Monday, July 30, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 4


Didalam mobil...
Aku dan Willy hanya diam. Aku meliriknya sekilas. Dia hanya menatap kedepan, fokus pada jalanan.


"Lo ngapain sih, ngomong kayak gitu sama Ibu gue?" tanyaku akhirnya.
"Masalah?" Willy balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaanku barusan.
"Jangan sok baik deh. Hubungan kita ini kan cuma akan berjalan selama 20 hari. Kita gak akan jadi temen selamanya. Jadi jangan bersikap seolah-olah kita ini temen." jawabku panjang lebar.
"Kalo gue mau temenan sama lo, selamanya. Gimana?" Willy menatapku sambil tersenyum tipis.
"Itu cuma bakal bikin hidup gue menderita." aku menjawab acuh.

Willy hanya tersenyum licik, lalu kembali fokus pada kegiatan menyetirnya. Aku menatapnya kesal. Setelah itu, kami hanya diam tanpa sepatah katapun, hingga sampai disekolah. Aku dan Willy keluar dari mobil, bersamaan.

"Kura-kura. Bawain tas gue." Willy melempar tasnya padaku. Aku hanya mengerling kesal, dan mengikuti perintahnya.

Kami berjalan menuju kelas. Aku mengirinya dari belakang. Benar-benar mirip seperti asistennya.

"Sasa." tiba-tiba terdengar suara yang memanggilku. Panggilan itu, siapa lagi yang akan memanggil namaku seperti itu, kecuali Lulu. Dan benar, itu memang Lulu.

Aku menghentikan langkahku, lalu menoleh kebelakang, menatap Lulu. Aku tersenyum manis padanya, lalu dia segera meghampiriku. Willy yang mendengar itu, juga menoleh.

"Selamat pagi, Sasa." sapa Lulu sambil merangkul pundakku.
"Pagi, Lulu." aku tersenyum manis padanya.
"Eh, kacamata." suara Willy mengejutkan kami. "Jangan ganggu kura-kura. Sekarang, dia itu lagi bareng gue. Kalo lo mau ngobrol sama dia, nanti gue kasih waktu." ujar Willy ketus.
"Oh, ya udah deh." Lulu melirikku. "Gue kekelas duluan ya, Sa."

Aku mengangguk. Lulu segera pergi, sambil melambaikan tangannya. Kemudian, tatapanku dan Willypun bertemu. Aku segera memalingkan wajah.

"Eh, kura-kura. Gue laper nih." ujar Willy tiba-tiba.
"Ya udah, kalo gitu makan." sahutku sekenanya.
"Lo gak bawa sesuatu, buat gue?" tanya Willy sambil mengulurkan kedua tangannya, seperti orang yang sedang meminta.
"Nggak." jawabku singkat.
"Kenapa enggak?" Willy mulai emosi.
"Karena lo gak mau. Iya kan?" aku melirik jahil. "Kemaren, pas gue bawain sesuatu, lo gak mau terima. Jadi buat apa, gue bawain lagi yang lain. Nyusahin aja."
"Gue kan bilang, gue gak mau nasi goreng, gue maunya roti isi." Willy berkacak pinggang.
"Ya udah, beli aja." ujarku acuh.

Akupun segera berlalu meninggalkan Willy, dan berjalan duluan menuju kelas. Ku dengar suara-suara kesal Willy dibelakangku, tapi aku tak peduli.

Jam istirahat.
Aku masih dikelas, berkutat dengan catatan yang baru diberikan bu guru tadi. Willy juga masih dibangkunya.

"Eh, kura-kura." Willy menepuk pundakku.
"Hmm?" aku hanya berdehem, tanpa menoleh pada Willy yang duduk disampingku.
"Beliin gue minum dikantin gih. Terus bawa ketaman sekolah ya. Gue tunggu. Dan gak pake lama." setelah mengatakan itu, Willy dan ketiga temannya langsung pergi meninggalkan kelas.

Aku hanya menatapnya sekilas, kemudian mengemasi bukuku dan memasukannya kedalam tas. Lulu yang sedari tadi hanya diam, duduk didepanku, segera menoleh kearahku.

"Ngapain mereka ketaman?" tanya Lulu padaku.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, pertanda tak tau.

"Yuk, temenin gue kekantin." ajakku pada Lulu. Lulu mengangguk, lalu tersenyum.

Aku menggandeng tangan Lulu, meninggalkan kelas, menuju kantin.

Sesampainya dikantin, aku langsung membeli pesanan Willy tadi. Sekaligus membeli beberapa roti untukku sendiri. Lulu juga melakukan hal yang sama, dia membeli apa yang akan dimakannya. Aku tersenyum sekilas padanya yang berada di sebelah kiriku. Dan tiba-tiba, seorang cewek datang dan berdiri disebelah kananku. Dia menatapku tajam. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu membayar apa yang ku beli pada ibu kantin.

"Ada hubungan apa lo sama Willy?" tanya cewek yang berada disebelah kananku tadi.

Aku menoleh padanya, memastikan apa dia benar-benar berbicara padaku.

"Lo tuli ya?" tanya ketus.
"Lo ngomong sama gue?" tanyaku polos.
"Ya iyalah. Masa sama makanan." sindirnya.
"Oh. Gue gak ada hubungan apa-apa kok sama Willy. Kenapa?" aku mencoba untuk tetap tenang. Lulu menatapku cemas.
"Gak ada hubungan, tapi kok lo selalu ada dimanapun Willy berada?" cewek itu menatapku curiga.
"Inti pertanyaan lo apa sih?" aku menyilangkan kedua tanganku didada. Dan kini, posisi kami berhadapan. Lulu memegang pundakku, semakin cemas.
"Gue cuma mau tau gimana hubungan lo sama Willy." cewek itu berkacak pinggang.
"Dia pacar gue." tiba-tiba ada yang berteriak menyuarakan kalimat itu.

Aku terkejut, lalu melihat keasal suara tadi. Dan ternyata, itu adalah suaranya Willy. Kini, dia sedang berjalan menuju ketempatku dan si cewek rese.

"Willy?" cewek itu terkejut melihat kedatangan Willy. "Dia?" cewek itu menunjukku. "Pacar lo?" tanyanya tak percaya.
"Iya." jawab Willy mantap.

Aku membelalakan mata tak percaya, begitupun Lulu. Ketiga teman Willy hanya tersenyum tipis. Sedangkan seluruh anak yang ada dikantin langsung riuh.

"Beli minuman aja, kok lama banget sih?" Willy menatapku.

Aku hanya diam, tak bisa berkata apapun.

"Will, gue gak salah denger kan?" cewek rese tadi bertanya lagi pada Willy.
"Kecuali kalo kuping lo bermasalah." jawab Willy santai. Willy kembali menatapku, lalu menggandeng tanganku meninggalkan kantin. Diikuti oleh Lulu dan ketiga teman Willy.

Bisa kudengar, suara cewek itu memaki tak jelas, begitupun anak-anak yang lain dikantin. Aku tak peduli. Aku terus mengikuti langkah Willy, sambil memegang plastik dari makanan dan minuman yang kubeli tadi.

Willy membawaku menuju taman sekolah. Begitu sampai, dia melepaskan gandengannya padaku.

"Mana minuman gue?" Willy mengulurkan tangan kanannya padaku.

Aku segera memberikan minuman yang sudah kubeli tadi pada Willy. Kemudian, kami duduk dibawah pohon. Lulu dan ketiga teman Willy berdiri didekat kami.

"Eh, kacamata." panggil Willy pada Lulu. "Ngapain lo ikut-ikut kesini?" tanya Willy ketus.
"Gue...."
"Kan udah gue bilang, kalo gue lagi sama si kura-kura ini, lo gak boleh ikut." Willy memotong kata-kata Lulu.
"Kayaknya, kita juga ganggu nih." Lucky melirik jahil. "Yuk guys, kita gak boleh ganggu pasangan yang mau pacaran." Lucky mengajak Bima, Bian, dan Lulu untuk pergi.
"Lo ngomong apa sih, Ky? Udahlah, kalian disini aja. Gak usah dengerin kata-kata cowok nyebelin ini." aku melirik tajam pada Willy.
"Apa-apaan nih. Yang berwenang disini itu gue ya." Willy menatapku tajam.
"Dan lo udah memanfaatkan kewewenangan lo itu, buat ngomong hal yang gak bener." aku mendengus kesal. "Ngapain sih, tadi lo bilang kalo gue ini pacar lo?" tanyaku.
"Gue ngomong kayak gitu, biar si Arisa itu berhenti nanyain hal yang gak penting sama lo." jawab Willy.
"Iya, Sa." Lucky membenarkan.

Aku mengalah, dan memilih diam. Lalu menatap Lulu yang masih setia memberi senyuman terbaiknya. Ah, andai aja Lulu gak pakai kacamata, dia pasti sangat cantik.

Detik berikutnya, kami berenam duduk bersama di bawah pohon.

"Will, besokkan hari minggu, berarti gue libur kan jadi asisten lo?" tanyaku sambil melahap roti yang tadi kubeli.
"Enak aja. Nggak." jawab Willy, sedikit membentak.
"Loh, tapi kan kita gak sekolah. Gimana gue bisa jadi asisten lo?" tanyaku bingung.
"Lo liat aja, besok." Willy tersenyum licik.

Aku hanya memanyunkan bibirku. Lulu dan ketiga teman Willy ikut tertawa melihat tingkahku dan Willy.

Dan akhirnya, hari keenam ini ditutup dengan Willy yang mengantarku pulang kerumah dari sekolah.

***

"Day 7"

Aku masih terlelap dalam tidur panjangku, masih enggan untuk membuka mataku. Kulirik jam yang berada disisi kiri tempat tidurku. Sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Tak biasanya, aku bangun jam segini di hari minggu. Tapi entah hari ini. Aku benar-benar merasa lelah, hampir satu minggu menjadi asisten si cowok populer yang sangat menyebalkan itu. Dan dia bilang, hari ini aku tak libur? Huh! apa-apaan itu. Aku tak peduli. Hari ini, aku hanya ingin bersantai dirumah dan melupakan semua tugas-tugas darinya. Hari ini adalah hari bebas. Yeay! Aku suka hari minggu.

Aku rasa, sudah saatnya aku bangun. Perutku mulai terasa lapar. Akupun beranjak dari tempat tidurku, lalu dengan masih memakai piyama dan belum cuci muka atau pun mandi, aku berjalan menuju dapur.

Aku masih setengah sadar. Kulihat Ibu sedang memasak didapur, aromanya sudah sampai di hidungku. Itu pasti sangat enak, dan aku ingin segera melahap menu sarapanku pagi ini. Tapi itu, entah siapa. Sepertinya, Ibu sedang tidak sendirian didapur. Ibu bersama seseorang. Siapa? Yang pasti, itu bukanlah Ayah.

"Ibu." panggilku.

Ibu dan seseorang yang bersama Ibupun menoleh.

"Huwaa...." aku terlonjak.
"Sakura, kenapa?" tanya Ibu panik.

Ibu segera menghampiriku, begitupun seseorang yang bersama Ibu tadi. Apa-apaan ini? Apa aku sedang bermimpi? Mengapa aku seperti melihat Willy yang bersama Ibu tadi?

"Bu. Di... Dia?" aku menunjuk pada orang yang mirip dengan Willy itu.
"Oh, nak Willy baru saja datang. Dia bilang, ingin main sama kamu." jawab Ibu.
"Ap... Apa?" aku benar-benar terkejut. Jadi, ini benar-benar Willy.
"Pagi. Sakura." sapa Willy sangat ramah. Aku hanya diam membeku.
"Ya sudah, kamu mandi dulu." perintah Ibu menyadarkanku.

