Monday, July 16, 2012

TWENTY DAYS WITH POPULAR BOY - 1


Hari pertama masuk sekolah. Ditahun ajaran baru dan sekolah baru. Namaku Sakura. Orang Jepang? Oh No, bukan. Aku asli orang Indonesia, dan lahir di Indonesia. Tapi ibuku pecinta komik Jepang. Karena itulah, aku diberi nama Sakura. Tahun lalu, aku masih bersekolah sebagai siswa kelas satu SMA di salah satu SMA di kota Jakarta. Tapi tahun ini, aku terpaksa memulai kehidupan baruku sebagai siswa kelas dua SMA di kota Bandung. Alasannya? Ayahku membuka cabang restorannya sampai ke kota Bandung. Dari situlah, ayah memutuskan untuk menetap di Bandung. Restoran pertama di Jakarta, akan diurus oleh orang kepercayaan ayah.

"Sakura." Ibu memanggilku.
"Ya, bu." sahutku.
"Ayo sarapan." Ibu berteriak dari dapur.
"Iya." aku menjawab dari kamar.

Tak lama, aku sudah duduk manis di meja makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan pagi untukku. Dan dengan segera kumakan.

***

Aku masuk, melewati gerbang sekolah baruku. Sekolah yang sangat luas dan bersih. Banyak siswa yang berjalan menuju kelas masing-masing. Dan yang kulihat, mereka semua sama sekali tak bersahabat. Mungkin belum.

Tiba-tiba, seseorang menabrakku. Dia gadis manis berkacamata. Akibat menabrakku, buku-buku yang dibawanya jatuh.

"Eh, maaf." ujarnya.
"Iya, gak apa-apa." aku tersenyum sambil membantunya memunguti buku-buku yang jatuh.

Dia hanya diam tertunduk. Dan aku berniat mengajaknya berkenalan. Mungkin saja, kami bisa menjadi teman.

"Nama lo siapa?" tanyaku.
"Nama gue Lucia. Panggil aja Lulu." dia tersenyum.
"Kok nama panggilannya Lulu?" tanyaku bingung.
"Biar simple aja." dia tersenyum lagi. "Lagian, meski nama gue udah sesimple itu, tetep gak ada yang pernah ingat nama gue."
"Maksudnya?" aku bertanya lagi. Anak ini, sedikit aneh.
"Yah, gue kurang terkenal disekolah ini." Lulu tertunduk lesu. "Anak-anak lebih milih manggil gue 'kacamata' ketimbang nama asli gue, yang sebenernya gak pernah mereka tau."
"Ohhh...." aku mengangguk pertanda mengerti.

Mungkin maksudnya, dia gak populer disekolah.

"Eh, maaf. Tapi, nama lo siapa yah?" tanyanya tiba-tiba. "Gue kenal sama semua siswa disekolah ini, tapi kok, gue gak kenal elo yah? Apa kita sama? Sama-sama gak dikenal."
"Mungkin." jawabku santai. "Karena ini adalah hari pertama gue menjadi siswa disekolah ini. Itu artinya, gue lebih gak dikenal dibandingkan elo."
"Oh, jadi lo anak baru?" Lulu terkejut.
"Yup. Nama gue Sakura." aku memperkenalkan diri.
"Sakura? Kok kayak nama bunga yah?" Lulu mengingat-ingat.
"Iya, bunga sakura. Yang ada di Jepang itu loh." aku tersenyum tipis.
"Wah, nama lo keren." puji Lulu. "Gimana biar simple, gue panggil lo Sasa aja."
"Hah! Boleh deh." aku megangguk paksa.

Berkat berkenalan dengan Lulu, aku jadi lebih mudah menemukan ruangan kepala sekolah. Dan membawaku pada sebuah kelas. Dimana selama satu tahun, aku akan mengahabiskan waktuku untuk belajar disana.

Ternyata. Aku sekelas dengan Lulu. Lulu sangat senang, dan memintaku untuk duduk semeja bersamanya. Akupun mengiyakan.

"Sa, lo mesti tau. Kita tuh beruntung banget bisa masuk kekelas ini." ujar Lulu bersemangat.
"Kenapa gitu?" tanyaku bingung.
"Karena, dikelas inilah semua anak-anak populer sekolah berada." Lulu makin bersemangat.
"Oh, gitu yah!" ujarku sekenanya.

