Thursday, September 19, 2013

KEBAHAGIAAN DAN KESUKSESAN


Ini cerita yang saya tulis untuk lomba. tapi gak menang wkak :D
temanya adalah "Goresan tinta yang menginspirasi"


Tiga orang anak manusia. Berpijak ditanah yang sama. Menghirup oksigen yang sama. Dan hidup untuk satu tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan dan kesuksesan. Pertanyaannya adalah, bagaimana suatu tujuan itu bisa dicapai? Kebahagiaan dan Kesuksesan tidak diraih semudah membalikan telapak tangan. Butuh banyak usaha yang dikerahkan demi mencapai tujuan itu. Tapi benarkah yang kita butuhkan hanya usaha?
Ini adalah kisah tentang tiga anak manusia yang berjuang untuk menggapai tujuannya. Bahwa memang tak ada yang mudah untuk kebahagiaan dan kesuksesan yang bahkan ‘tidak sejati’. Tapi setiap orang berhak untuk kebahagiaan dan kesuksesan di hidupnya.


Kisah Manusia I
Sebutlah dia anak muda yang hidup dalam keluarga sangat mampu atau lebih dari cukup dalam materi. Sejak kecil, dia hidup dengan nyaman. Tak pernah ada yang menjadi beban untuknya. Bisa mendapatkan apa saja yang diinginkan. Tak ada cobaan hidup yang berarti. Hidupnya mulus. Tapi, apakah ia bahagia? Apakah dia telah sukses menata kehidupannya? Jawabannya adalah tidak. Karena saat ini, ia masih memperjuangkan kebahagiaannya dan mencapai kesuksesan yang di inginkannya.
Mengapa ia tidak merasa bahagia? Semua itu bersumber dari kedua orang tuanya. Bagaimanakah seorang anak bisa merasa bahagia, jika tak pernah ada orang tua disisinya? Ia kesepian, diantara semua orang yang banyak disekelilingnya. Namun apalah arti orang-orang yang disebut sahabat dan kenalan itu, bila tak ada kedua orang tua. Ayah yang selalu menjaga dan melindungi kita, serta ibu yang telah melahirkan dan merawat kita. Setiap ia meminta perhatian, kalimat yang ia dapat adalah, “Kami lelah sehabis kerja, nak. Kami ingin beristirahat.”. Pernahkah mereka mempertanyakan tentang keadaan sang anak? Lukakah ia? Bahagiakah ia? Ia telah berusaha menggapai kebahagiaannya, tapi ia tak bisa. Usahanya belum sempurna. Ia tak bahagia.
Lalu, bagaimana dengan kesuksesan yang ingin digapainya? Untuk hal ini, sejenak ia melupakan tentang kebahagiaan yang belum ia dapatkan. Kesuksesan, setidaknya ia ingin memiliki itu. Apakah kali ini dia berhasil? Ia ingin seperti kedua orang tuanya yang sukses dalam dunia kerja. Apa yang dibutuhkan untuk mencapai itu semua? Yang ia tahu, jawabannya ialah berusaha. Dan itulah yang ia lakukan sekarang, berusaha. Namun usaha apa yang ia buat? Ia kuliah jurusan Management disalah satu Universitas ternama. Ia tak keberatan untuk membayar jutaan per semesternya. Toh, dia memilki materi melimpah. Ia bisa membayar berapapun dan siapapun dengan uangnya. Itu adalah usahanya. Nilai bagus dari semua tugas yang diberikan oleh Dosen sangat gampang ia dapatkan. Bagaimana bisa? Padahal hampir setiap hari ia membolos dan tidak benar-benar mendengarkan materi pelajaran yang disampaikan Dosen. Lalu darimana semua nilai bagus itu? Yang ia lakukan adalah membayar teman-temannya yang bisa membuat tugas itu untuknya, dan bersedia memberinya contekan saat ujian. Sangat mudah. Dengan usahanya ini, dia bisa lulus kuliah dengan nilai yang sangat baik. Hingga tibalah ia pada dunia kerja yang begitu diimpikannya. Ia tak mau berkerja di perusahaan milik orang tuanya. Lalu memilih bekerja di perusahaan lain. Dengan latar belakang pendidikannya yang baik, ia berhasil menduduki jabatan yang tinggi diperusahaan tempat ia bekerja. Sudah sukseskah ia?
Di bulan kedua ia bekerja di perusahaan tersebut, ia di pecat. Kenapa? Meski ia memiliki nilai baik serta lulus dari Universitas ternama, tapi kemampuannya dalam bekerja adalah nol besar. Ia telah gagal. Sekarang ia tahu, usahanya salah. Dan satu lagi, dalam setiap usaha yang dijalaninya, pernahkah ia berdoa? Ia telah melupakan tuhan yang telah memberinya banyak. Di saat ia pikir ia telah memperoleh kesuksesannya, segala nikmat. Satu hal, berusaha saja tidaklah cukup. Kita harus menyertainya dengan doa, agar dilancarkan jalannya dan diberi kemudahan. Dan ia tak menyertakan doa pada setiap usahanya. Pastaskah ia menuntut kesuksesan bagi usahanya, sedang ia tak pernah meminta pada Yang Maha Pemberi.


