- Stefan William as Steve
- Yuki Kato as Yuki
- Dinda Kirana as Dinda
- Adipati Dolken as Adit
Steve duduk di teras rumahnya, sambil menatap pada langit malam, penuh bintang. Pikirannya masih tentang hati dan persahabatan. Hingga saat ini, tak seorangpun dari ketiga sahabatnya yang tau bahwa Steve membutuhkan donor hati untuk kelangsungan hidupunya.
Adit datang, tanpa sepengetahuan Steve.
"Steve." Adit duduk disebelah Steve.
"Eh, elo Dit." Steve hanya tersenyum tipis.
"Udah satu bulan ini, gue liat lo sering banget ngelamun." komentar Adit. "Lo kenapa sih, Steve?"
"Gak apa-apa kok, Dit." Steve menepuk bahu Adit.
"Lo gak mau cerita sama sahabat lo ini?" tanya Adit sinis. "Lo anggap apa persahabatan kita ini? Lo mau ngebiarin sahabat lo berpikir segala macem tentang lo? Lo mau gue, Yuki sama Dinda terus-terusan bingung sama sikap lo?"
"Sorry, Dit." Steve tertunduk.
"Gue gak butuh maaf, Steve." tegas Adit. "Gue butuh penjelasan. Itupun kalo lo masih berpikir, gue orang yang pantas jadi sahabat lo."
Steve hanya diam. Dia berpikir sebentar. Dan Adit bersedia menunggunya. Menunggu Steve membuka hati untuk persahabatan ini.
"Gue..." Steve mulai berbicara. "Gue butuh pendonor hati, Dit."
"Buat apa?" tanya Adit terkejut.
"Gue menderita komplikasi hati." jawab Steve. "Karena itu, gue harus menjalani pencangkokan hati buat bertahan hidup."
"Gue bisa bantu apa?" tanya Adit serius.
"Gue, lo, atau siapapun, gak bisa bantu apa-apa, Dit." ujar Steve sinis. "Yang perlu lo sama Yuki dan Dinda lakuin adalah belajar ngerelain gue pergi."
"Dan gue bukan orang yang seperti itu, Steve." tegas Adit. "Gue gak akan tinggal diam, gue akan bantu cari pendonor hati yang cocok buat lo."
"Jangan kasih tau tentang ini sama Yuki dan Dinda ya, Dit." pinta Steve.
"Kenapa?" tanya Adit bingung.
"Gue gak mau mereka terlalu khawatir, terutama Yuki." jawab Steve.
"Yuki?" Adit mengerutkan keningnya. "Lo suka sama Yuki?"
"Lo, gak punya perasaan yang sama kan?" tanya Steve hati-hati.
"Ya nggaklah." Adit tertawa. "Kalo gitu, lo harus bilang sama Yuki."
"Janganlah." tolak Steve. "Gue cuma bakal bikin dia sakit hati, karena kita gak bisa sama-sama terus."
"Gue heran, kenapa pikiran setiap orang yang udah mau mati selalu kayak gitu." ujar Adit sinis. "Setiap mereka tau kalo umur mereka gak akan lama lagi, mereka seolah udah mati detik itu juga. Gak mau deket-deket orang yang menurut mereka masih punya umur yang panjang. Padahal, tentang kematian, siapa yang bisa tau. Nikmatin aja hidup kita setiap harinya, dengan berguna buat orang lain. Toh, kematian itu pasti."
Steve diam, lalu tersenyum. Kata-kata Adit ada benarnya juga. Steve mulai lebih bisa berfikir positif.
***
Hari ini, Steve kembali menjadi Steve yang dulu. Steve yang sebelum di vonis menderita komplikasi hati. Meski dia tetap merasa, dia telah membuang sebulan yang harusnya berguna untuknya.
Steve datang kerumah Dinda, dengan sepedanya. Dinda yang melihat hal itu, sangat terkejut. Sudah lama, Steve tidak menjemputnya untuk pergi sekolah bersama dengan sepeda.