Dan Lulu mulai menceritakan satu per satu anak dikelas ini. Benar saja, mereka semua populer disekolah ini. Ada kapten basket. Ada anak-anak basket. Ada siswa paling pintar. Ada siswa paling cantik, dan paling ganteng. Pokoknya semua siswa yang berprestasi dibidangnya masing-masing, tumplek ada dikelas ini. Dan tentunya, mereka semua populer. Terutama yang satu ini. Cowok yang duduk di belakangku dan Lulu.

Namanya Willy. Lulu bilang, dia mempersimple nama si Willy ini dengan panggilan Wilwil. Tentu aja, yang manggil kayak gitu cuma Lulu. Itupun, gak pernah dianggap sama si Willy. Willy ya Willy. Mana mau dipanggil Wilwil. Tapi Lulu selalu bangga dengan panggilannya untuk si Willy itu.

Lulu bilang lagi, Willy ini adalah anak paling populer disekolah. Dia terpopuler nomer satu.

"Emangnya, apa yang bikin dia jadi yang paling populer?" tanyaku penasaran.
"Karena dia keren, cakep, pinter, tajir, jago main basket, jago main gitar, jago nyanyi...."

Bla bla bla. Lulu ngomongin si Willy dari A sampai Z. Jangan ditanya nasibnya kupingku. Panasss banget!

"Kok lo bisa tau sebanyak itu sih, Lu?" tanyaku.
"Soalnya, gue ngefans sama dia." jawab Lulu dengan bangganya. "Tapi gak cuma dia sih, gue ngefans sama seluruh anak-anak populer disekolah ini."
"Lo lebih mirip gak punya kerjaan deh, Lu. Nyari tau soal mereka sampe segitunya." aku tak habis pikir.
"Yah, seenggaknya, itu bisa mengobati rasa sedih gue yang kurang populer ini." Lulu tertunduk lesu.
"Sabar ya, Lu. Sekolah kan bukan buat jadi anak populer, tapi buat jadi anak pandai." aku menenangkan Lulu.

***

Jam istirahat tiba. Lulu mengajakku berkeliling sekolah. Dia menunjukkan semua sisi sekolah yang keren ini. Meski kurang populer, tapi kalo ditanya tentang segala hal yang ada disekolah ini, Lulu lah yang paling tau.

Dari semua tempat yang Lulu tunjukkan padaku, aku tertarik dengan ruang musik. Dan aku mengajak Lulu masuk kedalamnya.

"Eh, jangan Sa." Lulu melarangku.
"Kenapa?" aku tetap masuk, meski Lulu sudah melarang.

Ketika masuk, aku terkejut. Sudah ada beberapa orang yang berada disana. Tepatnya ada empat orang. Mereka semua sedang memainkan alat-alat musik, juga menyanyi. Dan permainan mereka semua terhenti, karena kedatanganku. Lulu segera menarik tanganku, untuk segera keluar. Tapi aku tidak mau.

"Eh kacamata!" salah seorang menunjukkan panggilan itu kepada Lulu.
"Maaf, Lucky." Lulu tertunduk dan terus menarikku untuk keluar. "Ayo, Sasa."
"Tunggu!" seseorang yang ternyata Willy itu, berbicara.
"Kita udah mau keluar kok, Wil." ujar Lulu sedikit takut.
"Kata siapa?" aku melepas pegangan Lulu. "Orang gue masih mau disini kok."
"Mau ngapain lo disini?" seseorang lagi berbicara.
"Karena ini ruang musik, ya berarti gue mau main musiklah." jawabku santai.
"Sasa." Lulu berbisik padaku. "Ini tuh jam latihannya anak-anak Winter. Kalo mereka lagi latihan, gak boleh ada satu orangpun yang masuk ruang musik."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pokoknya, kalo lo ngelanggar, maka lo bakal dapet masalah." Lulu menatapku takut.
"Lo bilang, tadi lo mau main musik. Emangnya bisa?" tanya seseorang yang lain dari empat orang cowok yang ada di ruang musik ini.
"Gue bisa gitar." jawabku.
"Lo siapa sih?" tanya Willy.
"Gue anak baru. Kita semua sekelas kok." jawabku.
"Oh ya? Kok gue gak tau." Willy tersenyum licik.

