Friday, August 17, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 7 (END)


Willy sudah menunggu didepan rumah. Aku segera beranjak menemuinya, dan kami berangkat kesekolah.

Dimobil...

"Lo masih inget kan?" tanya Willy disela-sela menyetirnya.
"Apa?" aku balik bertanya.
"Besok." jawab Willy singkat.
"Oh. Iya gue inget. Besok kan hari kebebasan gue." aku tersenyum senang.
"Bukan itu." wajah Willy terlihat sedih. "Pas pertama kali gue bilang soal perjanjian 20 hari ini kan, itu karena dihari ke-20 adalah hari ulang tahun gue."

Aku terdiam. Astaga! Mengapa aku bisa lupa?

"Oh, itu ya?" aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Jadi, lo mau gue buat ngelakuin apa?" tanyaku ragu.
"Habisin waktu satu hari itu bareng gue." jawab Willy mantap.

Cuma itu? Benarkah Willy hanya ingin aku menemaninya selama seharian penuh dihari ulang tahunnya? Bukankah itu adalah sesuatu yang biasa? Aku bahkan telah menghabiskan waktu bersamanya selama 18 hari panuh. Bersamanya seharian penuh, itu hal yang biasa. Mengapa dia tidak meminta hal yang lain dihari special nya?

"Oh, oke." jawabku akhirnya.
"Kalo gitu, besok kita bolos." ujarnya.
"Oke." jawabku singkat.

Tak lama, kami sudah sampai disekolah. Aku dan Willy keluar bersamaan dari mobil milik Willy. Aku segera menyamakan langkahku mengikuti Willy. Kami berjalan bersama menuju kelas.

"Lo gak mau ngerayain hari ulang tahun lo sama keluarga atau temen-temen lo yang lain?" tanyaku disela-sela perjalanan kami menuju kelas.
"Awalnya sih, gue emang berencana kayak gitu." ujarnya santai.
"Terus?" aku penasaran.
"Tapi waktunya gak memungkinkan." Willy terlihat sedih.

Aku menatap Willy. Kenapa hari ini dia kelihatan lesu dan sedih? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Aku seperti kehilangan Willy yang sebelumnya. Willy yang menyebalkan. Menyusahkan. Dan selalu menyiksaku.

Kamipun sampai dikelas. Aku segera duduk dibangkuku, begitupun Willy. Tak lama, Lulu, Lucky, Bima, dan Bian juga datang.

"Pagi, Sasa, Willy." sapa Lulu.
"Pagi, Lu." aku tersenyum pada Lulu.
"Pagi." sahut Willy malas.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya Lucky, yang sepertinya menyadari perubahan Willy.
"Nggak apa-apa kok." jawab Willy, sambil tersenyum tipis.
"Eh Will, besok ulang tahun lo kan? Berarti bakalan pesta lagi dong?" tanya Bima antusias.
"Nggak." jawab Willy singkat.
"Kenapa? Tumben lo gak ngadain pesta buat ulang tahun lo. Ini kan ulang tahun lo yang ke-17, Will." Bian nampak terkejut dengan jawaban Willy.
"Untuk kali ini, gue cuma pengen ngabisin sisa waktu gue bareng kura-kura ini." Willy menunjukku.
"Sisa waktu?" Lulu mengernyitkan dahinya.
"Oh, iya. Ini hari ke-19 kan?" Lucky baru ingat. "Berarti besok hari terakhir Sakura jadi asistennya Willy."
"Hmm, pantes aja lo lebih milih bareng Sakura, Will." Bian tersenyum jahil.
"Kayaknya, besok bakalan jadi ulang tahun terindah buat Willy." Bima ikut tersenyum jahil.

Aku menatap Willy. Dia hanya tersenyum tipis. Hampir tak terlihat seperti sedang tersenyum. Ada apa dengan cowok populer ini?

Jam istirahat...
Aku, Willy, Lulu dan ketiga teman Willy sedang makan bersama dikantin. Sebenarnya hanya aku dan Lulu yang makan. Karena Willy sibuk dengan laptopnya. Lucky dengan bukunya. Bian dengan BB nya. Dan Bima dengan PSP nya.

"Lu, gue mau ngomong." aku berbisik pada Lulu.
"Ngomong apa?" Lulu ikut berbisik. Sepertinya dia tau, aku tak mau percakapanku dengannya didengar oleh anak-anak Winter (Willy cs.)
"Nggak disini. Ketaman yuk." ajakku pada Lulu. Lulupun mengangguk. "Ehm. Will, gak ada yang lo butuhin kan? Gue mau jalan-jalan bentar sama Lulu, boleh kan?" tanyaku pada Willy.
"Hmmm." Willy mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
"Mau kemana?" tanya Lucky.
"Taman." jawab Lulu.

Lalu aku dan Lulupun pergi menuju taman sekolah. Kami berdua duduk dibawah pohon rindang.

"Jadi, apa yang mau lo omongin, Sa?" tanya Lulu penasaran.
"Soal Willy." jawabku.
"Emangnya kenapa sama Willy, Sa?"
"Lo ngerasa gak sih, kalo hari ini tuh, Willy aneh."
"Cuma sedikit lebih pendiem. Apanya yang aneh?"
"Hari ini, udah dua kali gue denger dia ngomongin soal waktu, Lu."
"Waktu?"
"Perjanjian 20 hari itu."
"Oh. Mungkin dia sedih, kerena perjanjian itu bakalan berakhir, besok."

Aku tak menjawab perkataan Lulu lagi. Aku berfikir sejenak. Perjanjian 20 hari itu.

"Sasa." Lulu menepuk bahuku. "Kenapa? Kok ngelamun?" tanya Lulu.
"Nggak apa-apa kok, Lu." aku mencoba tersenyum pada Lulu.
"Lo sedih ya?" Lulu tersenyum jahil.
"Sedih kenapa?" aku menatap Lulu, bingung.
"Sedih karena setelah besok, lo gak bakalan punya waktu lebih banyak lagi sama Willy." Lulu masih dengan senyum jahilnya.
"Gue malah ngerasa, gak bakal punya waktu lagi bareng Willy." ujarku datar.
"Tenang aja." Lulu merangkulku. "Lo gak akan kehilangan Willy kok. Karena gue rasa, dia itu suka sama lo."
"Suka?" aku menatap Lulu lekat.
"Iya. Suka." Lulu menekan suaranya pada kata 'suka'. "Apa lo juga suka sama dia? Atau.... cinta?" tanya Lulu ragu.
"Gue emang suka sama dia. Makin hari, gue rasa, gue makin suka sama dia. Apa.... gue juga cinta?" aku sendiri bingung dengan perasaanku.
"Hmm... gue juga gak ngerti mana itu perasaan kagum, suka, atau cinta." Lulu menatap pada langit biru. "Tapi kalau otak lo gak pernah berhenti mikirin dia. Berdebar disaat sedang berada disampingnya. Bahagia melihat senyumnya. Sakit melihatnya terluka atau menangis. Tenang bila melihat wajahnya. Bergetar saat menyebut namanya. Katanya, itu cinta." terang Lulu.
"Apa bedanya semua perasaan itu dengan kagum atau sekedar suka?" tanyaku.
"Kagum itu, seperti memuja segala hal indah pada diri seseorang. Sedangkan suka, lo gak harus berdebar meski berada didekat dia. Suka ya cuma suka. Kayak lo suka sama satu barang. Sebatas suka." terang Lulu.

Aku kembali hanyut pada pemikiranku sendiri. Cinta ya? Benarkah?

"Jadi, gimana?" suara Lulu membuyarkan lamunanku. "Kagum. Suka. Atau... cinta?" tanya Lulu.
"Gue gak tau." jawabku datar.
"Semoga aja, lo gak telat buat nyadarin perasaan lo yang sebenernya." Lulu berkata begitu tanpa maksud apapun. Tapi dalam hatiku, kata-kata itu seperti sebuah pukulan. Aku tak mau terlambat menyadari, jika memang aku mencintai Willy. Tapi... apakah perasaan didalam hatiku ini benar-benar cinta?

***

Malamnya, aku tak bisa tidur karena terus teringat kata-kata Lulu. Cinta? Ahh... aku bingung dan tak tau. Lagi pula, kenapa harus Willy? Dia itu kan menyebalkan, menyusahkan, dan selalu menyiksaku. Bagaimana mungkin aku mencintainya? Itu sama saja dengan menyiksa hidupku selamanya.

Ketika sedang melamun, tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Ada telpon? Dan aku tak mengenal nomer ini. Siapa?

Aku mengangkatnya.

"Halo?"
"Kura-kura."
"Wi... Willy?"
"Iya, ini gue."
"Ada apa?"
"Cuma mau ngingetin aja. Besok gue bakal jemput lo jam tujuh pagi. Lo gak boleh telat sedetikpun."
"Oh. Oke."
"Jangan jadi kura-kura yang lambat ya."
"Bawel."
"Apa lo bilang?"
"Gue gak bilang apa-apa!"
"Barusan?"
"Lo salah denger kali. Eh, ngomong-ngomong, dari mana lo dapet nomer handphone gue?"
"Dari si 'kacamata'."
"Sekarang, Lulu udah gak pake kacamata lagi, Will."
"Terserah."

Tut... tut... tut..

Telpon itu langsung ditutup oleh Willy. What? Apa-apaan ini? Dasar! Selalu aja seenaknya sendiri. Eh, kenapa aku jadi kesal begini, saat Willy mematikan telponnya? Aish... padahal, ini kan percakapan pertama kami via telpon. Ah lupakan!

***

"Day 20" (Last Day)

Hah! Hari terakhir ya?

Aku bangun dari tidurku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Untuk apa aku bangun sepagi ini? Entahlah. Aku terlalu bersemangat, mungkin. Ini adalah hari terakhirku menjalani waktu bersama cowok populer itu.

Segera kuraih handuk kecil didekat kamar mandiku. Dan aku segera mandi, lalu bersiap.

Sudah jam setengah tujuh. Aku berjalan keluar dari kamarku. Aku menemui Ibu yang sedang memasakan sarapan untukku dan Ayah. Kupikir, Ibu akan kaget melihatku memakai pakaian bebas dan bukan seragam sekolah.

"Udah siap, sayang?" tanya Ibu sambil terus mengaduk sup yang sedang dibuatnya.
"Hari ini, Sakura gak masuk sekolah ya, bu. Ada urusan." kataku sambil mendekat pada Ibu.
"Iya. Willy udah bilang, kok." ujar Ibu santai.
"Kok Ibu tau?" tanyaku sedikit terkejut. "Emangnya Willy bilang apa?"
"Kalian mau pergi kepanti asuhan kan?" Ibu tersenyum padaku. "Ibu sangat setuju dengan rencana kalian yang akan memberi sumbangan kesana." tambah Ibu.

Aku hanya terdiam. Panti asuhan? Apa lagi yang dibuat Willy kali ini? Dia berbohong! Aku saja, bahkan belum tau kami akan kemana. Yang jelas, bukan kepanti asuhan seperti kata Ibu. Mana mungkin, orang seperti Willy mau merayakan ulang tahunnya di panti asuhan.

"Sarapan dulu." Ibu menyikut sedikit lenganku, sambil membawa semangkuk sup keatas meja makan kami.

Aku tersenyum pada Ibu, lalu mengangguk patuh. Tak lama, Ayah juga keluar dari kamarnya dan duduk di meja makan, untuk segera sarapan.

Sarapan selesai. Aku melirik jam tangan berwarna putih milikku. Tepat jam tujuh pagi.

Tinnn... suara klakson mobil, mengejutkanku.

Itu dia. Willy sudah datang. Aku menatap Ayah dan Ibu sambil tersenyum dan pamit untuk segera pergi. Ayah dan Ibu hanya mengangguk pelan.

Diluar, Willy sudah menungguku.

"Tepat waktu kan?" tanyaku padanya.
"Telat 20 detik." ujarnya sambil berlalu, dan masuk kedalam mobilnya.

Apa? Telat 20 detik? Bahkan itu juga menjadi masalah baginya. Apa waktu itu benar-benar sangat penting untuknya? Aish... menyebalkan. Masih pagi, dia sudah merusak mood-ku.