"Din, berangkat sekolah bareng gue, yuk!" ajak Steve. "Gue boncengin."
"Udah lama banget lo gak kayak gini, Steve." komentar Dinda.
"Mungkin karena kemeren-kemaren, gue terlalu sibuk mikirin sesuatu yang gak penting." Steve tersenyum lembut.
"Oke." Dinda segera naik ke boncengan sepeda Steve.
Dalam perjalanan, canda tawa mereka mengiringi. Setelah satu bulan, Dinda baru merasakan lagi betapa menyenangkannya Steve.
"Jangan ngebut-ngebut, Steve." teriak Dinda ketakutan.
"Bukannya lo gak pernah takut, kalo gue ngebut?" ujar Steve santai.
"Iya, tapi itukan udah lama banget. Mungkin aja, sekarang lo udah gak sejago dulu lagi main sepedanya." komentar Dinda.
"Mana bisa gitu." Steve tertawa. "Oh iya, Din. Nanti gue mau nembak Yuki loh."
"Hah! Serius lo?" Dinda kaget, tapi senang. "Wah, asyik nih, ada yang bakalan jadian."
"Doa'in ya, Din." pinta Steve.
"Pasti." angguk Dinda mantap.
Akhirnya, merekapun sampai disekolah. Yuki dan Adit segera menghampiri Steve dan Dinda di parkiran.
"Ada yang kembali seperti sedia kala nih." komentar Yuki.
"Kenapa sih, Ki? Lo tersiksa ya, waktu gue sempet berubah dulu?" goda Steve.
"Mulai deh, dasar geer." umpat Yuki. Steve hanya tertawa.
Adit memandang pada Steve, lalu memberi kode padanya. Steve mengangguk, lalu mengahampiri Yuki. Steve memberikan bunga lili putih kesukaan Yuki. Yuki bingung, tapi menerima pemberian Steve itu. Lalu Steve memegang tangan kanan Yuki.
"Yuki." Steve sedikit gugup. "Lo mau gak, jadi pacar gue?"
"Apa?" Yuki terkejut.
"Gue cinta sama lo." Steve melanjutkan.
"Jawab dong, Ki." ujar Adit.
"Ini bukan main-main kan?" Yuki meyakinkan.
"Ya ampun, gue udah kayak gini, masa di kira main-main." Steve menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Steve serius kali, Ki. Ayo dong, kasih jawabannya." Dinda tersenyum tipis.
"Gue... mau." ujar Yuki malu-malu.
Steve, Dinda, dan Adit langsung teriak kesenengan. Steve bahkan langsung memeluk Yuki. Kini, setiap detik menjadi begitu indah untuk Steve. Dia telah memiliki cinta dan persahabatan yang begitu sempurna untuknya. Tapi semua itu seiring dengan kesehatan Steve yang semakin menurun. Hingga kini, om Dokternya masih mengusahakan untuk mencari pendonor hati yang memenuhi syarat untuk Steve.
Steve mengajak Adit untuk menemaninya menemui om Dokter, hari ini.
"Gimana, om?" tanya Steve ragu.
"Ternyata memang tidak mudah untuk mencari pendonor Steve." om Dokter merasa tak berguna.
"Memangnya, syarat bagi pendonor itu, apa Dok?" tanya Adit.
"Pendonor harus memiliki hati yang sehat dan tidak menderita hepatitis virus ataupun perlemakan pada livernya. Pendonor dan penerima donor juga harus memiliki golongan darah yang sama. Usia minimal bagi pendonor adalah 19 tahun." terang om Dokter. "Sebenarnya, Steve bisa mendapat donor dari para anggota keluarganya. Tapi dari kami, hanya ibu Steve yang memiliki golongan darah yang sama dengan Steve. Dan ibu Steve, bukan pendonor yang pas. Karena dilihat dari usia, dan kesehatannya yang sudah tidak begitu baik lagi."
