Saturday, July 21, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 2


"Day 2"

Aku masih ingat bagaimana tersiksanya aku kemarin, saat harus menjadi asistennya Willy si cowok populer itu. Dan ketika aku bangun tidur pagi ini, betapa menyedihkannya aku yang harus melewati 19 hari lagi bersamanya. Tunggu? Bersamanya? Bersama si cowok populer yang menyebalkan itu? Ini bukanlah sesuatu yang baik, bahkan sangat sangat buruk.

Rasanya, aku tidak ingin masuk sekolah hari ini. Tapi, apa kata Ayah dan Ibu nanti?

Mobil itu sudah terparkir indah di halaman rumahku. Milik siapa lagi, kalo bukan milik si popular boy itu. Sekarang aku sedang mengintipnya dari balik jendela. Memperhatikan semua tingkahnya.

"Nyebelin." aku mendengus kesal dari balik jendela.
"Dia pacar kamu?" tanya Ibu mengejutkanku.

Tiba-tiba saja, Ibu sudah berdiri dibelakangku. Sambil ikut mengintip Willy dari jendela ruang tamu. Aku benar-benar terkejut.

"Bukan kok, bu." jawabku cepat.
"Tapi, Ibu lihat sudah dua hari ini dia terus menjemput kamu." Ibu tersenyum jahil.
"Itu... aku dan dia sedang ada urusan bersama, Bu." jawabku sekenanya.
"Oh." Ibu hanya melirik sebentar padaku, lalu berjalan menuju dapur.
"Bu." panggilanku membuat Ibu menoleh. "Sakura berangkat dulu ya." pamitku pada Ibu.
"Iya." Ibu mengangguk pelan.

Aku segera berjalan menuju halaman depan, dimana si Willy menunggu.

"Lama banget sih? Dasar kura-kura." umpatnya.
"Lo nya aja yang datang kepagian." aku membela diri.
"Gak usah banyak alasan." Willy menatap tajam. "Ayo cepet masuk."

Willy menyuruhku untuk segera masuk kedalam mobilnya. Dan aku segera mengindahkan perintah itu. Aku segera masuk, dan duduk manis didalam mobilnya yang cukup nyaman ini.

"Pasti belum sarapan lagi." Aku meliriknya sekilas.
"Itu kotak bekalnya." Willy menunjuk kotak bekal yang ada di depanku. "Udah tau kan, apa yang mesti lo lakuin?"

Huh! Aku hanya mendengus kesal. Seperti hari kemarin, aku harus menyuapi Willy, sementara dia menyetir. Entah mengapa, aku jadi berpikir agar kami kecelakaan saja.

Ckiitttt...
Ban mobil Willy yang menggesek dengan aspal, terdengar begitu menyakiti telingaku. Ya, Willy baru saja hampir menabrak pembatas jalan. Entah apa yang dia pikirkan. Ataukah, kejadian tadi adalah akibat dari pemikiranku barusan yang meminta kami kecelakaan saja. Ah, aku menarik pemikiranku yang tadi. Aku belum ingin mati.

"Maaf." ujarnya pelan.

Aku menatap wajah Willy yang pucat. Nafasnya tersenggal, keringat mulai bercucuran diwajah tampannya. Apa? Tampan? Apa yang barusan kupikirkan?

"Hati-hati." aku mengambil tisu, lalu mengelap keringat di wajah Willy yang sama sekali tidak tampan itu.
"Lo gak apa-apa kan?" tanyanya sedikit cemas.
"Nggak kok." aku memberikan jawaban penenang. Karena sebenarnya, aku sedikit terkejut dengan kejadian tadi. Aku lumayan takut.
"Gue gak mau kesekolah hari ini." ujarnya tiba-tiba.
"Eh, kenapa?" tanyaku terkejut.
"Gue mau nenangin diri." Willy menatapku. "Gue gak terima kata penolakan. Inget, lo harus nurutin apapun yang gue mau."

Aish... kata-katanya barusan membuatku menjadi kesal. Awalnya, aku sedikit menaruh simpati padanya. Tapi sekarang, setelah sikap semaunya itu keluar, aku kembali membencinya.

