Monday, June 25, 2012

MY HEART, TRUE LOVE - 2

  • Stefan William as Steve
  • Yuki Kato as Yuki
  • Dinda Kirana as Dinda
  • Adipati Dolken as Adit
Satu bulan berlalu, dan Steve belum juga mendapat kabar untuk pencangkokan hatinya. Steve semakin putus asa. Bagaimanapun, dia tidak ingin pergi secepat itu. Steve menyanyangi ketiga sahabatnya. Terutama Yuki, Steve mencintainya.

Steve duduk di teras rumahnya, sambil menatap pada langit malam, penuh bintang. Pikirannya masih tentang hati dan persahabatan. Hingga saat ini, tak seorangpun dari ketiga sahabatnya yang tau bahwa Steve membutuhkan donor hati untuk kelangsungan hidupunya.

Adit datang, tanpa sepengetahuan Steve.

"Steve." Adit duduk disebelah Steve.
"Eh, elo Dit." Steve hanya tersenyum tipis.
"Udah satu bulan ini, gue liat lo sering banget ngelamun." komentar Adit. "Lo kenapa sih, Steve?"
"Gak apa-apa kok, Dit." Steve menepuk bahu Adit.
"Lo gak mau cerita sama sahabat lo ini?" tanya Adit sinis. "Lo anggap apa persahabatan kita ini? Lo mau ngebiarin sahabat lo berpikir segala macem tentang lo? Lo mau gue, Yuki sama Dinda terus-terusan bingung sama sikap lo?"
"Sorry, Dit." Steve tertunduk.
"Gue gak butuh maaf, Steve." tegas Adit. "Gue butuh penjelasan. Itupun kalo lo masih berpikir, gue orang yang pantas jadi sahabat lo."

Steve hanya diam. Dia berpikir sebentar. Dan Adit bersedia menunggunya. Menunggu Steve membuka hati untuk persahabatan ini.

"Gue..." Steve mulai berbicara. "Gue butuh pendonor hati, Dit."
"Buat apa?" tanya Adit terkejut.
"Gue menderita komplikasi hati." jawab Steve. "Karena itu, gue harus menjalani pencangkokan hati buat bertahan hidup."
"Gue bisa bantu apa?" tanya Adit serius.
"Gue, lo, atau siapapun, gak bisa bantu apa-apa, Dit." ujar Steve sinis. "Yang perlu lo sama Yuki dan Dinda lakuin adalah belajar ngerelain gue pergi."
"Dan gue bukan orang yang seperti itu, Steve." tegas Adit. "Gue gak akan tinggal diam, gue akan bantu cari pendonor hati yang cocok buat lo."
"Jangan kasih tau tentang ini sama Yuki dan Dinda ya, Dit." pinta Steve.
"Kenapa?" tanya Adit bingung.
"Gue gak mau mereka terlalu khawatir, terutama Yuki." jawab Steve.
"Yuki?" Adit mengerutkan keningnya. "Lo suka sama Yuki?"
"Lo, gak punya perasaan yang sama kan?" tanya Steve hati-hati.
"Ya nggaklah." Adit tertawa. "Kalo gitu, lo harus bilang sama Yuki."
"Janganlah." tolak Steve. "Gue cuma bakal bikin dia sakit hati, karena kita gak bisa sama-sama terus."
"Gue heran, kenapa pikiran setiap orang yang udah mau mati selalu kayak gitu." ujar Adit sinis. "Setiap mereka tau kalo umur mereka gak akan lama lagi, mereka seolah udah mati detik itu juga. Gak mau deket-deket orang yang menurut mereka masih punya umur yang panjang. Padahal, tentang kematian, siapa yang bisa tau. Nikmatin aja hidup kita setiap harinya, dengan berguna buat orang lain. Toh, kematian itu pasti."

Steve diam, lalu tersenyum. Kata-kata Adit ada benarnya juga. Steve mulai lebih bisa berfikir positif.

***

Hari ini, Steve kembali menjadi Steve yang dulu. Steve yang sebelum di vonis menderita komplikasi hati. Meski dia tetap merasa, dia telah membuang sebulan yang harusnya berguna untuknya.