Aku hampir lupa, aku sekarang hanya memakai piyama dan belum mandi. Apa-apaan ini? Seperti ini didepan Willy? Dia pasti ingin sekali menertawakanku saat ini. Aku meliriknya sekilas, lalu segera kembali menuju kamarku. Memalukan!

30 menit kemudian, aku keluar dari kamar, dan menuju ruang makan untuk sarapan. Kini, aku sudah mandi, dan berpakaian rapi. Ku lihat, Ibu dan Willy sedang sarapan bersama, sambil tertawa gembira. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Semoga saja bukan tentangku.

"Sayang, udah selesai mandinya?" tanya Ibu ramah. "Sini duduk, kita sarapan sama-sama." Ibu memintaku duduk disampingnya.
"Ayah mana, bu?" tanyaku sambil melahap sarapan yang tadi dibuat Ibu.
"Sudah pergi kerestoran. Sebentar lagi, Ibu juga mau nyusul." jawab Ibu lembut.
"Sakura ikut ya." pintaku.
"Loh, jangan dong sayang. Masa kamu mau ninggalin Willy, kan dia kesini buat ketemu dan main sama kamu." Ibu melirik Willy. Yang dilirik hanya tersenyum puas.
"Iya, Sa. Ayolah, gue mau ngajakin lo jalan-jalan nih." ujar Willy sambil memperlihatkan senyuman liciknya.
"Kamu temenin Willy aja ya, Ibu percaya kok sama nak Willy." lagi-lagi Ibu tersenyum manis pada Willy. Sepertinya, Ibu benar-benar menyukai Willy. "Ibu pergi dulu." pamit Ibu sambil mengecup keningku.

Aku hanya mengangguk pasrah, melihat kepergian Ibu. Kembali kulahap, sarapan yang dibuat Ibu tadi. Kemudian, mataku tertuju pada Willy, yang sedari tadi memang menatapku. Huh! Apa lagi yang akan diperbuatnya padaku, hari ini? Padahal aku berniat untuk beristirahat, tapi malah jadi seperti ini. Ah Sakura, kau memang benar-benar gadis yang malang.

"Kenapa muka lo gitu?" tanya Willy.
"Gak seneng liat lo dateng." jawabku sejujur-jujurnya.

Willy hanya tertawa. Benar-benar menyebalkan. Apa dia begitu senangnya, bisa mengerjaiku seperti ini?

"Ibu lo baik banget. Masakannya juga enak. Kayaknya, gue bakalan sering-sering kesini." ujar Willy sambil menatap setiap sudut rumahku.
"Gak boleh!" sergahku cepat.
"Kenapa? Ibu lo udah ngizinin kok." ujar Willy santai.
"Willy, gue mohon." aku mulai putus asa.
"Jadi lo bener-bener gak mau jadi temen gue?" tatapan Willy seketika begitu teduh. Kemana mata licik dan jahatnya?
"Salah lo, kenapa lo nyebelin banget." umpatku.

Willy hanya tersenyum mendengar jawabanku, lalu dia kembali berkutat dengan sarapannya.

"Buruan abisin sarapannya. Gue mau ngajakin lo kesuatu tempat." ujarnya yang terdengar seperti perintah.

Aku hanya melirik tak peduli.

Selesai sarapan, Willy segera mengajakku untuk pergi. Aku mengunci rumah, lalu menyusulnya masuk kedalam mobilnya. Detik berikutnya, mobil itu sudah melaju meninggalkan halaman rumahku.

Sepanjang perjalanan, Willy dan aku hanya diam. Sebenarnya, aku ingin sekali bertanya, kemana dia akan membawaku pergi. Tapi aku tak mau mengganggu dia yang sedang konsentrasi menyetir. Dan keheningan yang mencekampun tercipta. Cukup jauh mobil ini melaju. Entah kemana.

Mobil Willy sudah berhenti. Dan ternyata, aku tertidur. Willy melirikku, lalu tersenyum memperhatikan setiap lekuk wajahku. Sepertinya, dia sama sekali tak berniat membangunkanku. Dia segera turun duluan dari mobil dengan membawa gitar kesayangannya dan meninggalkanku yang masih tertidur.

30 menit berlalu.
Aku masih merasakan keheningan. Dan dengan berat, ku buka mataku. Sepi? Dimana Willy? Aku segera membuka pintu mobil, keperhatikan sekelilingku. Dimana ini?

Sayup-sayup kudengar suara alunan gitar. Lagu itu lagi. Lagu yang pernah dinyanyikan Willy ketika kami berada dilapangan hijau itu. Aku berjalan mengikuti asal suara gitar itu. Hingga akhirnya, aku bisa melihat Willy yang duduk di jembatan yang membentang lurus ditepi sebuah danau. Akupun segera menghampirinya.

Willy tak menyadari kedatanganku. Dia masih fokus pada permainan gitarnya, sambil memejamkan mata. Akupun duduk disampingnya. Menunggu hingga ia selesai bermain gitar.

"Udah bangun?" tanya Willy yang membuatku terkejut. Seketika, permainan gitar itu terhenti.
"Iya." jawabku singkat.
"Ini, tempat fovorite gue sama dia." ujar Willy, sambil menatap bentangan danau yang indah.
"Almarhum pacar lo?" tanyaku hati-hati. Willy menjawabnya dengan anggukan. "Indah." ujarku pelan.
"Ngomong-ngomong, kok gue gak pernah liat cowok lo sih?" tanya Willy tiba-tiba. Pertanyaan itu benar-benar membuatku terkejut. Bagaimana mungkin, seorang Willy akan bertanya seperti itu. Bukankah, dia tidak pernah tertarik pada kehidupanku? Dan sekarang, tiba-tiba dia bertanya tentang pacarku.
"Gak punya." jawabku.

Willy tertawa mendengar jawabanku.

"Kok lo ketawa? Emangnya ada yang lucu?" tanyaku sedikit kesal.
"Masa lo gak punya pacar sih?" tanyanya yang masih terus tertawa.
"Lucu ya, kalo gak punya pacar?" tanyaku sambil menatap Willy lekat.

Pertanyaanku itu berhasil membuat tawa Willy berhenti. Kemudian, dia juga menatapku lekat.

"Lo. Masa sih, gak ada orang yang lo cinta?" Willy merangkul pundakku.
"Gue...." aku menatap tangan Willy yang sedang merangkulku. "Kalo nanti ada orang yang gue cinta. Itu adalah cinta gue yang pertama." aku tersenyum tipis.
"Lo pasti akan bahagia, ketika lo ngerasainnya nanti." Willy tersenyum manis sekali padaku.
"Will." aku menatap wajah Willy. "Gimana sih, rasanya jatuh cinta?" tanyaku.
"Jatuh cinta?" Willy berfikir sebentar, lalu tersenyum. "Rasanya menyenangkan, tapi juga menyedihkan. Lo akan merasakan kedua rasa itu, disaat lo jatuh cinta. Tapi, cepat atau lambat, cinta itu akan pergi. Karena didunia ini, emang gak ada yang abadi." jelas Willy panjang lebar.
"Rasanya menakutkan." aku bergidik.
"Tapi gak bisa dielakkan. Lo pasti akan ngerasainnya." ujar Willy, sambil terus menatap pada danau.
"Hmmm... iya." aku pasrah.
"Kura-kura." panggil Willy.
"Ya?" sahutku. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan panggilan itu.
"Udah kayak gini, dan gue juga udah nyeritain hal paling private tentang cinta gue. Apa, lo masih belum bisa nerima gue sebagai temen lo?" Willy melirikku. Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Willy, ternyata dia sungguh-sungguh ingin jadi temanku.
"Mulai detik ini, kita teman." aku tersenyum, sambil mengaitkan jari kelingkingku pada jadi kelingking Willy.

Willy membalas senyumku, dan semuanya berlalu dengan sangat menyenangkan. Ya, untuk pertama kalinya, aku dan Willy mengahabiskan waktu bersama dengan senang-senang. Entah bagaimana besok.


-to be continued-

Saturday, July 28, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 3


"Sa... Saya?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.

Bapak itu membalas dengan anggukan. Aku menatap pada pintu mobil yang sudah terbuka. Apakah bapak ini salah menjemput orang? Entahlah. Tapi saat ini, aku masih mematung di tempat ku berdiri tadi.

"Silahkan." ulang bapak itu. "Tuan Willy sudah menunggu anda disekolah, Nona." tambahnya.

Jleb.

"Will... Willy?" tanyaku masih tidak mengerti.
"Iya, Nona. Saya adalah sopir pribadinya tuan Willy. Dan hari ini, saya yang akan mengantar nona sampai disekolah." bapak itu tersenyum manis.

Apa lagi yang dilakukan makhluk populer yang aneh itu, hari ini? Mengapa dia penuh dengan kejutan? Aish... aku tak mengerti dengannya. Dan berhubung hari sudah semakin siang, akhirnya aku mengikuti saja keinginan bapak itu untuk segera masuk kedalam mobil.

Lima belas menit kemudian...

Aku sudah sampai disekolah. Ketika aku akan turun dari mobil, tiba-tiba sudah ada yang membukakan pintu itu untukku. Aku tersentak. Ternyata yang membukakan pintu itu adalah bapak yang menyopir tadi. Dia tersenyum manis, sambil mengayunkan tangannya memintaku keluar dari mobil. Aku membalas senyumnya, lalu keluar.

Dari kejauhan, ku lihat Willy dan ketiga sahabatnya sedang menuju ketempatku berdiri saat ini.

"Saya permisi dulu, nona." pamit bapak yang tadi.
"Oh, i... iya, pak. Terima kasih." sahutku ramah.

Ketika mobil itu pergi, Willypun sampai ditempatku.

"Pagi, Sakura." sapa Bima, salah satu dari ketiga teman Willy.
"Pagi." aku membalas sapaan Bima.
"Lama banget sih?" bentak Willy tiba-tiba. "Lo sengaja ya, terlambat dateng kesekolah, biar gak gue suruh-suruh buat nyuapin gue sarapan?"
"Ih, cowok aneh. Lagian, siapa suruh bukan lo yang jemput gue. Kan lo sendiri yang ngirim bapak itu buat jemput gue, dan lo pergi kesekolah duluan. Jadi jangan salahin gue dong, kalo gue datangnya setelah lo." aku balas membentak.
"Alah, jangan banyak alasan lo. Dasar kura-kura. Selalu aja lambat." Willy membentak lagi.
"Berhenti panggil gue kura-kura! Nama gue tuh Sakura." aku tak mau kalah.
"Eh eh, lo berdua. Udah dong. Malu kali, diliatin anak-anak." Bian, salah satu teman Willy mencoba melerai aku dan Willy.
"Tau nih. Udahlah, ayo masuk kelas. Bentar lagi kan udah mau masuk." Lucky menimpali.

Aku dan Willy masih saling menatap tajam. Willy benar-benar sudah merusak mood-ku, pagi ini. Entah dari mana makhluk sejenis Willy ini datang. Yang pasti, dia benar-benar sangat menyebalkan.

Lucky, Bima, dan Bian yang masih melihat aku dan Willy dengan tatapan tajam, segera menarik tangan kami untuk menuju kelas. Lucky menggandeng tanganku. Sedangkan Bima dan Bian menggandeng tangan Willy.

