ingat lagi dengan apa yang pernah dia ucapkan. Ahh, mengapa aku selalu lupa. Padahal mungkin, yang pernah dia katakan itu, memang adalah kata yang aku ingin dengar. Tapi aku lupa.

"Gue sayang sama lo, Nay."Ruben memegang tanganku dan menatapku. Ada yang baru saja aku sadari. Genggaman Ruben begitu hangat. Tatapannya meneduhkan. Inilah orang yang aku cintai.

Aku tersenyum. Dan kami saling diam. Aku berfikir lagi. Jonash benar. Aku harus menemukan cintaku yang baru. Dan sekarang, cinta itu ada didepanku.

"Nayla Anggitha." Ruben memanggil namaku. "Maukah kamu menjadi pacarku?"
Aku diam lagi. Lalu tersenyum. "Iya, Ruben Agustira. Aku mau jadi pacar kamu."
Ruben tersenyum tak percaya. Dia mengelus pipiku. Benarkah yang ada didepannya ini adalah aku, Nayla Anggitha. Yang baru saja membalas cintanya. Dia mencium lembut keningku. "Terima kasih." ujarnya.

Aku mengangguk pelan. Ruben mengambil sesuatu dari saku celana abu-abunya. Mengeluarkan liontin berbentuk hati, dan memasangkannya padaku.

"Aku udah lama bikin liontin ini untuk kamu." katanya lembut. "Buka deh, didalamnya ada tulisan huruf, inisial nama aku dan nama kamu."

Aku membuka liontin hati itu, disana terukir huruf 'R' dan 'N'. Inisial nama aku dan dia. Ruben dan Nayla.

"Makasih." kataku terharu. "Kalo kayak gini, aku harap aku gak akan pernah lupa, kalo aku punya kamu. Karena inisial nama kamu, ada di hati aku dan di liontin hati ini."

Ruben memelukku. "Semoga." ujarnya pelan. Hampir tak bisa ku dengar.

Aku masih memegangi liontin itu. Sambil berdo'a kepada Tuhan. Jangan pernah ambil hari ini. Jangan biarkan aku melupakan hari ini. Bantu aku menyimpannya dalam hati.

"Nay." Ruben memanggil namaku lagi. Kami masih duduk bersama dibawah pohon ini.
"Iya." jawabku.
"Gimana ya, kalo orang tua kita tau soal hubungan kita ini?" tanya Ruben.
"Aku gak tau, Ben." jawabku. "Yang pasti, aku gak akan pernah mengakhiri hubungan ini, meski mereka menentangnya." kataku sungguh-sungguh.
Ruben tersenyum. "Aku juga." katanya kemudian. "Hubungan ini hanya akan berakhir, kalo udah gak ada lagi cinta diantara kita."

Aku tersenyum mendengar ucapan Ruben. Terima kasih Tuhan. Atas cinta baru yang KAU beri. Akhirnya aku menemukannya. Dan aku berjanji akan menjaganya. Ku harap, seseorang disana juga bisa menemukan cintanya yang baru.

***

Kak Rangga menahan langkahku. Sekarang kami sudah ada dirumah. Kami sudah pulang sekolah. Dan sialnya, hari ini di rumah sedang sepi. Hanya ada aku dan kak Rangga. Tante Mery pergi bersama bi Minah ke supermarket, untuk membeli bahan makanan. Kak Yudha masih dikampus. Sedangkan Devand, pergi dengan Idon dari pulang sekolah tadi.

Kak Rangga menatap sinis padaku. Dan aku berusaha santai menanggapinya.

"Mau apa lagi?" tanyaku.
"Gue gak akan bisa menemukan cinta yang baru." ujarnya.
"Kasihan banget ya." ujarku sinis. "Ternyata gue lebih beruntung dari pada lo. Karena gue baru aja nemuin cinta gue yang baru."
"Siapa?" tanya kak Rangga kesal.
"Lo gak perlu tau." ujarku masih dengan nada sinis. "Mulai sekarang, lo gak boleh usik urusan gue. Dan gue juga gak akan usik urusan lo."

Kak Rangga mulai berang. Wajahnya memerah. Aku tau dia akan marah besar. Tapi aku akan membiarkannya. Aku tau, dia akan merasa lebih baik, jika dia mengeluarkan amarahnya.

"Kalo lo gak bisa anggap gue sebagai adek lo, gue pun sama." aku melanjutkan. "Gue gak akan anggap lo kakak gue. Tapi gue bakal anggap lo, sebagai musuh gue."
"Apa? Nggak. Lo gak bisa gitu." kak Rangga benar-benar marah.
"Oh ya?" aku tetap berusaha tetap santai. "Tapi ini bukan mau gue kan? Ini semua berawal dari lo. Jadi salahin aja diri lo sendiri."
"Nayla!" kak Rangga tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia berteriak menyebut namaku.
"I find my new love." ujarku sok inggris. Lalu aku segera meninggalkan kak Rangga. Masuk ke kamarku, dan mengunci pintu.

Ku hempaskan tubuh ke tempat tidurku. Kemudian menangis. Rasanya ingin sekali berteriak. Tolong lupakan aku. Carilah cinta yang baru. Kau pasti akan menemukannya. Harusnya kau sadar. Sebesar apapun cintamu padaku, itu semua akan sia-sia dan hanya akan menyakitimu. Jadi, berhentilah menyimpan cinta itu. Find your new love, like me. I find him. My new love. Ruben.

***