Steve datang kerumah Dinda, dengan sepedanya. Dinda yang melihat hal itu, sangat terkejut. Sudah lama, Steve tidak menjemputnya untuk pergi sekolah bersama dengan sepeda.

"Din, berangkat sekolah bareng gue, yuk!" ajak Steve. "Gue boncengin."
"Udah lama banget lo gak kayak gini, Steve." komentar Dinda.
"Mungkin karena kemeren-kemaren, gue terlalu sibuk mikirin sesuatu yang gak penting." Steve tersenyum lembut.
"Oke." Dinda segera naik ke boncengan sepeda Steve.

Dalam perjalanan, canda tawa mereka mengiringi. Setelah satu bulan, Dinda baru merasakan lagi betapa menyenangkannya Steve.

"Jangan ngebut-ngebut, Steve." teriak Dinda ketakutan.
"Bukannya lo gak pernah takut, kalo gue ngebut?" ujar Steve santai.
"Iya, tapi itukan udah lama banget. Mungkin aja, sekarang lo udah gak sejago dulu lagi main sepedanya." komentar Dinda.
"Mana bisa gitu." Steve tertawa. "Oh iya, Din. Nanti gue mau nembak Yuki loh."
"Hah! Serius lo?" Dinda kaget, tapi senang. "Wah, asyik nih, ada yang bakalan jadian."
"Doa'in ya, Din." pinta Steve.
"Pasti." angguk Dinda mantap.

Akhirnya, merekapun sampai disekolah. Yuki dan Adit segera menghampiri Steve dan Dinda di parkiran.

"Ada yang kembali seperti sedia kala nih." komentar Yuki.
"Kenapa sih, Ki? Lo tersiksa ya, waktu gue sempet berubah dulu?" goda Steve.
"Mulai deh, dasar geer." umpat Yuki. Steve hanya tertawa.

Adit memandang pada Steve, lalu memberi kode padanya. Steve mengangguk, lalu mengahampiri Yuki. Steve memberikan bunga lili putih kesukaan Yuki. Yuki bingung, tapi menerima pemberian Steve itu. Lalu Steve memegang tangan kanan Yuki.

"Yuki." Steve sedikit gugup. "Lo mau gak, jadi pacar gue?"
"Apa?" Yuki terkejut.
"Gue cinta sama lo." Steve melanjutkan.
"Jawab dong, Ki." ujar Adit.
"Ini bukan main-main kan?" Yuki meyakinkan.
"Ya ampun, gue udah kayak gini, masa di kira main-main." Steve menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Steve serius kali, Ki. Ayo dong, kasih jawabannya." Dinda tersenyum tipis.
"Gue... mau." ujar Yuki malu-malu.

Steve, Dinda, dan Adit langsung teriak kesenengan. Steve bahkan langsung memeluk Yuki. Kini, setiap detik menjadi begitu indah untuk Steve. Dia telah memiliki cinta dan persahabatan yang begitu sempurna untuknya. Tapi semua itu seiring dengan kesehatan Steve yang semakin menurun. Hingga kini, om Dokternya masih mengusahakan untuk mencari pendonor hati yang memenuhi syarat untuk Steve.

Steve mengajak Adit untuk menemaninya menemui om Dokter, hari ini.

"Gimana, om?" tanya Steve ragu.
"Ternyata memang tidak mudah untuk mencari pendonor Steve." om Dokter merasa tak berguna.
"Memangnya, syarat bagi pendonor itu, apa Dok?" tanya Adit.
"Pendonor harus memiliki hati yang sehat dan tidak menderita hepatitis virus ataupun perlemakan pada livernya. Pendonor dan penerima donor juga harus memiliki golongan darah yang sama. Usia minimal bagi pendonor adalah 19 tahun." terang om Dokter. "Sebenarnya, Steve bisa mendapat donor dari para anggota keluarganya. Tapi dari kami, hanya ibu Steve yang memiliki golongan darah yang sama dengan Steve. Dan ibu Steve, bukan pendonor yang pas. Karena dilihat dari usia, dan kesehatannya yang sudah tidak begitu baik lagi."