Aaarrggghh.. emosi banget, ngomong sama makhluk yang bernama Willy ini.

"Udah yuk, Sa. Kita keluar." Lulu menarik tanganku lagi.
"Tunggu." Willy menahan langkahku dan Lulu.
"Katanya, lo bisa main gitar." Willy menyodorkan gitarnya padaku. "Mainin satu lagu dong, gue mau denger."

Aku diam, dan berfikir sebentar. Lulu menatapku cemas.

"Oke." ujarku akhirnya.

Aku mengambil gitar itu, lalu memainkannya. Mereka semua mendengarkan permainanku, termasuk Lulu. Dia seperti tidak percaya, aku bisa memainkannya dengan sebaik ini. Tapi tiba-tiba, permainan gitarku terhenti.

"Sasa." Lulu menutup mulutnya.

Willy dan ketiga temannya menatapku sinis. Salah satu senar gitarnya putus. Dan gitar itu adalah milik Willy. Lebih tepatnya, adalah gitar kesayangan Willy.

"Lo..." Willy menunjukku, dan merampas gitarnya.
"Sorry, bakal gue ganti kok." ujarku santai.
"Lo pikir, lo siapa?" bentak Willy kasar. "Lo udah ngerusak milik gue, dan bisa seenaknya aja bilang mau ganti."
"Terus, gue mesti gimana dong?" aku mulai emosi. "Senarnya kan putus, dan sebagai orang yang menyebabkannya, gue bersedia buat ganti. Masalahnya apa?"

Willy kesal, lalu pergi meninggalkan ruang musik, diikuti oleh teman-temannya. Aku masih terdiam dan tak mengerti. Tapi aku sedikit merasa bersalah. Lulu segera menghampiriku.

"Sasa. Gue rasa, lo dalam masalah besar." Lulu memelukku. "Willy tuh gak suka kalo ada orang yang ngerusak barang milik dia. Dan terlalu gampang bilang pengen ganti."
"Maunya dia apa sih?" ujarku kesal.

Lulu mengajakku untuk kembali kekelas. Dan sepanjang perjalanan, seluruh siswa menatap sinis padaku.

"Ada apa sih?" tanyaku bingung.
"Sa, ini pasti karena masalah lo sama Willy." terka Lulu. "Lo tau sendiri kan, Willy itu cowok paling populer disekolah. Wajar aja kalo semua hal yang berhubungan sama dia, bisa langsung diketahuin sama satu sekolahan."
"Ih, seleb aja gak gitu-gitu banget." komentarku sinis.

Tiba-tiba, seorang teman Willy yang tadi ada di ruang musik, datang menghampiriku dan Lulu. Namanya adalah Lucky.

"Lo." Lucky menunjukku. "Ikut gue!"

Lucky menarik paksa tanganku. Lulu hanya diam, tak mampu berbuat apa-apa.

"Apa-apaan sih? Lepasin gak!" ujarku kesal. "Gue mau dibawa kemana?"
"Willy mau ketemu sama lo." jawab Lucky.

Aku dibawa ke ruang kelas. Disana, Willy sudah duduk tenang. Ketiga teman Willy menutup pintu kelas, meninggalkanku hanya bersama Willy. Anak-anak yang lain, berusaha mengintip dari jendela kelas, termasuk Lulu.

"Gue minta maaf, soal gitar lo." ujarku ragu. "Gue bakal tanggung jawab kok. Kalo lo gak mau diganti, lo maunya apa?"
"Gue mau, lo tanggung jawabnya dengan cara nurutin semua kemauan gue." Willy tersenyum licik.
"Maksud lo?" tanyaku bingung.
"Selama dua puluh hari, lo harus terus berada disamping gue. Ngelakuin apapun yang gue suruh." jawab Willy.
"Maksud lo, gue mesti jadi pembantu lo, gitu?" aku terbelalak.
"Itu terlalu kasar, gue gak bakal memperlakukan lo sebagai pembantu kok. Tapi sebagai asisten gue." Willy tertawa puas. "Itupun, kalo lo emang orang yang bertanggung jawab."
"Cuma dua puluh hari kan?" tanyaku ragu.
"Iya. Dua puluh hari." jawab Willy. "Hari kedua puluh, bertepatan dengan hari ulang tahun gue. Nanti gue bakal kasih tugas terakhir buat lo, dihari itu."