"Ngapain masih berdiri disitu? Ayo buruan naik!" perintahnya.

Aku memanyunkan bibirku, lalu segera menuruti perintahnya dan masuk kedalam mobil itu.

Hah! Mobil ini? Setelah hari ini, apakah aku masih bisa duduk didalam mobil ini? Melihat Willy menyetir? Huh! Aku rasa, aku akan merindukan semua ini.

Mobil Willy telah melaju kencang meninggalkan rumahku. Kini, kami sedang melewati jalan raya yang ramai.

"Kita mau kemana?" tanyaku membuka pembicaraan.
"Ikut aja." jawabnya ketus. "Dan jangan ajak gue bicara, disaat gue lagi nyetir kayak gini. Lo gak mau kita celaka bareng-bareng kan?" tambahnya, masih dengan nada bicara ketus.

Aku sangat kesal mendengar jawabannya. Akupun diam. Kuarahkan pandanganku keluar jendela. Kini, kami sudah tak berada dijalan raya lagi. Ini hanya jalan kecil yang dikelilingi hamparan hijau kebun teh. Pemandangan yang indah dipagi hari.

Entah berapa lama sudah mobil Willy ini melaju. Mungkin sekitar dua jam. Dan itu tanpa bicara sedikitpun. Membosankan.

Tak lama, Willy membelokkan mobilnya didepan sebuah bangunan. Rumah? Sepertinya begitu. Dan rumah ini nampak ramai oleh... anak-anak kecil? Mungkinkah?

Yup. Ini panti asuhan. Tertulis jelas pada sebuah papan persegi panjang didepan rumah ini, "Panti Asuhan Anggrek". Jadi, Ibu benar? Willy memang akan membawaku kepanti asuhan. Dan, disinilah kami berada sekarang. Willy keluar dari mobilnya, akupun begitu. Ku perhatikan setiap sudut panti asuhan ini. Halaman yang luas dengan hamparan rumput manila yang hijau. Pasti menyenangkan, berada disini. Bermain.

Aku menatap Willy yang juga masih berdiri disamping mobilnya, sama seperti posisiku saat ini. Dia juga menatap setiap sisi panti asuhan ini, sembari... tersenyum? Ah... senyumannya. Begitu lembut. Aku benar-benar menyukai senyuman itu. Willy tersenyum selembut itu, untuk tempat ini. Apakah tempat ini memiliki sesuatu yang begitu menyenangkan untuknya?

"Kura-kura, ayo masuk!" Willy berjalan duluan.
"Eh, iya." akupun mengikuti langkah Willy, memasuki panti asuhan itu.

Begitu sampai didalam, Willy langsung mendapat pelukan hangat dari anak-anak penghuni panti asuhan ini. Willy membalas pelukan mereka. Willy menatap mereka lembut, dan tersenyum. Aku... melihat sisi lain Willy lagi hari ini.

Seorang wanita, berumur sekitar 40 tahunan, datang menghampiri kami, lalu juga memeluk Willy.

"Selamat ulang tahun, anak Bunda." wanita itu mengecup kening Willy.
"Terima kasih, Bunda." Willy megecup pipi kiri wanita itu.

Aku hanya memandang mereka. Tak berani menyela apa yang sedang terjadi dihadapanku ini. Sampai wanita yang dipanggil Willy "Bunda" itu, menatapku. Willy jadi ikut menatapku, seolah mengikuti pandangan wanita dihadapannya.

"Kenalkan, Bunda. Dia Sakura." Willy memperkenalkanku pada Bundanya.
"Halo. Saya bunda Rika. Pengurus panti asuhan ini." Bunda Rika tersenyum padaku. Akupun membalas senyumnya, ramah.
"Halo, bunda Rika." sapaku. Bunda Rikapun kembali tersenyum.
"Pacarmu, Will?" tanya bunda Rika pada Willy. Pertanyaannya sukses membuat wajahku memerah. Aish... kenapa aku ini?
"Cuma temen, bunda." jawab Willy tenang.
"Belum menemukan pengganti Clara?" tanya bunda Rika lagi, pada Willy.
"Bunda kan tau, gak ada yang bisa menggantikan Clara." Willy tersenyum tipis. Entah mengapa, jawaban yang barusan Willy berikan itu, sedikit membuatku sedih.

Setelah cukup berbincang dengan posisi berdiri seperti ini, akhirnya bunda Rika mempersilahkan kami duduk.

"Kiriman Willy, udah sampai kan, Bun?" tanya Willy pada bunda Rika.
"Sudah. Terima kasih ya, Will. Tapi... kok rasanya, kali ini kamu memberikan sumbangan terlalu banyak?" bunda Rika menatap Willy.
"Semoga cukup untuk biaya anak-anak selama beberapa tahun kedepan, bunda." Willy tersenyum tipis.
"Itu sangat banyak, Will. Sekali lagi, bunda ucapkan terima kasih." bunda Rika tersenyum lagi.

Aku masih diam, terus menyimak setiap pembicaraan mereka. Meskipun, aku tak mengerti.

"Kura-kura." tiba-tiba, Willy memanggilku.
"Eh. Apa?" aku sedikit terkejut.
"Mau jalan-jalan sekitar panti?" tawar Willy. Aku tersenyum, lalu mengangguk.
"Kalau begitu, bunda kedapur dulu ya. Bunda akan siapkan makan siang untuk kalian." bunda Rika tersenyum, lalu melangkah pergi.

Kini, hanya tersisa aku dan Willy di ruang tamu ini. Willy menarik tanganku, untuk segera berkeliling melihat-lihat keadaan panti ini. Pertama-tama, Willy menunjukkan setiap ruangan untuk anak-anak panti. Ruang bermain, kamar, ruang makan, ruang belajar, dan lainnya. Bisa dibilang, panti ini cukup besar.

Setelah menjelajah setiap ruangan dalam panti, aku dan Willypun beranjak kehalaman panti. Kami duduk di ayunan yang ada di halaman belakang panti itu.

"Will, lo sering kepanti ini?" tanyaku membuka pembicaraan, saat kami telah duduk di ayunan masing-masing.
"Iya. Dulu, seminggu satu kali. Sama Clara." Willy tertunduk. Mungkin teringat lagi akan kenangannya bersama Clara.

Aku menatap Willy sekilas. Tak berani berbicara lagi.

"Kura-kura." Willy memanggilku lagi. Aku langsung menoleh padanya. "Menurut lo, gue itu orang yang kayak gimana sih?" tanyanya.
"Lo?" aku berpikir sebentar. "Lo itu orang yang nyebelin, ngeselin, nyusahin, suka semaunya sendiri, dingin, ketus, sombong...."
"Gak ada ya, sisi baik gue dimata lo?" Willy memotong ucapanku. Aku langsung menatapnya.
"Lo? Gue rasa, lo cowok yang baik dan berhati lembut." aku tak berani menatap Willy, setelah mengatakan hal itu.
"Clara bilang, gue itu cowok yang bodoh." Willy tersenyum hambar. "Dan gue marah, karena tau, Clara bener."
"Lo gak bodoh kok." aku menatap Willy.
"Gue bodoh, Ra." Willy menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Nggak, Will."
"Gue bodoh."
"Nggak!"
"Bodoh."
"Oke." aku bosan dengan perdebatan ini. "Iya. Lo bodoh. Lo bodoh karena menganggap diri lo itu bodoh. Lo bodoh karena gak pernah bisa liat ketulusan yang dikasih sama semua orang disekitar lo. Lo bodoh, Willy."

Aku hampir menangis mengatakannya. Willy menatapku sendu, lalu menghampiriku yang masih duduk di ayunan ini. Dia tersenyum, lalu... memelukku.

"Will." aku terkejut dengan perlakuan Willy.
"Maafin gue, Ra." Willy mempererat pelukannya. "Gue emang bodoh. Gara-gara gue, Clara meninggal. Gara-gara gue, selama 20 hari ini, lo selalu ngerasa tersiksa. Gue gak tau rasanya. Jadi anak baru, dan langsung nerima perlakuan buruk dari cowok populer yang bodoh kayak gue."
"Semuanya udah berlalu, Will." aku membalas pelukan Willy.
"Tapi lukanya gak akan pernah hilang, meski semuanya udah berlalu dan sia-sia." Willy terisak.
"Kita bisa apa?" tanyaku datar.

Willy melepas pelukannya.

"Setelah ini, lo harus memulai kehidupan baru lo dengan baik." Willy tersenyum padaku.
"Lo juga." aku membalas senyuman Willy.

Setelah itu, suasananya berubah hening. Sesuatu, telah merubah pandanganku tentang Willy si cowok populer. Willy. Ya. Aku mencintainya.

Hari ini, aku dan Willy menghabiskan waktu seharian di panti asuhan. Rasanya menyenangkan. Bermain bersama anak-anak ini. Kami tertawa bersama. Hari terakhir yang menyenangkan. Aku benar-benar bahagia. Adakah kesempatan untukku lagi, setelah hari ini?

***

Malampun datang. Jam sudah menunjukkan pukul 8. Aku dan Willy pamit pulang pada bunda Rika.

"Nanti, main kesini lagi ya, Willy, Sakura." pinta bunda Rika.
"Kalau ada waktu ya, Bun." Willy tersenyum tipis.

Bunda Rika hanya tersenyum, lalu mengangguk. Setelahnya, aku dan Willy benar-benar pergi meninggalkan panti ini. Aku terus menoleh kearah panti, sampai benar-benar hilang dari pandanganku. Hah! Sudah selesai ya?

"Gue masih bakal bawa lo kesatu tempat lagi." ujar Willy disela-sela aktivitas menyetirnya.
"Kemana?" tanyaku.
"Bukit diujung sana." Willy menunjuk pada bukit yang dikelilingi hamparan kebun teh yang hijaunya sudah tak nampak lagi karena gelapnya malam.

Aku menatap arah yang ditunjuk Willy itu. Pasti, disana sangat dingin.

Kamipun sampai. Willy menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan menuju bukit itu. Tapi, angin malam ini benar-benar menusuk tulangku.

"Dingin?" tanya Willy, begitu kami telah sampai dibukit. Aku mengangguk.

Willy segera membuka jaketnya, dan memasangkannya padaku. Aku sedikit terkejut. Apalagi ditambah oleh perlakuan Willy yang mengusap-usapkan kedua telapak tangannya pada kedua punggung tanganku.

"Hangat?" tanya Willy disela-sela aktivitasnya. Aku mengangguk. Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan. Aku benar-benar terkejut pada perlakuan Willy ini.

"Kura-kura."
"Hmm?"
"Lo gak mau ngasih hadiah ulang tahun buat gue?"
"Gue gak sempet beli."
"Emangnya, hadiah itu harus selalu dibeli ya?"

Aku terdiam. Oke. Aku memang lupa untuk memberi Willy hadiah. Nah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Willy menginginkan sebuah hadiah dariku. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Aku membuka tas milikku, dan mengambil sesuatu disana. Yang kuambil itu adalah sebuah kertas origami. Aku melipat-lipat kertas itu, dan menjadikannya sebuah bangau kertas yang manis berwarna merah. Lalu, kuberikan pada Willy.

"Bangau kertas?" Willy mengerutkan dahinya.
"Gue bener-bener gak nyiapin apa-apa buat hadiah ulang tahun lo. Maaf." aku menunduk.
"Makasih ya. Ini hadiah termanis yang pernah gue terima. Dari kura-kura lambat, pula." Willy mengelus rambutku lembut.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekarang, waktunya Willy membawaku pulang. Kami segera turun dari bukit, dan menuju mobil Willy. Willy langsung memacu mobilnya dan kami pulang.

Hampir dua jam. Lima menit lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Itu artinya, ini adalah menit-menit kebebasanku dari cowok populer ini.

Kami sampai dirumahku. Akupun segera turun dari mobil Willy, begitupun Willy. Aku berdiri menghadap Willy yang menyender pada mobilnya.

"Selamat ulang tahun, Willy." aku tersenyum manis padanya.
"Huh!" Willy menyeringai kesal. "Lo orang terakhir yang ngucapin selamat ulang tahun buat gue."
"Belum terlambat kan?" aku menyeringai. "Jam 12 masih satu menit lagi, kan?"

