Saturday, July 28, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 3


"Sa... Saya?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.

Bapak itu membalas dengan anggukan. Aku menatap pada pintu mobil yang sudah terbuka. Apakah bapak ini salah menjemput orang? Entahlah. Tapi saat ini, aku masih mematung di tempat ku berdiri tadi.

"Silahkan." ulang bapak itu. "Tuan Willy sudah menunggu anda disekolah, Nona." tambahnya.

Jleb.

"Will... Willy?" tanyaku masih tidak mengerti.
"Iya, Nona. Saya adalah sopir pribadinya tuan Willy. Dan hari ini, saya yang akan mengantar nona sampai disekolah." bapak itu tersenyum manis.

Apa lagi yang dilakukan makhluk populer yang aneh itu, hari ini? Mengapa dia penuh dengan kejutan? Aish... aku tak mengerti dengannya. Dan berhubung hari sudah semakin siang, akhirnya aku mengikuti saja keinginan bapak itu untuk segera masuk kedalam mobil.

Lima belas menit kemudian...

Aku sudah sampai disekolah. Ketika aku akan turun dari mobil, tiba-tiba sudah ada yang membukakan pintu itu untukku. Aku tersentak. Ternyata yang membukakan pintu itu adalah bapak yang menyopir tadi. Dia tersenyum manis, sambil mengayunkan tangannya memintaku keluar dari mobil. Aku membalas senyumnya, lalu keluar.

Dari kejauhan, ku lihat Willy dan ketiga sahabatnya sedang menuju ketempatku berdiri saat ini.

"Saya permisi dulu, nona." pamit bapak yang tadi.
"Oh, i... iya, pak. Terima kasih." sahutku ramah.

Ketika mobil itu pergi, Willypun sampai ditempatku.

"Pagi, Sakura." sapa Bima, salah satu dari ketiga teman Willy.
"Pagi." aku membalas sapaan Bima.
"Lama banget sih?" bentak Willy tiba-tiba. "Lo sengaja ya, terlambat dateng kesekolah, biar gak gue suruh-suruh buat nyuapin gue sarapan?"
"Ih, cowok aneh. Lagian, siapa suruh bukan lo yang jemput gue. Kan lo sendiri yang ngirim bapak itu buat jemput gue, dan lo pergi kesekolah duluan. Jadi jangan salahin gue dong, kalo gue datangnya setelah lo." aku balas membentak.
"Alah, jangan banyak alasan lo. Dasar kura-kura. Selalu aja lambat." Willy membentak lagi.
"Berhenti panggil gue kura-kura! Nama gue tuh Sakura." aku tak mau kalah.
"Eh eh, lo berdua. Udah dong. Malu kali, diliatin anak-anak." Bian, salah satu teman Willy mencoba melerai aku dan Willy.
"Tau nih. Udahlah, ayo masuk kelas. Bentar lagi kan udah mau masuk." Lucky menimpali.

Aku dan Willy masih saling menatap tajam. Willy benar-benar sudah merusak mood-ku, pagi ini. Entah dari mana makhluk sejenis Willy ini datang. Yang pasti, dia benar-benar sangat menyebalkan.

Lucky, Bima, dan Bian yang masih melihat aku dan Willy dengan tatapan tajam, segera menarik tangan kami untuk menuju kelas. Lucky menggandeng tanganku. Sedangkan Bima dan Bian menggandeng tangan Willy.

"Sabar ya." bisik Lucky pelan, disela-sela perjalanan kami menuju kelas.
"Kok lo tahan sih, temenan sama manusia macam Willy?" tanyaku sambil juga berbisik.
"Biar keliatannya nyebelin dan angkuh, Willy baik kok. Nanti, lo juga bakalan ngerasain." Lucky tersenyum manis.
"Sejauh ini, dia tetep nyebelin dan angkuh dimata gue." aku mendengus kelas.
"Masa lo gak sadar sih?" Lucky menyipitkan matanya.
"Apa?" tanyaku.
"Tadikan lo udah ngerasain kebaikannya Willy." ujar Lucky pelan.
"Yang mana?" seingatku, dari tadi Willy sudah membuatku sangat sangat kesal.
"Sopir yang tadi ngater lo." Lucky tersenyum tipis. "Gue denger, kemaren kalian berdua hampir nabrak. Makanya, hari ini Willy sengaja gak jemput lo. Dan minta sopirnya buat jemput lo, karena dia gak mau lo celaka kalo naik mobil bareng dia."