Adit tertunduk sambil berfikir. Begitu susahnya mencari pendonor hati bagi Steve. Belum lagi, dijelaskan bahwa setelah penerima donor menerima cangkok hati dari sang pendonor, penerima donor di perkirakan hanya bisa bertahan hidup selama maksimal waktu lima tahun.
Setelah mendapat penjelasan dari om Dokter, Steve dan Aditpun pulang kerumah. Meski Steve semakin merasa tak ada peluang untuk lebih lama hidup, tapi dia tetap semangat menjalaninya. Semua itu untuk sahabat dan cintanya.
"Steve." teriak Yuki.
Steve memberikan senyum sambil melambaikan tangan dari kejauhan. Yuki segera berlari ke arahnya, membawa sebuah kertas yang digulung, dan diikat dengan pita warna merah.
"Bawa apaan tuh?" tanya Steve sambil menunjuk gulungan kertas yang di bawa Yuki.
"Buka aja." Yuki menyodorkan gulungan kertas itu kepada Steve.
"Buat gue?" tanyanya sambil menujuk diri sendiri. Yuki mengangguk mantap.
Steve membuka gulungan kertas itu dengan semangatnya. Dia tersenyum, ketika melihat isinya, lalu menatap Yuki.
"Makasih ya." ujarnya lembut. "Sketsanya bagus."
"Iya." Yuki tersenyum lembut. "Sketsa dengan pensil warna merah, diatas kertas putih."
"Artinya, gabungan dari warna kita berdua?" terka Steve. Yuki hanya tersenyum.
Isi dari gulungan kertas itu adalah sketsa wajah Steve, yang dibuat sendiri oleh Yuki. Dan Steve berjanji, akan menyimpannya. Selalu.
"Ada yang kembali seperti sedia kala nih." komentar Yuki.
"Kenapa sih, Ki? Lo tersiksa ya, waktu gue sempet berubah dulu?" goda Steve.
"Mulai deh, dasar geer." umpat Yuki. Steve hanya tertawa.
Adit memandang pada Steve, lalu memberi kode padanya. Steve mengangguk, lalu mengahampiri Yuki. Steve memberikan bunga lili putih kesukaan Yuki. Yuki bingung, tapi menerima pemberian Steve itu. Lalu Steve memegang tangan kanan Yuki.
"Yuki." Steve sedikit gugup. "Lo mau gak, jadi pacar gue?"
"Apa?" Yuki terkejut.
"Gue cinta sama lo." Steve melanjutkan.
"Jawab dong, Ki." ujar Adit.
"Ini bukan main-main kan?" Yuki meyakinkan.
"Ya ampun, gue udah kayak gini, masa di kira main-main." Steve menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Steve serius kali, Ki. Ayo dong, kasih jawabannya." Dinda tersenyum tipis.
"Gue... mau." ujar Yuki malu-malu.
Steve, Dinda, dan Adit langsung teriak kesenengan. Steve bahkan langsung memeluk Yuki. Kini, setiap detik menjadi begitu indah untuk Steve. Dia telah memiliki cinta dan persahabatan yang begitu sempurna untuknya. Tapi semua itu seiring dengan kesehatan Steve yang semakin menurun. Hingga kini, om Dokternya masih mengusahakan untuk mencari pendonor hati yang memenuhi syarat untuk Steve.
Steve mengajak Adit untuk menemaninya menemui om Dokter, hari ini.
"Gimana, om?" tanya Steve ragu.
"Ternyata memang tidak mudah untuk mencari pendonor Steve." om Dokter merasa tak berguna.
"Memangnya, syarat bagi pendonor itu, apa Dok?" tanya Adit.
"Pendonor harus memiliki hati yang sehat dan tidak menderita hepatitis virus ataupun perlemakan pada livernya. Pendonor dan penerima donor juga harus memiliki golongan darah yang sama. Usia minimal bagi pendonor adalah 19 tahun." terang om Dokter. "Sebenarnya, Steve bisa mendapat donor dari para anggota keluarganya. Tapi dari kami, hanya ibu Steve yang memiliki golongan darah yang sama dengan Steve. Dan ibu Steve, bukan pendonor yang pas. Karena dilihat dari usia, dan kesehatannya yang sudah tidak begitu baik lagi."