Willy diam, menatapku. Lalu, dia melirik jam ditangannya.

"3...2...1..." Willy menghitung mundur. "Oke. Lo bebas, sekarang. Lo bisa mulai ngejalanin hidup lo dengan normal. Waktu 20 hari lo bareng gue, udah selesai." Willy tersenyum.

Akupun membalas senyumnya. Sudah berakhir ya?

Setelah mengatakan itu, Willypun segera masuk kedalam mobilnya dan pulang. Aku menatap kepergian mobil Willy. Kenapa, rasanya sakit? Sesak. Semuanya sudah selesai.

***

Aku kembali pada kehidupanku. Sakura, siswa SMU biasa. Bukan lagi Sakura, si asisten cowok populer. Hari ini, aku bahkan berangkat sekolah sendiri.

"Gak dijemput Willy, sayang?" begitulah pertanyaan Ibu. Aku hanya tersenyum, dan menggeleng.

Kini, aku sudah berada di depan gerbang sekolah. Ah, mengapa aku baru menyadari, kalau gerbang dan sekolah ini benar-benar besar. Baiklah, lupakan! Aku akan berjalan menuju kelas. Bertemu Lulu, Lucky, Bima, Bian, dan... Willy.

Sesampainya dikelas...

Aku tak melihat Willy. Apa dia belum datang? Aku hanya melihat keberadaan Lulu, Lucky, Bima, dan Bian. Kini, mereka malah menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Willy belum dateng ya?" tanyaku sambil menaruh tasku dimeja.
"Willy gak akan datang, Sa." ujar Lucky.
"Dia gak masuk?" aku terkejut dengan jawaban Lucky. "Dia sakit? Izin? Kenapa?" tanyaku.

Kulihat, Bima menggeleng.

"Dia udah pergi, Sa." ujar Bima.
"Pergi? Kemana?" tanyaku, semakin tak mengerti.
"Mungkin, ini bisa menjawab semua pertanyaan lo." Bian memberikan sebuah amplop padaku.

Aku menatap mereka berempat bergantian. Kuambil amplop itu dari tangan Bian, dan membukanya. Isinya adalah sebuah kertas. Suratkah? Aku pun segera membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan didalamnya.

Dear Kura-kura,

Rasanya aneh banget. Ngasih surat, padahal gue bisa ngomong langsung, atau bahkan ngomong lewat telpon sama lo. Tapi gak tau kenapa, gue gak sanggup buat ngomong langsung dari mulut gue ini. Gue emang bodoh. Ninggalin lo dengan cara kayak gini. Dan sebelum lo bertambah bingung, gue bakal bilang yang sebenernya. Hari ini, tepat satu hari setelah hari ulang tahun gue. Juga tepat satu hari setelah hari kebebasan lo, gue pergi ke Jerman. Lo tanya kenapa?

Jawabannya adalah, ketika Clara meninggal tiga bulan yang lalu, gue mutusin buat pindah ke Jerman. Gue ikut tes masuk di salah satu SMA disana, dan gue keterima. Sekarang, ketika lo baca surat ini, mungkin gue udah dalam perjalanan menuju tempat baru gue. Gue akan memulai hidup baru gue di Jerman. Mengubur semua kenangan tentang Clara. Oke. Sekali lagi gue bilang, gue emang bodoh. Pergi ke Jerman, cuma karena pengen ngelupain seseorang yang gue sayang. Rasanya kekanak-kanakan banget. Tapi, inilah keputusan gue sekarang.

Ingat perjanjian kita? Waktu itu gue pernah bilang sama lo, selesai dari 20 hari itu, kita harus ngelupain semuanya. Dan sekarang, lo bebas. Lupain semuanya, dan mulai kehidupan SMU yang normal dan menyenangkan. Gue mau ngucapin makasih buat 20 hari terindah yang lo kasih. Mungkin, gue akan mengingkari perkataan gue yang bilang kalo gue akan melupakan semua yang terjadi di 20 hari itu. Gue gak bisa. 20 hari itu terlalu indah buat gue lupain gitu aja.

Kura-kura lambat, jaga diri lo baik-baik ya. Sampein salam gue buat kedua orang tua lo. Buat si Lulu juga. Ah, gue belum sempet bilang maaf sama dia. Tolong sampein permintaan maaf gue sama si 'kacamata' itu ya. Dan buat band gue, Winter. Gue berharap, lo mau ngengantiin gue buat jadi vocalisnya. Lo pantes.

Oh iya, makasih juga buat hadiah ulang tahunnya. Gue akan simpen terus, bangau kertas pemberian lo itu. Maafin gue ya, kalau selama kita bareng, gue selalu nyakitin lo.

Oke. Gue tau ini udah kebanyakan. Gue gak kuat buat nulis ini lagi. Sampai ketemu lagi ya. Gue harap, tuhan masih memberi kesempatan buat gue, ketemu sama lo lagi, suatu saat nanti. Semoga kita semua bahagia dengan hidup kita yang sekarang sampai nanti.

Sakura. Gue sayang sama lo. Meski belum bisa gue bilang cinta.

"Willy"

Aku menangis membaca tulisan didalamnya. Lulupun langsung memelukku. Lucky, Bima, dan Bian, hanya tertunduk sedih. Apa ini, Willy?

"Gue terlambat, Lu." aku menangis dalam pelukan Lulu.
"Tenang ya, Sa." Lulu mengelus lembut punggungku.

***

Setelah kepergian Willy, aku terus menjalani hidupku. Terus belajar sebagai siswi SMU. Menjalin pertemanan dengan banyak orang. Menjadi vocalis Winter. Meneruskan tradisi sekolah, sebagai cewek paling populer, menggantikan si cowok populer yang telah pergi jauh itu. Meski begitu, didalam hatiku, selalu ada nama Willy.

***

Tiga tahun kemudian.

Dan, disinilah aku sekarang. Di Jepang. Tepatnya di Osaka. Dua tahun yang lalu, setelah lulus dari SMU, aku mendapat beasiswa ke Jepang. Bahkan, satu bulan yang lalu, Ayah dan Ibu baru saja membuka cabang restoran mereka di Jepang. Aku rasa, kami akan menetap sangat lama di Negara ini.

Aku baru saja selesai dengan aktivitas kuliahku. Dan kini, aku sedang berjalan-jalan, sambil menikmati pemandangan indah kota ini. Bertemu banyak orang. Yah, begitulah kehidupanku yang sekarang.

Setelah puas berjalan, akupun pulang ke Apartemen ku. Aku hanya tinggal sendiri disini, meski Ayah dan Ibu sudah memberi sebuah rumah di tengah kota. Entahlah. Aku hanya ingin hidup mandiri. Jadi, kuputuskan untuk tetap tinggal di apartemen ini. Lagi pula, jaraknya dekat dengan kampusku.

Kubaringkan tubuh lelahku kekasur. Kemudian, kutatap sebuah undangan tebal berwarna silver yang ada disamping tempat tidurku. Dicover undangan itu, tertulis inisial huruf "L & L". Baiklah, biar ku perjelas. Ini adalah undangan yang datang sekitar satu minggu yang lalu, dari Indonesia. Undangan pertunangan kedua sahabatku. Lucky & Lulu. Dua minggu lagi, aku harus menghadiri pertunangan mereka, dan mengharuskanku pulang ke Indonesia di tengah semester. Mereka memang benar-benar bisa membuatku gila. Tapi, aku pasti akan datang. Itu demi kedua sahabatku. Lagi pula, aku sudah sangat rindu dengan mereka semua dan tentunya negara kelahiranku itu.

Baiklah, aku lelah. Jadi, aku putuskan untuk tidur.

Keesokan harinya. Ini adalah hari sabtu. Weekend. Aku akan berjalan-jalan lagi hari ini. Melepaskan sedikit penat dan melupakan tugas-tugas kuliah yang berat itu. Ah, ada satu hal yang terlupakan. Hari ini, adalah hari ulang tahun Willy. Dan sekarang, aku jadi merindukannya.

Aku melewati sebuah kerumunan dipinggir jalan. Biasalah, itu mungkin pertunjukkan musik dari para seniman Jepang. Aku mendengar samar-samar lagu yang dimainkan seniman yang sedang dikerumuni itu. Tapi semakin lama, aku semakin mengenal setiap nada yang keluar dari petikan gitarnya.

"Lagu ini?" aku segera menerobos kerumunan itu, dan berdiri paling depan.

Astaga? Benarkah ini? Benarkah apa yang kulihat? Lagu ini? Gitar itu? Itu... Willy?

Tak lama, permainan gitar itu selesai. Semua orang bertepuk tangan. Pertunjukkannya selesai. Perlahan, semua orang yang tadi menyaksikannya, beranjak pergi. Akupun segera menghampiri seseorang yang tadi bermain gitar itu. Dia memang tidak sendiri, dia bersama ketiga orang temannya yang lain. Dan sepertinya, dia tidak menyadari kedatanganku.

"Willy." panggilku datar.
"Ya?" yang kupanggil itu segera menoleh.

Dia nampak terkejut, sama sepertiku.

"Sakura?" Willy langsung memelukku. Akupun membalas pelukannya.
"Udah lama ya." ujarku.
"Sangat lama." Willy mempererat pelukannya.

Kulihat, teman-teman Willy nampak bingung dengan pemandangan dihadapannya.

"Willy, would you introduce her to us?" tanya seorang teman Willy itu.

Willy melepas pelukannya padaku, dan segera memperkenalkanku pada ketiga temannya. Akupun memperkenalkan diriku. Willy meninggalkanku sebentar, dan berbicara pada ketiga temannya. Selesai berbicara, Willy kembali menghampiriku.

"Kalian udah mau pergi?" tanyaku pada Willy.
"Gue emang mau pergi. Tapi nggak sama mereka." Willy tersenyum, lalu menggandeng tanganku. Kami berjalan menjauh dari ketiga teman Willy.
"Kita mau kemana?" tanyaku.
"Lo gak kangen sama gue?" Willy menghentikan langkahnya. "Gue mau ngabisin satu hari ini bareng lo."

Aku tersenyum, kemudian mengangguk paham.

Sekarang, kami sedang duduk disalah satu bangku taman. Asal tau saja, sejak tadi, Willy tak melepaskan pegangan tangannya padaku. Dia terus menggenggam tanganku erat. Seolah tak mau kehilanganku.

"Jadi, gimana bisa lo ada disini?" tanyaku akhirnya, setelah lama kami hanya diam.
"Gue sama temen-temen band gue yang tadi, ikut festival musik yang diadain dikota ini." jawab Willy.
"Jadi, lo rela dateng dari Jerman ke Jepang, cuma buat ikut festival musik?" tanyaku tak percaya. Willy mengangguk.
"Mungkin, ini takdir. Kalau gue gak kesini, pasti kita gak bakal ketemu." Willy menatapku lembut.
"Udah nemuin kebahagiaan lo?" tanyaku ragu.
"Gue salah, nyari kebahagiaan sampe ke Jerman. Karena ternyata, kebahagiaan gue itu udah ada di Indonesia. Dan sekarang, lagi sama gue di Jepang." Willy mengusap lembut rambutku.

Aku tak bisa menahan air mataku untuk tak menetes. Ya Tuhan. Aku terharu.

"Sakura. Aku cinta kamu." Willy menghapus air mataku, lalu mengecup keningku singkat.
"Aku juga cinta kamu, Willy." aku langsung memelukknya.

Benarkah ini? Willy menyatakan cintanya padaku. Sesuatu yang telah lama aku nantikan.

Setelah pernyataan cinta itu, aku dan Willypun berjalan-jalan mengelilingi kota. Hingga malam datang. Kini, kami sedang berjalan dipinggiran kota, sambil berpegangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dan aku masih enggan untuk mengakhiri semuanya.

"Kamu akan datang ke pesta pertunangannya Lucky dan Lulu?" tanya Willy padaku.
"Kamu juga dapet undangannya?" aku balik bertanya.
"Iya. Sekitar tiga hari yang lalu." Willy mengeluarkan undangan itu dari tasnya.
"Kita datang sama-sama?" tanyaku.
"Tentu." Willy mengangguk mantap.