Deg
Aku kembali teringat dengan kejadian kemarin, dimana saat aku menyetir, aku dan Willy hampir saja menabrak. Jadi ini alasan Willy menyuruh sopirnya untuk menjemputku. Karena dia tak ingin aku celaka.

Aku menatap punggung Willy yang berjalan bersama Bima dan Bian didepanku. Apa yang sudah aku lakukan? Aku baru saja membentaknya. Dan tidak menghargai kebaikan hatinya. Akh... anak ini benar-benar tidak bisa ditebak. Perasaannya bisa berubah dengan sangat cepat.

Akhirnya, kami semua sampai dikelas. Aku lihat Lulu yang langsung tersenyum manis menatap kedatanganku. Aku membalas senyumnya, lalu duduk di bangku ku, sebelah Willy. Lulu langsung menoleh kebelakang untuk menyapaku. Tapi tiba-tiba dia urungkan niatnya, karena mendapat tatapan tajam dari Willy. Lulu kembali pada posisinya duduknya semula, yang menatap pada papan tulis.

Aku menatap wajah Willy yang masih kesal. Biarlah, aku akan meminta maaf padanya nanti saja.

Jam istirahat.

Aku menatap Willy yang sedang memasukkan buku-buku pelajarannya kedalam tas.

"Will." aku beranikan menyapanya duluan.
"Hmm." dia hanya berdehem, tanpa melihat kearahku. Dan masih sibuk dengan buku-bukunya.
"Maafin gue ya." ujarku pelan. Kali ini, Willy langsung menoleh kearahku.
"Lo bikin salah apa?" tanyanya.
"Tadi, gue udah marah-marah sama lo." aku menatapnya.
"Terus?" Willy terlihat senyum tipis.
"Gue juga mau bilang makasih, karena tadi lo udah ngirim sopir lo buat jemput gue. Lo gak mau kan, gue celaka kalo naik mobilnya sama lo?" aku tersenyum jahil.
"Ge-er." Willy mengucek rambutku.
"Jadi, lo mau maafin gue kan?" tanyaku sambil merapikan rambutku yang dibuat berantakan oleh Willy.
"Iya. Lagian, tadi kan gue juga udah bentak-bentak lo. Anggap aja kita seri." Willy tersenyum manis.
"Makasih ya." aku tersenyum lega.
"Sekarang, lo harus ngejalanin tugas lo sebagai asisten gue." wajah Willy kembali 'killer'.

Aku tertunduk lesu. Jiwa semena-menanya Willy sudah kembali lagi, dan aku harus siap menghadapi segala kemungkinan buruk yang akan aku alami. Willy menarik tanganku menuju lapangan basket. Aku hanya bisa menurut dan mengikutinya saja. Saat sedang dalam perjalanan menuju lapangan basket, kami bertemu Lulu. Dia segera mengikuti kemana Willy membawaku pergi.

Saat sudah dilapangan basket.

"Temenin gue main." Willy melempar bola basket kearahku. Dan segera ku tangkap.
"Apa?" aku terkejut.
"Temenin gue main basket." Willy menunjuk bola basket yang sedang ku pegang.
"Kok gue?" tanyaku tak percaya. "Gue kan gak bisa. Lo main sama temen-temen lo aja, sana."
"Tapi hari ini, gue mau main bareng asisten gue." Willy tersenyum licik. "Ini perintah, kura-kura. Ayo buruan." Willy sudah siap-siap dengan posisinya.