Willy segera memacu kembali mobilnya menuju suatu tempat. Bisa ku tebak, ini adalah tempat aku berlatih mengendarai mobil kemarin. Jalanan aspal sepi, yang kiri kanannya di tumbuhi pohon-pohon rindang yang berjejer rapi. Mungkin, ini adalah tempat kesukaannya Willy. Mobilnya berhenti di tepi jalan. Di sebelahnya terdapat lapangan luas dengan rumput hijau yang menyejukan mata. Yang jelas, ini bukan lapangan bola.

Willy segera turun dari mobilnya. Dan aku mengikutinya. Saat sampai ditengah-tengah lapangan hijau ini, Willypun duduk. Beruntunglah, suasana pagi ini mendung, jadi Willy tak perlu kepanasan bila berada di lapangan hijau ini. Meskipun aku tau, sinar matahari pagi itu bagus.

Akupun menghampiri Willy. Tiba-tiba, dia membaringkan tubuhnya, menengadah kelangit yang mendung, lalu memejamkan matanya.

"Kura-kura." panggilnya sambil masih terpejam.
"Ya." sahutku.
"Ambilin gitar gue dong, di mobil." perintahnya.
"Oh, iya. Sebentar." tanpa perasaan kesal seperti biasanya, akupun segera melakukan apa yang diminta oleh Willy.

Menit berikutnya, aku datang dengan gitar yang dimaksud oleh Willy. Willypun segera mengambil gitar itu, dan memintaku ikut berbaring. Berbaring dengan posisi yang berlawanan dengannya. Kini, posisi kepala kami berhadapan. Dia hanya menatapku sekilas, lalu mulai bermain dengan gitarnya. Akupun menutup mataku. Aku mendengarkan setiap alunan nada yang keluar dari petikan gitar itu. Aku tak tahu ini lagu apa, tapi bisa kudengar, nadanya mengisyaratkan kesedihan. Aku membuka mataku perlahan, dan terkejut. Aku bisa melihat air mata yang mengalir dari tepi mata Willy, meski saat ini dia memejamkan matanya.

"Willy." aku berniat menghapus air mata itu. Tapi tiba-tiba aku tersentak. Tanganku yang hampir mencapai mata Willy, sekarang sedang di genggam erat olehnya.
"Gue gak ngasih perintah untuk ngehapus air mata gue." ujarnya dingin.

Akupun segera mengurungkan niatku, dan menarik kembali tanganku dari genggaman Willy. Tapi tiba-tiba, Willy menahannya. Willy tak ingin aku melepas genggamannya. Aku rasa, ini adalah perintah. Jadi, aku akan menurutinya. Mata kami sama-sama terpejam. Aku bisa merasakan genggaman tangan Willy yang hangat.

"Lagu itu." Willy mulai mengeluarkan suaranya. "Akan lebih indah, kalo aja lo gak memutuskan salah satu senar gitarnya."

Aku terkejut, dan langsung membuka mataku. Aku menatap Willy yang masih memejamkan matanya. Apa maksud ucapannya? Bukankah, sekarang senar yang putus itu sudah digantikan dengan yang baru?

"Maaf." aku berniat menarik tanganku dari genggaman Willy. Tapi lagi-lagi, dia menahannya.
"Gitar ini, pemberian almarhum pacar gue." Willy kembali bersuara, dengan mata terpejam. "Dan lagu itu, juga ciptaannya."

Aku menatap wajah Willy yang masih terpejam. Tiba-tiba saja, perasaan bersalah membayangi pikiranku. Ya, akulah yang salah. Aku telah memutuskan senar gitar itu.

"Dia meninggal, tiga bulan yang lalu." Willy melanjutkan ucapannya. "Dan itu, gara-gara gue yang nyetirnya ceroboh banget. Gue yang udah bikin dia meninggal."
"Will, itu gak bener." tukasku.
"Lo." Willy membuka matanya. "Senar itu gak pernah gue ganti, sejak tiga hari sebelum dia meninggal. Karena gue ingin tetap menjaga alunan nada yang sama. Sampai hari itu, lo merusak semuanya."
"Gue..."
"Maaf lo udah gak dibutuhin." Willy memotong kata-kataku.

Aku tak kuasa menahan air mata yang akan segera keluar. Aku ingin beranjak pergi dari tempat aku berbaring ini, tapi Willy menahan tanganku lagi.