Kamipun kembali meneruskan perjalanan. Dan sampailah kami di depan bangunan Apartemen-ku.

"Kamu tinggal disini?" tanya Willy.

Aku mengangguk, lalu mengeluarkan kertas origami dari dalam tasku. Akupun melipatnya, dan menjadi sebuah bangau kertas berwarna biru.

"Selamat ulang tahun, Willy." aku memberikan bangau kertas itu pada Willy.
"Dasar!" Willy mengambil bangau kertas itu. "Selalu aja, jadi yang terakhir ngucapin selamat ulang tahun buat aku."
"Biarin." aku tersenyum jahil. "Itu karena, aku pengen jadi yang terakhir buat kamu." (Setelah Clara yang pernah menjadi yang pertama, tentunya).
"Pasti. Kamu yang terakhir dan selamanya." Willy mengecup keningku.

Terima kasih Tuhan. Telah memberiku kesempatan untuk bertemu dengan orang yang kucintai sekali lagi. Setelah ini, kami akan bersama selamanya. Clara memang yang pertama ada di hati Willy. Tapi sekarang, akulah yang terakhir. Dan selamanya.


-END-

Sunday, August 12, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 6


Aku hanya diam, saat Willy menatapku. Aku harus bersikap tenang, meski tubuhku sedang tidak merasa begitu.

"Kenapa diem?" tanya Willy yang akhirnya memecah keheningan diruangan ini. "Lo gak mau ngasih tanggapan buat pernyataan gue tadi?" tambahnya.
"Tanggapan apa?" aku benar-benar gugup.
"Gue bilang, lo itu cewek yang special buat gue." dia mengulang kalimatnya.
"Ohh." aku tak mampu menatapnya, jadi aku memalingkan wajahku.

Willy yang tadi berdiri didekat jendela, segera berjalan mendekatiku. Aku yang menyadari itu, segera mundur untuk menjauhinya. Setelah dia benar-benar semakin dekat, dan jalanku untuk mundur sudah buntu, aku langsung membuka pintu ruangan ini, dan berniat pergi saja. Tapi sebelum aku sukses untuk menjauh dari Willy, dia segera menahan tanganku, agar aku berhenti. Ahh... jantungku berdetak makin kencang.

"Mau kemana sih?" Willy menatapku tajam.
"Gue... haus. Iya, haus. Jadi mau ambil minuman dulu kedapur." jawabku gugup.
"Biar gue suruh pembantu gue aja yang ambilin lo minum. Lo tetep disini." ujar Willy tegas.
"Ta... Tapi....." ucapanku terhenti, saat Willy memencet sebuah tombol pada dinding yang ada didekatku.
"Bawain minum kekamar saya." ujar Willy sambil mendekatkan mulutnya pada sesuatu yang menempel ditembok itu. Yang tadi dia menekan tombolnya. Bentuknya seperti speaker kecil. Entahlah, aku kurang mengerti bagaimana menjelaskan bentuknya.

Tak lama, minuman yang aku butuhkanpun datang juga. Hah! Apa-apaan ini? Bolehkan aku takjub pada semua hal yang ada dirumah ini? Ini benar-benar keren! Eh, tapi tunggu. Tadi Willy bilang suruh bawa minumannya kekamar dia. Berarti.... ahh jadi ini kamar Willy?

"Buruan minum. Tadi katanya lo haus." suara Willy membuyarkan lamunanku.
"Oh, i... iya." jawabku sambil meneguk habis minuman yang tadi dibawa oleh salah satu pembantu Willy.

Suasana kembali hening. Aku dan Willy hanya diam. Aku masih berdiri mematung, sambil bersender pada tembok dekat pintu kamar Willy. Sedangkan Willy duduk di ranjangnya, sambil menunduk memainkan jari-jarinya tak jelas.

"Will." akhirnya aku memecah keheningan ini. Willy segera menatapku, saat tiba-tiba aku memanggil namanya.
"Ya?" dia tersenyum. Astaga. Tolong berhenti memperlihatkan senyum seperti itu. Jantungku bisa meloncat keluar jika terus-terusan seperti ini. Dasar!
"Ehm... tolong jangan pecat pembantu lo yang tadi ya." ujarku ragu.
"Kenapa lo gak mau gue mecat dia?" tanya Willy.
"Kasihan." jawabku singkat. Karena memang itulah yang aku rasakan. Aku merasa kasihan pada pembantu Willy yang itu.
"Oke. Gue gak akan pecat dia." ujar Willy enteng.
"Hah!" aku membelalakan mataku. Benarkah? Semudah itu meminta Willy melakukannya? Aku pikir, tadi aku harus bersujud dulu didepannya, baru dia akan mengabulkan permintaanku untuk tidak memecat pembantunya itu. Tapi ternyata.... Ahh sudahlah!

Willy menatapku yang masih terkejut, kemudian bangkit dari duduknya. Dia berjalan menghampiriku. Apa lagi kali ini? Aku tak punya alasan lagi untuk menghindar. Akhirnya aku hanya diam, menunggu Willy benar-benar sampai didepanku. Dan kini, dia sudah berada tepat dihadapanku. Dia sedang menatapku. Yang bisa aku lakukan, hanya menunduk. Tak berani menatap padanya.

"Kura-kura." panggilnya. Dan dengan terpaksa, aku menatap padanya. Sesuatu yang sejak tadi kuhindari.
"Ke... Kenapa?" tanyaku gugup.
"Gue laper." dia menyeringai. Aku menarik nafas berat.
"Gue juga." aku nyengir padanya, mencoba menetralkan suasana. Detik berikutnya, kami berdua sama-sama tertawa.
"Dasar!" Willy mengacak-acak rambutku. "Yuk, makan!" ajaknya, sambil menggandeng tanganku untuk keluar dari kamarnya. Kami menuju ruang makan.

Sampai diruang makan, Willy segera meminta para pembantunya untuk menyediakan makanan. Setelah siap, akhirnya aku dan Willypun makan bersama. Hari sudah sore. Aku bingung menyebut acara makan ini dengan apa. Makan siang kah? Makan sorekah? Atau makan malam? Terserah.

***

Malampun datang. Willy memintaku untuk memakai pakaian milik kakaknya lagi. Akupun menurut. Kupillih satu dari banyak baju yang ada dilemari besar itu. Setelah berpakaian rapi, aku segera beranjak menuju halaman belakang, tempat dimana pesta diadakan.

Begitu sampai dihalaman belakang, bisa kulihat, semuanya sudah berkumpul. Willy, Lucky, Bima, Bian, dan Lulu sudah duduk manis dimeja yang disediakan Willy. Mereka sedang berbincang dan juga minum bersama. Lulu bahkan bisa ikut larut dalam perbincangan mereka. Aku bergegas menghampiri mereka semua.

"Selamat malam." sapaku ramah. Mereka semua menoleh serentak kearahku.
"Malam." sahut mereka bersamaan. Kemudian kurasakan mereka semua menatap kearahku. Tatapan yang tak bisa kuartikan. Adakah yang salah denganku?
"Cantik." cetus Bian tiba-tiba.
"Sakura." Lucky menghampiriku yang masih berdiri tak jauh dari meja tempat mereka semua duduk. "Ayo, duduk." Lucky menarikku dan memberiku tempat disamping Willy untuk duduk.

Aku menatap pada Willy. Dia hanya tersenyum, lalu meneguk minuman ditangannya. Kualihkan pandanganku pada anak-anak yang lainnya. Bian dan Bima masih menatapku aneh. Aku sedikit takut dengan tatapan mereka berdua. Seperti serigala yang akan menangkap mangsanya. Dan Lucky, dia juga menatapku. Tapi hanya tatapan biasa. Sementara Lulu, menatapku seperti orang 'maaf' bodoh.

"Lulu." panggilku pada Lulu.
"Eh?" dia tersadar dari semua pemikirannya.
"Lo cantik." pujiku. Aku tak bohong. Kalau sedang memakai dress seperti ini, Lulu kelihatan lebih cantik. Rambutnya yang panjang terurai indah. Meski kacamata yang dipakainya masih sedikit mengganggu indah parasnya.
"Lo lebih cantik, Sa." Lulu balik memujiku.
"Kalian berdua sama-sama cantik." Lucky menengahi.
"Bisa mulai pestanya sekarang?" tanya Willy.
"Tentu." Lucky menangguk mantap. Diikuti oleh kami semua.
"Apanya yang dimulai?" tanyaku bingung.

Willy menarik tanganku, tanpa menjawab pertanyaanku barusan. Dia membawaku duduk disebuah kursi, yang didepannya ada sebuah microfon. Lucky, Bima, dan Bian juga ikut beranjak menuju tempat yang sama. Baru kusadari, disini terdapat dua buah gitar dan satu set drum. Juga dua microfon yang ada didepanku, dan didepan Willy yang saat ini sedang duduk disebelah kananku. Begitupun Lucky, dia berdiri disamping kiriku, dengan memegang gitar. Bian berdiri dibelakang Willy dengan gitar yang satunya lagi. Lalu yang terakhir, Bima. Dia sudah duduk manis dengan dua buah stick drum ditangannya. Bersiap untuk menggebuk drum yang berada dihadapannya itu.

"Ini apa?" tanyaku bingung.
"Kita nge-band bareng, Sakura." Bimalah yang menjawab pertanyaanku.
"Winter feat Sakura." ujar Bian antusias.

Aku menoleh pada Willy, meminta penjelasannya. Oke. Winter. Aku tau kalau itu adalah nama band Willy bersama ketiga temannya ini. Aku tau itu dari Lulu, dihari pertama aku membuat masalah dengan Willy. Dihari yang sudah ditakdirkan untukku, hingga bisa mengenal mereka semua.

"Anggap aja, ini salah satu latihan kita untuk drama musikal nanti." ujar Willy. Tapi itu sama sekali tak menjawab pertanyaan yang berada diotakku.
"Kita duet." Lucky berbisik padaku. "Lo sama Willy." Lucky menunjuk pada Willy.
"Udah ngerti?" tanya Willy sinis. Aku menatapnya tajam. "Bisa lagu Boys Like Girls feat Taylor Swift yang judulnya 'Two is better then one'?" tanya Willy.

Aku mengangguk. Ya, aku bisa lagu itu. Bahkan aku menyukainya.

Tak lama, musik mulai dimainkan, dan Willy mulai menyanyikan bagiannya. Lalu disambut olehku. Kami duet menyanyikan lagu itu.

I remember what you wore on the first day
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"
’Cause everything you do and words you say
You know that it all takes my breath away
And now I’m left with nothing

So maybe it’s true
That I can’t live without you
And maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking two is better than one

I remember every look upon your face
The way you roll your eyes
The way you taste
You make it hard for breathing
’Cause when I close my eyes and drift away
I think of you and everything’s okay
I’m finally now believing

That maybe it’s true
That I can’t live without you
And maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking two is better than one

I remember what you wore on the first day
You came into my life and I thought, "Hey,"

Maybe it’s true
That I can’t live without you
Maybe two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
And you’ve already got me coming undone
And I’m thinking
I can’t live without you
’Cause, baby, two is better than one
There’s so much time
To figure out the rest of my life
But I’ll figure it out
When all is said and done
Two is better than one
Two is better than one


Sebuah lirik 'Two is better than one' menjadi penutup lagu yang indah ini. Syukurlah, aku bisa menyanyikannya dengan baik. Lulu langsung bertepuk tangan, begitu lagu selesai. Sedari tadi, dia hanya diam sambil menikmati penampilan kami.

"Gue rasa, kita perlu merekomendasikan lagu ini untuk masuk dalam daftar lagu di drama musikal nanti." ujar Willy tiba-tiba. Dia menatapku sekilas, lalu menatap pada ketiga temannya.
"Boleh juga." Lucky mengangguk.
"Iya nih. Udah gitu, kalian klop banget pas nyanyiin lagu ini." komentar Bian, sambil menunjuk padaku dan Willy.
"Perfect combination." Bima mengacungkan kedua jempol tangannya.