"Sabar ya." bisik Lucky pelan, disela-sela perjalanan kami menuju kelas.
"Kok lo tahan sih, temenan sama manusia macam Willy?" tanyaku sambil juga berbisik.
"Biar keliatannya nyebelin dan angkuh, Willy baik kok. Nanti, lo juga bakalan ngerasain." Lucky tersenyum manis.
"Sejauh ini, dia tetep nyebelin dan angkuh dimata gue." aku mendengus kelas.
"Masa lo gak sadar sih?" Lucky menyipitkan matanya.
"Apa?" tanyaku.
"Tadikan lo udah ngerasain kebaikannya Willy." ujar Lucky pelan.
"Yang mana?" seingatku, dari tadi Willy sudah membuatku sangat sangat kesal.
"Sopir yang tadi ngater lo." Lucky tersenyum tipis. "Gue denger, kemaren kalian berdua hampir nabrak. Makanya, hari ini Willy sengaja gak jemput lo. Dan minta sopirnya buat jemput lo, karena dia gak mau lo celaka kalo naik mobil bareng dia."

Deg
Aku kembali teringat dengan kejadian kemarin, dimana saat aku menyetir, aku dan Willy hampir saja menabrak. Jadi ini alasan Willy menyuruh sopirnya untuk menjemputku. Karena dia tak ingin aku celaka.

Aku menatap punggung Willy yang berjalan bersama Bima dan Bian didepanku. Apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja membentaknya. Dan tidak menghargai kebaikan hatinya. Akh... anak ini benar-benar tidak bisa ditebak. Perasaannya bisa berubah dengan sangat cepat.

Akhirnya, kami semua sampai dikelas. Aku lihat Lulu yang langsung tersenyum manis menatap kedatanganku. Aku membalas senyumnya, lalu duduk di bangku ku, sebelah Willy. Lulu langsung menoleh kebelakang untuk menyapaku. Tapi tiba-tiba dia urungkan niatnya, karena mendapat tatapan tajam dari Willy. Lulu kembali pada posisinya duduknya semula, yang menatap pada papan tulis.

Aku menatap wajah Willy yang masih kesal. Biarlah, aku akan meminta maaf padanya nanti saja.

Jam istirahat.

Aku menatap Willy yang sedang memasukkan buku-buku pelajarannya kedalam tas.

"Will." aku beranikan menyapanya duluan.
"Hmm." dia hanya berdehem, tanpa melihat kearahku. Dan masih sibuk dengan buku-bukunya.
"Maafin gue ya." ujarku pelan. Kali ini, Willy langsung menoleh kearahku.
"Lo bikin salah apa?" tanyanya.
"Tadi, gue udah marah-marah sama lo." aku menatapnya.
"Terus?" Willy terlihat senyum tipis.
"Gue juga mau bilang makasih, karena tadi lo udah ngirim sopir lo buat jemput gue. Lo gak mau kan, gue celaka kalo naik mobilnya sama lo?" aku tersenyum jahil.
"Ge-er." Willy mengucek rambutku.
"Jadi, lo mau maafin gue kan?" tanyaku sambil merapikan rambutku yang dibuat berantakan oleh Willy.
"Iya. Lagian, tadi kan gue juga udah bentak-bentak lo. Anggap aja kita seri." Willy tersenyum manis.
"Makasih ya." aku tersenyum lega.
"Sekarang, lo harus ngejalanin tugas lo sebagai asisten gue." wajah Willy kembali 'killer'.

Aku tertunduk lesu. Jiwa semena-menanya Willy sudah kembali lagi, dan aku harus siap menghadapi segala kemungkinan buruk yang akan aku alami. Willy menarik tanganku menuju lapangan basket. Aku hanya bisa menurut dan mengikutinya saja. Saat sedang dalam perjalanan menuju lapangan basket, kami bertemu Lulu. Dia segera mengikuti kemana Willy membawaku pergi.

Saat sudah dilapangan basket.

"Temenin gue main." Willy melempar bola basket kearahku. Dan segera ku tangkap.
"Apa?" aku terkejut.
"Temenin gue main basket." Willy menunjuk bola basket yang sedang ku pegang.
"Kok gue?" tanyaku tak percaya. "Gue kan gak bisa. Lo main sama temen-temen lo aja, sana."
"Tapi hari ini, gue mau main bareng asisten gue." Willy tersenyum licik. "Ini perintah, kura-kura. Ayo buruan." Willy sudah siap-siap dengan posisinya.

Anak-anak satu sekolah langsung berkumpul mengelilingi lapangan basket. Aku menelan ludah. Apa yang harus aku lakukan? Aku pasti hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Aku sama sekali tidak bisa bermain basket. Memikirkan akan bermain basket dilapangan saja, tak pernah.

Aku perhatikan semua anak-anak yang menonton. Pandanganku terhenti pada sosok Lulu. Dia menatap cemas kearahku. Lalu aku menatap Willy yang tersenyum licik. Aku menarik nafasku. Dan tiba-tiba, ketiga teman Willy datang, menghampiri kami ketengah lapangan.

"Main berdua? Mana seru." komentar Bian.
"Lo bertiga gak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama si kura-kura lambat ini." Willy menatap tajam ketiga temannya.
"Gimana kalo gue, Bian, sama Lucky ikutan main juga?" usul Bima.
"Nah, kayaknya itu lebih adil buat Sakura." Lucky menatapku.
"Oke." Willy akhirnya setuju. "Bima sama Bian, satu tim sama gue. Lucky, satu tim sama si kura-kura ini."
"Kok tim gue cuma berdua?" aku mulai membuka suara.
"Tenang aja, Sa. Kita punya satu orang lagi kok." Lucky tersenyum tipis, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lapangan. "Nah, itu dia." Luckypun segera berjalan menuju seseorang. Aku dan yang lain, masih terus memperhatikannya.

Ternyata, Lucky berjalan kearah Lulu. Dia tersenyum sekilas, lalu menarik tangan Lulu untuk masuk kelapangan.

"Tim gue, ditambah sama si 'kacamata' ini." Lucky menunjuk Lulu.
"Oke." Willy tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya dia sudah yakin, dia dan timnya lah yang akan menang.
"Tenang aja Sa, kita pasti bisa kok." Lucky menepuk bahuku dan Lulu.
"Kayaknya mulai sekarang, kalian harus manggil Lulu dengan namanya deh. Jangan panggil dia 'kacamata' lagi." aku menatap keempat cowok itu.
"Terserah." Willy menatapku tajam. "Ayo kita mulai, permainannya."

Bola mulai mengedar kesana kemari, dari satu tangan ketangan yang lain. Permaianannya sudah dimulai. Kali ini, bola masih dikuasai oleh tim-ku. Tapi tentu saja, Willy dan tim-nya tidak akan tinggal diam.

Sorak sorai anak-anak yang berada disekeliling lapangan mewarnai pertandingan kami siang ini. Bola sudah berganti-ganti tangan berulang kali. Willy dan tim-nya sudah mencetak poin berkali-kali. Dan tim-kupun tak mau kalah. Tapi tiba-tiba saja, Lucky memberikan bola padaku.

"Masukin." Lucky menunjuk ring basket yang sudah berada didekatku.

Aku mengangguk, lalu mulai berlari dan meloncat untuk memasukan bola. Tapi tiba-tiba, lompatanku terhalang oleh Willy. Dia berusaha mencegahku untuk memasukan bola. Alhasil, akupun terjatuh. Dan sialnya, aku terjatuh menimpa Willy.

"Aww." Willy memegangi sikunya yang mulai berdarah, karena terkena lantai lapangan.

Teriakan anak-anak yang berada di sekeliling lapangan, langsung membahana. Aku terkejut, dan segera bangkit dari jatuhku, untuk menolong Willy. Lucky, Bima, Bian, dan Lulu juga segera menghampiri Willy.

"Will, lo gak apa-apa?" tanyaku panik.
"Sakit." Willy masih memegangi sikunya yang berdarah.
"Ayo kita bawa ke UKS." usulku.

Lucky, Bima, Bian, dan Lulu mengangguk serentak. Lucky dan Bima segera membawa Willy ke UKS.

Di UKS...

Willy segera dibaringkan diranjang UKS. Akupun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka di siku Willy dengan hati-hati. Sesekali Willy meringis kesakitan, saat aku mengobatinya.

"Tahan." ujarku.

Tak butuh waktu lama, luka Willy sudah tertutup dengan perban.

"Minum dulu, Will." Bima memberikan sebotol air mineral pada Willy.
"Iya." Willy mengambil botol itu, dan langsung meminumnya.

Bel tanda masukpun berbunyi.

"Udah bel. Masuk yuk." ajak Bian.
"Lo semua masuk aja. Tapi kura-kura tetep disini." ujar Willy.
"Oh, iya." Lucky mengangguk sambil menatapku. "Lo disini aja. Jagain Willy ya, Sa."
"Biar nanti, gue yang izin sama guru dikelas." Lulu menimpali.
"Oke deh. Thanks ya." aku tersenyum pada mereka semua.

Detik berikutnya, mereka semua sudah pergi meninggalkan ruang UKS. Kini, hanya tersisa aku dan Willy. Aku menatap pada luka disikunya.

"Masih sakit?" tanyaku hati-hati.
"Ya jelaslah." jawabnya ketus.
"Maaf ya. Ini gara-gara gue." aku menyadari kesalahanku.
"Bukan salah lo. Kecelakaan dalam permainan gini kan biasa." Willy menatap pada lukanya.
"Tapi kalo tadi gue gak jatuh diatas lo, pasti gue yang dapet luka itu." aku menunjuk pada luka Willy.
"Gak usah dipikirin." Willy menatapku tajam.

Setelah itu, kami sama-sama diam tanpa kata.

"Gue laper." ujar Willy tiba-tiba. "Beliin gue roti dikantin dong."
"Oh, oke." aku segera beranjak dari dudukku, dan pergi menuju kantin.

Beberapa menit kemudian, aku sudah kembali keruang UKS dengan membawa beberapa roti. Tapi begitu masuk, kulihat Willy sedang tertidur. Dasar! Dia malah membuat usahaku untuk membeli roti ini kekantin, menjadi sia-sia. Akupun duduk disamping ranjang Willy, dan ikut membaringkan kepalaku ditepi ranjang. Dan aku ikut tertidur.

***

Jam pulang sekolah...

Lucky, Bima, dan Bian, langsung pergi menuju ruang UKS, dengan membawa tasku dan Willy. Sesampainya di UKS, mereka terkejut melihat aku dan Willy yang tertidur. Belum lagi, posisi tangan kanan Willy berada di kepalaku.

Lucky tersenyum melihatnya.

"Ngapain mereka?" bisik Bima pada kedua sahabatnya.
"Tidur." jawab Bian polos.
"Kalo gitu ya, dibangunin." Bimapun beranjak mendekati aku dan Willy, lalu membangunkan kami.

Tak butuh waktu lama, aku sudah terbangun dari tidurku, begitupun Willy.