Anak-anak satu sekolah langsung berkumpul mengelilingi lapangan basket. Aku menelan ludah. Apa yang harus aku lakukan? Aku pasti hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Aku sama sekali tidak bisa bermain basket. Memikirkan akan bermain basket dilapangan saja, tak pernah.

Aku perhatikan semua anak-anak yang menonton. Pandanganku terhenti pada sosok Lulu. Dia menatap cemas kearahku. Lalu aku menatap Willy yang tersenyum licik. Aku menarik nafasku. Dan tiba-tiba, ketiga teman Willy datang, menghampiri kami ketengah lapangan.

"Main berdua? Mana seru." komentar Bian.
"Lo bertiga gak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama si kura-kura lambat ini." Willy menatap tajam ketiga temannya.
"Gimana kalo gue, Bian, sama Lucky ikutan main juga?" usul Bima.
"Nah, kayaknya itu lebih adil buat Sakura." Lucky menatapku.
"Oke." Willy akhirnya setuju. "Bima sama Bian, satu tim sama gue. Lucky, satu tim sama si kura-kura ini."
"Kok tim gue cuma berdua?" aku mulai membuka suara.
"Tenang aja, Sa. Kita punya satu orang lagi kok." Lucky tersenyum tipis, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lapangan. "Nah, itu dia." Luckypun segera berjalan menuju seseorang. Aku dan yang lain, masih terus memperhatikannya.

Ternyata, Lucky berjalan kearah Lulu. Dia tersenyum sekilas, lalu menarik tangan Lulu untuk masuk kelapangan.

"Tim gue, ditambah sama si 'kacamata' ini." Lucky menunjuk Lulu.
"Oke." Willy tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya dia sudah yakin, dia dan timnya lah yang akan menang.
"Tenang aja Sa, kita pasti bisa kok." Lucky menepuk bahuku dan Lulu.
"Kayaknya mulai sekarang, kalian harus manggil Lulu dengan namanya deh. Jangan panggil dia 'kacamata' lagi." aku menatap keempat cowok itu.
"Terserah." Willy menatapku tajam. "Ayo kita mulai, permainannya."

Bola mulai mengedar kesana kemari, dari satu tangan ketangan yang lain. Permaianannya sudah dimulai. Kali ini, bola masih dikuasai oleh tim-ku. Tapi tentu saja, Willy dan tim-nya tidak akan tinggal diam.

Sorak sorai anak-anak yang berada disekeliling lapangan mewarnai pertandingan kami siang ini. Bola sudah berganti-ganti tangan berulang kali. Willy dan tim-nya sudah mencetak poin berkali-kali. Dan tim-kupun tak mau kalah. Tapi tiba-tiba saja, Lucky memberikan bola padaku.

"Masukin." Lucky menunjuk ring basket yang sudah berada didekatku.

Aku mengangguk, lalu mulai berlari dan meloncat untuk memasukan bola. Tapi tiba-tiba, lompatanku terhalang oleh Willy. Dia berusaha mencegahku untuk memasukan bola. Alhasil, akupun terjatuh. Dan sialnya, aku terjatuh menimpa Willy.

"Aww." Willy memegangi sikunya yang mulai berdarah, karena terkena lantai lapangan.

Teriakan anak-anak yang berada di sekeliling lapangan, langsung membahana. Aku terkejut, dan segera bangkit dari jatuhku, untuk menolong Willy. Lucky, Bima, Bian, dan Lulu juga segera menghampiri Willy.

"Will, lo gak apa-apa?" tanyaku panik.
"Sakit." Willy masih memegangi sikunya yang berdarah.
"Ayo kita bawa ke UKS." usulku.

Lucky, Bima, Bian, dan Lulu mengangguk serentak. Lucky dan Bima segera membawa Willy ke UKS.

Di UKS...