"Willy." aku tak bisa lagi menahan air mataku. Kini air mata itu keluar begitu saja. "Gue tau, gue gak akan pernah bisa dapet maaf lo lagi. Meski gue jadi asisten lo selamanyapun."
"Sakura." Willy memperkuat genggaman tangannya. "Sekarang lo tau kan, lo udah melakukan kesalahan yang sangat besar."

Akupun terdiam. Wajah Willy tepat berada di hadapanku. Posisi kami masih berbaring seperti tadi.

"Tadi, gue juga hampir aja menyelakai lo." Willy menatapku lekat-lekat.

Aku langsung teringat kejadian mobil Willy yang hampir menabrak tadi. Sekarang aku mengerti, mengapa tadi wajah Willy begitu pucat.

"Bukankah, itu lebih adil buat gue?" sergahku tiba-tiba.
"Apa maksud lo?" Willy nampak terkejut dengan reaksiku.
"Lo bilang, kesalahan yang udah gue lakuin itu besar banget." aku tersenyum tipis. "Lo bisa ngebales gue, dengan menyelakai gue kayak tadi. Itu akan lebih adil buat gue."
"Lo ngomong apa sih?" Willy menatap wajahku. "Gue... gue gak pernah bermaksud kayak gitu. Gue masih waras dan gak bodoh untuk bunuh orang cuma gara-gara senar gitar."
"Tapi senar gitar itu berarti banget buat lo." aku masih menekan Willy.
"Tapi nyawa lo lebih berharga." Willy sedikit membentak. "Gue gak mau ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya."
"Willy...."
"Jangan mikir kayak gitu lagi. Lo cuma perlu ngelakuin semua yang gue mau selama 20 hari ini. Setelah itu, kita lupain semuanya." Willy kembali menatap kelangit.

Aku tersenyum menatapnya. Tanganku masih dalam genggaman Willy. Aku dan Willy sama-sama memejamkan mata. Lalu semua pikiran kami melayang entah kemana.

***

Disekolah, Lulu masih sibuk menekan tombol-tombol di handphone-nya. Disebelahnya, Lucky nampak bingung melihat ulah Lulu.

"Lo ngapain sih, kacamata?" tanya Lucky.
"Lo gak sadar ya? Hari ini tuh, Willy sama Sasa gak masuk." Lulu melirik kesal.
"Terus? Kenapa?" tanya Lucky dengan tampang tak berdosanya.
"Jangan-jangan, mereka bolos bareng." terka Lulu.
"Mungkin." ujar Lucky acuh. "Si Sakura itu kan lagi dapet hukuman dari Willy."
"Kasihan, Sasa." Lulu menatap lemas pada layar Handphone-nya.

Langit sudah tidak mendung lagi. Matahari mulai bersinar terik. Entah sudah berapa lama aku dan Willy dalam posisi seperti ini. Perlahan ku buka mataku. Baru kusadari, aku dan Willy sempat tertidur. Tapi kini, cuaca sudah tak bersahabat. Aku bisa melihat Willy yang masih terpejam. Tangankupun masih dalam genggamannya. Tanpa sadar, aku tersenyum lembut menatap wajahnya. Ah, ada apa ini?

Tak berapa lama, Willy mulai membuka matanya. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya, aku kembali memejamkan mataku.

"Panas." ujarnya pelan.

Willy melirik kearahku, lalu tersenyum.

"Woiii." Willy mendorong tubuhku. Aku terpaksa membuka mata.
"Kenapa?" tanyaku polos.
"Kita ketiduran." Willy segera bangun, lalu duduk. Dia melepas genggamannya padaku. Akupun ikut bangun dan duduk disampingnya.

Kami sama-sama diam. Tiba-tiba aku teringat dengan Handphone-ku. Aku segera berlari kemobil Willy, untuk mengambilnya. Willy yang melihatku berlari terburu-buru, ikut berlari mengikutiku.

Aku duduk di dalam mobil Willy, dan segera memeriksa Handphone-ku.

"20 missed call? 10 messages?" aku membelalak terkejut.
"Dari si kacamata?" terka Willy.
"Namanya Lucia." aku mengangguk pelan.
"Terserah." Willy tersenyum acuh.