Aku tersenyum, lalu menatap Lulu. Dia juga ikut mengancungkan kedua jempolnya. Aku tersenyum padanya.

"Oke. Kalo gitu, sekarang waktunya makan." Willy bangkit dari duduknya, lalu beranjak menuju meja dimana Lulu duduk. Aku dan ketiga temannya, mengikuti langkah Willy.

Kami duduk bersama pada meja bundar yang lumayan besar ini. Willy menjentikkan jarinya, mengisyaratkan pada para pembantunya, untuk segera mengantar makanan kemeja kami. Tak lama, makanan itupun datang.

Kami segera menyantap makanan itu, dengan sedikit bicara. Suasana malam yang dingin, sedikit membuatku merasa kedinginan. Tapi dengan makanan panas yang sedang kusantap ini, rasanya jadi sedikit hangat. Menyenangkan juga tentunya.

Sesekali, aku melirik mereka semua yang sedang sibuk dengan makanannya, tanpa berbicara. Lulu. Tidakkah dia merasa bahagia? Dia duduk diantara Lucky dan Bima. Makan bersama empat cowok populer disekolah. Itu impiannya, bukan? Gadis seperti Lulu, berhak mendapatkan lebih dari ini. Lucky. Aku rasa, dia pantas menjadi pendamping Lulu. Aku tersenyum, lalu kembali pada makananku. Disampingku, tanpa ku sadari, Willy tengah menatapku lembut.

Pesta dilanjutkan dengan Bima dan Bian yang sibuk bermain kembang api. Lucky yang mengajari Lulu bermain gitar. Kurasa mereka mulai akrab, sekarang. Dan aku, awalnya aku hanya duduk sendiri dikursi yang ada dibawah pohon besar ini. Tapi kemudian Willy datang, dan duduk disampingku. Di tangannya, dia memegang sebuah jaket pink dengan bulu-bulu halus di bagian lehernya.

"Dingin?" tanyanya. Aku mengangguk.

Willy memasangkan jaket pink yang tadi dibawanya, padaku. Aku sedikit terkejut, tapi segera mengerti.

"Makasih." ujarku tulus.

Willy tersenyum, lalu menatap pada langit malam yang bertabur bintang. Sangat indah.

***

"Day 10"

Aku terbangun dari tidur singkatku. Mengapa ku bilang singkat? Karena semalam, Willy baru mengantarku kembali kerumah pada pukul 01:00 malam. Sebenarnya, pesta itu sudah berakhir sejak jam 11:00. Tapi aku masih punya tugas untuk membantu Willy membereskan semua yang dipakai dipesta. Padahal dia punya pembantunya yang membantu. Tapi dasar Willy! Dia selalu punya cara untuk menyiksaku. Terlebih lagi, saat dia harus mengantarku kerumah semalam, lalu berhadapan dengan Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sama sekali tak marah padanya. Padahal Willy sudah membawa pulang anak gadis mereka sangat larut. Ah... sihir apa yang dipakai Willy?

Aku segera beranjak dari ranjangku, dan menuju kamar mandi. Setelah selesai bersiap dengan segala keperluan sekolah, aku segera turun kebawah, menuju meja makan untuk sarapan.

"Pagi, Ayah, Ibu." aku mencium kedua pipi dua orang yang sangat aku sayangi itu.
"Pagi sayang." ujar Ayah dan Ibu bersamaan.

Ibu segera memberikan sarapanku. Dan aku segera melahapnya. Baru dua suapan, aku sudah mendengar suara klakson dari mobil seseorang yang sangat kukenal. Willy. Seketika, aktivitas makanku terhenti.

"Itu, Willy?" tanya Ayah.
"Siapa lagi." Ibu melirikku dengan tatapan jahil.

Aku hanya mendengus kesal. Tidak bisakah Willy membiarkanku untuk menghabiskan sarapanku ini. Menyusahkan.

"Sudah. Sana temui Willy. Kasihan kalau dia nunggu lama." ujar Ibu.
"Tapi Sakura kan belum selesai sarapan, Bu." aku merajuk.
"Lanjut sarapan disekolah saja. Ayah kasih uang jajan tambahan." ujar Ayah sambil memberikan selembar uang seratus ribu padaku. Benarkan? Willy itu menyusahkan.

Aku mengangguk pasrah, lalu melangkah keluar rumah setelah berpamitan pada Ayah dan Ibu. Willy sudah menunggu dihalaman rumah.

"Kura-kura. Ayo cepet." Willy menarik tanganku untuk masuk kedalam mobilnya.

Menit berikutnya, mobil Willy sudah melaju meninggalkan halaman rumahku.

Disekolah....

Willy menyuruhku untuk membawakan tas dan bola basketnya sampai kelas.

"Kok lo nyiksa gue lagi sih?" aku memanyunkan bibirku.
"Gue gak nyiksa elo kok. Gue kan cuma ngasih tugas buat asisten gue." kilah Willy.
"Lo bilang, kita temenan, sekarang." aku mengingatkan Willy pada kata-katanya kemarin lalu.
"Tapi lo tetep harus ngejalanin tugas lo sebagai asisten tuan muda Willy." Willy mempercepat langkahnya menuju kelas. Akupun hanya pasrah mengikutinya.

Sesampainya dikelas, aku kaget melihat seorang gadis yang duduk bersama Lucky, Bima, dan Bian. Gadis itu sedang bermain gitar, dibantu Lucky. Aku menatapnya lekat. Gadis yang cantik. Rambut panjang. Putih. Dan.... mata yang indah.

"Lulu." desisku.

Gadis itupun menoleh padaku. Dia tersenyum menyambut kedatanganku dipintu kelas. Dia melepaskan gitar ditangannya, lalu berjalan menghampiriku yang masih terdiam di pintu kelas. Sedang Willy, sudah duduk manis dibangkunya.

"Sasa." gadis yang benar-benar Lulu itu, segera memelukku.

Aku tak membalas pelukan Lulu. Bukan karena tak suka Lulu memelukku. Tapi karena tanganku yang masih penuh dengan barang-barang Willy. Juga karena aku sangat terkejut dengan perubahan penampilan Lulu. Dia... sangat cantik. Tanpa kacamata.

"Selamat pagi." Lulu melepas pelukannya, lalu menatapku sambil tersenyum.
"Lulu." aku menyebut namanya sekali lagi. "Lo, pake softlens?" tanyaku.
"Iya." Lulu mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Kemaren malem, pas pulang dari pesta dirumahnya Willy, kacamata gue jatoh dikamar. Gak sengaja gue injek." Lulu nyengir.
"Jadi, lo mutusin buat pake softlens?" aku menyimpulkan.
"Iya." Lulu tertunduk malu. "Gak pantes ya, Sa?" tanyanya.
"Pantes kok." aku memegang bahu Lulu. "Lo jadi tambah cantik."

Lulu tersenyum malu mendengar pujianku. Akupun bisa bernafas lega. Karena sekarang, tak ada lagi yang bisa memanggil Lulu dengan sebutan 'kacamata'. Aku melirik Willy. Dia sedang menatap kearahku dan Lulu. Entahlah, mungkin dia sedang menatap pada Lulu dengan perubahan Lulu yang menjadi semakin cantik. Eh? Aku tidak sedang cemburu kan? Untuk apa? Lagi pula, kini Willy sudah kembali pada sifatnya yang dulu. Kembali menyiksaku.

***

Jam pulang sekolahpun tiba. Sesuai jadwal yang sudah diumumkan oleh bu Arini, hari ini adalah hari pertama kami mulai melakukan latihan untuk drama musikal yang tinggal 8 hari itu. Sepertinya, kami harus berlatih dengan sangat keras.

Kini, semua siswa yang kemarin berhasil lolos audisi, sedang berkumpul di Aula sekolah, untuk memulai latihan pertama. Bu Arini memberikan penjelasan tentang konsep drama yang akan kami tampilkan nanti. Aku mendengarkan setiap penjelasan bu Arini dengan seksama. Maklumlah, ini kali pertamaku berpartisipasi untuk acara sekolah ini. Jadi aku harus sungguh-sungguh.

"Sakura. Willy. Ibu percaya pada kalian." bu Arini memberikan senyumnya pada aku dan Willy.
"Kita akan berusaha nampilin yang terbaik, bu." ujar Willy mantap.

Bu Arini mengacungkan kedua jempolnya pada aku dan Willy. Willy menatapku, lalu menggenggam tanganku erat.

"Siap?" tanyanya. Aku mengangguk.

Latihan hari pertamapun dimulai.

***

Dua jam sudah kami semua latihan. Hari sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bu Arini mempersilahkan kami untuk pulang.

"Terima kasih untuk hari ini. Sampai bertemu lagi, besok." ujar bu Arini, menutup latihan kami hari ini.

Anak-anak yang lain, segera bersiap untuk pulang. Aku dan Lulu duduk disalah satu kursi di Aula itu. Beristirahat sebentar, sebelum pulang. Willy dan ketiga temannya, menghampiri kami.

"Kura-kura. Ayo pulang." ajak Willy padaku.
"Iya." aku berdiri dari dudukku, lalu mengambil tasku. "Gue duluan ya, Lu." aku pamit pada Lulu. Tak lupa juga pada ketiga teman Willy.
"Hati-hati ya." Lulu melambaikan tangannya.

Baiklah. Sepertinya, setelah hari ini, aku dan semua yang terlibat dalam drama musikal akan benar-benar sibuk. Terutama, tentunya adalah aku dan Willy yang menjadi peran utama. Kami akan sibuk menghafal koreo, lagu, dan juga naskah dramanya. Selain itu, aku juga harus melatih vocalku. Tak lupa dengan gerakan dance-ku yang masih sedikit kaku. Aku memang kurang bisa dibidang menari. Mungkin belum. Dan aku akan berusaha. Semangat!!!

***

"Day 11"

Mulai hari ini, tak banyak hal yang bisa kuceritakan. Aku tentu saja mulai sibuk dengan latihan drama. Meskipun aku juga tetap harus menjadi asisten Willy si popular boy itu.

"Day 12"

Sama seperti hari-hari sebelumnya. Pagi, aku dijemput Willy menuju sekolah. Disekolah, aku menghabiskan waktu dengan menerima perintah-perintah dari Willy. Pulang sekolah, aku latihan drama bersama teman-teman yang lain. Setelah latihan drama, aku diantar pulang kembali oleh Willy. Lalu malam datang. Dan aku tidur. Larut dalam mimpi.

"Day 13"

Dan pagi datang lagi. Lalu aktivitasku masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Aku masih Sakura dengan jabatan Asisten dari Willy si cowok populer nomer satu disekolah.

"Day 14"

Aku dan Lulu mulai memiliki lebih banyak teman. Senangnya.

"Day 15"

Lulu dan Lucky sepertinya semakin dekat. Dan itu membuat Bima dan Bian jadi cemburu. Ya. Sejak perubahan penampilan Lulu waktu itu, Lucky, Bima, dan Bian, sering mendekati Lulu. Terutama Lucky. Ah, tapi kalau Lucky sih, dia sepertinya memang sudah memperhatikan Lulu sejak mereka duduk semeja waktu itu. Semoga hubungan mereka lebih dari sekedar teman.

"Day 16"

Aku sudah semakin lama bersama Willy. Saling menatap. Saling memberi dukungan. Meski dia masih sering memerintahku. Entahlah. Tapi rasanya, aku semakin menyukai Willy. Entah dia?

"Day 17"

Oke. Ini adalah hari terakhir kami latihan drama. Besok, adalah hari penampilan kami. Dan kini, kami sedang melakukan latihan terakhir yang benar-benar menguras tenaga. Semuanya benar-benar serius. Bahkan, hari ini kami melakukan latihan hingga malam.

Bu Arini menghela nafas. Kini, kami semua sedang beristirahat, usai latihan akhir tadi. Aku duduk disebelah Lulu.