Willy segera dibaringkan diranjang UKS. Akupun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka di siku Willy dengan hati-hati. Sesekali Willy meringis kesakitan, saat aku mengobatinya.

"Tahan." ujarku.

Tak butuh waktu lama, luka Willy sudah tertutup dengan perban.

"Minum dulu, Will." Bima memberikan sebotol air mineral pada Willy.
"Iya." Willy mengambil botol itu, dan langsung meminumnya.

Bel tanda masukpun berbunyi.

"Udah bel. Masuk yuk." ajak Bian.
"Lo semua masuk aja. Tapi kura-kura tetep disini." ujar Willy.
"Oh, iya." Lucky mengangguk sambil menatapku. "Lo disini aja. Jagain Willy ya, Sa."
"Biar nanti, gue yang izin sama guru dikelas." Lulu menimpali.
"Oke deh. Thanks ya." aku tersenyum pada mereka semua.

Detik berikutnya, mereka semua sudah pergi meninggalkan ruang UKS. Kini, hanya tersisa aku dan Willy. Aku menatap pada luka disikunya.

"Masih sakit?" tanyaku hati-hati.
"Ya jelaslah." jawabnya ketus.
"Maaf ya. Ini gara-gara gue." aku menyadari kesalahanku.
"Bukan salah lo. Kecelakaan dalam permainan gini kan biasa." Willy menatap pada lukanya.
"Tapi kalo tadi gue gak jatuh diatas lo, pasti gue yang dapet luka itu." aku menunjuk pada luka Willy.
"Gak usah dipikirin." Willy menatapku tajam.

Setelah itu, kami sama-sama diam tanpa kata.

"Gue laper." ujar Willy tiba-tiba. "Beliin gue roti dikantin dong."
"Oh, oke." aku segera beranjak dari dudukku, dan pergi menuju kantin.

Beberapa menit kemudian, aku sudah kembali keruang UKS dengan membawa beberapa roti. Tapi begitu masuk, kulihat Willy sedang tertidur. Dasar! Dia malah membuat usahaku untuk membeli roti ini kekantin, menjadi sia-sia. Akupun duduk disamping ranjang Willy, dan ikut membaringkan kepalaku ditepi ranjang. Dan aku ikut tertidur.

***

Jam pulang sekolah...

Lucky, Bima, dan Bian, langsung pergi menuju ruang UKS, dengan membawa tasku dan Willy. Sesampainya di UKS, mereka terkejut melihat aku dan Willy yang tertidur. Belum lagi, posisi tangan kanan Willy berada di kepalaku.

Lucky tersenyum melihatnya.

"Ngapain mereka?" bisik Bima pada kedua sahabatnya.
"Tidur." jawab Bian polos.
"Kalo gitu ya, dibangunin." Bimapun beranjak mendekati aku dan Willy, lalu membangunkan kami.

Tak butuh waktu lama, aku sudah terbangun dari tidurku, begitupun Willy.

"Ini dimana?" tanyaku sambil melihat keseluruh ruangan.
"Kuburan." jawab Bian jengkel.
"Masih di UKS, Sa." Lucky tersenyum tipis.
"Udah bel pulang ya?" tanya Willy sambil bangun dari tidurnya.
"Iya. Nih, tas lo berdua." Bima memberikan tasku dan Willy.
"Lulu mana?" tanyaku.
"Pulang duluan. Ada urusan keluarga katanya." kali ini, Bian yang menjawab.
"Masih sakit, Will?" tanya Lucky sambil melirik siku Willy.
"Udah nggak kok." Willy mengusap-usap perbannya.
"Ya udah, kalo gitu gue mau pulang dulu." aku segera berdiri dari dudukku, dan berniat pulang meninggalkan ruang UKS.
"Eh, tunggu." ucapan Willy menahan langkahku.
"Kenapa lagi?" aku menoleh pada Willy.
"Gue telpon sopir gue dulu, buat anterin lo pulang." Willy segera meraih handphone-nya.
"Gak usah." ujarku lembut. "Biar gue pulang sendiri aja. Mendingan, elo yang minta buat dianterin pulang sama sopir lo." aku tersenyum.
"Kenapa?" tanya Willy bingung.
"Gue gak yakin, lo bisa nyetir dengan siku yang luka kayak gitu." aku menunjuk siku Willy, lalu segera berlalu meninggalkan UKS dan pulang.