Aku masih berpikir, sebelum memutuskan.

"Gimana?" tanya Willy.
"Oke." jawabku mantap.

Willy tersenyum puas. Dia terlihat sangat senang mendengar jawabanku. Aku pasrah, dari pada aku harus dibilang gak bertanggung jawab. Dua puluh hari, rasanya tak terlalu sulit.

"Jadi, siapa nama lo?" tanya Willy lagi.
"Nama gue, Sakura." jawabku.
"Sakura." Willy berpikir sebentar. "Oke. Gue bakal panggil lo kura-kura. Itu panggilan yang paling bagus buat asisten gue."
"Apa?" aku menatap kesal.
"Gue bakal mulai buat nyuruh-nyuruh lo, besok." ujar Willy. "Siap-siap buat dua puluh hari yang gak akan pernah lo lupain seumur hidup lo."

Setelah berbicara seperti itu, Willypun keluar lebih dulu meninggalkan kelas. Aku sedikit heran pada sekolah ini. Apa semua muridnya suka mengganti-ganti nama orang? Apa semua muridnya terobsesi untuk jadi siswa paling populer, ketimbang pinter? Apa semua siswanya suka semau sendiri? Keputusan untuk memilih sekolah ini, mungkin sedikit keliru. Arrgghhh...

Lulu langsung menghampiriku, tak lama setelah Willy dan ketiga temannya meninggalkan kelas.

"Sa, lo gak apa-apa kan?" tanya Lulu cemas.
"Gak apa-apa kok, Lu." aku memaksakan senyum.
"Willy ngomong apa?" tanya Lulu penasaran.
"Nanti gue ceritain." aku mengajak Lulu duduk, dan mulai bercerita.

"Apa?" ekspresi Lulu mirip seperti ekspresi para pemain sinetron kalo lagi kaget dan bilang kata 'Apa?'
"Nyebelin banget kan?" aku menepuk bahu Lulu yang masih terkaget-kaget.
"Ya ampun, Sasa." Lulu langsung memelukku. "Lo beruntung banget, bisa jadi asistennya Willy."
"Hah! Lo sakit, Lu?" aku memegang jidat Lulu. "Ini tuh hal yang paling buruk, yang pernah terjadi dalam hidup gue. Ini bukan keberuntungan, tapi kesialan."
"Sasa." Lulu benar-benar menunjukkan rasa bahagianya. "Sebentar lagi, lo bakalan jadi cewek yang populer, berkat peran lo sebagai asistennya Willy."
"Dan lo pikir, gue bakal seneng jadi cewek populer karena peran gue sebagai asisten?" aku bergidik. "Nggak akan, Lulu."

***

"Day 1"

Willy menjemputku dirumah, dengan mobilnya. Aku sangat terkejut.
"Lo?" aku tak bisa menutupi keterkejutanku.
"Buruan naik, kura-kura." bentaknya.
"Kok lo bisa tau rumah gue?" tanyaku bingung.
"Apa sih, yang gak bisa diketahuin sama cowok paling populer disekolah." ujar Willy sombong. "Buruan naik. Ini hari pertama lo jadi asisten gue."

Aku menurut, dan langsung naik kemobil Willy. Aku duduk, di kursi belakang.

"Eh kura-kura. Lo pikir, gue supir lo?" bentaknya lagi.
"Kenapa lagi sih?" aku benar-benar bingung.
"Ngapain lo duduk di belakang. Duduk didepan." tegasnya.

Aku semakin kesal, tapi menurut saja dengan apa yang dikatakannya. Aku pindah ke tempat duduk sebelah Willy.