"Nih, minum." Willy memberikan sebotol air mineral untukku.
"Thanks ya, Will." aku menerima botol itu, lalu meminumnya.
"Buat gue mana?" Lulu mengulurkan kedua tangannya, yang menampakkan telapak tangannya yang halus pada Willy.
"Minta aja sama mereka." Willy menunjuk pada Lucky, Bima, dan Bian.
"Nih." Lucky memberikan sebotol air mineral pada Lulu.
"Makasih ya, Ky." Lulu menampilkan senyum manisnya pada Lucky.
"Yaaah, keduluan Lucky lagi deh." ujar Bima lemas, sambil memegang dua botol air mineral ditangannya.
"Ya udah, kalo gitu minumannya buat gue aja." Bian segera mengambil sebotol air mineral yang ada ditangan Bima. Awalnya, itu untuk Lulu.

Bima hanya diam, melihat Bian yang sudah meneguk air itu hampir habis. Aku, Willy, Lulu, dan Lucky yang melihat tingkah mereka berdua, hanya tertawa.

Tak lama, mata kami semua terfokus pada bu Arini. Sepertinya, bu Arini akan menyampaikan sesuatu yang penting. Kami semua meninggalkan segala sesuatu yang sedang kami kerjakan, lalu menatap pada bu Arini yang berdiri menatap kami semua.

"Akhirnya, kita sudah sampai pada latihan terakhir." ujar bu Arini, membuka pembicaraannya. "Ibu sangat bangga pada kalian. Kalian sudah melakukan latihan dengan baik. Rela pulang terlambat kerumah. Untuk itu, Ibu ingin mengucapkan terima kasih. Dan besok, adalah pertunjukkan yang sesungguhnya. Ibu yakin, kalian pasti akan menampilkan yang terbaik." bu Arini menghela nafas. Lalu melanjutkan.

"Sekarang, kalian semua boleh pulang. Istirahat. Dan bangun dengan semangat yang baru, esok pagi. Selamat malam." bu Arini menutup kata-katanya.
"Selamat malam, bu." ujar kami semua serentak.

Setelah itu, kami semua beranjak pulang. Seperti biasa, aku pulang diantar Willy. Lulu diantar Lucky. Sedangkan dua anak lucu itu (Bima dan Bian), mereka pulang berdua. Aku heran, mengapa anak populer seperti mereka berdua, tidak juga punya pacar.

Dirumah....

Willy mengantarku sampai rumah. Aku keluar dari mobil Willy, begitupun Willy.

"Mau mampir?" tanyaku, saat melihat Willy ikut keluar dari mobilnya.
"Nggak." dia menggaruk-garuk kepalanya salah tingkah. "Cuma mau bilang selamat malam dan selamat tidur." Willy mendekatkan wajahnya padaku, lalu mengecup pipi kiriku sekilas.

Aku benar-benar terkejut, lalu menatap Willy dengan wajahku yang sudah memerah.

"Bye." Willy melambaikan tangannya, lalu masuk kedalam mobilnya dan pulang.

Aku memegang pipi kiriku yang dicium Willy. Apa maksudnya ini?

***

"Day 18"

Hari ini. Hari paling mendebarkan untukku dan juga untuk para siswa disekolah. Terutama yang ikut berpartisipasi dalam drama musikal. Sejak tadi pagi Willy menjemputku dirumah, kami tak saling bicara. Akh! Bagaimana ini? Kalau begini terus, bisa-bisa aku tidak maksimal dalam penampilan di drama musikal nanti. Willy..... ini gara-gara kau menciumku tadi malam. Aku jadi canggung berada didekatnya. Ahh semoga ini tak akan merusak penampilan di drama nanti.

Akhirnya, pertunjukkan yang paling ditunggu itu akan segera dimulai juga.

"Anak-anak." bu Arini memanggil kami. "Kalian sudah siap?" tanya bu Arini.
"Siap, bu." jawab kami semua serentak.

Bu Arini tersenyum, lalu menghampiri aku dan Willy.

"Sakura. Willy." panggil bu Arini.

Aku dan Willy segera menatap pada bu Arini.

"Kalian kenapa?" tanya bu Arini. Sepertinya, bu Arini menyadari perubahan sikapku dan Willy sejak tadi pagi. "Apapun yang terjadi diantara kalian, ibu harap tidak akan mengganggu performance kalian nanti. Ibu tau, kalian bisa menyelesaikannya." usai mengatakan itu, bu Arinipun pergi dengan tak lupa memberikan senyumnya.

Aku menoleh pada Willy, begitupun Willy. Kami saling memandang. Detik berikutnya, kurasakan Willy menggenggam tanganku.

"Gue minta maaf buat yang semalem." ujarnya. "Semoga itu gak akan ganggu perfom kita nanti. Kita ngelakuin ini buat sekolah kan? Urusan hati, kayaknya mesti kita kesampingin dulu deh." jelas Willy.
"Iya, Will. Kita harus nampilin yang terbaik buat ulang tahun sekolah ini." aku tersenyum pada Willy.
"Semangat." teriak Willy sambil mengangkat tangan kanannya dengan semangat.

Baiklah. Ini adalah pertunjukan yang sesungguhnya. Aku harus melakukan yang terbaik. Tak akan aku biarkan usaha kami selama seminggu terakhir ini menjadi sia-sia hanya karena perasaanku pada Willy. Aku harus menghilangkannya sesaat. Dan fokus pada penampilanku. Semangat!!

Pertunjukan dibuka dengan tarian memukau dari anak-anak. Lalu dilanjutkan dengan keluarnya aku, sambil menari pelan, dan bernyanyi. Semua melihat penampilan kami dengan tenang. Aku tak bisa memprediksi apa yang ada dalam otak semua penonton ini. Sukakah mereka pada apa yang kami tampilkan saat ini?

Aku sedikit gugup, tapi kemudian aku rasakan tangan Willy menggenggam tanganku erat. Mengajakku menari, lalu bernyanyi. Ini sangat romantis. Aku melihat pada bu Arini yang sedang menonton pertunjukkan ini. Bu Arini tersenyum. Aku anggap, itu semangat dari bu Arini. Aku akan melanjutkan pertunjukkan ini sampai selesai dan membuat semuanya berakhir sukses.

Riuh suara tepukan penonton, menggema diseluruh ruangan. Lampu yang tadinya gelap, kini kembali terang, usai penampilan kami. Kami semua yang berpartisipasi, menundukkan kepala, memberi hormat. Pertanda akhir dari pertunjukkan ini.

Kami semua kembali kebelakang panggung.

"Sasa, Willy, tadi kalian berdua keren banget." Lulu memelukku.
"Lo juga keren, Lu." aku membalas pelukan Lulu.
"Kalian semua hebat." terdengar suara bu Arini. Beliau langsung menghampiri kami. "Tadi itu adalah pertunjukkan yang sempurna. Kalian semua, hebat." ujar bu Arini, bangga pada kami.

Kami semua langsung memeluk bu Arini. Semua ini tak akan jadi hebat, kalau bukan karena bu Arini, bukan?

***

Malamnya, kami semua merayakan keberhasilan penampilan kami, di kafe milik keluarga Arisa. Masih ingat Arisa? Dia adalah gadis yang dulu pernah membuatku kesal dikantin sekolah. Sekarang, kami sudah menjadi teman. Dia juga ikut berpartisipasi untuk drama musikal tadi. Dan dia sungguh sangat berbaik hati, mengizinkan kami untuk merayakan keberhasilan kami di kafe nya. Ini gratis. Menyenangkan, bukan?

Usai merayakan keberhasilan di kafe milik keluarga Arisa, Willy mengantarku pulang seperti biasa.

Sesampainya dirumah...

"Pertunjukkannya udah selesai." ujar Willy. Kami masih berada didalam mobil.
"Iya." aku merasa lega.
"Lo seneng?" tanya Willy.
"Senenglah." jawabku singkat.
"Ini... hari ke-18 ya?" Willy menatapku. "Berarti, tinggal dua hari lagi."
"Berarti, penderitaan gue akan segera berakhir dalam waktu dua hari." aku tersenyum puas.
"Lo seneng, bebas dari gue?" tanya Willy sinis.
"Iyalah gue seneng." aku menyeringai.
"Ya udah, turun sana." usir Willy.
"Ihh... nyebelin." aku segera turun dari mobil Willy. Dan tanpa basa basi, segera masuk kedalam rumah.

***

"Day 19"

Hari ke-19 yah? Huh! Kenapa aku jadi lesu begini? Bukankah seharusnya aku bahagia? Nasib burukku akan segera berakhir, besok. Aku akan terbebas dari manusia semena-mena macam Willy. Tapi... benarkah aku akan terbebas?

-to be continued-

Sunday, August 5, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 5

"Day 8"

Ah, pagi datang lagi. Aku segera bangun dari tidurku. Sangat lelah. Kemarin, seharian aku menghabiskan waktu bersama si popular boy itu didanau. Itu sangat menyenangkan. Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat senang bersama Willy. Kemarin, dia benar-benar berubah dari sifat yang biasanya sangat menyebalkan. Aku bisa melihat sebuah keceriaan yang kembali, setelah lama menghilang. Aku suka Willy yang seperti kemarin.

Selesai sarapan, kudengar suara klakson mobil Willy didepan rumah. Ibu tersenyum menatapku, kemudian mengisyaratkan aku untuk segera keluar menemui Willy. Aku menuruti sesuai perintah Ibu, untuk menemui Willy setelah pamit dengan Ibu.

Willy melambaikan tangan kanannya menyapaku. Dia berdiri sambil menyender dimobilnya. Aku tersenyum padanya.

"Masih jam 06:10." aku melirik jam ditanganku. "Ini bukannya terlalu pagi ya?"
"Sekali-kali jadi siswa yang baik, gak apa-apa kan?" Willy tersenyum jahil.
"Bagus, malah." aku menepuk pundak Willy.
"Yuk, berangkat!" Willy membukakan pintu mobilnya untukku.
"Berlebihan." aku segera masuk kedalam mobil Willy, begitupun Willy.

Sekarang, kami berdua sudah berada didalam mobil, dan siap berangkat.

Lima belas menit perjalanan menuju sekolah, lalu kami sampai. Sekarang baru jam 06:25. Sekolah masih sedikit sepi. Belum banyak anak-anak yang datang. Aku dan Willy berjalan menuju kelas.

Dikelas...

"Udah sarapan?" tanyaku.
"Belum." Willy menggelengkan kepalanya.
"Kok belum?" aku menatap Willy tajam. "Gue beliin roti dikantin ya." aku akan beranjak pergi kekantin, tapi Willy menahan tanganku.
"Gak usah." ujarnya ragu. "Gue mau lo nemenin gue keruang musik, sekarang. Mau gak?" tanya Willy.
"Sejak kapan lo nanya gue mau apa nggak?" aku sedikit terkejut. "Lo lupa? Gue ini kan asisten lo. Gue diharuskan untuk nurutin semua yang lo minta. Gue gak bisa bilang gak mau." aku tersenyum manis pada Willy.
"Lo lupa?" tanya Willy. "Kita ini temen, sekarang." Willy tersenyum manis.

Aku menatap Willy tak percaya. Dan... kenapa ini? Kenapa jantungku berdetak lebih cepat, saat melihat senyuman Willy? Willy. Mungkin inilah Willy yang sesungguhnya.

Willy segera menarik tanganku menuju ruang musik. Begitu sampai, dia menyodorkan sebuah gitar yang ada diruang musik padaku.

"Apa?" tanyaku bingung.
"Mainin satu lagu, buat gue." Willy tersenyum lagi. Ah, sepertinya aku akan cepat mati, bila terus melihat Willy tersenyum seperti itu. Karena, jantungku bisa berdetak lebih cepat setiap melihatnya.

Aku mengambil gitar itu, lalu memainkannya. Willy mendengarkan dengan tenang. Aku menyanyikan lagu You Are Not Alone nya Michael Jackson dengan akustik. Awalnya, aku hanya bernyanyi sendiri. Tapi kemudian, Willy juga ikut bernyanyi di bagian tengah sampai akhir lagu. Suara kami menggema di seluruh sudut ruang musik. Hingga lagu selesai. Willy bertepuk tangan.

"Bagus." komentarnya.

Aku tersenyum, kemudian meletakkan gitar itu disampingku. Tak lama, terdengar suara tepukan tangan dari arah pintu ruang musik. Aku dan Willy menoleh bersamaan keasal suara tepukan tangan itu.