Willy menatap pasrah kepergianku, sambil melirik sikunya.

"Sakura bener." ujar Lucky.

***

"Day 5"

Ini adalah hari kelima. Dan aku rasa, aku sudah mulai terbiasa dengan semua perilaku Willy yang aneh bin ajaib. Hari ini, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, tanpa menunggu Willy untuk menjemputku. Karena aku yakin, dia masih kesulitan dengan sikunya.

Selain berangkat lebih pagi, aku juga bangun tidur lebih pagi, hari ini. Kenapa? Aku juga tak mengerti kenapa. Hanya saja, tiba-tiba aku berfikir untuk membuatkan makanan untuk seorang Willy. Pagi-pagi, aku sudah beraktivitas di dapur kecilku. Memasak nasi goreng.

"Semoga aja, cowok populer itu suka." ujarku sambil menatap kotak bekal berwarna biru itu.

Aku melanjutkan langkahku, menuju sekolahku tercinta. Entah sejak kapan, aku menyebut sekolah itu 'tercinta'. Padahal awalnya, aku berfikir bahwa masuk kesekolah ini adalah musibah.

Dikelas...

Aku duduk manis, menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi, kalo bukan cowok populer bernama Willy itu. Dan benar saja, tak lama kemudian, dia datang. Tapi tatapannya sangat tajam. Membuatku bergidik ngeri.

"Pagi." sapaku seramah mungkin.
"Kenapa berangkat duluan?" tanyanya dingin, tanpa menjawab sapaanku.
"Biar gak ngerepotin lo lagi." aku mencoba tersenyum semanis mungkin.
"Dan lo udah bikin usaha gue jadi sia-sia, buat jemput lo kerumah lo. Tapi ternyata, lo-nya udah berangkat duluan." bentak Willy.
"Lo maunya apa sih?" aku mulai emosi. "Gue kan cuma gak mau ngerepotin lo. Karena gue pikir, tangan lo masih sakit dan gak bisa nyetir. Makanya gue berangkat sendiri."
"Lo ngelawan?" Willy mencengkram pundakku.
"Aww..." aku merasakan nyeri pada pundakku. "Willy, sakit."
"Lain kali, jangan pernah buat usaha gue sia-sia." Willy melepas cengkramannya.

Aku memegangi pundakku yang terasa nyeri. Air mataku akan segera jatuh. Tapi dengan sekuat tenaga, aku menahannya. Kenapa Willy selalu seperti ini? Kenapa sifatnya bisa berubah begitu cepat. Aku benci.

Saat itu juga, Lulu dan ketiga teman Willy datang. Lulu yang melihat aku meringis kesakitan sambil memegangi pundakku, langsung menghampiriku.

"Sasa, ada apa?" tanya Lulu cemas.

Aku tak menggubris pertanyaan Lulu. Aku menatap Willy sekilas, lalu membuka tasku. Aku mengambil kotak bekal yang tadi kubawa, lalu memberikannya pada Willy.

"Maaf. Karena udah bikin waktu lo terbuang sia-sia." ujarku sambil meletakkan kotak bekal itu didepan Willy.
"Ini kenapa sih?" tanya Lucky penasaran.

Aku menatap Lucky sekilas, kemudian pergi meninggalkan kelas. Lulu langsung mengikuti langkahku. Setelah aku pergi, Lucky, Bima, dan Bian duduk sambil menatap kearah Willy. Willy melirik kotak bekal yang tadi kuberikan, kemudian membukanya.