Adit tertunduk sambil berfikir. Begitu susahnya mencari pendonor hati bagi Steve. Belum lagi, dijelaskan bahwa setelah penerima donor menerima cangkok hati dari sang pendonor, penerima donor di perkirakan hanya bisa bertahan hidup selama maksimal waktu lima tahun.
Setelah mendapat penjelasan dari om Dokter, Steve dan Aditpun pulang kerumah. Meski Steve semakin merasa tak ada peluang untuk lebih lama hidup, tapi dia tetap semangat menjalaninya. Semua itu untuk sahabat dan cintanya.
"Steve." teriak Yuki.
Steve memberikan senyum sambil melambaikan tangan dari kejauhan. Yuki segera berlari ke arahnya, membawa sebuah kertas yang digulung, dan diikat dengan pita warna merah.
"Bawa apaan tuh?" tanya Steve sambil menunjuk gulungan kertas yang di bawa Yuki.
"Buka aja." Yuki menyodorkan gulungan kertas itu kepada Steve.
"Buat gue?" tanyanya sambil menujuk diri sendiri. Yuki mengangguk mantap.
Steve membuka gulungan kertas itu dengan semangatnya. Dia tersenyum, ketika melihat isinya, lalu menatap Yuki.
"Makasih ya." ujarnya lembut. "Sketsanya bagus."
"Iya." Yuki tersenyum lembut. "Sketsa dengan pensil warna merah, diatas kertas putih."
"Artinya, gabungan dari warna kita berdua?" terka Steve. Yuki hanya tersenyum.
Isi dari gulungan kertas itu adalah sketsa wajah Steve, yang dibuat sendiri oleh Yuki. Dan Steve berjanji, akan menyimpannya. Selalu.
***
Dinda berlari menuju Steve, dan memanggil-manggil namanya. Tapi Steve tak mendengar, dia malah berjalan pergi sambil berbicara serius dengan Adit. Jadi, Dinda memutuskan untuk mengikuti mereka. Ternyata Steve dan Adit pergi ke taman bunga, tempat dimana mereka selalu berkumpul.
"Kalo gue pergi nanti, tolong jagain Yuki dan Dinda ya, Dit." ujar Steve serius.
"Kalo gue yang pergi duluan. Lo yang harus jaga mereka ya." Adit tersenyum sinis.
"Yang udah mau meninggal kan gue, Dit." umpat Steve.
"Orang sehat kan juga bisa meninggal. Steve. Kan udah gue bilang, kematian itu pasti. Tapi kita gak tau kapan." Adit menatap langit.
"Katanya, kematian para calon penerima donor hati, paling banyak adalah pada masa menunggu." Steve memaksakan senyum. "Lagian mana ada sih, orang hidup yang mau mendonorkan sebagian hatinya untuk gue. Lalu akhirnya, dia juga akan menjalani hidup gak lebih lama lagi."
"Kalo gitu, kita bisa cari pendonor dari seseorang yang baru meninggal, dan memiliki hati yang masih sehat." saran Adit.
"Tapi siapa?" tanya Steve ragu.
"Kita akan tanya sama om lo." Adit menepuk bahu Steve, meyakinkannya.
Tanpa mereka ketahui, Dinda mendengarkan semua pembicaraan mereka. Dinda tampak sedih, setelah mengetahui keadaan Steve.
Malam harinya, Dinda dan Adit akan kembali menyanyi di kafe. Dan untuk pertama kalinya, Steve dan Yuki datang untuk melihat penampilan mereka. Tiga hari yang lalu, Dinda dan Adit sudah mengatakan mengenai pekerjaan mereka ini kepada Steve dan Yuki. Jadi, mereka bersedia untuk datang dan menyaksikannya.
"Din, nanti nyanyi lagu yang romantis ya, buat gue sama Yuki." pinta Steve sambil tersenyum.
Dinda hanya mengangguk, lalu memaksakan senyum. Steve, merasa aneh melihat respon Dinda yang seperti itu.