"Bu Arini?" ujar aku dan Willy serentak.

Bu Arini tersenyum, lalu menghampiri aku dan Willy. Bu Arini adalah guru seni disekolah ini. Aku baru saja mengenalnya, dua hari yang lalu. Saat kelas kami ada pelajaran seni.

"Perfect combination." ujar Bu Arini.

Aku dan Willy, menatap bu Arini, bingung.

"Ibu baru saja melihat sebuah pertunjukan yang bagus." bu Arini menatap pada aku dan Willy. Aku dan Willy masih sangat bingung pada maksud ucapan bu Arini.
"Maksud ibu?" tanyaku akhirnya.
"Nyanyian kalian tadi." bu Arini menunjuk pada aku dan Willy. "Menakjubkan." pujinya.

Aku dan Willy jadi salah tingkah oleh pujian bu Arini.

"Kalian tau kan? Sepuluh hari lagi adalah ulang tahun sekolah." bu Arini melanjutkan ucapannya. Willy mengangguk pertanda tau. Tapi tidak denganku. Aku tidak tau sama sekali tentang ulang tahun sekolah yang tinggal sepuluh hari lagi itu. Akukan anak baru disekolah ini. Bu Arini tesenyum padaku.

"Ah, Ibu lupa. Sakura kan anak baru." bu Arini mengangguk-angguk paham. "Biar Ibu jelaskan." bu Arini melipat kedua tangannya didada, kemudian mulai menjelaskan. "Ulang tahun sekolah, tepatnya akan dirayakan sepuluh hari lagi. Dan setiap tahunnya, kita selalu merayakan ulang tahun sekolah itu dengan malam dansa bagi siswa-siswi sekolah ini. Kemudian, akan diumumkan, siapa murid paling berprestasi, dan paling popoler disekolah ini. Dan tahun kemarin, Willy lah yang mendapat predikat siswa paling populer." bu Arini menunjuk pada Willy. Yang ditunjukpun hanya tersenyum bangga. Aku melirik Willy sekilas, kemudian kembali fokus pada penjelasan bu Arini.

"Tapi tahun ini, Ibu berencana akan membuat sesuatu yang beda, untuk perayaan ulang tahun sekolah." bu Arini kembali menjelaskan. "Ibu akan membuat sebuah drama musikal." ujar bu Arini antusias.
"Drama musikal?" ujarku dan Willy bersamaan.
"Iya. Dan ibu akan menunjuk kalian sebagai tokoh utamanya." bu Arini menunjukku dan Willy. Aku dan Willy sangat terkejut mendengarnya.
"Kok kita sih, bu?" tanya Willy.
"Karena kalian berdua, adalah kombinasi yang sempurna." bu Arini tersenyum tipis. "Besok, kita akan mengaudisi para pemain lain untuk drama musikal kita. Ibu akan mengumumkan tentang audisi, siang ini." usai mengatakan itu, bu Arinipun meninggalkan aku dan Willy yang masih kebingungan.

Tak lama setelah kepergian bu Arini dari ruang musik, aku dan Willy saling menatap tak percaya.

"Kita bisa bilang nggak kok, kalo lo gak mau." ujar Willy, saat kami sedang dalam perjalanan menuju kelas dari ruang musik.
"Sebenernya sih, gue belum yakin. Gue bisa atau nggak." aku menggigit bibir.
"Gue yakin, lo pasti bisa. Kita kan masih bakal latihan." Willy memberiku semangat.
"Emangnya lo mau?" tanyaku pada Willy.
"Kenapa nggak?" Willy tersenyum. Ah, senyuman itu lagi.
"Kalo gitu, gue bakalan coba deh." aku membalas senyuman Willy.
"Sip." Willy mengacungkan kedua jempol tangannya padaku.

Aku dan Willypun mempercapat langkah kami menuju kelas.

Siangnya, anak-anak mulai berebut untuk melihat mading. Disana sudah tertulis dengan jelas, pengumuman untuk audisi drama musikal ulang tahun sekolah. Disitu juga sudah tertulis namaku dan Willy sebagai peran utama.

Aku sedang berkumpul dengan Willy dan ketiga temannya di taman sekolah, kemudian Lulu datang.

"Sasa." serunya.
"Eh. Hai, Lu." sahutku.
"Kacamata, mau ngapain lo?" tanya Bima ketus. Aku menyikut lengan Bima. Yang disikut hanya nyengir tak jelas.
"Sasa, lo udah liat pengumuman dimading?" tanya Lulu tanpa memperdulikan pertanyaan Bima. Bima menjadi kesal dibuatnya.
"Belum sih. Tapi gue tau kok, itu pasti pengumuman tentang audisi drama musikal untuk ulang tahun sekolah kan?" aku memastikan.
"Iya. Dan disitu, ada nama lo sama namanya Willy sebagai peran utama." Lulu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku tersenyum menatapnya.
"Kita emang peran utamanya kok." Willy merangkulku. Aku tersentak.
"Hah?" Lulu dan ketiga teman Willy menatap tak percaya.
"Gak usah kaget gitu, kali." Willy tersenyum jahil. "Bu Arini sendiri kok yang nunjuk gue sama si kura-kura."
"Wah, kalian keren banget." ujar Lulu takjub.
"Emm... Lu. Gimana kalo lo ikutan audisi juga?" usulku. "Kalian bertiga juga." aku menunjuk Lucky, Bima, dan Bian.
"Boleh juga." Lucky mengangguk setuju.
"Gue juga mau. Kayaknya seru tuh. Baru kali ini kan, ulang tahun sekolah dirayain dengan pertunjukan drama musikal." Bian juga setuju.
"Kalo kalian ikut, berarti gue juga harus ikut." Bima tak mau kalah.
"Gimana, Lu?" aku menunggu jawaban Lulu.
"Gue gak bisa, Sa. Lagian, gue udah pasti gak bakalan diterima pas audisi nanti." Lulu nampak sedih.
"Dari mana lo tau kalo gak bakalan diterima, kalo lo belum nyoba?" tanya Willy, yang berhasil membuat Lulu salah tingkah.
"Willy bener. Coba dulu aja, Lu." ujar Lucky.

Aku dan Lulu menatap Lucky tak percaya. Lucky? Dia memanggil Lulu dengan nama aslinya. Bukan dengan sebutan 'kacamata' lagi. Ah, setidaknya, ada satu teman Willy yang sudah memanggil Lulu dengan benar.

"Iya, Lu." aku menimpali.
"Ya udah deh. Gue akan coba." Lulu tersenyum yakin.
"Oke. Kalo gitu lo harus siap-siap. Audisinya besok loh." aku tersenyum pada Lulu. Lulupun mengangguk.

Kemudian aku menatap pada Lucky, Bima, dan Bian, lalu terakhir, aku menatap Willy. Ternyata, Willy juga sedang menatap kearahku. Kami sama-sama tersenyum.

***

"Day 9"

Pagi ini benar-benar mengejutkan. Ketika aku selesai beres-beres dan berniat untuk sarapan. Kulihat seseorang yang sangat ku kenal sedang duduk dimeja makan bersama Ayah dan Ibuku. Mereka sedang asik sarapan dan berbincang.

"Eh, sayang. Kamu sudah siap? Ayo, sini sarapan." ajak Ibu.
"Pagi sayang." sapa Ayah.
"Pagi, Yah." sahutku sambil menatap seseorang yang duduk disebelah Ayah.

Aku duduk disebelah Ibu, dan berhadapan dengan tamu mengejutkan pagi ini. Yah, siapa lagi kalau bukan cowok populer yang baru saja menjadi temanku itu. Dia, Willy. Cowok penuh kejutan, yang telah berhasil membuat hari-hariku menjadi berubah 180 derajat dari sebelumnya. Cowok yang diam-diam telah membuatku terpesona dengan senyumannya. Semoga dia tak mengubah hidupku, lebih dari itu.

"Pagi kur... eh Sakura." Willy tersenyum padaku.
"Hmm... pagi, Will." aku memaksakan senyum.
"Willy sudah datang pagi-pagi sekali. Jadi, Ibu ajak dia untuk sarapan disini saja. Karena Ibu yakin, kalau dia jemput kamu sepagi ini, pasti dia belum sarapan." terang Ibu padaku.
"Willy baik sekali, mau menjemput kamu kesekolah setiap pagi." ujar Ayah padaku.
"Saya seneng kok, Om." Willy melirikku. Aku membuang muka, tak mau melihatnya.
"Semoga tidak merepotkan." ujar Ayah tak enak.
"Nggak kok, Om." Willy tersenyum tipis, sambil melahap rotinya.

Selesai sarapan, aku dan Willy pamit pada Ayah dan Ibu untuk segera berangkat kesekolah.

Disekolah....
Anak-anak mulai sibuk berlatih untuk audisi hari ini. Syarat audisi adalah, mereka harus menampilkan bakat mereka semua dibidang seni. Seperti menari, menyanyi, bermain musik, dan tentunya akting. Aku menghampiri Lulu yang sedang sibuk melatih vokalnya.

"Gimana?" tanyaku pada Lulu.
"Gue deg-degan nih, Sa." Lulu menarik nafas berat.
"Tenang ya. Gue yakin, seorang Lucia pasti bisa kok." aku meyakinkan Lulu.
"Thanks ya, Sa." Lulu memelukku.

Tak lama, Willy dan ketiga temannya juga menghampiri aku dan Lulu.

"Hei, mau tau gak?" Bian bertanya pada aku dan Lulu.
"Apa?" aku dan Lulu penasaran.
"Kalo kita berempat (Lucky-Bima-Bian-Lulu) berhasil lolos audisi hari ini, Willy bakalan ngadain acara makan-makan dirumahnya, nanti malem." ujar Bian antusias.
"Beneran, Will?" tanyaku pada Willy. Willypun hanya mengangguk.
"Jadi gue harap, Lucky, Bima, Bian, sama si 'kacamata' bisa lolos. Biar kita bisa kerja bareng buat drama musikal ini." Willy tersenyum lembut.
"Gue akan berusaha." ujar Lulu bersemangat.
"Semangat." ujar kami semua serentak.

Waktu audisipun dimulai. Aku dan Willy ikut melihat proses audisi, meski kami bukan jurinya. Sesekali, bu Arini juga meminta pendapatku dan Willy untuk memilih anak-anak yang lolos atau tidak. Semua siswa menampilkan bakat-bakat yang mereka punya. Semua antusias untuk berpartisipasi dalam drama musikal ini.

Setelah tiga jam berlalu, akhirnya proses audisi selesai juga. Bu Arini sudah mendapatkan 30 orang anak yang akan ikut berpartisipasi dalam drama musikal ini. Dan dari ke-30 siswa itu, ada nama Lucky, Bima, Bian, dan Lulu. Aku sangat senang. Meskipun, sangat susah bagi bu Arini untuk memilih. Karena siswa yang ikut audisi ada lebih dari seratus orang. Dan semuanya berasal dari anak kelas satu dan dua. Anak kelas tiga sudah tidak diperbolehkan berpartisipasi lagi. Mereka hanya akan menonton pertunjukkan dari para junior mereka.

"Willy, Sakura." panggil bu Arini.
"Iya, Bu." sahutku dan Willy.
"Besok kita mulai latihan ya." ujar bu Arini. "Kita akan latihan di Aula, setiap pulang sekolah. Agar tidak mengganggu proses belajar mengajar." jelas bu Arini.
"Baik, bu." aku dan Willy mengangguk mengerti.

Setelah mengatakan itu, bu Arinipun berlalu meninggalkan aku dan Willy. Ketika bu Arini sudah pergi, Lulu dan ketiga teman Willy segera menghampiri kami.

"Sasa." Lulu langsung memelukku.
"Selamat ya." aku menepuk punggung Lulu.
"Gue gak nyangka, dan seneng banget." Lulu hampir menangis.
"Gue kan udah bilang, lo itu pasti bisa." aku menyeka air mata Lulu yang sudah mengalir dipipi putihnya.
"Udah ah, jangan sedih-sedihan gitu." Lucky tersenyum padaku dan Lulu.
"Iya. Kan nanti malam, kita bakal ngerayain lolosnya kita hari ini dirumahnya Willy." Bima menimpali.
"Kura-kura, pas pulang sekolah nanti, lo ikut gue kerumah ya. Kita siapin pesta buat malam ini." ujar Willy padaku.
"Oh, oke." aku mengangguk mengerti.