"Ini dimana?" tanyaku sambil melihat keseluruh ruangan.
"Kuburan." jawab Bian jengkel.
"Masih di UKS, Sa." Lucky tersenyum tipis.
"Udah bel pulang ya?" tanya Willy sambil bangun dari tidurnya.
"Iya. Nih, tas lo berdua." Bima memberikan tasku dan Willy.
"Lulu mana?" tanyaku.
"Pulang duluan. Ada urusan keluarga katanya." kali ini, Bian yang menjawab.
"Masih sakit, Will?" tanya Lucky sambil melirik siku Willy.
"Udah nggak kok." Willy mengusap-usap perbannya.
"Ya udah, kalo gitu gue mau pulang dulu." aku segera berdiri dari dudukku, dan berniat pulang meninggalkan ruang UKS.
"Eh, tunggu." ucapan Willy menahan langkahku.
"Kenapa lagi?" aku menoleh pada Willy.
"Gue telpon sopir gue dulu, buat anterin lo pulang." Willy segera meraih handphone-nya.
"Gak usah." ujarku lembut. "Biar gue pulang sendiri aja. Mendingan, elo yang minta buat dianterin pulang sama sopir lo." aku tersenyum.
"Kenapa?" tanya Willy bingung.
"Gue gak yakin, lo bisa nyetir dengan siku yang luka kayak gitu." aku menunjuk siku Willy, lalu segera berlalu meninggalkan UKS dan pulang.

Willy menatap pasrah kepergianku, sambil melirik sikunya.

"Sakura bener." ujar Lucky.

***

"Day 5"

Ini adalah hari kelima. Dan aku rasa, aku sudah mulai terbiasa dengan semua perilaku Willy yang aneh bin ajaib. Hari ini, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, tanpa menunggu Willy untuk menjemputku. Karena aku yakin, dia masih kesulitan dengan sikunya.

Selain berangkat lebih pagi, aku juga bangun tidur lebih pagi, hari ini. Kenapa? Aku juga tak mengerti kenapa. Hanya saja, tiba-tiba aku berfikir untuk membuatkan makanan untuk seorang Willy. Pagi-pagi, aku sudah beraktivitas di dapur kecilku. Memasak nasi goreng.

"Semoga aja, cowok populer itu suka." ujarku sambil menatap kotak bekal berwarna biru itu.

Aku melanjutkan langkahku, menuju sekolahku tercinta. Entah sejak kapan, aku menyebut sekolah itu 'tercinta'. Padahal awalnya, aku berfikir bahwa masuk kesekolah ini adalah musibah.

Dikelas...

Aku duduk manis, menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi, kalo bukan cowok populer bernama Willy itu. Dan benar saja, tak lama kemudian, dia datang. Tapi tatapannya sangat tajam. Membuatku bergidik ngeri.

"Pagi." sapaku seramah mungkin.
"Kenapa berangkat duluan?" tanyanya dingin, tanpa menjawab sapaanku.
"Biar gak ngerepotin lo lagi." aku mencoba tersenyum semanis mungkin.
"Dan lo udah bikin usaha gue jadi sia-sia, buat jemput lo kerumah lo. Tapi ternyata, lo-nya udah berangkat duluan." bentak Willy.
"Lo maunya apa sih?" aku mulai emosi. "Gue kan cuma gak mau ngerepotin lo. Karena gue pikir, tangan lo masih sakit dan gak bisa nyetir. Makanya gue berangkat sendiri."
"Lo ngelawan?" Willy mencengkram pundakku.
"Aww..." aku merasakan nyeri pada pundakku. "Willy, sakit."
"Lain kali, jangan pernah buat usaha gue sia-sia." Willy melepas cengkramannya.

Aku memegangi pundakku yang terasa nyeri. Air mataku akan segera jatuh. Tapi dengan sekuat tenaga, aku menahannya. Kenapa Willy selalu seperti ini? Kenapa sifatnya bisa berubah begitu cepat. Aku benci.

Saat itu juga, Lulu dan ketiga teman Willy datang. Lulu yang melihat aku meringis kesakitan sambil memegangi pundakku, langsung menghampiriku.

"Sasa, ada apa?" tanya Lulu cemas.

Aku tak menggubris pertanyaan Lulu. Aku menatap Willy sekilas, lalu membuka tasku. Aku mengambil kotak bekal yang tadi kubawa, lalu memberikannya pada Willy.

"Maaf. Karena udah bikin waktu lo terbuang sia-sia." ujarku sambil meletakkan kotak bekal itu didepan Willy.
"Ini kenapa sih?" tanya Lucky penasaran.

Aku menatap Lucky sekilas, kemudian pergi meninggalkan kelas. Lulu langsung mengikuti langkahku. Setelah aku pergi, Lucky, Bima, dan Bian duduk sambil menatap kearah Willy. Willy melirik kotak bekal yang tadi kuberikan, kemudian membukanya.

"Nasi goreng?" Willy mengerutkan keningnya.
"Dari Sakura?" Bima melirik kotak bekal itu. "Sakura bikin ini buat lo." Bima nampak terkejut
"Dan kayaknya, lo udah bikin dia kecewa." Bian menatap nanar pada kotak bekal itu.
"Kalian kenapa?" tanya Lucky sekali lagi.

Willy masih diam, sambil menatap nasi goreng itu. Detik kemudian, dia mengucek rambutnya brutal.

"Kalo kayak gini, gue yang jadinya gak enak." ujar Willy frustasi.

Lucky, Bian, dan Bima menatap Willy tak mengerti.

"Padahal, awalnya kan gue cuma pura-pura marah sama dia." Willy menatap nasi goreng itu sekali lagi.
"Minta maaf." Lucky menepuk bahu Willy. "Kayaknya, kalian salah paham." tambah Lucky.
"Gue gak mau." ujar Willy cepat.

Lucky, Bian, dan Bima hanya bisa menghela nafas.

Sementara itu, aku berlari menuju taman sekolah sambil menahan tangis. Dan begitu telah sampai disana, tangiskupun pecah. Aku duduk dibawah pohon yang sangat rindang, menutup wajahku yang sedang menangis.

"Sia-sia?" aku semakin terisak. "Padahal dia yang selalu bikin usaha dan waktu gue terbuang sia-sia. Dasar nyebelin. Suka semaunya sendiri."

Tak lama, kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menoleh pada asal sentuhan itu.

"Lulu?" ujarku sambil masih terisak.
"Sabar ya, Sasa." Lulu memelukku.
"Gue gak tahan lagi, Lu." aku terus terisak dalam pelukan Lulu.
"Masih 15 hari lagi, Sa." Lulu mengingatkanku. "Lo harus tahan. Lo harus buktiin ke Willy, kalo lo sanggup ngalahin sifat buruknya dia. Lo gak boleh nyerah, Sa." ujar Lulu lembut.

Aku tak percaya pada apa yang ku dengar. Lulu? Dia bicara sebijak itu? Ku pikir, dia hanya bisa berceloteh tentang anak-anak populer disekolah ini. Tapi ternyata? Ucapan Lulu malah membuatku merasa tenang dan semangat lagi.

"Makasih ya, Lu." aku balas memeluk Lulu. "Gue akan tetep berusaha."
"Gitu dong." Lulu melepas pelukannya, lalu menghapus air mataku. "Sasa pasti bisa. Semangat!"

Detik berikutnya, aku dan Lulu tertawa bersama. Ya, aku belum menyerah. Aku akan melewati 15 hari itu dengan semangat. Tak kan ku biarkan, aku terlihat lemah didepan Willy.

Aku dan Lulu kembali kekelas, setelah bel masuk berbunyi. Aku menatap Willy sekilas, lalu duduk di bangkuku.

"Gue gak mau terima." Willy menyodorkan kotak bekal yang tadi ku berikan.
"Oh." aku mengambil kotak bekal itu, lalu memasukkannya kembali dalam tasku.
"Gue gak suka nasi goreng. Gue sukanya roti isi." Willy tersenyum tipis.
"Oh." aku hanya ber-oh ria.
"Kok cuman 'oh'." Willy menatapku tajam.
"Maunya?" aku bertanya acuh.
"Sejak kapan lo jadi nyebelin gini?" Willy mendengus kesal.
"Sejak kenal sama lo." jawabku lantang.

Seisi kelas, menatap padaku dan Willy. Akhir-akhir ini, aku dan Willy memang selalu jadi perhatian.

"Ssttt...." Lucky meminta aku dan Willy untuk diam.

Aku dan Willy menatap kearah Lucky sekilas, lalu diam.

Setelah bel istirahat berbunyi, Willy kembali menjadi dia yang sebelumnya. Memerintahku seenaknya. Dan kali ini, aku hanya menurut tanpa perlawanan. Akupun hanya diam, tanpa bersuara. Terus berada didekatnya, tanpa benar-benar menganggapnya ada. Aku yakin, sebentar lagi, seorang Willy akan protes dengan sikapku yang seperti ini.

"Lo lebih mirip kayak batu, dari pada asisten gue." bentak Willy akhirnya. "Kenapa dari tadi cuma diem aja sih?"

Aku menatap Willy sekilas, lalu kembali fokus pada buku yang sedari tadi ku baca. Willy menatapku jengah.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung beranjak meningggalkan kelas dan pulang. Lulu tersenyum senang melihatku.

"Kura-kura." panggil Willy.

Aku mendengar panggilan itu, tapi tak berniat untuk menyahut.

"Kan udah gue bilang, minta maaf." Lucky menepuk pundak Willy.
"Lo berdua keras kepala sih. Sama-sama gak mau ngalah." Bian berpendapat.
"Kalo gak mau Sakura terus-terusan jadi asisten lo yang kayak batu, lo mesti minta maaf sama dia." Bima menambahkan.
"Masa harus gue yang ngalah sih?" Willy menggaruk-garuk kepalaya yang tak gatal.

***

"Day 6"

Aku baru saja selesai sarapan, dan akan segera berangkat kesekolah. Saat keluar dari rumah, kulihat Willy sudah berdiri disamping mobilnya. Akupun segera menghampirinya. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat dia tersenyum begitu manis. Ya, dia tersenyum padaku. Membuatku beku seketika.

"Maafin gue ya." Willy langsung memelukku.

Tentu saja, itu menambah kebekuan tubuhku. Apa-apaan ini? Ada apa dengan manusia ajaib ini?

"Wi... Willy?" ujarku terbata.
"Hmm...?" Willy masih memelukku.
"Lo sakit?" pertanyaanku sontak membuat Willy melepas kasar pelukannya.
"Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?" bentaknya.

Aish....
Sifat buruknya kembali lagi.

"Abisnya, hari ini lo aneh banget." aku menggaruk-garuk kepala pertanda bingung.
"Gue mau minta maaf sama lo. Jadi, itu aneh?" Willy menatapku tajam.
"Nggak sih." aku jadi salah tingkah.
"Ada apa ini?" tiba-tiba, ada suara yang mengejutkan aku dan Willy.

Itu adalah suara Ibuku. Sekarang, Ibu sudah berada dibelakang aku dan Willy.

"Ibu?" aku sangat terkejut.
"Ibu?" Willy menatap ke arah sosok wanita yang kupanggil 'ibu'. "Halo, selamat pagi tante." sapanya begitu ramah.
"Pagi." Ibu membalas sapaan itu, tak kalah ramahnya. "Kamu temennya Sakura?" tanya Ibu.
"Iya, tante." Willy mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya pada Ibu. "Nama saya Willy, tante." ujarnya memperkenalkan diri.
"Oh. Senang berkenalan dengan nak Willy." Ibu tersenyum. "Sudah mau berangkat?" tanya Ibu lagi.
"Iya, bu." kali ini, aku yang menjawab. "Yuk, Will. Udah hampir telat nih."

Aku segera menarik tangan Willy untuk memasuki mobilnya. Aku mencium pipi kiri Ibu, kemudian beranjak masuk menyusul Willy, kedalam mobilnya.

