Ini cerita yang saya tulis untuk lomba. tapi gak menang wkak :D
temanya adalah "Goresan tinta yang menginspirasi"
Tiga orang anak
manusia. Berpijak ditanah yang sama. Menghirup oksigen yang sama. Dan
hidup untuk satu tujuan yang sama, yaitu kebahagiaan dan kesuksesan.
Pertanyaannya adalah, bagaimana suatu tujuan itu bisa dicapai?
Kebahagiaan dan Kesuksesan tidak diraih semudah membalikan telapak
tangan. Butuh banyak usaha yang dikerahkan demi mencapai tujuan itu.
Tapi benarkah yang kita butuhkan hanya usaha?
Ini adalah kisah
tentang tiga anak manusia yang berjuang untuk menggapai tujuannya.
Bahwa memang tak ada yang mudah untuk kebahagiaan dan kesuksesan yang
bahkan ‘tidak sejati’. Tapi setiap orang berhak untuk kebahagiaan
dan kesuksesan di hidupnya.
Kisah
Manusia I
Sebutlah dia anak
muda yang hidup dalam keluarga sangat mampu atau lebih dari cukup
dalam materi. Sejak kecil, dia hidup dengan nyaman. Tak pernah ada
yang menjadi beban untuknya. Bisa mendapatkan apa saja yang
diinginkan. Tak ada cobaan hidup yang berarti. Hidupnya mulus. Tapi,
apakah ia bahagia? Apakah dia telah sukses menata kehidupannya?
Jawabannya adalah tidak. Karena saat ini, ia masih memperjuangkan
kebahagiaannya dan mencapai kesuksesan yang di inginkannya.
Mengapa ia tidak
merasa bahagia? Semua itu bersumber dari kedua orang tuanya.
Bagaimanakah seorang anak bisa merasa bahagia, jika tak pernah ada
orang tua disisinya? Ia kesepian, diantara semua orang yang banyak
disekelilingnya. Namun apalah arti orang-orang yang disebut sahabat
dan kenalan itu, bila tak ada kedua orang tua. Ayah yang selalu
menjaga dan melindungi kita, serta ibu yang telah melahirkan dan
merawat kita. Setiap ia meminta perhatian, kalimat yang ia dapat
adalah, “Kami lelah sehabis kerja, nak. Kami ingin beristirahat.”.
Pernahkah mereka mempertanyakan tentang keadaan sang anak? Lukakah
ia? Bahagiakah ia? Ia telah berusaha menggapai kebahagiaannya, tapi
ia tak bisa. Usahanya belum sempurna. Ia tak bahagia.
Lalu, bagaimana
dengan kesuksesan yang ingin digapainya? Untuk hal ini, sejenak ia
melupakan tentang kebahagiaan yang belum ia dapatkan. Kesuksesan,
setidaknya ia ingin memiliki itu. Apakah kali ini dia berhasil? Ia
ingin seperti kedua orang tuanya yang sukses dalam dunia kerja. Apa
yang dibutuhkan untuk mencapai itu semua? Yang ia tahu, jawabannya
ialah berusaha. Dan itulah yang ia lakukan sekarang, berusaha. Namun
usaha apa yang ia buat? Ia kuliah jurusan Management disalah satu
Universitas ternama. Ia tak keberatan untuk membayar jutaan per
semesternya. Toh, dia memilki materi melimpah. Ia bisa membayar
berapapun dan siapapun dengan uangnya. Itu adalah usahanya. Nilai
bagus dari semua tugas yang diberikan oleh Dosen sangat gampang ia
dapatkan. Bagaimana bisa? Padahal hampir setiap hari ia membolos dan
tidak benar-benar mendengarkan materi pelajaran yang disampaikan
Dosen. Lalu darimana semua nilai bagus itu? Yang ia lakukan adalah
membayar teman-temannya yang bisa membuat tugas itu untuknya, dan
bersedia memberinya contekan saat ujian. Sangat mudah. Dengan
usahanya ini, dia bisa lulus kuliah dengan nilai yang sangat baik.
Hingga tibalah ia pada dunia kerja yang begitu diimpikannya. Ia tak
mau berkerja di perusahaan milik orang tuanya. Lalu memilih bekerja
di perusahaan lain. Dengan latar belakang pendidikannya yang baik, ia
berhasil menduduki jabatan yang tinggi diperusahaan tempat ia
bekerja. Sudah sukseskah ia?