Adit tertunduk sambil berfikir. Begitu susahnya mencari pendonor hati bagi Steve. Belum lagi, dijelaskan bahwa setelah penerima donor menerima cangkok hati dari sang pendonor, penerima donor di perkirakan hanya bisa bertahan hidup selama maksimal waktu lima tahun.

Setelah mendapat penjelasan dari om Dokter, Steve dan Aditpun pulang kerumah. Meski Steve semakin merasa tak ada peluang untuk lebih lama hidup, tapi dia tetap semangat menjalaninya. Semua itu untuk sahabat dan cintanya.

"Steve." teriak Yuki.

Steve memberikan senyum sambil melambaikan tangan dari kejauhan. Yuki segera berlari ke arahnya, membawa sebuah kertas yang digulung, dan diikat dengan pita warna merah.

"Bawa apaan tuh?" tanya Steve sambil menunjuk gulungan kertas yang di bawa Yuki.
"Buka aja." Yuki menyodorkan gulungan kertas itu kepada Steve.
"Buat gue?" tanyanya sambil menujuk diri sendiri. Yuki mengangguk mantap.

Steve membuka gulungan kertas itu dengan semangatnya. Dia tersenyum, ketika melihat isinya, lalu menatap Yuki.

"Makasih ya." ujarnya lembut. "Sketsanya bagus."
"Iya." Yuki tersenyum lembut. "Sketsa dengan pensil warna merah, diatas kertas putih."
"Artinya, gabungan dari warna kita berdua?" terka Steve. Yuki hanya tersenyum.

Isi dari gulungan kertas itu adalah sketsa wajah Steve, yang dibuat sendiri oleh Yuki. Dan Steve berjanji, akan menyimpannya. Selalu.

***

Dinda berlari menuju Steve, dan memanggil-manggil namanya. Tapi Steve tak mendengar, dia malah berjalan pergi sambil berbicara serius dengan Adit. Jadi, Dinda memutuskan untuk mengikuti mereka. Ternyata Steve dan Adit pergi ke taman bunga, tempat dimana mereka selalu berkumpul.

"Kalo gue pergi nanti, tolong jagain Yuki dan Dinda ya, Dit." ujar Steve serius.
"Kalo gue yang pergi duluan. Lo yang harus jaga mereka ya." Adit tersenyum sinis.
"Yang udah mau meninggal kan gue, Dit." umpat Steve.
"Orang sehat kan juga bisa meninggal. Steve. Kan udah gue bilang, kematian itu pasti. Tapi kita gak tau kapan." Adit menatap langit.
"Katanya, kematian para calon penerima donor hati, paling banyak adalah pada masa menunggu." Steve memaksakan senyum. "Lagian mana ada sih, orang hidup yang mau mendonorkan sebagian hatinya untuk gue. Lalu akhirnya, dia juga akan menjalani hidup gak lebih lama lagi."
"Kalo gitu, kita bisa cari pendonor dari seseorang yang baru meninggal, dan memiliki hati yang masih sehat." saran Adit.
"Tapi siapa?" tanya Steve ragu.
"Kita akan tanya sama om lo." Adit menepuk bahu Steve, meyakinkannya.

Tanpa mereka ketahui, Dinda mendengarkan semua pembicaraan mereka. Dinda tampak sedih, setelah mengetahui keadaan Steve.

Malam harinya, Dinda dan Adit akan kembali menyanyi di kafe. Dan untuk pertama kalinya, Steve dan Yuki datang untuk melihat penampilan mereka. Tiga hari yang lalu, Dinda dan Adit sudah mengatakan mengenai pekerjaan mereka ini kepada Steve dan Yuki. Jadi, mereka bersedia untuk datang dan menyaksikannya.

"Din, nanti nyanyi lagu yang romantis ya, buat gue sama Yuki." pinta Steve sambil tersenyum.

Dinda hanya mengangguk, lalu memaksakan senyum. Steve, merasa aneh melihat respon Dinda yang seperti itu.