"Saya pamit dulu, tante. Lain kali, boleh kan saya main kesini?" Willy membuka kaca mobilnya, untuk mengajak Ibu bicara.
"Oh, tentu." jawab Ibu ramah.

Aku membelalakan mata, tak percaya. Apa-apaan ini? Apa lagi yang akan diperbuat Willy? Aish... hidupku menjadi penuh dengan kejutan, setelah aku mengenal sosok Willy si popular boy ini.


-to be continued-

Saturday, July 21, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 2


"Day 2"

Aku masih ingat bagaimana tersiksanya aku kemarin, saat harus menjadi asistennya Willy si cowok populer itu. Dan ketika aku bangun tidur pagi ini, betapa menyedihkannya aku yang harus melewati 19 hari lagi bersamanya. Tunggu? Bersamanya? Bersama si cowok populer yang menyebalkan itu? Ini bukanlah sesuatu yang baik, bahkan sangat sangat buruk.

Rasanya, aku tidak ingin masuk sekolah hari ini. Tapi, apa kata Ayah dan Ibu nanti?

Mobil itu sudah terparkir indah di halaman rumahku. Milik siapa lagi, kalo bukan milik si popular boy itu. Sekarang aku sedang mengintipnya dari balik jendela. Memperhatikan semua tingkahnya.

"Nyebelin." aku mendengus kesal dari balik jendela.
"Dia pacar kamu?" tanya Ibu mengejutkanku.

Tiba-tiba saja, Ibu sudah berdiri dibelakangku. Sambil ikut mengintip Willy dari jendela ruang tamu. Aku benar-benar terkejut.

"Bukan kok, bu." jawabku cepat.
"Tapi, Ibu lihat sudah dua hari ini dia terus menjemput kamu." Ibu tersenyum jahil.
"Itu... aku dan dia sedang ada urusan bersama, Bu." jawabku sekenanya.
"Oh." Ibu hanya melirik sebentar padaku, lalu berjalan menuju dapur.
"Bu." panggilanku membuat Ibu menoleh. "Sakura berangkat dulu ya." pamitku pada Ibu.
"Iya." Ibu mengangguk pelan.

Aku segera berjalan menuju halaman depan, dimana si Willy menunggu.

"Lama banget sih? Dasar kura-kura." umpatnya.
"Lo nya aja yang datang kepagian." aku membela diri.
"Gak usah banyak alasan." Willy menatap tajam. "Ayo cepet masuk."

Willy menyuruhku untuk segera masuk kedalam mobilnya. Dan aku segera mengindahkan perintah itu. Aku segera masuk, dan duduk manis didalam mobilnya yang cukup nyaman ini.

"Pasti belum sarapan lagi." Aku meliriknya sekilas.
"Itu kotak bekalnya." Willy menunjuk kotak bekal yang ada di depanku. "Udah tau kan, apa yang mesti lo lakuin?"

Huh! Aku hanya mendengus kesal. Seperti hari kemarin, aku harus menyuapi Willy, sementara dia menyetir. Entah mengapa, aku jadi berpikir agar kami kecelakaan saja.

Ckiitttt...
Ban mobil Willy yang menggesek dengan aspal, terdengar begitu menyakiti telingaku. Ya, Willy baru saja hampir menabrak pembatas jalan. Entah apa yang dia pikirkan. Ataukah, kejadian tadi adalah akibat dari pemikiranku barusan yang meminta kami kecelakaan saja. Ah, aku menarik pemikiranku yang tadi. Aku belum ingin mati.

"Maaf." ujarnya pelan.

Aku menatap wajah Willy yang pucat. Nafasnya tersenggal, keringat mulai bercucuran diwajah tampannya. Apa? Tampan? Apa yang barusan kupikirkan?

"Hati-hati." aku mengambil tisu, lalu mengelap keringat di wajah Willy yang sama sekali tidak tampan itu.
"Lo gak apa-apa kan?" tanyanya sedikit cemas.
"Nggak kok." aku memberikan jawaban penenang. Karena sebenarnya, aku sedikit terkejut dengan kejadian tadi. Aku lumayan takut.
"Gue gak mau kesekolah hari ini." ujarnya tiba-tiba.
"Eh, kenapa?" tanyaku terkejut.
"Gue mau nenangin diri." Willy menatapku. "Gue gak terima kata penolakan. Inget, lo harus nurutin apapun yang gue mau."

Aish... kata-katanya barusan membuatku menjadi kesal. Awalnya, aku sedikit menaruh simpati padanya. Tapi sekarang, setelah sikap semaunya itu keluar, aku kembali membencinya.

Willy segera memacu kembali mobilnya menuju suatu tempat. Bisa ku tebak, ini adalah tempat aku berlatih mengendarai mobil kemarin. Jalanan aspal sepi, yang kiri kanannya di tumbuhi pohon-pohon rindang yang berjejer rapi. Mungkin, ini adalah tempat kesukaannya Willy. Mobilnya berhenti di tepi jalan. Di sebelahnya terdapat lapangan luas dengan rumput hijau yang menyejukan mata. Yang jelas, ini bukan lapangan bola.

Willy segera turun dari mobilnya. Dan aku mengikutinya. Saat sampai ditengah-tengah lapangan hijau ini, Willypun duduk. Beruntunglah, suasana pagi ini mendung, jadi Willy tak perlu kepanasan bila berada di lapangan hijau ini. Meskipun aku tau, sinar matahari pagi itu bagus.

Akupun menghampiri Willy. Tiba-tiba, dia membaringkan tubuhnya, menengadah kelangit yang mendung, lalu memejamkan matanya.

"Kura-kura." panggilnya sambil masih terpejam.
"Ya." sahutku.
"Ambilin gitar gue dong, di mobil." perintahnya.
"Oh, iya. Sebentar." tanpa perasaan kesal seperti biasanya, akupun segera melakukan apa yang diminta oleh Willy.

Menit berikutnya, aku datang dengan gitar yang dimaksud oleh Willy. Willypun segera mengambil gitar itu, dan memintaku ikut berbaring. Berbaring dengan posisi yang berlawanan dengannya. Kini, posisi kepala kami berhadapan. Dia hanya menatapku sekilas, lalu mulai bermain dengan gitarnya. Akupun menutup mataku. Aku mendengarkan setiap alunan nada yang keluar dari petikan gitar itu. Aku tak tahu ini lagu apa, tapi bisa kudengar, nadanya mengisyaratkan kesedihan. Aku membuka mataku perlahan, dan terkejut. Aku bisa melihat air mata yang mengalir dari tepi mata Willy, meski saat ini dia memejamkan matanya.

"Willy." aku berniat menghapus air mata itu. Tapi tiba-tiba aku tersentak. Tanganku yang hampir mencapai mata Willy, sekarang sedang di genggam erat olehnya.
"Gue gak ngasih perintah untuk ngehapus air mata gue." ujarnya dingin.

Akupun segera mengurungkan niatku, dan menarik kembali tanganku dari genggaman Willy. Tapi tiba-tiba, Willy menahannya. Willy tak ingin aku melepas genggamannya. Aku rasa, ini adalah perintah. Jadi, aku akan menurutinya. Mata kami sama-sama terpejam. Aku bisa merasakan genggaman tangan Willy yang hangat.

"Lagu itu." Willy mulai mengeluarkan suaranya. "Akan lebih indah, kalo aja lo gak memutuskan salah satu senar gitarnya."

Aku terkejut, dan langsung membuka mataku. Aku menatap Willy yang masih memejamkan matanya. Apa maksud ucapannya? Bukankah, sekarang senar yang putus itu sudah digantikan dengan yang baru?

"Maaf." aku berniat menarik tanganku dari genggaman Willy. Tapi lagi-lagi, dia menahannya.
"Gitar ini, pemberian almarhum pacar gue." Willy kembali bersuara, dengan mata terpejam. "Dan lagu itu, juga ciptaannya."

Aku menatap wajah Willy yang masih terpejam. Tiba-tiba saja, perasaan bersalah membayangi pikiranku. Ya, akulah yang salah. Aku telah memutuskan senar gitar itu.

"Dia meninggal, tiga bulan yang lalu." Willy melanjutkan ucapannya. "Dan itu, gara-gara gue yang nyetirnya ceroboh banget. Gue yang udah bikin dia meninggal."
"Will, itu gak bener." tukasku.
"Lo." Willy membuka matanya. "Senar itu gak pernah gue ganti, sejak tiga hari sebelum dia meninggal. Karena gue ingin tetap menjaga alunan nada yang sama. Sampai hari itu, lo merusak semuanya."
"Gue..."
"Maaf lo udah gak dibutuhin." Willy memotong kata-kataku.

Aku tak kuasa menahan air mata yang akan segera keluar. Aku ingin beranjak pergi dari tempat aku berbaring ini, tapi Willy menahan tanganku lagi.

"Willy." aku tak bisa lagi menahan air mataku. Kini air mata itu keluar begitu saja. "Gue tau, gue gak akan pernah bisa dapet maaf lo lagi. Meski gue jadi asisten lo selamanyapun."
"Sakura." Willy memperkuat genggaman tangannya. "Sekarang lo tau kan, lo udah melakukan kesalahan yang sangat besar."

Akupun terdiam. Wajah Willy tepat berada di hadapanku. Posisi kami masih berbaring seperti tadi.

"Tadi, gue juga hampir aja menyelakai lo." Willy menatapku lekat-lekat.

Aku langsung teringat kejadian mobil Willy yang hampir menabrak tadi. Sekarang aku mengerti, mengapa tadi wajah Willy begitu pucat.

"Bukankah, itu lebih adil buat gue?" sergahku tiba-tiba.
"Apa maksud lo?" Willy nampak terkejut dengan reaksiku.
"Lo bilang, kesalahan yang udah gue lakuin itu besar banget." aku tersenyum tipis. "Lo bisa ngebales gue, dengan menyelakai gue kayak tadi. Itu akan lebih adil buat gue."
"Lo ngomong apa sih?" Willy menatap wajahku. "Gue... gue gak pernah bermaksud kayak gitu. Gue masih waras dan gak bodoh untuk bunuh orang cuma gara-gara senar gitar."
"Tapi senar gitar itu berarti banget buat lo." aku masih menekan Willy.
"Tapi nyawa lo lebih berharga." Willy sedikit membentak. "Gue gak mau ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya."
"Willy...."
"Jangan mikir kayak gitu lagi. Lo cuma perlu ngelakuin semua yang gue mau selama 20 hari ini. Setelah itu, kita lupain semuanya." Willy kembali menatap kelangit.

Aku tersenyum menatapnya. Tanganku masih dalam genggaman Willy. Aku dan Willy sama-sama memejamkan mata. Lalu semua pikiran kami melayang entah kemana.

***

Disekolah, Lulu masih sibuk menekan tombol-tombol di handphone-nya. Disebelahnya, Lucky nampak bingung melihat ulah Lulu.

"Lo ngapain sih, kacamata?" tanya Lucky.
"Lo gak sadar ya? Hari ini tuh, Willy sama Sasa gak masuk." Lulu melirik kesal.
"Terus? Kenapa?" tanya Lucky dengan tampang tak berdosanya.
"Jangan-jangan, mereka bolos bareng." terka Lulu.
"Mungkin." ujar Lucky acuh. "Si Sakura itu kan lagi dapet hukuman dari Willy."
"Kasihan, Sasa." Lulu menatap lemas pada layar Handphone-nya.