"Lo yang nyetir!" perintahnya.
"Hah! Tapi... gue gak bisa nyetir." ujarku kelabakan.
"Sial." Willy nampak kesal. "Oke, hari ini biar gue yang nyetir. Dan nanti sore, lo bakal gue ajarin nyetir. Biar besok-besok, lo yang nyetirin gue."
"Hah! Tapi....."
"Gak ada tapi-tapian." tegas Willy. "Gue belum sarapan, gara-gara harus buru-buru berangkat buat nyari alamat rumah lo."
"Terus?" tanyaku sinis.
"Itu." Willy menunjuk pada kotak bekal yang ada di sampingku. "Disitu udah ada roti isi kesukaan gue. Suapin gue, sambil gue nyetir."
"Tapi, itukan bahaya. Kalo lo nabrak, gimana?" ujarku cemas.
"Ya kita mati bareng-bareng." Willy tersenyum licik.

Dia segera memacu mobilnya meninggalkan halaman rumahku. Sepanjang perjalanan, aku terus menyuapinya roti.

Sesampainya disekolah, aku harus membawa tas, bola basket, dan gitar milik Willy, sampai kekelas.

Dikelas, Lulu sudah menyambutku. Aku menaruh barang-barang Willy dimejanya, dan berniat mengahampiri Lulu sambil juga menaruh tasku dimeja yang sama dengan Lulu. Tapi tiba-tiba, Willy menahanku.

"Mulai hari ini, lo duduk satu meja sama gue." ujar Willy padaku. Lulu sangat terkejut.
"Tapi, lo kan udah punya temen semeja." ujarku ragu.
"Nanti, si Lucky bakalan duduk sama si kacamata ini." Willy menunjuk Lulu.
"Namanya Lulu." tegasku, agar Willy tak semena-mena lagi memanggil Lulu.
"Nama itu terlalu bagus buat dia. Dia lebih pantes dipanggil kacamata." Willy mengambil tasku dari meja Lulu, dan menaruh dimejanya.

Aku mulai tak tahan. Makhluk Tuhan yang bernama Willy ini benar-benar menyebalkan. Hari ini, aku harus menerima berbagai macam cacian dari para fansnya Willy, karena harus menjauhkan mereka dari Willy. Aku bahkan harus mengelap keringat Willy, ketika dia selesai latihan basket. Aku juga harus membeli minuman dikantin untuknya. Dan sebagainya.

Aku benar-benar merasa sial. Asisten lainpun tak begini-begini sekali. Aku tak dibiarkan untuk sekedar mengobrol dengan Lulu.

"Sabar ya." Lulu tersenyum sambil berbisik dari kejauhan. Memintaku untuk sabar.

Entahlah, baru sehari saja, aku sudah sangat gila dan capek. Sementara itu, aku harus melewati 19 hari lagi. Ini benar-benar buruk.

***

Hari pertama ini belum selesai. Sepulang sekolah, aku harus ikut Willy untuk berlatih menyetir mobil. Willy sendiri yang akan membimbingku. Kami pergi kejalanan yang sedikit sepi, untukku belajar menyetir mobil.

Hingga malam datang, aku masih belum bisa.

"Payah banget sih lo." bentaknya.
"Ya makanya jangan suruh gue." aku sangat lelah.
"Ya udah, kita lanjutin besok. Pokoknya, lo harus bisa nyetir." Willy juga mulai lelah.
"Gue capek, gue udah boleh pulang kan?" aku menatap, memohon pada Willy.
"Kita makan dulu." Willy menarikku untuk masuk kedalam mobil.

Kami menuju sebuah restoran, dan makan malam disana. Ini adalah bagian paling baik dari hari ini. Setidaknya, aku tak perlu merasakan kesialanku, selama sedang makan malam ini.

Selesai makan malam, barulah Willy mengantarku pulang.

"Makasih ya." ujarku.
"Kok jadi lo yang bilang makasih?" tanyanya sinis.
"Karena gue tau, lo gak bakalan ngomong gitu (makasih) ke gue, meski hari ini gue udah berjuang banyak buat lo." jawabku tak kalah sinis. "Lagian, tadi lo udah traktir gue makan malam. Jadi gue mau bilang makasih."
"Oke." ujarnya tak ikhlas. "Sampai ketemu besok. Tidur yang nyaman, biar lo siap buat hari esok yang lebih menyenangkan. Bye, kura-kura."

Willypun pergi. Aku hanya bergumam kesal. Hari ini saja, aku sudah dibuat gila olehnya, apalagi besok? Oh God, help me!

-to be continued-

No comments:

Post a Comment