Di bulan kedua ia
bekerja di perusahaan tersebut, ia di pecat. Kenapa? Meski ia
memiliki nilai baik serta lulus dari Universitas ternama, tapi
kemampuannya dalam bekerja adalah nol besar. Ia telah gagal. Sekarang
ia tahu, usahanya salah. Dan satu lagi, dalam setiap usaha yang
dijalaninya, pernahkah ia berdoa? Ia telah melupakan tuhan yang telah
memberinya banyak. Di saat ia pikir ia telah memperoleh
kesuksesannya, segala nikmat. Satu hal, berusaha saja tidaklah cukup.
Kita harus menyertainya dengan doa, agar dilancarkan jalannya dan
diberi kemudahan. Dan ia tak menyertakan doa pada setiap usahanya.
Pastaskah ia menuntut kesuksesan bagi usahanya, sedang ia tak pernah
meminta pada Yang Maha Pemberi.
Kisah
Manusia II
Ia terlahir di
keluarga sederhana. Kehidupan keluarga yang begitu harmonis dan yang
pastinya diimpikan banyak orang. Memiliki seorang Ayah yang
bertanggung jawab serta begitu mengayomi. Seorang Ibu yang perhatian
dan penuh kasih sayang. Dan dalam hidupnya, ia juga mengejar
kebahagiaan dan kesuksesan. Tujuan pertama, kebahagian. Bahagiakah
ia? Bagaimanapun ia hidup di dalam keluarga yang harmonis. Jawabannya
adalah belum. Ia tidak cukup bahagia dengan keluarga harmonis yang ia
miliki sekarang. Kebahagiaan yang ia impikan berasal dari kesuksesan
yang akan ia peroleh nanti. Dan untuk kesuksesan dimasa depan, ia
harus memulainya dari sekarang. Ia sadar, untuk mencapai semua itu
tidaklah mudah. Ia butuh berusaha dan juga berdoa.
Ia belajar dengan
giat untuk ujian SMA nya dan tak lupa berdoa. Ia lulus, lalu orang
tuanya bahagia. Ah, ini baru awal. Saat kuliah, perjuangannya masih
akan berlanjut. Ia masihlah ia yang sama, masih manusia yang mengejar
impiannya. Ia mendapat beasiswa disaat kuliah dan tinggal jauh dari
orang tuanya. Itu bukanlah hal yang sulit. Apapun ia lakukan demi
menggapai impiannya.
Suatu hari ia
mendapat kabar bahwa Ayahnya sakit dan memintanya untuk pulang
kerumah sebentar. Tapi apa jawabnya? “Aku sedang sibuk dengan semua
tugas kuliahku, Ayah. Aku tidak bisa pulang sekarang. Mungkin bulan
depan.” Begitulah ucapnya. Tidak masalah, Ayahnya tersenyum kala
itu. “Anakku sedang berusaha rupanya. Aku senang. Gapailah apa yang
menjadi mimpimu. Itu yang menjadi bahagiamu, bukan? Ayah berdoa untuk
kesuksesanmu, nak.”. Oh, tak tahukah ia bahwa Ayahnya sedikit
menyampaikan luka pada kalimat bijaknya? Ia tahu, ia telah mendapat
restu. Tujuannya mencapai kebahagiaan dan kesuksesan akan menjadi
mudah.
Semuanya berjalan
lancar seolah tak pernah terdapat hambatan, meski kecil. Sejak
janjinya dihari itu, bahwa ia akan pulang, nyatanya ia tak kunjung
datang menemui kedua orang tuanya, hingga kini ia berdiri dengan
pakaian wisudanya. Ia telah lulus. Ibunya kembali memintanya untuk
pulang dan mencari pekerjaan di kota tempat tinggal mereka. Tapi
jawabannya adalah tidak. Ia akan mencari pekerjaan di kota kuliahnya
saja. Tak apa, Ibunya tersenyum dan akan selalu mendukung semua
kebahagiaan untuknya. Ia sangat senang, keluarganya benar-benar
mendukungnya.
Tahun berikutnya, ia
telah menjadi sukses. Ia berhasil mendapatkan kebahagiaannya dari
kesuksesan yang ia miliki. Ibunya kembali tersenyum. “Ibu bangga.”