Langit sudah tidak mendung lagi. Matahari mulai bersinar terik. Entah sudah berapa lama aku dan Willy dalam posisi seperti ini. Perlahan ku buka mataku. Baru kusadari, aku dan Willy sempat tertidur. Tapi kini, cuaca sudah tak bersahabat. Aku bisa melihat Willy yang masih terpejam. Tangankupun masih dalam genggamannya. Tanpa sadar, aku tersenyum lembut menatap wajahnya. Ah, ada apa ini?

Tak berapa lama, Willy mulai membuka matanya. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya, aku kembali memejamkan mataku.

"Panas." ujarnya pelan.

Willy melirik kearahku, lalu tersenyum.

"Woiii." Willy mendorong tubuhku. Aku terpaksa membuka mata.
"Kenapa?" tanyaku polos.
"Kita ketiduran." Willy segera bangun, lalu duduk. Dia melepas genggamannya padaku. Akupun ikut bangun dan duduk disampingnya.

Kami sama-sama diam. Tiba-tiba aku teringat dengan Handphone-ku. Aku segera berlari kemobil Willy, untuk mengambilnya. Willy yang melihatku berlari terburu-buru, ikut berlari mengikutiku.

Aku duduk di dalam mobil Willy, dan segera memeriksa Handphone-ku.

"20 missed call? 10 messages?" aku membelalak terkejut.
"Dari si kacamata?" terka Willy.
"Namanya Lucia." aku mengangguk pelan.
"Terserah." Willy tersenyum acuh.

Aku membuka semua pesan dari Lulu itu satu per satu. Dan semua pesan bertuliskan pertanyaan 'Kenapa lo gak masuk? Willy juga. Kalian lagi bareng ya?'

"Laper gak?" tanya Willy tiba-tiba.
"Lumayan." jawabku sekenanya.
"Kita makan dulu deh." Willy segera memacu mobilnya, meninggalkan tempat ini.

Setengah jam kemudian, aku dan Willy sudah berada di sebuah warung makan lesehan yang nyaman dengan pemandangan kebun teh yang hijau. Aku tak percaya, seorang Willy bisa tau tempat makan seperti ini. Aku pikir, dia hanya akan tau restoran-restoran mahal.

Aku mengikuti langkah Willy untuk masuk kedalam warung makan itu. Kami duduk di pojok, menghadap pada pemandangan kebun teh yang hijau itu. Disini sangat nyaman dan menyejukkan.

"Mau pesen apa?" tanya Willy padaku.
"Apa yah? Samaan sama lo aja deh." aku tersenyum tipis.
"Dasar!" Willy menatapku dingin. Kemudian dia menyebutkan pesanannya pada si pelayan.
"Gue ditraktir kan?" tanyaku hati-hati. Setelah pelayan itu pergi.
"Hmm, iya." Willy mengangguk acuh. Lalu menatapku tajam. "Kura-kura." panggilnya.
"Ya?" sahutku tanpa menoleh kearahnya. Aku sedang asyik melihat-lihat pemandangan.
"Soal omongan kita yang tadi...." Willy menghentikan ucapannya. Aku menatapnya. "Jangan kasih tau siapa-siapa ya." ucapnya polos.
"Oh, iya." aku mengangguk pelan. "Gue janji, gue akan ngelakuin setiap perintah lo dengan ikhlas. Gue harap, itu bisa sedikit menebus kesalahan gue."

Willy hanya tersenyum, lalu menatap kearah kebun teh. Aku menatap senyum itu dengan tatapan kagum. Willy, dia memang pantas jadi cowok paling populer disekolah. Dia bahkan seperti seseorang yang kehidupannya sangat susah untuk dijamah. Hari ini, aku melihat sisi lain dari seorang Willy.

***

"Day 3"

Hari ini, aku bangun sangat pagi. Entah kenapa, aku begitu bersemangat. Kemarin, setelah aku dan Willy makan siang di salah satu warung makan, Willy mengajakku untuk berlatih mengendarai mobil lagi. Dan aku rasa, sekarang aku sudah lumayan bisa.

Aku segera mandi, dan bersiap dengan semua perlengkapan sekolahku. Aku beranjak menuju ruang makan, untuk segera sarapan. Setelah sarapan, aku menunggu Willy untuk menjemputku. Tak lama kemudian, mobil Willy sudah datang. Aku segera menghampirinya.

"Tumben lo cepet." ejeknya.
"Itu bukannya bagus ya? Kan, lo jadi gak perlu nunggu." aku mengeluarkan senyum termanisku.
"Iya juga sih." Willy hanya tersenyum sekilas, lalu masuk kedalam mobilnya, diikuti olehku.

Saat sudah didalam mobil, Willy menatapku lagi.

"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Hari ini, lo yang nyetir." jawabnya enteng.
"Apa?" aku sedikit jantungan mendengar jawaban Willy. "Ta... tapi Will...."
"Lo udah lumayan bisa kok. Gimana kalo kita coba?" Willy menatap jahil.
"Tapi nanti, kalo...."
"Udah." Willy memotong kata-kataku. "Gue bakalan tetap ngebimbing lo kok. Percaya deh sama gue."

Aku menatap Willy ragu. Tapi detik kemudian, aku mengangguk yakin. Willy tersenyum meyakinkan, dan kami berganti letak duduk. Aku menarik nafas panjang, lalu mendengarkan semua intruksi Willy dengan seksama.

Sejauh ini, aku bisa mengatasi keramaian kota dengan mulus. Pandanganku tak pernah lepas menatap jalanan kota yang ramai. Dan kini, kami sudah tidak melewati tol lagi. Aku bisa sedikit tenang, sebentar lagi, kami akan menyampai sekolah. Willy memintaku untuk mempercepat laju mobilnya. Awalnya aku menolak, tapi Willy memaksa. Tentu saja, aku harus menurutinya. Aku mempercepat laju mobil ini. Namun ternyata, semua tak berjalan mulus. Aku belum bisa mengendalikan lajunya, jika terlalu cepat. Akhirnya, aku hampir menabrak pembatas jalan, seperti yang terjadi pada Willy kemarin. Beruntunglah, Willy segera mengalihkan setirnya kelain arah.

"Willy." wajahku mulai pucat.
"Gak apa-apa kok." Willy memelukku.

Mobilnya berhenti di tepi jalan. Aku masih berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan. Willy terus memelukku, mencoba menenangkan. Aku hanya diam. Lama kami tak bersuara. Dalam pelukan Willy, aku bisa merasakan detak jantungnya yang juga berdetak sangat cepat.

"Will, maaf." aku mulai menangis.
"Gue yang salah." Willy mengelus lembut rambutku.
"Kenapa?" aku menarik tubuhku dari dekapan Willy.
"Gue takut, lo berpikir kalo gue mau nyelakain lo lagi." Willy tertunduk.
"Gak gitu, Will. Inikan salah gue sendiri, yang gak hati-hati." aku meyakinkan Willy.
"Tapi lo kan emang belum terlalu bisa. Tapi gue malah maksa lo." Willy masih dalam perasaan bersalahnya. "Gue hampir menyelakai lo, Sa."
"Udahlah Will, lupain." aku menepuk bahu Willy lembut. "Yang terpenting sekarang, lo sama gue baik-baik aja."

Willy mulai bisa tersenyum lagi. Kali ini, Willylah yang memacu mobil sampai kesekolah. Kami hampir terlambat. Untunglah, berkat kuasa Willy di sekolah ini, kami bisa masuk.

"Lo apain pak satpamnya, tadi?" tanyaku saat aku dan Willy sedang dalam perjalanan menuju kelas.
"Bukan apa-apa kok." Willy tersenyum licik, sambil terus berjalan menuju kelas.

Begitu sampai kelas, Lulu langsung memelukku.

"Sasa, lo kemana aja? Gue kangen." ujar Lulu yang sepertinya agak berlebihan.
"Gue... biasalah." aku melirik pada Willy yang sudah duduk manis di bangkunya.
"Ceritain dong, sama gue." bisik Lulu.
"Iya, nanti gue ceritain." aku tersenyum tipis, lalu berjalan menuju bangkuku yang berada disebelah Willy.

Jam istirahat tiba. Aku menunggu perintah berikutnya dari Willy. Saat ini, kami masih berada didalam kelas.

"Gue mau latihan di ruang musik, bareng temen-temen gue." ujar Willy. "Jadi, jam istirahat ini, lo gue kasih waktu buat main-main sama si kacamata itu." Willy menunjuk pada Lulu.
"Yang bener? Gue gak salah denger kan?" ujarku tak percaya.
"Lo mau gue berubah pikiran?" tanya Willy dingin.
"Makasih." aku langsung menggandeng tangan Lulu, dan pergi meninggalkan kelas.

Willy hanya menggelengkan kepalanya, lalu menatap ketiga sahabatnya.

"Ada yang menarik dari si Sakura itu?" tanya Lucky pada Willy.
"Menarik buat dikerjain." Willy tersenyum licik.

Detik berikutnya, mereka berempat juga segera meninggalkan ruang kelas.

Aku dan Lulu duduk disalah satu meja kantin. Kami memesan makanan.

"Sasa, ayo cerita." pinta Lulu dengan nada manja. Itu membuatku tertawa geli.

Aku menarik nafas panjang, lalu mulai menceritakan semua hal yang aku dan Willy alami kemarin. Kecuali tentang pembicaraan mengenai lagu dan almarhum pacarnya Willy itu. Aku terdiam dan mulai kembali memikirkan tentang senar gitar itu.

"Sasa." panggilan Lulu membuyarkan lamunanku.
"Eh. Ya, Lu?" aku menatap Lulu.
"Terus apa lagi yang kalian lakuin?" tanya Lulu.
"Gak ada lagi. Cuma itu aja." aku tersenyum pada Lulu. "Lo sendiri?" aku balik bertanya pada Lulu.
"Apa?" tanya Lulu polos.
"Gimana, rasanya duduk semeja sama salah satu anak populer kayak si Lucky?" tanyaku menggoda Lulu.
"Ah, gue seneng banget." Lulu sedikit malu. "Gue gak pernah ngebayangin ini sebelumnya. Berkat lo, gue jadi bisa deket sama salah satu anak populer disekolah ini. Yah, meskipun lo lebih beruntung dari pada gue. Lo deket sama anak paling populer."
"Biasa aja." aku menyeruput es jeruk dihadapanku.
"Tapi, Lucky sedikit jutek dan gak nganggep gue gitu, Sa." Lulu tampak murung.
"Sabar aja. Yang penting, lo udah pernah sekedar ngobrol sama dia kan?" aku mengusap lengan Lulu.
"Iya sih. Itupun, cuma ngomongin lo sama Willy." Lulu menatapku.
"Tetep semangat deh, Lu." hanya itu yang bisa kukatakan untuk Lulu.

Selesai makan dikantin, aku mengajak Lulu untuk melihat Willy dan teman-temannya latihan band. Tapi seperti sebelumnya, Lulu menghalangiku.

"Kenapa sih, gue kan cuma pengen liat. Gue rasa, itu bukan masalah." aku melangkahkan kakiku kedepan ruang musik. Tapi lagi-lagi, Lulu menghadangku.
"Lo sadar gak sih, kenapa hari ini Willy gak memanfaatkan kuasanya buat nyuruh-nyuruh lo, dan malah milih latihan band sama temen-temennya." Lulu menatapku.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Itu karena, dia gak mau latihannya hari ini diganggu." Lulu mengangguk, meyakinkanku.
"Gitu ya?" aku malirik pintu ruang musik itu sekilas.

Tiba-tiba, pintu itu terbuka. Aku dan Lulu terkejut. Willy dan ketiga temannya keluar dari ruang musik itu.