Aku membuka semua pesan dari Lulu itu satu per satu. Dan semua pesan bertuliskan pertanyaan 'Kenapa lo gak masuk? Willy juga. Kalian lagi bareng ya?'

"Laper gak?" tanya Willy tiba-tiba.
"Lumayan." jawabku sekenanya.
"Kita makan dulu deh." Willy segera memacu mobilnya, meninggalkan tempat ini.

Setengah jam kemudian, aku dan Willy sudah berada di sebuah warung makan lesehan yang nyaman dengan pemandangan kebun teh yang hijau. Aku tak percaya, seorang Willy bisa tau tempat makan seperti ini. Aku pikir, dia hanya akan tau restoran-restoran mahal.

Aku mengikuti langkah Willy untuk masuk kedalam warung makan itu. Kami duduk di pojok, menghadap pada pemandangan kebun teh yang hijau itu. Disini sangat nyaman dan menyejukkan.

"Mau pesen apa?" tanya Willy padaku.
"Apa yah? Samaan sama lo aja deh." aku tersenyum tipis.
"Dasar!" Willy menatapku dingin. Kemudian dia menyebutkan pesanannya pada si pelayan.
"Gue ditraktir kan?" tanyaku hati-hati. Setelah pelayan itu pergi.
"Hmm, iya." Willy mengangguk acuh. Lalu menatapku tajam. "Kura-kura." panggilnya.
"Ya?" sahutku tanpa menoleh kearahnya. Aku sedang asyik melihat-lihat pemandangan.
"Soal omongan kita yang tadi...." Willy menghentikan ucapannya. Aku menatapnya. "Jangan kasih tau siapa-siapa ya." ucapnya polos.
"Oh, iya." aku mengangguk pelan. "Gue janji, gue akan ngelakuin setiap perintah lo dengan ikhlas. Gue harap, itu bisa sedikit menebus kesalahan gue."

Willy hanya tersenyum, lalu menatap kearah kebun teh. Aku menatap senyum itu dengan tatapan kagum. Willy, dia memang pantas jadi cowok paling populer disekolah. Dia bahkan seperti seseorang yang kehidupannya sangat susah untuk dijamah. Hari ini, aku melihat sisi lain dari seorang Willy.

***

"Day 3"

Hari ini, aku bangun sangat pagi. Entah kenapa, aku begitu bersemangat. Kemarin, setelah aku dan Willy makan siang di salah satu warung makan, Willy mengajakku untuk berlatih mengendarai mobil lagi. Dan aku rasa, sekarang aku sudah lumayan bisa.

Aku segera mandi, dan bersiap dengan semua perlengkapan sekolahku. Aku beranjak menuju ruang makan, untuk segera sarapan. Setelah sarapan, aku menunggu Willy untuk menjemputku. Tak lama kemudian, mobil Willy sudah datang. Aku segera menghampirinya.

"Tumben lo cepet." ejeknya.
"Itu bukannya bagus ya? Kan, lo jadi gak perlu nunggu." aku mengeluarkan senyum termanisku.
"Iya juga sih." Willy hanya tersenyum sekilas, lalu masuk kedalam mobilnya, diikuti olehku.

Saat sudah didalam mobil, Willy menatapku lagi.

"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Hari ini, lo yang nyetir." jawabnya enteng.
"Apa?" aku sedikit jantungan mendengar jawaban Willy. "Ta... tapi Will...."
"Lo udah lumayan bisa kok. Gimana kalo kita coba?" Willy menatap jahil.
"Tapi nanti, kalo...."
"Udah." Willy memotong kata-kataku. "Gue bakalan tetap ngebimbing lo kok. Percaya deh sama gue."

Aku menatap Willy ragu. Tapi detik kemudian, aku mengangguk yakin. Willy tersenyum meyakinkan, dan kami berganti letak duduk. Aku menarik nafas panjang, lalu mendengarkan semua intruksi Willy dengan seksama.

Sejauh ini, aku bisa mengatasi keramaian kota dengan mulus. Pandanganku tak pernah lepas menatap jalanan kota yang ramai. Dan kini, kami sudah tidak melewati tol lagi. Aku bisa sedikit tenang, sebentar lagi, kami akan menyampai sekolah. Willy memintaku untuk mempercepat laju mobilnya. Awalnya aku menolak, tapi Willy memaksa. Tentu saja, aku harus menurutinya. Aku mempercepat laju mobil ini. Namun ternyata, semua tak berjalan mulus. Aku belum bisa mengendalikan lajunya, jika terlalu cepat. Akhirnya, aku hampir menabrak pembatas jalan, seperti yang terjadi pada Willy kemarin. Beruntunglah, Willy segera mengalihkan setirnya kelain arah.