Kisah Manusia II
Ia terlahir di keluarga sederhana. Kehidupan keluarga yang begitu harmonis dan yang pastinya diimpikan banyak orang. Memiliki seorang Ayah yang bertanggung jawab serta begitu mengayomi. Seorang Ibu yang perhatian dan penuh kasih sayang. Dan dalam hidupnya, ia juga mengejar kebahagiaan dan kesuksesan. Tujuan pertama, kebahagian. Bahagiakah ia? Bagaimanapun ia hidup di dalam keluarga yang harmonis. Jawabannya adalah belum. Ia tidak cukup bahagia dengan keluarga harmonis yang ia miliki sekarang. Kebahagiaan yang ia impikan berasal dari kesuksesan yang akan ia peroleh nanti. Dan untuk kesuksesan dimasa depan, ia harus memulainya dari sekarang. Ia sadar, untuk mencapai semua itu tidaklah mudah. Ia butuh berusaha dan juga berdoa.
Ia belajar dengan giat untuk ujian SMA nya dan tak lupa berdoa. Ia lulus, lalu orang tuanya bahagia. Ah, ini baru awal. Saat kuliah, perjuangannya masih akan berlanjut. Ia masihlah ia yang sama, masih manusia yang mengejar impiannya. Ia mendapat beasiswa disaat kuliah dan tinggal jauh dari orang tuanya. Itu bukanlah hal yang sulit. Apapun ia lakukan demi menggapai impiannya.
Suatu hari ia mendapat kabar bahwa Ayahnya sakit dan memintanya untuk pulang kerumah sebentar. Tapi apa jawabnya? “Aku sedang sibuk dengan semua tugas kuliahku, Ayah. Aku tidak bisa pulang sekarang. Mungkin bulan depan.” Begitulah ucapnya. Tidak masalah, Ayahnya tersenyum kala itu. “Anakku sedang berusaha rupanya. Aku senang. Gapailah apa yang menjadi mimpimu. Itu yang menjadi bahagiamu, bukan? Ayah berdoa untuk kesuksesanmu, nak.”. Oh, tak tahukah ia bahwa Ayahnya sedikit menyampaikan luka pada kalimat bijaknya? Ia tahu, ia telah mendapat restu. Tujuannya mencapai kebahagiaan dan kesuksesan akan menjadi mudah.
Semuanya berjalan lancar seolah tak pernah terdapat hambatan, meski kecil. Sejak janjinya dihari itu, bahwa ia akan pulang, nyatanya ia tak kunjung datang menemui kedua orang tuanya, hingga kini ia berdiri dengan pakaian wisudanya. Ia telah lulus. Ibunya kembali memintanya untuk pulang dan mencari pekerjaan di kota tempat tinggal mereka. Tapi jawabannya adalah tidak. Ia akan mencari pekerjaan di kota kuliahnya saja. Tak apa, Ibunya tersenyum dan akan selalu mendukung semua kebahagiaan untuknya. Ia sangat senang, keluarganya benar-benar mendukungnya.
Tahun berikutnya, ia telah menjadi sukses. Ia berhasil mendapatkan kebahagiaannya dari kesuksesan yang ia miliki. Ibunya kembali tersenyum. “Ibu bangga.” Ujarnya. Tunggu! Mengapa hanya Ibu? “Ayahmu telah tiada, nak. Dulu saat ia sakit dan memintamu pulang, sebenarnya ia tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Tapi demi tak mempersulit perjuanganmu mencapai kesuksesan yang kau impikan, ia tahu, ia harus mengerti. Dan ketika ia telah pergi, kami telah berjanji untuk tak memberitahumu. Karena kami tak mau kau terganggu.”. Dan detik itu juga ia menangis. Yang ia cari selama ini adalah kebahagiaan. Tapi demi itu semua, ia membiarkan keluarganya tak bahagia. Tak tahukah ia? Kebahagiaan terbaiknya adalah keluarga yang selalu membuat semua orang iri. Kehidupan keluarganya yang harmonis,dulu.