"Lo?" Willy menunjukku. "Akh, kebetulan lo ada disini. Tolong beliin gue makanan dong dikantin, gue laper."
"Oh, oke." aku segera menggandeng tangan Lulu, untuk mengajaknya pergi bersamaku.
"Eh tunggu." Willy menahan langkahku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gak usah deh, gue ikut lo kekantin aja. Biar gue makan disana." Willy menarik tanganku. Dan melepas gandenganku pada Lulu.
"Loh, Lulu?" aku menoleh pada Lulu yang masih terdiam.
"Biarin dia sama temen-temen gue aja." Willy tersenyum.

Aku dan Willypun pergi kekantin. Dan aku langsung memesankan makanan untuknya. Begitu makanannya diantar, Willy segera memakannya.

"Lo gak makan?" Willy melirikku.
"Udah, tadi." aku tersenyum tipis.
"Kebetulan." ujar Willy tiba-tiba. Dia langsung menyodorkan mangkok baksonya padaku. "Suapin gue." perintahnya.
"Huh!" aku mendengus kesal, tapi menuruti saja maunya anak populer ini.

Akupun mulai menyuapi Willy. Dan seketika itu juga, aku merasakan pandangan-pandangan membunuh dari anak-anak yang berada dikantin. Sebagian dari mereka berbisik-bisik, yang aku yakini adalah menghujatku. Aku melirik mereka sekilas.

"Tenang aja. Mereka gak akan berani ganggu lo." ujar Willy yang ternyata menyadari ketakutanku. "Selama lo ada disini bareng gue. Mereka gak akan bisa nyentuh lo sedikitpun." Willy tersenyum lembut.

Aku membalas senyumnya, yang membuatku sedikit tenang.

***

"Day 4"

Seperti biasa, aku menunggu Willy untuk menjemputku di rumah. Tak berapa lama kemudian, datanglah sebuah mobil. Tapi seperti yang ku tau, ini bukanlah mobilnya Willy. Lalu, mobil siapa?

Mobil tak dikenal itu, berhenti dihadapanku. Seseorang yang memakai jas berwarna hitam, juga berpakaian rapi seperti orang kantoran, keluar dari mobil itu. Bisa kutebak, mungkin umurnya sekitar 30 tahunan. Bapak itu menghampiri pintu belakang mobil, lalu membukanya.

"Silahkan masuk." ujarnya padaku.

-to be continued-

Monday, July 16, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 1


Hari pertama masuk sekolah. Ditahun ajaran baru dan sekolah baru. Namaku Sakura. Orang Jepang? Oh No, bukan. Aku asli orang Indonesia, dan lahir di Indonesia. Tapi ibuku pecinta komik Jepang. Karena itulah, aku diberi nama Sakura. Tahun lalu, aku masih bersekolah sebagai siswa kelas satu SMA di salah satu SMA di kota Jakarta. Tapi tahun ini, aku terpaksa memulai kehidupan baruku sebagai siswa kelas dua SMA di kota Bandung. Alasannya? Ayahku membuka cabang restorannya sampai ke kota Bandung. Dari situlah, ayah memutuskan untuk menetap di Bandung. Restoran pertama di Jakarta, akan diurus oleh orang kepercayaan ayah.

"Sakura." Ibu memanggilku.
"Ya, bu." sahutku.
"Ayo sarapan." Ibu berteriak dari dapur.
"Iya." aku menjawab dari kamar.

Tak lama, aku sudah duduk manis di meja makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan pagi untukku. Dan dengan segera kumakan.

***

Aku masuk, melewati gerbang sekolah baruku. Sekolah yang sangat luas dan bersih. Banyak siswa yang berjalan menuju kelas masing-masing. Dan yang kulihat, mereka semua sama sekali tak bersahabat. Mungkin belum.

Tiba-tiba, seseorang menabrakku. Dia gadis manis berkacamata. Akibat menabrakku, buku-buku yang dibawanya jatuh.

"Eh, maaf." ujarnya.
"Iya, gak apa-apa." aku tersenyum sambil membantunya memunguti buku-buku yang jatuh.

Dia hanya diam tertunduk. Dan aku berniat mengajaknya berkenalan. Mungkin saja, kami bisa menjadi teman.

"Nama lo siapa?" tanyaku.
"Nama gue Lucia. Panggil aja Lulu." dia tersenyum.
"Kok nama panggilannya Lulu?" tanyaku bingung.
"Biar simple aja." dia tersenyum lagi. "Lagian, meski nama gue udah sesimple itu, tetep gak ada yang pernah ingat nama gue."
"Maksudnya?" aku bertanya lagi. Anak ini, sedikit aneh.
"Yah, gue kurang terkenal disekolah ini." Lulu tertunduk lesu. "Anak-anak lebih milih manggil gue 'kacamata' ketimbang nama asli gue, yang sebenernya gak pernah mereka tau."
"Ohhh...." aku mengangguk pertanda mengerti.

Mungkin maksudnya, dia gak populer disekolah.

"Eh, maaf. Tapi, nama lo siapa yah?" tanyanya tiba-tiba. "Gue kenal sama semua siswa disekolah ini, tapi kok, gue gak kenal elo yah? Apa kita sama? Sama-sama gak dikenal."
"Mungkin." jawabku santai. "Karena ini adalah hari pertama gue menjadi siswa disekolah ini. Itu artinya, gue lebih gak dikenal dibandingkan elo."
"Oh, jadi lo anak baru?" Lulu terkejut.
"Yup. Nama gue Sakura." aku memperkenalkan diri.
"Sakura? Kok kayak nama bunga yah?" Lulu mengingat-ingat.
"Iya, bunga sakura. Yang ada di Jepang itu loh." aku tersenyum tipis.
"Wah, nama lo keren." puji Lulu. "Gimana biar simple, gue panggil lo Sasa aja."
"Hah! Boleh deh." aku megangguk paksa.

Berkat berkenalan dengan Lulu, aku jadi lebih mudah menemukan ruangan kepala sekolah. Dan membawaku pada sebuah kelas. Dimana selama satu tahun, aku akan mengahabiskan waktuku untuk belajar disana.

Ternyata. Aku sekelas dengan Lulu. Lulu sangat senang, dan memintaku untuk duduk semeja bersamanya. Akupun mengiyakan.

"Sa, lo mesti tau. Kita tuh beruntung banget bisa masuk kekelas ini." ujar Lulu bersemangat.
"Kenapa gitu?" tanyaku bingung.
"Karena, dikelas inilah semua anak-anak populer sekolah berada." Lulu makin bersemangat.
"Oh, gitu yah!" ujarku sekenanya.

Dan Lulu mulai menceritakan satu per satu anak dikelas ini. Benar saja, mereka semua populer disekolah ini. Ada kapten basket. Ada anak-anak basket. Ada siswa paling pintar. Ada siswa paling cantik, dan paling ganteng. Pokoknya semua siswa yang berprestasi dibidangnya masing-masing, tumplek ada dikelas ini. Dan tentunya, mereka semua populer. Terutama yang satu ini. Cowok yang duduk di belakangku dan Lulu.

Namanya Willy. Lulu bilang, dia mempersimple nama si Willy ini dengan panggilan Wilwil. Tentu aja, yang manggil kayak gitu cuma Lulu. Itupun, gak pernah dianggap sama si Willy. Willy ya Willy. Mana mau dipanggil Wilwil. Tapi Lulu selalu bangga dengan panggilannya untuk si Willy itu.

Lulu bilang lagi, Willy ini adalah anak paling populer disekolah. Dia terpopuler nomer satu.

"Emangnya, apa yang bikin dia jadi yang paling populer?" tanyaku penasaran.
"Karena dia keren, cakep, pinter, tajir, jago main basket, jago main gitar, jago nyanyi...."

Bla bla bla. Lulu ngomongin si Willy dari A sampai Z. Jangan ditanya nasibnya kupingku. Panasss banget!

"Kok lo bisa tau sebanyak itu sih, Lu?" tanyaku.
"Soalnya, gue ngefans sama dia." jawab Lulu dengan bangganya. "Tapi gak cuma dia sih, gue ngefans sama seluruh anak-anak populer disekolah ini."
"Lo lebih mirip gak punya kerjaan deh, Lu. Nyari tau soal mereka sampe segitunya." aku tak habis pikir.
"Yah, seenggaknya, itu bisa mengobati rasa sedih gue yang kurang populer ini." Lulu tertunduk lesu.
"Sabar ya, Lu. Sekolah kan bukan buat jadi anak populer, tapi buat jadi anak pandai." aku menenangkan Lulu.

***

Jam istirahat tiba. Lulu mengajakku berkeliling sekolah. Dia menunjukkan semua sisi sekolah yang keren ini. Meski kurang populer, tapi kalo ditanya tentang segala hal yang ada disekolah ini, Lulu lah yang paling tau.

Dari semua tempat yang Lulu tunjukkan padaku, aku tertarik dengan ruang musik. Dan aku mengajak Lulu masuk kedalamnya.

"Eh, jangan Sa." Lulu melarangku.
"Kenapa?" aku tetap masuk, meski Lulu sudah melarang.

Ketika masuk, aku terkejut. Sudah ada beberapa orang yang berada disana. Tepatnya ada empat orang. Mereka semua sedang memainkan alat-alat musik, juga menyanyi. Dan permainan mereka semua terhenti, karena kedatanganku. Lulu segera menarik tanganku, untuk segera keluar. Tapi aku tidak mau.

"Eh kacamata!" salah seorang menunjukkan panggilan itu kepada Lulu.
"Maaf, Lucky." Lulu tertunduk dan terus menarikku untuk keluar. "Ayo, Sasa."
"Tunggu!" seseorang yang ternyata Willy itu, berbicara.
"Kita udah mau keluar kok, Wil." ujar Lulu sedikit takut.
"Kata siapa?" aku melepas pegangan Lulu. "Orang gue masih mau disini kok."
"Mau ngapain lo disini?" seseorang lagi berbicara.
"Karena ini ruang musik, ya berarti gue mau main musiklah." jawabku santai.
"Sasa." Lulu berbisik padaku. "Ini tuh jam latihannya anak-anak Winter. Kalo mereka lagi latihan, gak boleh ada satu orangpun yang masuk ruang musik."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pokoknya, kalo lo ngelanggar, maka lo bakal dapet masalah." Lulu menatapku takut.
"Lo bilang, tadi lo mau main musik. Emangnya bisa?" tanya seseorang yang lain dari empat orang cowok yang ada di ruang musik ini.
"Gue bisa gitar." jawabku.
"Lo siapa sih?" tanya Willy.
"Gue anak baru. Kita semua sekelas kok." jawabku.
"Oh ya? Kok gue gak tau." Willy tersenyum licik.

Aaarrggghh.. emosi banget, ngomong sama makhluk yang bernama Willy ini.

"Udah yuk, Sa. Kita keluar." Lulu menarik tanganku lagi.
"Tunggu." Willy menahan langkahku dan Lulu.
"Katanya, lo bisa main gitar." Willy menyodorkan gitarnya padaku. "Mainin satu lagu dong, gue mau denger."

Aku diam, dan berfikir sebentar. Lulu menatapku cemas.

"Oke." ujarku akhirnya.

Aku mengambil gitar itu, lalu memainkannya. Mereka semua mendengarkan permainanku, termasuk Lulu. Dia seperti tidak percaya, aku bisa memainkannya dengan sebaik ini. Tapi tiba-tiba, permainan gitarku terhenti.