Adit mulai memainkan gitarnya, diiringi seorang pemain piano. Kali ini, Dinda akan menyanyikan lagu Titi DJ yang Jangan Berhenti Mencintaiku. Steve, Yuki, dan seluruh pengunjung kafe menikmati nyanyian Dinda itu. Tapi semua tampak aneh, ketika Dinda mulai bernyanyi di iringi tetesan air mata.

Selesai bernyanyi, Dinda langsung turun dari panggung, dan memeluk Steve.

"Maafin gue, Steve." ujar Dinda sambil terisak, lalu pergi.
"Dinda." Adit segera mengejar Dinda.

Sementara Steve dan Yuki sedang kebingungan dengan sikap Dinda yang barusan. Menit berikutnya, Steve menggandeng tangan Yuki, dan mereka pulang.

Adit terus mengejar kemana Dinda pergi, hingga dia berhasil menangkap tangan Dinda.

"Adit." Dinda langsung memeluk Adit.
"Lo kenapa, Din?" tanya Adit lembut.
"Kenapa Steve gak pernah bilang, kalo dia butuh donor hati." Dinda semakin erat memeluk Adit.
"Lo udah tau?" Adit terkejut.
"Harusnya Steve kasih tau Yuki juga." Dinda melepas pelukannya.
"Dia gak mungkin kasih tau Yuki. Nanti Yuki bisa sedih, Din." Adit menghapus air mata Dinda.
"Kalo gitu, Steve harus segera dapet donor hati. Agar dia bisa bertahan hidup, dan terus membuat Yuki bahagia." Dinda tersenyum lembut.

Adit juga tersenyum, membelai lembut pipi kanan Dinda, kemudian memeluknya.

***

Hari ini, Dinda nekat menemui om Dokter sendirian.

"Om." sapa Dinda.
"Loh, kamu temannya Steve kan?" terka om Dokter. "Dinda?"
"Iya, om." Dinda mengangguk.
"Ada apa, Dinda?" tanya om Dokter. "Mari, silahkan duduk."
"Saya mau tanya soal cangkok hati yang harus di jalani Steve, om." Dinda mengutarakan maksudnya. "Mungkin, saya bisa bantu mencarikan donor yang cocok untuk Steve." tambahnya.

Om dokter menarik nafas sebentar, lalu menjelaskan semuanya pada Dinda.

Sementara itu, Steve, Yuki, dan Adit sedang menunggu Dinda di taman bunga.

"Udah lo telpon?" tanya Yuki pada Adit.
"Udah, Ki. Tapi handphone nya Dinda gak aktif." Adit nampak cemas.
"Tuh anak kenapa sih. Dari semalem, sikapnya aneh gitu." komentar Steve.

Adit terdiam, lalu memikirkan kemungkinan dimana Dinda berada saat ini. Tapi tak lama setelah itu, Dinda datang.

"Dinda?" Yuki tersenyum lega melihat Dinda datang.
"Maaf telat." ujar Dinda sembari tersenyum.
"Abis dari mana aja sih?" tanya Steve kesal.
"Galak banget sih lo, Steve." Dinda tertawa.
"Abisnya lo lama sih." Steve menggaruk-garuk kepalanya. "Kasian tuh si Adit, dari tadi jalan bolak-balik gara-gara lo belum dateng-dateng juga."
"Apaan sih lo, Steve." wajah Adit langsung memerah.

Mereka kembali berbaring pada hamparan rumput, sambil menatap langit.

"Lagi-lagi, langit mendung." ujar Adit tak bersemangat.

Dinda hanya tersenyum menatap langit luas itu. Dimatanya, langit tetaplah langit. Langit akan selalu menjadi jelmaan dirinya. Langit akan tetap biru.

Steve mendapat telpon dari om Dokter, untuk segera menemuinya di rumah sakit. Dan Adit memutuskan untuk menemani Steve.