"Willy." wajahku mulai pucat.
"Gak apa-apa kok." Willy memelukku.

Mobilnya berhenti di tepi jalan. Aku masih berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan. Willy terus memelukku, mencoba menenangkan. Aku hanya diam. Lama kami tak bersuara. Dalam pelukan Willy, aku bisa merasakan detak jantungnya yang juga berdetak sangat cepat.

"Will, maaf." aku mulai menangis.
"Gue yang salah." Willy mengelus lembut rambutku.
"Kenapa?" aku menarik tubuhku dari dekapan Willy.
"Gue takut, lo berpikir kalo gue mau nyelakain lo lagi." Willy tertunduk.
"Gak gitu, Will. Inikan salah gue sendiri, yang gak hati-hati." aku meyakinkan Willy.
"Tapi lo kan emang belum terlalu bisa. Tapi gue malah maksa lo." Willy masih dalam perasaan bersalahnya. "Gue hampir menyelakai lo, Sa."
"Udahlah Will, lupain." aku menepuk bahu Willy lembut. "Yang terpenting sekarang, lo sama gue baik-baik aja."

Willy mulai bisa tersenyum lagi. Kali ini, Willylah yang memacu mobil sampai kesekolah. Kami hampir terlambat. Untunglah, berkat kuasa Willy di sekolah ini, kami bisa masuk.

"Lo apain pak satpamnya, tadi?" tanyaku saat aku dan Willy sedang dalam perjalanan menuju kelas.
"Bukan apa-apa kok." Willy tersenyum licik, sambil terus berjalan menuju kelas.

Begitu sampai kelas, Lulu langsung memelukku.

"Sasa, lo kemana aja? Gue kangen." ujar Lulu yang sepertinya agak berlebihan.
"Gue... biasalah." aku melirik pada Willy yang sudah duduk manis di bangkunya.
"Ceritain dong, sama gue." bisik Lulu.
"Iya, nanti gue ceritain." aku tersenyum tipis, lalu berjalan menuju bangkuku yang berada disebelah Willy.

Jam istirahat tiba. Aku menunggu perintah berikutnya dari Willy. Saat ini, kami masih berada didalam kelas.

"Gue mau latihan di ruang musik, bareng temen-temen gue." ujar Willy. "Jadi, jam istirahat ini, lo gue kasih waktu buat main-main sama si kacamata itu." Willy menunjuk pada Lulu.
"Yang bener? Gue gak salah denger kan?" ujarku tak percaya.
"Lo mau gue berubah pikiran?" tanya Willy dingin.
"Makasih." aku langsung menggandeng tangan Lulu, dan pergi meninggalkan kelas.

Willy hanya menggelengkan kepalanya, lalu menatap ketiga sahabatnya.

"Ada yang menarik dari si Sakura itu?" tanya Lucky pada Willy.
"Menarik buat dikerjain." Willy tersenyum licik.

Detik berikutnya, mereka berempat juga segera meninggalkan ruang kelas.

Aku dan Lulu duduk disalah satu meja kantin. Kami memesan makanan.

"Sasa, ayo cerita." pinta Lulu dengan nada manja. Itu membuatku tertawa geli.

Aku menarik nafas panjang, lalu mulai menceritakan semua hal yang aku dan Willy alami kemarin. Kecuali tentang pembicaraan mengenai lagu dan almarhum pacarnya Willy itu. Aku terdiam dan mulai kembali memikirkan tentang senar gitar itu.