Ujarnya. Tunggu! Mengapa hanya Ibu? “Ayahmu telah tiada, nak. Dulu
saat ia sakit dan memintamu pulang, sebenarnya ia tahu bahwa hidupnya
tak akan lama lagi. Tapi demi tak mempersulit perjuanganmu mencapai
kesuksesan yang kau impikan, ia tahu, ia harus mengerti. Dan ketika
ia telah pergi, kami telah berjanji untuk tak memberitahumu. Karena
kami tak mau kau terganggu.”. Dan detik itu juga ia menangis. Yang
ia cari selama ini adalah kebahagiaan. Tapi demi itu semua, ia
membiarkan keluarganya tak bahagia. Tak tahukah ia? Kebahagiaan
terbaiknya adalah keluarga yang selalu membuat semua orang iri.
Kehidupan keluarganya yang harmonis,dulu.
Kisah
Manusia III
Dia berbeda dari dua
manusia sebelumnya. Hidupnya bahkan jauh dari kata sukses dan
bahagia. Dia punya orang tua? Jawabnya tidak. Sejak ia kecil hingga
kini ia menginjak usia remaja, ia bahkan tak pernah melihat orang
tuanya. Ia sebatang kara dan hidup nomaden. Apakah ia bersekolah?
Lagi-lagi jawabnya, tidak. Ia tak tahu segalanya. Betapa luasnya
dunia ini. Betapa canggihnya teknologi saat ini. Betapa banyaknya
kasus yang disebut korupsi, merajalela. Ia tak pernah tahu itu.
Ia tak tahu apa yang
orang-orang tulis pada pinggiran jalan atau pertokoan yang
dilewatinya. Ia tak bisa membaca, apalagi menulis. Oh, seperti apakah
hidup manusia ini? Ia bahkan tak berani bermimpi untuk bahagia,
apalagi memperoleh kesuksesan. Ia takut kecewa. Tapi itu bukan
berarti ia tak berusaha. Ia bahkan bekerja dan bisa menghasilkan uang
dengan jerih payahnya untuk ia melangsungkan hidup. Dan ia senang,
setidaknya ia mengenah satu hal. Tuhan. Adalah yang menciptakannya
dan berhak atas dirinya. Setidaknya ia tahu bagaimana cara dekat
dengan sang pencipta. Tempat dimana ia bisa meminta.
Suatu sore ia
memandang hiruk pikuk kota. Disaat semua orang meninggalkan tempat
mereka bekerja dan kembali kerumah. Namun ada juga yang baru
berangkat bekerja dan meninggalkan rumah. Semua orang dengan segala
kehidupan yang dijalaninya. Ia tak mengerti, apakah mereka semua
bahagia? Ia menatap wajah itu satu per satu, untuk menemukan
jawabannya. Seseorang dengan muka kusut dan lelahnya. Seseorang yang
tampak sumringah dan bersemangat. Ia berpikir, harusnya orang-orang
yang sedang ia perhatikan ini bahagia. Mereka bisa hidup dengan gaji
lumayan bahkan lebih dari cukup dengan pekerjaan yang mereka miliki.
Harusnya mereka bahagia dengan kesuksesan yang telah mereka raih.
Namun ia tak yakin ia melihat itu pada orang-orang ini.
Ia tersenyum, lalu
berkata, “Meski aku miskin, tapi hatiku kaya. Aku tidak seperti
mereka yang selalu tersenyum dalam hati yang terluka. Aku bukan
makhluk Tuhan yang menggunakan cara haram untuk mencari nafkah. Aku
berusaha dengan caraku sendiri dan aku selalu berdoa agar Tuhan
menyertai.”. Jeda sesaat. Ia masih memandang pada orang-orang itu.
Langit senja mulai berganti menjadi sedikit gelap. Ia kembali
berucap, “Dengan itu, aku bahagia. Dan akupun telah sukses menata
hidupku dengan berusaha untuk tetap mencari nafkah dengan jalan yang
diridho’i Allah SWT.”
Bisakah kita sadari?
Kebahagiaan dan Kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah hal yang bisa
kita lihat dengan mata. Itu semua ada pada kita. Kenapa selama ini
kita selalu merasa tak bahagia dan belum sukses? Jawabnya ialah,
karena kita tidak mau melihat kebahagiaan dan kesuksesan kecil
dahulu, sebelum melihat kebahagiaan dan kesuksesan yang besar.
***