"Yuki sama Dinda pulang sendiri aja ya." ujar Adit tak enak. "Soalnya, gue mau nemenin Steve bentar."
"Ya udah, gak apa-apa." Dinda melirik Steve.
"Gak apa-apa kan, Ki." tanya Steve pada Yuki.
"Gak apa-apa kok. Gue pulang bareng Dinda aja." jawab Yuki sambil tersenyum merangkul Dinda.
"Ya udah, kita duluan ya." pamit Adit.
"Iya." Dinda melambaikan tangan.

Steve dan Aditpun bergegas pergi.

"Yuk Ki, kita pulang." ajak Dinda
"Yuk!" Yuki mengangguk.
"Tapi entar mampir kerumah gue dulu ya." tawar Dinda.
"Emangnya ada apa?" tanya Yuki.
"Ada yang mau gue kasih sama lo." jawab Dinda.

Sementara itu, Steve dan Adit baru saja sampai di Rumah Sakit. Mereka berdua segera menemui om Dokter di ruangannya.

"Ada apa, om?" tanya Steve penasaran.
"Besok, kamu akan menjalani operasi pencangkokan hati, Steve." om Dokter tersenyum bahagia.
"Apa?" Steve terkejut sekaligus senang. "Tapi siapa orang yang bersedia mendonorkan hatinya untuk saya, om?"
"Dia tidak mau identitasnya di beberkan." jelas om Dokter.
"Tapi, dia sudah memenuhi semua syarat bagi pendonor kan, om?" tanya Adit.
"Insyaallah sudah." angguk om Dokter.
"Apa saya bisa bertemu dengan dia om?" tanya Steve.
"Dia bilang, nanti saja. Kalo kalian sama-sama telah berhasil menjalani operasi." jelas om Dokter lagi.
"Kira-kira, siapa ya yang rela memberikan sebagian hatinya untuk Steve?" Adit bertanya dengan nada sinis. "Padahalkan, itu beresiko juga untuk kesehatannya." tambah Adit.
"Saya yakin, dia adalah orang dengan hati yang tulus." om Dokter tersenyum.

Steve dan Adit juga tersenyum. Membayangkan rupa sang pendonor itu.

Sekarang, Dinda dan Yuki sudah sampai di rumahnya Dinda. Dinda mempersilahkan Yuki duduk, sementara dia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil sesuatu yang akan di berikannya untuk Yuki.

"Ki. Gue mau ngasih ini sama lo." Dinda memberikan bantal hati pemberian Steve kepada Yuki.
"Loh Din, tapi inikan pemberian Steve buat lo. Kok dikasih ke gue?" tanya Yuki bingung.
"Gue rasa lo lebih membutuhkan itu dari pada gue." Dinda tersenyum. "Lo kan pacarnya Steve, jadi yang pasti bakalan kangen sama Steve nanti, adalah lo."
"Makasih ya, Din?" Yuki memeluk Dinda.
"Oh iya, ada satu hal lagi yang mau gue kasih tau sama lo." ujar Dinda ragu.
"Apa, Din?" tanya Yuki penasaran.
"Saat ini, Steve menderita komplikasi hati." Dinda mulai menjelaskan. "Dia butuh donor hati, untuk bisa bertahan hidup."
"Apa?" Yuki menahan tangisnya.
"Maaf, Ki. Gue terpaksa bilang ini sama lo. Karena bagaimanapun juga, lo harus tau gimana keadaan Steve yang sebenarnya." Dinda memeluk Yuki yang mulai menangis.

Malam harinya, Yuki datang menemui Adit di rumahnya.