"Sasa." panggilan Lulu membuyarkan lamunanku.
"Eh. Ya, Lu?" aku menatap Lulu.
"Terus apa lagi yang kalian lakuin?" tanya Lulu.
"Gak ada lagi. Cuma itu aja." aku tersenyum pada Lulu. "Lo sendiri?" aku balik bertanya pada Lulu.
"Apa?" tanya Lulu polos.
"Gimana, rasanya duduk semeja sama salah satu anak populer kayak si Lucky?" tanyaku menggoda Lulu.
"Ah, gue seneng banget." Lulu sedikit malu. "Gue gak pernah ngebayangin ini sebelumnya. Berkat lo, gue jadi bisa deket sama salah satu anak populer disekolah ini. Yah, meskipun lo lebih beruntung dari pada gue. Lo deket sama anak paling populer."
"Biasa aja." aku menyeruput es jeruk dihadapanku.
"Tapi, Lucky sedikit jutek dan gak nganggep gue gitu, Sa." Lulu tampak murung.
"Sabar aja. Yang penting, lo udah pernah sekedar ngobrol sama dia kan?" aku mengusap lengan Lulu.
"Iya sih. Itupun, cuma ngomongin lo sama Willy." Lulu menatapku.
"Tetep semangat deh, Lu." hanya itu yang bisa kukatakan untuk Lulu.

Selesai makan dikantin, aku mengajak Lulu untuk melihat Willy dan teman-temannya latihan band. Tapi seperti sebelumnya, Lulu menghalangiku.

"Kenapa sih, gue kan cuma pengen liat. Gue rasa, itu bukan masalah." aku melangkahkan kakiku kedepan ruang musik. Tapi lagi-lagi, Lulu menghadangku.
"Lo sadar gak sih, kenapa hari ini Willy gak memanfaatkan kuasanya buat nyuruh-nyuruh lo, dan malah milih latihan band sama temen-temennya." Lulu menatapku.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Itu karena, dia gak mau latihannya hari ini diganggu." Lulu mengangguk, meyakinkanku.
"Gitu ya?" aku malirik pintu ruang musik itu sekilas.

Tiba-tiba, pintu itu terbuka. Aku dan Lulu terkejut. Willy dan ketiga temannya keluar dari ruang musik itu.

"Lo?" Willy menunjukku. "Akh, kebetulan lo ada disini. Tolong beliin gue makanan dong dikantin, gue laper."
"Oh, oke." aku segera menggandeng tangan Lulu, untuk mengajaknya pergi bersamaku.
"Eh tunggu." Willy menahan langkahku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gak usah deh, gue ikut lo kekantin aja. Biar gue makan disana." Willy menarik tanganku. Dan melepas gandenganku pada Lulu.
"Loh, Lulu?" aku menoleh pada Lulu yang masih terdiam.
"Biarin dia sama temen-temen gue aja." Willy tersenyum.

Aku dan Willypun pergi kekantin. Dan aku langsung memesankan makanan untuknya. Begitu makanannya diantar, Willy segera memakannya.

"Lo gak makan?" Willy melirikku.
"Udah, tadi." aku tersenyum tipis.
"Kebetulan." ujar Willy tiba-tiba. Dia langsung menyodorkan mangkok baksonya padaku. "Suapin gue." perintahnya.
"Huh!" aku mendengus kesal, tapi menuruti saja maunya anak populer ini.

Akupun mulai menyuapi Willy. Dan seketika itu juga, aku merasakan pandangan-pandangan membunuh dari anak-anak yang berada dikantin. Sebagian dari mereka berbisik-bisik, yang aku yakini adalah menghujatku. Aku melirik mereka sekilas.

"Tenang aja. Mereka gak akan berani ganggu lo." ujar Willy yang ternyata menyadari ketakutanku. "Selama lo ada disini bareng gue. Mereka gak akan bisa nyentuh lo sedikitpun." Willy tersenyum lembut.

Aku membalas senyumnya, yang membuatku sedikit tenang.

***

"Day 4"

Seperti biasa, aku menunggu Willy untuk menjemputku di rumah. Tak berapa lama kemudian, datanglah sebuah mobil. Tapi seperti yang ku tau, ini bukanlah mobilnya Willy. Lalu, mobil siapa?

Mobil tak dikenal itu, berhenti dihadapanku. Seseorang yang memakai jas berwarna hitam, juga berpakaian rapi seperti orang kantoran, keluar dari mobil itu. Bisa kutebak, mungkin umurnya sekitar 30 tahunan. Bapak itu menghampiri pintu belakang mobil, lalu membukanya.

"Silahkan masuk." ujarnya padaku.

-to be continued-

No comments:

Post a Comment