Adit mulai memainkan gitarnya, diiringi seorang pemain piano. Kali ini, Dinda akan menyanyikan lagu Titi DJ yang Jangan Berhenti Mencintaiku. Steve, Yuki, dan seluruh pengunjung kafe menikmati nyanyian Dinda itu. Tapi semua tampak aneh, ketika Dinda mulai bernyanyi di iringi tetesan air mata.
Selesai bernyanyi, Dinda langsung turun dari panggung, dan memeluk Steve.
"Maafin gue, Steve." ujar Dinda sambil terisak, lalu pergi.
"Dinda." Adit segera mengejar Dinda.
Sementara Steve dan Yuki sedang kebingungan dengan sikap Dinda yang barusan. Menit berikutnya, Steve menggandeng tangan Yuki, dan mereka pulang.
Adit terus mengejar kemana Dinda pergi, hingga dia berhasil menangkap tangan Dinda.
"Adit." Dinda langsung memeluk Adit.
"Lo kenapa, Din?" tanya Adit lembut.
"Kenapa Steve gak pernah bilang, kalo dia butuh donor hati." Dinda semakin erat memeluk Adit.
"Lo udah tau?" Adit terkejut.
"Harusnya Steve kasih tau Yuki juga." Dinda melepas pelukannya.
"Dia gak mungkin kasih tau Yuki. Nanti Yuki bisa sedih, Din." Adit menghapus air mata Dinda.
"Kalo gitu, Steve harus segera dapet donor hati. Agar dia bisa bertahan hidup, dan terus membuat Yuki bahagia." Dinda tersenyum lembut.
Adit juga tersenyum, membelai lembut pipi kanan Dinda, kemudian memeluknya.
***
Hari ini, Dinda nekat menemui om Dokter sendirian.
"Om." sapa Dinda.
"Loh, kamu temannya Steve kan?" terka om Dokter. "Dinda?"
"Iya, om." Dinda mengangguk.
"Ada apa, Dinda?" tanya om Dokter. "Mari, silahkan duduk."
"Saya mau tanya soal cangkok hati yang harus di jalani Steve, om." Dinda mengutarakan maksudnya. "Mungkin, saya bisa bantu mencarikan donor yang cocok untuk Steve." tambahnya.
Om dokter menarik nafas sebentar, lalu menjelaskan semuanya pada Dinda.
Sementara itu, Steve, Yuki, dan Adit sedang menunggu Dinda di taman bunga.
"Udah lo telpon?" tanya Yuki pada Adit.
"Udah, Ki. Tapi handphone nya Dinda gak aktif." Adit nampak cemas.
"Tuh anak kenapa sih. Dari semalem, sikapnya aneh gitu." komentar Steve.
Adit terdiam, lalu memikirkan kemungkinan dimana Dinda berada saat ini. Tapi tak lama setelah itu, Dinda datang.
"Dinda?" Yuki tersenyum lega melihat Dinda datang.
"Maaf telat." ujar Dinda sembari tersenyum.
"Abis dari mana aja sih?" tanya Steve kesal.
"Galak banget sih lo, Steve." Dinda tertawa.
"Abisnya lo lama sih." Steve menggaruk-garuk kepalanya. "Kasian tuh si Adit, dari tadi jalan bolak-balik gara-gara lo belum dateng-dateng juga."
"Apaan sih lo, Steve." wajah Adit langsung memerah.
Mereka kembali berbaring pada hamparan rumput, sambil menatap langit.
"Lagi-lagi, langit mendung." ujar Adit tak bersemangat.
Dinda hanya tersenyum menatap langit luas itu. Dimatanya, langit tetaplah langit. Langit akan selalu menjadi jelmaan dirinya. Langit akan tetap biru.
Steve mendapat telpon dari om Dokter, untuk segera menemuinya di rumah sakit. Dan Adit memutuskan untuk menemani Steve.
"Yuki sama Dinda pulang sendiri aja ya." ujar Adit tak enak. "Soalnya, gue mau nemenin Steve bentar."