"Sasa." Lulu menutup mulutnya.

Willy dan ketiga temannya menatapku sinis. Salah satu senar gitarnya putus. Dan gitar itu adalah milik Willy. Lebih tepatnya, adalah gitar kesayangan Willy.

"Lo..." Willy menunjukku, dan merampas gitarnya.
"Sorry, bakal gue ganti kok." ujarku santai.
"Lo pikir, lo siapa?" bentak Willy kasar. "Lo udah ngerusak milik gue, dan bisa seenaknya aja bilang mau ganti."
"Terus, gue mesti gimana dong?" aku mulai emosi. "Senarnya kan putus, dan sebagai orang yang menyebabkannya, gue bersedia buat ganti. Masalahnya apa?"

Willy kesal, lalu pergi meninggalkan ruang musik, diikuti oleh teman-temannya. Aku masih terdiam dan tak mengerti. Tapi aku sedikit merasa bersalah. Lulu segera menghampiriku.

"Sasa. Gue rasa, lo dalam masalah besar." Lulu memelukku. "Willy tuh gak suka kalo ada orang yang ngerusak barang milik dia. Dan terlalu gampang bilang pengen ganti."
"Maunya dia apa sih?" ujarku kesal.

Lulu mengajakku untuk kembali kekelas. Dan sepanjang perjalanan, seluruh siswa menatap sinis padaku.

"Ada apa sih?" tanyaku bingung.
"Sa, ini pasti karena masalah lo sama Willy." terka Lulu. "Lo tau sendiri kan, Willy itu cowok paling populer disekolah. Wajar aja kalo semua hal yang berhubungan sama dia, bisa langsung diketahuin sama satu sekolahan."
"Ih, seleb aja gak gitu-gitu banget." komentarku sinis.

Tiba-tiba, seorang teman Willy yang tadi ada di ruang musik, datang menghampiriku dan Lulu. Namanya adalah Lucky.

"Lo." Lucky menunjukku. "Ikut gue!"

Lucky menarik paksa tanganku. Lulu hanya diam, tak mampu berbuat apa-apa.

"Apa-apaan sih? Lepasin gak!" ujarku kesal. "Gue mau dibawa kemana?"
"Willy mau ketemu sama lo." jawab Lucky.

Aku dibawa ke ruang kelas. Disana, Willy sudah duduk tenang. Ketiga teman Willy menutup pintu kelas, meninggalkanku hanya bersama Willy. Anak-anak yang lain, berusaha mengintip dari jendela kelas, termasuk Lulu.

"Gue minta maaf, soal gitar lo." ujarku ragu. "Gue bakal tanggung jawab kok. Kalo lo gak mau diganti, lo maunya apa?"
"Gue mau, lo tanggung jawabnya dengan cara nurutin semua kemauan gue." Willy tersenyum licik.
"Maksud lo?" tanyaku bingung.
"Selama dua puluh hari, lo harus terus berada disamping gue. Ngelakuin apapun yang gue suruh." jawab Willy.
"Maksud lo, gue mesti jadi pembantu lo, gitu?" aku terbelalak.
"Itu terlalu kasar, gue gak bakal memperlakukan lo sebagai pembantu kok. Tapi sebagai asisten gue." Willy tertawa puas. "Itupun, kalo lo emang orang yang bertanggung jawab."
"Cuma dua puluh hari kan?" tanyaku ragu.
"Iya. Dua puluh hari." jawab Willy. "Hari kedua puluh, bertepatan dengan hari ulang tahun gue. Nanti gue bakal kasih tugas terakhir buat lo, dihari itu."

Aku masih berpikir, sebelum memutuskan.

"Gimana?" tanya Willy.
"Oke." jawabku mantap.

Willy tersenyum puas. Dia terlihat sangat senang mendengar jawabanku. Aku pasrah, dari pada aku harus dibilang gak bertanggung jawab. Dua puluh hari, rasanya tak terlalu sulit.

"Jadi, siapa nama lo?" tanya Willy lagi.
"Nama gue, Sakura." jawabku.
"Sakura." Willy berpikir sebentar. "Oke. Gue bakal panggil lo kura-kura. Itu panggilan yang paling bagus buat asisten gue."
"Apa?" aku menatap kesal.
"Gue bakal mulai buat nyuruh-nyuruh lo, besok." ujar Willy. "Siap-siap buat dua puluh hari yang gak akan pernah lo lupain seumur hidup lo."

Setelah berbicara seperti itu, Willypun keluar lebih dulu meninggalkan kelas. Aku sedikit heran pada sekolah ini. Apa semua muridnya suka mengganti-ganti nama orang? Apa semua muridnya terobsesi untuk jadi siswa paling populer, ketimbang pinter? Apa semua siswanya suka semau sendiri? Keputusan untuk memilih sekolah ini, mungkin sedikit keliru. Arrgghhh...

Lulu langsung menghampiriku, tak lama setelah Willy dan ketiga temannya meninggalkan kelas.

"Sa, lo gak apa-apa kan?" tanya Lulu cemas.
"Gak apa-apa kok, Lu." aku memaksakan senyum.
"Willy ngomong apa?" tanya Lulu penasaran.
"Nanti gue ceritain." aku mengajak Lulu duduk, dan mulai bercerita.

"Apa?" ekspresi Lulu mirip seperti ekspresi para pemain sinetron kalo lagi kaget dan bilang kata 'Apa?'
"Nyebelin banget kan?" aku menepuk bahu Lulu yang masih terkaget-kaget.
"Ya ampun, Sasa." Lulu langsung memelukku. "Lo beruntung banget, bisa jadi asistennya Willy."
"Hah! Lo sakit, Lu?" aku memegang jidat Lulu. "Ini tuh hal yang paling buruk, yang pernah terjadi dalam hidup gue. Ini bukan keberuntungan, tapi kesialan."
"Sasa." Lulu benar-benar menunjukkan rasa bahagianya. "Sebentar lagi, lo bakalan jadi cewek yang populer, berkat peran lo sebagai asistennya Willy."
"Dan lo pikir, gue bakal seneng jadi cewek populer karena peran gue sebagai asisten?" aku bergidik. "Nggak akan, Lulu."

***

"Day 1"

Willy menjemputku dirumah, dengan mobilnya. Aku sangat terkejut.
"Lo?" aku tak bisa menutupi keterkejutanku.
"Buruan naik, kura-kura." bentaknya.
"Kok lo bisa tau rumah gue?" tanyaku bingung.
"Apa sih, yang gak bisa diketahuin sama cowok paling populer disekolah." ujar Willy sombong. "Buruan naik. Ini hari pertama lo jadi asisten gue."

Aku menurut, dan langsung naik kemobil Willy. Aku duduk, di kursi belakang.

"Eh kura-kura. Lo pikir, gue supir lo?" bentaknya lagi.
"Kenapa lagi sih?" aku benar-benar bingung.
"Ngapain lo duduk di belakang. Duduk didepan." tegasnya.

Aku semakin kesal, tapi menurut saja dengan apa yang dikatakannya. Aku pindah ke tempat duduk sebelah Willy.

"Lo yang nyetir!" perintahnya.
"Hah! Tapi... gue gak bisa nyetir." ujarku kelabakan.
"Sial." Willy nampak kesal. "Oke, hari ini biar gue yang nyetir. Dan nanti sore, lo bakal gue ajarin nyetir. Biar besok-besok, lo yang nyetirin gue."
"Hah! Tapi....."
"Gak ada tapi-tapian." tegas Willy. "Gue belum sarapan, gara-gara harus buru-buru berangkat buat nyari alamat rumah lo."
"Terus?" tanyaku sinis.
"Itu." Willy menunjuk pada kotak bekal yang ada di sampingku. "Disitu udah ada roti isi kesukaan gue. Suapin gue, sambil gue nyetir."
"Tapi, itukan bahaya. Kalo lo nabrak, gimana?" ujarku cemas.
"Ya kita mati bareng-bareng." Willy tersenyum licik.

Dia segera memacu mobilnya meninggalkan halaman rumahku. Sepanjang perjalanan, aku terus menyuapinya roti.

Sesampainya disekolah, aku harus membawa tas, bola basket, dan gitar milik Willy, sampai kekelas.

Dikelas, Lulu sudah menyambutku. Aku menaruh barang-barang Willy dimejanya, dan berniat mengahampiri Lulu sambil juga menaruh tasku dimeja yang sama dengan Lulu. Tapi tiba-tiba, Willy menahanku.

"Mulai hari ini, lo duduk satu meja sama gue." ujar Willy padaku. Lulu sangat terkejut.
"Tapi, lo kan udah punya temen semeja." ujarku ragu.
"Nanti, si Lucky bakalan duduk sama si kacamata ini." Willy menunjuk Lulu.
"Namanya Lulu." tegasku, agar Willy tak semena-mena lagi memanggil Lulu.
"Nama itu terlalu bagus buat dia. Dia lebih pantes dipanggil kacamata." Willy mengambil tasku dari meja Lulu, dan menaruh dimejanya.

Aku mulai tak tahan. Makhluk Tuhan yang bernama Willy ini benar-benar menyebalkan. Hari ini, aku harus menerima berbagai macam cacian dari para fansnya Willy, karena harus menjauhkan mereka dari Willy. Aku bahkan harus mengelap keringat Willy, ketika dia selesai latihan basket. Aku juga harus membeli minuman dikantin untuknya. Dan sebagainya.

Aku benar-benar merasa sial. Asisten lainpun tak begini-begini sekali. Aku tak dibiarkan untuk sekedar mengobrol dengan Lulu.

"Sabar ya." Lulu tersenyum sambil berbisik dari kejauhan. Memintaku untuk sabar.

Entahlah, baru sehari saja, aku sudah sangat gila dan capek. Sementara itu, aku harus melewati 19 hari lagi. Ini benar-benar buruk.

***

Hari pertama ini belum selesai. Sepulang sekolah, aku harus ikut Willy untuk berlatih menyetir mobil. Willy sendiri yang akan membimbingku. Kami pergi kejalanan yang sedikit sepi, untukku belajar menyetir mobil.

Hingga malam datang, aku masih belum bisa.

"Payah banget sih lo." bentaknya.
"Ya makanya jangan suruh gue." aku sangat lelah.
"Ya udah, kita lanjutin besok. Pokoknya, lo harus bisa nyetir." Willy juga mulai lelah.
"Gue capek, gue udah boleh pulang kan?" aku menatap, memohon pada Willy.
"Kita makan dulu." Willy menarikku untuk masuk kedalam mobil.

Kami menuju sebuah restoran, dan makan malam disana. Ini adalah bagian paling baik dari hari ini. Setidaknya, aku tak perlu merasakan kesialanku, selama sedang makan malam ini.

Selesai makan malam, barulah Willy mengantarku pulang.

"Makasih ya." ujarku.
"Kok jadi lo yang bilang makasih?" tanyanya sinis.
"Karena gue tau, lo gak bakalan ngomong gitu (makasih) ke gue, meski hari ini gue udah berjuang banyak buat lo." jawabku tak kalah sinis. "Lagian, tadi lo udah traktir gue makan malam. Jadi gue mau bilang makasih."
"Oke." ujarnya tak ikhlas. "Sampai ketemu besok. Tidur yang nyaman, biar lo siap buat hari esok yang lebih menyenangkan. Bye, kura-kura."

Willypun pergi. Aku hanya bergumam kesal. Hari ini saja, aku sudah dibuat gila olehnya, apalagi besok? Oh God, help me!

-to be continued-