Kisah Manusia III
Dia berbeda dari dua manusia sebelumnya. Hidupnya bahkan jauh dari kata sukses dan bahagia. Dia punya orang tua? Jawabnya tidak. Sejak ia kecil hingga kini ia menginjak usia remaja, ia bahkan tak pernah melihat orang tuanya. Ia sebatang kara dan hidup nomaden. Apakah ia bersekolah? Lagi-lagi jawabnya, tidak. Ia tak tahu segalanya. Betapa luasnya dunia ini. Betapa canggihnya teknologi saat ini. Betapa banyaknya kasus yang disebut korupsi, merajalela. Ia tak pernah tahu itu.
Ia tak tahu apa yang orang-orang tulis pada pinggiran jalan atau pertokoan yang dilewatinya. Ia tak bisa membaca, apalagi menulis. Oh, seperti apakah hidup manusia ini? Ia bahkan tak berani bermimpi untuk bahagia, apalagi memperoleh kesuksesan. Ia takut kecewa. Tapi itu bukan berarti ia tak berusaha. Ia bahkan bekerja dan bisa menghasilkan uang dengan jerih payahnya untuk ia melangsungkan hidup. Dan ia senang, setidaknya ia mengenah satu hal. Tuhan. Adalah yang menciptakannya dan berhak atas dirinya. Setidaknya ia tahu bagaimana cara dekat dengan sang pencipta. Tempat dimana ia bisa meminta.
Suatu sore ia memandang hiruk pikuk kota. Disaat semua orang meninggalkan tempat mereka bekerja dan kembali kerumah. Namun ada juga yang baru berangkat bekerja dan meninggalkan rumah. Semua orang dengan segala kehidupan yang dijalaninya. Ia tak mengerti, apakah mereka semua bahagia? Ia menatap wajah itu satu per satu, untuk menemukan jawabannya. Seseorang dengan muka kusut dan lelahnya. Seseorang yang tampak sumringah dan bersemangat. Ia berpikir, harusnya orang-orang yang sedang ia perhatikan ini bahagia. Mereka bisa hidup dengan gaji lumayan bahkan lebih dari cukup dengan pekerjaan yang mereka miliki. Harusnya mereka bahagia dengan kesuksesan yang telah mereka raih. Namun ia tak yakin ia melihat itu pada orang-orang ini.
Ia tersenyum, lalu berkata, “Meski aku miskin, tapi hatiku kaya. Aku tidak seperti mereka yang selalu tersenyum dalam hati yang terluka. Aku bukan makhluk Tuhan yang menggunakan cara haram untuk mencari nafkah. Aku berusaha dengan caraku sendiri dan aku selalu berdoa agar Tuhan menyertai.”. Jeda sesaat. Ia masih memandang pada orang-orang itu. Langit senja mulai berganti menjadi sedikit gelap. Ia kembali berucap, “Dengan itu, aku bahagia. Dan akupun telah sukses menata hidupku dengan berusaha untuk tetap mencari nafkah dengan jalan yang diridho’i Allah SWT.”
Bisakah kita sadari? Kebahagiaan dan Kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah hal yang bisa kita lihat dengan mata. Itu semua ada pada kita. Kenapa selama ini kita selalu merasa tak bahagia dan belum sukses? Jawabnya ialah, karena kita tidak mau melihat kebahagiaan dan kesuksesan kecil dahulu, sebelum melihat kebahagiaan dan kesuksesan yang besar.
***

Friday, April 12, 2013

HALTE BIS


Ini kisah tentang cinta pertama. Suatu kisah cinta sederahana yang dimulai dari pertemuan, perkenalan, lalu menjadi teman, dan seterusnya. Dan ini kisahku.