"Ya udah, gak apa-apa." Dinda melirik Steve.
"Ya udah, gak apa-apa." Dinda melirik Steve.
"Gak apa-apa kan, Ki." tanya Steve pada Yuki.
"Gak apa-apa kok. Gue pulang bareng Dinda aja." jawab Yuki sambil tersenyum merangkul Dinda.
"Ya udah, kita duluan ya." pamit Adit.
"Iya." Dinda melambaikan tangan.
Steve dan Aditpun bergegas pergi.
"Yuk Ki, kita pulang." ajak Dinda
"Yuk!" Yuki mengangguk.
"Tapi entar mampir kerumah gue dulu ya." tawar Dinda.
"Emangnya ada apa?" tanya Yuki.
"Ada yang mau gue kasih sama lo." jawab Dinda.
Sementara itu, Steve dan Adit baru saja sampai di Rumah Sakit. Mereka berdua segera menemui om Dokter di ruangannya.
"Ada apa, om?" tanya Steve penasaran.
"Besok, kamu akan menjalani operasi pencangkokan hati, Steve." om Dokter tersenyum bahagia.
"Apa?" Steve terkejut sekaligus senang. "Tapi siapa orang yang bersedia mendonorkan hatinya untuk saya, om?"
"Dia tidak mau identitasnya di beberkan." jelas om Dokter.
"Tapi, dia sudah memenuhi semua syarat bagi pendonor kan, om?" tanya Adit.
"Insyaallah sudah." angguk om Dokter.
"Apa saya bisa bertemu dengan dia om?" tanya Steve.
"Dia bilang, nanti saja. Kalo kalian sama-sama telah berhasil menjalani operasi." jelas om Dokter lagi.
"Kira-kira, siapa ya yang rela memberikan sebagian hatinya untuk Steve?" Adit bertanya dengan nada sinis. "Padahalkan, itu beresiko juga untuk kesehatannya." tambah Adit.
"Saya yakin, dia adalah orang dengan hati yang tulus." om Dokter tersenyum.
Steve dan Adit juga tersenyum. Membayangkan rupa sang pendonor itu.
Sekarang, Dinda dan Yuki sudah sampai di rumahnya Dinda. Dinda mempersilahkan Yuki duduk, sementara dia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu yang akan di berikannya untuk Yuki.
"Ki. Gue mau ngasih ini sama lo." Dinda memberikan bantal hati pemberian Steve kepada Yuki.
"Loh Din, tapi inikan pemberian Steve buat lo. Kok dikasih ke gue?" tanya Yuki bingung.
"Gue rasa lo lebih membutuhkan itu dari pada gue." Dinda tersenyum. "Lo kan pacarnya Steve, jadi yang pasti bakalan kangen sama Steve nanti, adalah lo."
"Makasih ya, Din?" Yuki memeluk Dinda.
"Oh iya, ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau sama lo." ujar Dinda ragu.
"Apa, Din?" tanya Yuki penasaran.
"Saat ini, Steve menderita komplikasi hati." Dinda mulai menjelaskan. "Dia butuh donor hati, untuk bisa bertahan hidup."
"Apa?" Yuki menahan tangisnya.
"Apa?" Yuki menahan tangisnya.
"Maaf, Ki. Gue terpaksa bilang ini sama lo. Karena bagaimanapun juga, lo harus tau gimana keadaan Steve yang sebenarnya." Dinda memeluk Yuki yang mulai menangis.
Malam harinya, Yuki datang menemui Adit di rumahnya.
"Yuki?" Adit terkejut melihat kedatangan Yuki.
"Dit, gue mau tau soal komplikasi hatinya Steve." ujar Yuki to the point.
"Lo tau dari mana, Ki?" Adit semakin terkejut.
"Dinda yang ngasih tau gue." Yuki nampak serius. "Sekarang, jelasin sama gue semuanya, Dit."