"Nasi goreng?" Willy mengerutkan keningnya.
"Dari Sakura?" Bima melirik kotak bekal itu. "Sakura bikin ini buat lo." Bima nampak terkejut
"Dan kayaknya, lo udah bikin dia kecewa." Bian menatap nanar pada kotak bekal itu.
"Kalian kenapa?" tanya Lucky sekali lagi.

Willy masih diam, sambil menatap nasi goreng itu. Detik kemudian, dia mengucek rambutnya brutal.

"Kalo kayak gini, gue yang jadinya gak enak." ujar Willy frustasi.

Lucky, Bian, dan Bima menatap Willy tak mengerti.

"Padahal, awalnya kan gue cuma pura-pura marah sama dia." Willy menatap nasi goreng itu sekali lagi.
"Minta maaf." Lucky menepuk bahu Willy. "Kayaknya, kalian salah paham." tambah Lucky.
"Gue gak mau." ujar Willy cepat.

Lucky, Bian, dan Bima hanya bisa menghela nafas.

Sementara itu, aku berlari menuju taman sekolah sambil menahan tangis. Dan begitu telah sampai disana, tangiskupun pecah. Aku duduk dibawah pohon yang sangat rindang, menutup wajahku yang sedang menangis.

"Sia-sia?" aku semakin terisak. "Padahal dia yang selalu bikin usaha dan waktu gue terbuang sia-sia. Dasar nyebelin. Suka semaunya sendiri."

Tak lama, kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menoleh pada asal sentuhan itu.

"Lulu?" ujarku sambil masih terisak.
"Sabar ya, Sasa." Lulu memelukku.
"Gue gak tahan lagi, Lu." aku terus terisak dalam pelukan Lulu.
"Masih 15 hari lagi, Sa." Lulu mengingatkanku. "Lo harus tahan. Lo harus buktiin ke Willy, kalo lo sanggup ngalahin sifat buruknya dia. Lo gak boleh nyerah, Sa." ujar Lulu lembut.

Aku tak percaya pada apa yang ku dengar. Lulu? Dia bicara sebijak itu? Ku pikir, dia hanya bisa berceloteh tentang anak-anak populer disekolah ini. Tapi ternyata? Ucapan Lulu malah membuatku merasa tenang dan semangat lagi.

"Makasih ya, Lu." aku balas memeluk Lulu. "Gue akan tetep berusaha."
"Gitu dong." Lulu melepas pelukannya, lalu menghapus air mataku. "Sasa pasti bisa. Semangat!"

Detik berikutnya, aku dan Lulu tertawa bersama. Ya, aku belum menyerah. Aku akan melewati 15 hari itu dengan semangat. Tak kan ku biarkan, aku terlihat lemah didepan Willy.

Aku dan Lulu kembali kekelas, setelah bel masuk berbunyi. Aku menatap Willy sekilas, lalu duduk di bangkuku.

"Gue gak mau terima." Willy menyodorkan kotak bekal yang tadi ku berikan.
"Oh." aku mengambil kotak bekal itu, lalu memasukkannya kembali dalam tasku.
"Gue gak suka nasi goreng. Gue sukanya roti isi." Willy tersenyum tipis.
"Oh." aku hanya ber-oh ria.
"Kok cuman 'oh'." Willy menatapku tajam.
"Maunya?" aku bertanya acuh.
"Sejak kapan lo jadi nyebelin gini?" Willy mendengus kesal.
"Sejak kenal sama lo." jawabku lantang.

Seisi kelas, menatap padaku dan Willy. Akhir-akhir ini, aku dan Willy memang selalu jadi perhatian.

"Ssttt...." Lucky meminta aku dan Willy untuk diam.

Aku dan Willy menatap kearah Lucky sekilas, lalu diam.

Setelah bel istirahat berbunyi, Willy kembali menjadi dia yang sebelumnya. Memerintahku seenaknya. Dan kali ini, aku hanya menurut tanpa perlawanan. Akupun hanya diam, tanpa bersuara. Terus berada didekatnya, tanpa benar-benar menganggapnya ada. Aku yakin, sebentar lagi, seorang Willy akan protes dengan sikapku yang seperti ini.