Kami semuapun larut dalam suasana yang bahagia. Begitu menyenangkan bila seperti ini.

***

Pulang sekolah, dirumah Willy....
Ini rumah Willy? Aku membelalakan mata tak percaya. Rumah Willy begitu besar, mirip seperti istana. Aku tidak berlebihan, tapi itulah kenyataannya.

"Yuk, masuk!" Willy menarik tanganku untuk masuk kedalam rumahnya. Aku hanya diam, dan ikut kemana Willy akan membawaku.

Willy mengajakku kedapur rumahnya, lalu bertemu dengan tiga orang pembantunya.

"Tolong siapin makanan ya. Saya mau mengadakan pesta, malam ini." ujar Willy pada para pembantunya.
"Baik, Tuan." jawab ketiga pembantu itu.
"Lo, ikut gue." Willy menarik tanganku lagi.

Kali ini, dia membawaku kesebuah ruangan. Sepertinya ini adalah kamar.

"Ngapain lo bawa gue kesini?" tanyaku.
"Lo, bantu gue buat ngehias taman belakang rumah, buat pesta kita nanti malem." ucapan Willy sama sekali tak memberikan jawaban dari pertanyaanku.
"Terus maksudnya lo bawa gue keruangan ini, apa?" tanyaku sedikit kesal.
"Ini kamar kakak gue. Dan dilemari itu, ada baju-baju kakak gue, yang bisa lo pake. Tenang aja, baju-baju itu belum pernah dipake kakak gue kok. Itu cuma stok dia aja. Lo bisa pilih salah satu dari baju-baju itu. Dan kalo lo mau mandi, itu kamar mandinya." jelas Willy panjang lebar.
"Lo, punya kakak?" tanyaku.
"Iya. Tapi dia gak tinggal disini. Dia cuma sesekali aja nginep disini. Soalnya, dia udah berkeluarga, jadi tinggal dirumah suaminya." jawab Willy.
"Oh." aku hanya mengangguk.
"Ya udah, cepet mandi sana. Gue tunggu dihalaman belakang." ujar Willy, lalu meninggalkanku sendiri didalam kamar besar ini.

Sepeninggalan Willy, aku menatap takjub pada ruangan besar yang disebut kamar ini. Setelah puas melihat-lihat, aku membuka lemari pakaian yang tadi ditunjuk Willy. Melihat semua pakaian itu, aku jadi bingung akan memilih yang mana. Meski kakak Willy sudah menikah, tapi semua pakaian yang ada dilemari ini, masih pantas dipakai anak remaja sepertiku. Setelah memilih baju, aku menuju kamar mandi, kemudian mandi.

Selesai mandi dan berpakaian, aku keluar dari kamar itu, lalu mencari tempat yang disebut Willy 'halaman belakang'.

"Dimana halaman belakangnya?" aku melirik setiap sudut rumah Willy. "Aduh, nih rumah terlalu besar. Gimana gue bisa nemuin halaman belakangnya?"
"Nona." panggilan itu mengejutkanku. Aku segera menoleh keasal suara itu. Dan begitu kulihat, ternyata yang memangilku itu adalah seorang bapak yang waktu itu menjemputku dirumah. Ya, dia sopir Willy.
"Bapak?" aku tersenyum padanya.
"Nona mau kemana?" tanya bapak itu ramah.
"Anu... itu... saya mau kehalaman belakang, pak." aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.
"Oh, mari saya antar." bapak itupun segera berjalan didepanku. Aku terus mengikutinya, hingga kami sampai di halaman belakang rumah Willy. "Ini, Non." ujar bapak itu.
"Oh iya, terima kasih ya, pak." aku tersenyum.
"Saya permisi dulu." bapak itupun pergi.

Aku melihat sekeliling, lalu mendapati Willy sedang sibuk menata meja beserta pernak pernik lainnya, dibantu oleh beberapa orang pembantunya yang lain. Aku tersenyum, lalu berjalan kearah Willy. Halaman belakang ini benar-benar sangat luas.

"Apa yang bisa gue bantu?" tanyaku pada Willy.
"Nih." Willy mengulurkan sebuah kabel panjang digulung yang bertabur banyak lampu kecil warna-warni.
"Ini diapain?" tanyaku bingung.
"Pasangin kepohon itu." Willy menunjuk sebuah pohon rindang yang ada dihalaman belakang rumahnya ini. "Itu buat penerangan." tambahnya.
"Yang itu, biar saya saja yang kerjakan, Tuan." ujar seorang pembantu laki-laki pada Willy. Dia menunjuk pada kabel yang kupegang. "Berbahaya jika Nona ini yang melakukannya." ujar pembantu itu khawatir.
"Nggak usah. Kura-kura ini jago kok, jadi gak akan bahaya." Willy tersenyum jahil.
"Hmm... iya Kang, saya bisa kok." ujarku pada pembantu itu. Willy hanya tertawa mendengar panggilan 'Kang' yang kutunjukkan pada pembantunya. Memangnya apa yang salah?

Detik berikutnya, aku mulai bersiap untuk naik keatas pohon dengan tangga yang diberikan oleh pembantu Willy yang lain. Aku mulai fokus pada apa yang aku kerjakan. Awalnya, ini masih mudah. Tapi begitu aku harus memasangnya keranting pohon yang lebih tinggi, aku sedikit kesulitan. Tangga ini tak cukup tinggi untuk membawaku keranting itu. Aku melirik Willy, berniat meminta pertolongan darinya. Tapi ku lihat, dia juga sedang sibuk, begitupun yang lainnya. Jadi aku putuskan untuk mengerjakannya sendiri dengan ide gila ku. Aku menjinjit agar bisa memasangnya pada ranting itu. Tapi kurasa, nasib sial menimpaku. Aku terpeleset dari tangga, dan tentu saja aku terjatuh.

"Aaaa...." teriakku.

BRUK

Jangan tanya rasanya. Anak bodoh sekalipun, akan tau kalo rasanya sangat sakit. Tapi, apakah aku bodoh? Rasanya sama sekali tak sakit. Aku membuka mataku yang tadinya terpejam karena takut pada rasa sakit yang akan aku rasakan. Ouw.. Ouw.. aku sangat terkejut begitu membuka mata. Pantas saja rasanya tak sakit, karena Willy yang menahan tubuhku. Aku jatuh tepat diatasnya.

"Ceroboh." umpat Willy.
"Ma... maaf, Will." aku segera bangkit dari jatuhku, menjauh dari tubuh Willy.
"Tuan? Tuan tidak apa-apa?" para pembantu Willy segera menghampiriku dan Willy.
"Saya gak apa-apa." Willy ikut bangkit dari jatuhnya, lalu menatapku.
"Nona bagaimana?" tanya pembantu Willy padaku.
"Saya juga gak apa-apa." jawabku sambil sedikit takut pada tatapan Willy.
"Gantiin tugas dia." perintah Willy pada salah satu pembantunya. "Lo, ikut gue." Willy menarik tanganku.

Dia membawaku masuk kedalam rumahnya, lalu kami duduk diruang tamu. Willy menatapku lagi. Aku tak mengerti mengapa dia begitu, tapi tatapannya itu benar-benar membuatku ngeri.

"Maaf." ujarnya tiba-tiba.
"Eh?" aku tak mengerti maksud Willy. Mengapa dia mengatakan maaf?
"Gue hampir aja bikin lo celaka, dengan nyuruh lo ngelakuin hal kayak tadi. Maafin gue ya, kura-kura." Willy memelukku.
"I... iya. Gak apa-apa kok, Will. Itu juga salah gue yang gak hati-hati." ujarku gugup. Juga sedikit sesak dengan pelukan Willy yang begitu erat.

Beberapa menit kemudian, Willy melepas pelukannya.

"Bodoh." ujarnya sambil mengacak-acak rambutku. "Lain kali hati-hati." tambahnya.

Aku hanya mengangguk, lalu tersenyum menatap Willy. Setelah itu, Willy tak mengizinkanku lagi untuk ikut membantu dihalaman belakang. Akhirnya, aku memutuskan untuk membantu para pembantu wanita didapur, untuk menyiapkan makanan.

"Maaf, Nona." salah satu pembantu yang masih terlihat sangat muda itu menatapku. "Apakah Nona pacarnya tuan Willy?" tanyanya.

Pertanyaannya sukses membuatku salah tingkah.

"Bu... bukan kok." jawabku gugup.
"Nona temannya?" tanya pembantu itu lagi.
"Iya." aku mengangguk.
"Sejak kapan Nona berteman dengan tuan Willy?" tanya pembantu itu lagi dan lagi. Sebenarnya aku agak risih dengan pertanyaan-pertanyaan dari pembantu Willy ini. Tapi ya sudahlah. Tinggal jawab saja, tidak susah kan?
"Baru 9 hari ini." jawabku jujur.
"Wah, baru 9 hari, dan Nona sudah diajak untuk kerumahnya?" pembantu yang satunya lagi ikut nimbrung.
"Dulu, kami hanya melihat tuan Lucky, tuan Bima, tuan Bian, dan nona Clara yang sering dibawa tuan Willy kerumah ini. Selebihnya, tak ada lagi." ujar pembantu yang lain.
"Clara?" aku mengernyitkan dahi.
"Nona belum tau?" tanya pembantu itu. Aku menggeleng. Kemudian pembantu itu menarik nafas, dan mulai bercerita. "Nona Clara adalah pacar tuan Willy. Tapi, semenjak Nona Clara meninggal tiga bulan yang lalu, tuan Willy menjadi pemurung dan sangat dingin. Padahal sebenarnya, tuan Willy adalah orang yang baik dan ramah. Sepertinya, nona Clara benar-benar memiliki seluruh hati dari tuan Willy. Karena tuan Willy tak pernah mau dekat dengan wanita lain, sejak nona Clara meninggal. Dan nona Sakura, adalah wanita pertama, sejak tiga bulan lalu. Berarti, nona adalah wanita yang special untuk tuan Willy." jelas pembantu itu panjang lebar.
"Jadi ini yang kalian lakuin disela-sela kerja?" tiba-tiba suara Willy terdengar. Aku terkejut, lalu menatapnya yang sedang berdiri di pintu dapur.
"Willy?" aku terkejut mendapati Willy dengan tatapan tajamnya.
"Tuan?" para pembantu itu menunduk takut.
"Lo." Willy menunjuk pada pembantu yang tadi bercerita tentang Clara padaku. "Dipecat!" Willy langsung menarik tanganku menjauh dari para pembantunya.
"Will," aku menoleh pada pembantu yang tadi ditunjuk Willy. Dia menangis.

Willy membawaku kesebuah ruangan. Aku tak tau ini ruangan apa. Terlalu banyak ruangan dirumah ini. Willy menatapku tajam. Aku tak berani menatapnya, dan aku memilih mengedarkan pandanganku kearah lain.

"Gue benci, lo harus denger ucapan pembantu-pembantu itu." Willy menatapku tajam.
"Maaf." aku tertunduk.
"Dan gue benci, karena apa yang dikatakan pembantu itu tentang gue, adalah bener." Willy menghela nafas.
"Maksud lo?" aku menatap Willy, bingung.
"Lo emang cewek pertama yang gue bawa kerumah ini setelah Clara." Willy berjalan kearah jendela, lalu menatap keluar. "Dan emang bener, lo itu adalah cewek yang special buat gue." kata-kata Willy benar-benar membuatku sangat terkejut.

Willy terus menatap keluar jendela. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu menunduk. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa jantungku semakin cepat berdetak, saat mendengar ucapan Willy? Aku hanya bisa diam. Suasana diruangan ini menjadi begitu dingin dan membuatku tak nyaman. Aku mencoba untuk melihat kearah Willy. Dan ternyata, dia sedang menatapku lembut. Bagaimana ini?


-to be continued-