"Oke." Adit mengajak Yuki duduk. "Steve di beri tahu soal komplikasi hatinya, sekitar satu bulan lalu. Waktu dia pergi kerumah sakit untuk mengetahui hasil cek kesehatannya."
"Kenapa kalian bertiga gak ngasih tau gue? Kenapa cuma gue yang gak tau soal ini?" tanya Yuki kesal.
"Kita gak mau bikin lo sedih, Ki." Adit menenangkan Yuki. "Awalnya, Steve cuma nyimpen soal ini sendiri. Tapi gue maksa dia buat ngomong. Sedangkan Dinda, dia tau karena denger omongan gue sama Steve."
"Jadi, gimana keadaan Steve sekarang?" Yuki mulai menangis.
"Jadi, gimana keadaan Steve sekarang?" Yuki mulai menangis.
"Lo tenang aja, Steve udah dapet pendonornya kok. Besok, dia bakal ngejalanin operasi pencangkokan hati. Kita doa'in aja, supaya operasinya berhasil." Aditpun memeluk Yuki.
Setelah mendapat penjelasan dari Adit, Yuki akhirnya pulang. Dan Adit segera menghubungi Dinda, untuk memberitahukan perihal operasi Steve, besok. Tapi setelah berkali-kali Adit menelpon Dinda, Dinda tidak mengangkatnya. Akhirnya, Adit mengirimkan sms.
Adit
"Besok, Steve bakal operasi pencangkokan hati. Jangan lupa datang ke Rumah Sakit ya. Kita doa'in dia sama-sama."
Tak lama kemudian, datang sms balasan dari Dinda.
Dinda
"Yah, lo ngasih taunya dadakan banget sih. Sorry, gue gak bisa ke Rumah Sakit, besok. Ini aja, gue lagi dalam perjalanan mau kerumah nenek gue. Tapi gue pasti bakal selalu doa'in yang terbaik buat Steve. Sampein salam gue buat dia ya."
***
Hari yang paling menegangkanpun tiba. Setelah dipastikan siap untuk menjalani operasi pencangkokan hati ini, Stevepun dipersilahkan untuk masuk keruang operasi. Tapi sebelumnya, dia meminta do'a kepada semua keluarganya yang hadir saat ini, dan para sahabatnya.
"Dinda mana?" tanya Steve.
"Dia gak bisa dateng, lagi kerumah nenek, katanya." jawab Adit.
"Ohh." Steve hanya menarik nafas berat, lalu menatap Yuki.
"Lo pasti bisa, Steve." Yuki segera memeluk Steve. "Kita akan ketemu, dan kumpul bareng lagi di taman bunga."
"Iya." mata Steve tiba-tiba tertuju pada bantal hati yang dibawa Yuki. "Bantal itu."
"Oh iya. Dinda yang ngasihin ini buat gue. Dia bilang, gue bakalan lebih membutuhkan ini." Yuki menatap bantal hati itu.
"Kalo gitu, sekarang bantal hati ini adalah lambang cinta gue sama lo." Steve tersenyum lembut. Yuki mengangguk.
"Dan juga lambang persahabatan kita." Adit menambahkan.
Mereka bertigapun berpelukan. Tiba-tiba, handphone Adit berbunyi, ada panggilan masuk dari Dinda. Dan Adit segera mengangkatnya.
"Halo, Din."
"Hai, Dit. Tolong kasiin handphone lo ke Steve dong. Gue mau ngomong sama dia."
"Oh, oke."
Adit memberikan handphonenya pada Steve.
"Halo, Din?"
"Hai Steve."
"Kok lo gak dateng sih?"
"Maaf banget ya. Kayaknya, gue kirim doa aja. Semoga operasinya berhasil."
"Amin."
"Steve..."
"Ya?"
"Tetep terus ingat langit ya."
"Pasti dong."
"Anggap aja, hati yang lo terima nanti itu, adalah lambang cinta dan persahabatan sejati kita."
"Iya."
"Steve..."
"Hmm."