"Lo lebih mirip kayak batu, dari pada asisten gue." bentak Willy akhirnya. "Kenapa dari tadi cuma diem aja sih?"

Aku menatap Willy sekilas, lalu kembali fokus pada buku yang sedari tadi ku baca. Willy menatapku jengah.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung beranjak meningggalkan kelas dan pulang. Lulu tersenyum senang melihatku.

"Kura-kura." panggil Willy.

Aku mendengar panggilan itu, tapi tak berniat untuk menyahut.

"Kan udah gue bilang, minta maaf." Lucky menepuk pundak Willy.
"Lo berdua keras kepala sih. Sama-sama gak mau ngalah." Bian berpendapat.
"Kalo gak mau Sakura terus-terusan jadi asisten lo yang kayak batu, lo mesti minta maaf sama dia." Bima menambahkan.
"Masa harus gue yang ngalah sih?" Willy menggaruk-garuk kepalaya yang tak gatal.

***

"Day 6"

Aku baru saja selesai sarapan, dan akan segera berangkat kesekolah. Saat keluar dari rumah, kulihat Willy sudah berdiri disamping mobilnya. Akupun segera menghampirinya. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat dia tersenyum begitu manis. Ya, dia tersenyum padaku. Membuatku beku seketika.

"Maafin gue ya." Willy langsung memelukku.

Tentu saja, itu menambah kebekuan tubuhku. Apa-apaan ini? Ada apa dengan manusia ajaib ini?

"Wi... Willy?" ujarku terbata.
"Hmm...?" Willy masih memelukku.
"Lo sakit?" pertanyaanku sontak membuat Willy melepas kasar pelukannya.
"Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?" bentaknya.

Aish....
Sifat buruknya kembali lagi.

"Abisnya, hari ini lo aneh banget." aku menggaruk-garuk kepala pertanda bingung.
"Gue mau minta maaf sama lo. Jadi, itu aneh?" Willy menatapku tajam.
"Nggak sih." aku jadi salah tingkah.
"Ada apa ini?" tiba-tiba, ada suara yang mengejutkan aku dan Willy.

Itu adalah suara Ibuku. Sekarang, Ibu sudah berada dibelakang aku dan Willy.

"Ibu?" aku sangat terkejut.
"Ibu?" Willy menatap ke arah sosok wanita yang kupanggil 'ibu'. "Halo, selamat pagi tante." sapanya begitu ramah.
"Pagi." Ibu membalas sapaan itu, tak kalah ramahnya. "Kamu temennya Sakura?" tanya Ibu.
"Iya, tante." Willy mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya pada Ibu. "Nama saya Willy, tante." ujarnya memperkenalkan diri.
"Oh. Senang berkenalan dengan nak Willy." Ibu tersenyum. "Sudah mau berangkat?" tanya Ibu lagi.
"Iya, bu." kali ini, aku yang menjawab. "Yuk, Will. Udah hampir telat nih."

Aku segera menarik tangan Willy untuk memasuki mobilnya. Aku mencium pipi kiri Ibu, kemudian beranjak masuk menyusul Willy, kedalam mobilnya.

"Saya pamit dulu, tante. Lain kali, boleh kan saya main kesini?" Willy membuka kaca mobilnya, untuk mengajak Ibu bicara.
"Oh, tentu." jawab Ibu ramah.

Aku membelalakan mata, tak percaya. Apa-apaan ini? Apa lagi yang akan diperbuat Willy? Aish... hidupku menjadi penuh dengan kejutan, setelah aku mengenal sosok Willy si popular boy ini.


-to be continued-

1 comment:

  1. How to make money off gambling - How to make money from gambling
    How to make money off gambling - The online gambling industry is exploding and people The industry has seen exponential growth in หารายได้เสริม the past few years

    ReplyDelete