Namaku Larisa. Gadis biasa berumur 15 tahun yang jatuh cinta pada seorang anak laki-laki yang selalu kutemui di halte bis. Dia selalu datang pada waktu yang sama, menunggu bis yang sama, membawa gitar yang sama, senyum yang sama, dan aku jatuh cinta.

Hari ini, aku melihatnya lagi. Haruskah aku mengajaknya berkenalan kali ini? Apa harus aku yang memulai? Baiklah, kamu yang disana, mari kita memulai hari baru.

“Hai.” Sapaku. Tak ku lupakan memasang senyum manis.
“Hai.” Balasnya. Oh, aku tak tau bagaimana wajahku sekarang. Memerahkah? Semoga ia tak melihatnya.
“Namaku Larisa.” Ku ulurkan tangan kearahnya, bermaksud untuk mengajaknya berkenalan.
“Fito.” Dia menyambut uluran tanganku. Ish! Kenapa begitu dingin?
“Kita selalu bertemu di halte ini, setiap hari loh.” Aku memulai percakapan.
“Aku tau.” Jawabnya. Masih dengan wajah dan ucapan sedingin es.

Dan hari itu, cukup dengan beberapa dialog itu. Bis datang, dan kami berpisah. Ini... hari pertama.

***

Hari ini tidak boleh seperti hari kemarin. Aku harus bisa mengajaknya bicara lebih banyak. Begitulah, tekadku hari ini.

Aku berlari menembus derasnya hujan, sore ini. Dan disana, aku menemukannya. Seperti biasa. Dan hari ini, aku sudah tau namanya. Aku bisa memanggilnya Fito.

“Hai, Fito.” Aku langsung duduk disampingnya.
“Hai.” Dia menjawab, sambil memeluk gitarnya.
“Bisa main gitar ya?” tanyaku.
“Lumayan.” Jawabnya. Kali ini dibumbui senyum tipis pada bibirnya. Ini yang pertama.
“Mainin satu lagu dong.” Pintaku. Dia menoleh sebentar, lalu berpikir. “Anggap ini, sebagai tanda perkenalan dan... pertemanan kita.” Tambahku.

Dia mengangguk, kemudian mulai memainkan gitarnya.

Aku tau lagu ini. ‘Akhirnya ku menemukanmu’. Sebuah lagu pertemuan, perkenalan, dan pertemuan antara aku dan dia yang indah.

“Uangnya?” dia mengadahkan tangan kanannya didepanku. Aku melongo tak mengerti. Lalu kulihat dia terkekeh geli.
“Maksudnya?” tanyaku tetap mempertahankan wajah yang sama.
“Lupakan.” Dia berdiri, dan kemudian naik ke bis yang baru saja datang.
“Makasih.” Teriakku sebelum bis berjalan. “Untuk lagunya.” Tambahku.

Dia mengangguk, lalu tersenyum.

Semoga besok, aku bisa melihat senyum itu lagi.

***

Suasana halte bis hari ini benar-benar buruk. Sama seperti langit sore yang mendung ini. Lima belas menit yang lalu, aku sudah berada di halte, dan Fito tidak ada. Seharusnya, dia sudah duduk disini seperti hari-hari sebelumnya.

“Dia tidak datang.” Lirihku.

Dan disini, duduklah aku sendiri. Apa yang harus aku tuliskan pada buku diaryku hari ini? Tak ada Fito disini, berarti tak ada cerita. Padahal dua hari ini, aku selalu menulis tentangnya pada diaryku.

“Maaf telat.” Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Akupun segera menoleh pada asala suara itu.
“Fito?” aku senang melihatnya datang. Will be a good day?
“Hari ini aku ulang tahun.” Ujarnya. “Would you be my girl, Larisa Indah?” tanya.

Apa? Dia tau nama lengkapku? Dan... apa barusan dia memintaku menjadi kekasihnya?

“Yes, I do.” Jawabku, sedikit tercekat. Hope is it not a dream!
“Namaku Fito Anggara. Aku selalu melihatmu di halte ini, dan aku jatuh cinta.” Dia tersenyum sangat manis. “I love you.”

Well, ini kisahku. Cinta pertamaku, dihalte bis.