"Gue sayang sama lo. Lo adalah sahabat gue yang paling terbaik. Kalo lo udah bisa kembali ngejalanin hidup dengan hati yang baru. Lo harus terus menjaga cinta sejati lo ya. Yuki."
"Oke. Itu pasti."
"Ya udah deh, bye."
"Bye."
Telponnya berakhir. Steve segera memberikan handphone itu kembali pada Adit.
"Steve, ayo!" om Dokter mengisyaratkan Steve untuk segera memasuki ruangan operasi.
Steve menatap kedua sahabatnya dengan haru. Yuki dan Adit, memberikan senyum untuk menyemangati Steve.
***
Operasi berjalan lancar. Steve tinggal menjalani proses penyembuhan yang lain. Tapi ada satu berita buruk, pendonor hati untuk Steve, dinyatakan meninggal dunia. Om Dokter langsung menemui Steve, untuk memberitahunya. Dan disana juga ada Yuki dan Adit. Mereka semua sudah mengetahui perihal meninggalnya sang pendonor.
"Maafkan om, Steve." om Dokter menangis.
"Steve mau lihat dia, om. Steve mau lihat wajah pendonor hati untuk Steve." Steve memaksakan bangun, padahal kondisinya sedang lemah.
"Jangan, Steve." om Dokter menahan Steve. "Om, akan berterus terang mengenai identitas pendonor kamu itu."
Steve, Yuki, dan Adit diam. Menunggu om Dokter membuka suara.
"Pendonor itu, adalah Dinda. Sahabat kamu, Steve." om Dokter mulai bicara.
"Apa?" Steve, Yuki, dan Adit sangat terkejut.
"Om bilang, pendonor itu sudah memenuhi syarat sebagai pendonor." ujar Adit kesal. "Tapi ternyata enggak. Om tau kan, Dinda itu masih 16 tahun. Dia belum bisa jadi pendonor. Kenapa om menerimanya."
"Om akan ceritakan semuanya." om Dokter nampak tegang, lalu mulai bercerita.
Dihari ketika Dinda datang menemui om Dokter untuk menanyakan perihal komplikasi hati yang diderita Steve, terjadilah percakapan berikut ini,
"Saya bersedia jadi pendonornya, om." ujar Dinda sungguh-sungguh.
"Tapi itu tidak mungkin, Dinda. Umur kamu belum cukup." larang om Dokter.
"Saya mohon, om." Dinda benar-benar memohon.
"Itu bisa membahayakan jiwa kamu, Din." om Dokter memperingatkan.
"Tapi om juga gak mau kan, ngeliat Steve terus-terusan tersiksa?" Dinda terus berusaha. "Tolonglah, om. Saya rela, asalakan Steve bisa bertahan hidup." tambah Dinda.
"Kamu yakin?" tanya om Dokter.
"Saya sangat yakin, om." angguk Dinda mantap.
"Kalau begitu, saya harus bertemu dengan kedua orang tua kamu." pinta om Dokter.
"Saya akan bawa mereka kesini, om." Dinda tersenyum lega.
***
Hari ini, Dinda akan dimakamkan. Meski masih lemah, tapi Steve tetap datang kepemakaman sahabatnya itu. Steve, Yuki, dan Adit menatap ke langit. Hari ini, langit tampak indah berwarna biru.
"Kami akan selalu menyayangimu, Dinda." ujar Steve pada langit.
"Kamu tetap bagian dari persahabatan ini." Yuki ikut berbicara, sambil menatap langit biru itu.
"Dan satu hal yang tak sempat aku katakan, aku mencintaimu, Dinda." Adit tersenyum pada langit.
"Hatimu, akan selalu hidup didalam hatiku, Dinda." Steve memegang dadanya. "Ini untuk cinta sejatiku, Yuki. Dan untuk persahabatan kita."
Meskipun Dinda telah pergi. Tapi Steve, Yuki, dan Adit selalu mengingatnya. Setiap mereka rindu akan Dinda, maka mereka akan menatap langit biru. Dan mereka selalu seperti bisa melihat senyum Dinda disana. Terima kasih, Dinda.
-END-