"Yuki?" Adit terkejut melihat kedatangan Yuki.
"Dit, gue mau tau soal komplikasi hatinya Steve." ujar Yuki to the point.
"Lo tau dari mana, Ki?" Adit semakin terkejut.
"Dinda yang ngasih tau gue." Yuki nampak serius. "Sekarang, jelasin sama gue semuanya, Dit."
"Oke." Adit mengajak Yuki duduk. "Steve di beri tahu soal komplikasi hatinya, sekitar satu bulan lalu. Waktu dia pergi kerumah sakit untuk mengetahui hasil cek kesehatannya."
"Kenapa kalian bertiga gak ngasih tau gue? Kenapa cuma gue yang gak tau soal ini?" tanya Yuki kesal.
"Kita gak mau bikin lo sedih, Ki." Adit menenangkan Yuki. "Awalnya, Steve cuma nyimpen soal ini sendiri. Tapi gue maksa dia buat ngomong. Sedangkan Dinda, dia tau karena denger omongan gue sama Steve."
"Jadi, gimana keadaan Steve sekarang?" Yuki mulai menangis.
"Lo tenang aja, Steve udah dapet pendonornya kok. Besok, dia bakal ngejalanin operasi pencangkokan hati. Kita doa'in aja, supaya operasinya berhasil." Aditpun memeluk Yuki.

Setelah mendapat penjelasan dari Adit, Yuki akhirnya pulang. Dan Adit segera menghubungi Dinda, untuk memberitahukan perihal operasi Steve, besok. Tapi setelah berkali-kali Adit menelpon Dinda, Dinda tidak mengangkatnya. Akhirnya, Adit mengirimkan sms.

Adit
"Besok, Steve bakal operasi pencangkokan hati. Jangan lupa datang ke Rumah Sakit ya. Kita doa'in dia sama-sama."

Tak lama kemudian, datang sms balasan dari Dinda.

Dinda
"Yah, lo ngasih taunya dadakan banget sih. Sorry, gue gak bisa ke Rumah Sakit, besok. Ini aja, gue lagi dalam perjalanan mau kerumah nenek gue. Tapi gue pasti bakal selalu doa'in yang terbaik buat Steve. Sampein salam gue buat dia ya."
Adit tampak sedih membaca balasan sms dari Dinda. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

***

Hari yang paling menegangkanpun tiba. Setelah dipastikan siap untuk menjalani operasi pencangkokan hati ini, Stevepun dipersilahkan untuk masuk keruang operasi. Tapi sebelumnya, dia meminta do'a kepada semua keluarganya yang hadir saat ini, dan para sahabatnya.

"Dinda mana?" tanya Steve.
"Dia gak bisa dateng, lagi kerumah nenek, katanya." jawab Adit.
"Ohh." Steve hanya menarik nafas berat, lalu menatap Yuki.
"Lo pasti bisa, Steve." Yuki segera memeluk Steve. "Kita akan ketemu, dan kumpul bareng lagi di taman bunga."
"Iya." mata Steve tiba-tiba tertuju pada bantal hati yang dibawa Yuki. "Bantal itu."
"Oh iya. Dinda yang ngasihin ini buat gue. Dia bilang, gue bakalan lebih membutuhkan ini." Yuki menatap bantal hati itu.
"Kalo gitu, sekarang bantal hati ini adalah lambang cinta gue sama lo." Steve tersenyum lembut. Yuki mengangguk.
"Dan juga lambang persahabatan kita." Adit menambahkan.

Mereka bertigapun berpelukan. Tiba-tiba, handphone Adit berbunyi, ada panggilan masuk dari Dinda. Dan Adit segera mengangkatnya.

"Halo, Din."
"Hai, Dit. Tolong kasiin handphone lo ke Steve dong. Gue mau ngomong sama dia."
"Oh, oke."

Adit memberikan handphonenya pada Steve.

"Halo, Din?"
"Hai Steve."
"Kok lo gak dateng sih?"
"Maaf banget ya. Kayaknya, gue kirim doa aja. Semoga operasinya berhasil."
"Amin."
"Steve..."
"Ya?"
"Tetep terus ingat langit ya."
"Pasti dong."
"Anggap aja, hati yang lo terima nanti itu, adalah lambang cinta dan persahabatan sejati kita."
"Iya."
"Steve..."
"Hmm."
"Gue sayang sama lo. Lo adalah sahabat gue yang paling terbaik. Kalo lo udah bisa kembali ngejalanin hidup dengan hati yang baru. Lo harus terus menjaga cinta sejati lo ya. Yuki."
"Oke. Itu pasti."
"Ya udah deh, bye."
"Bye."

Telponnya berakhir. Steve segera memberikan handphone itu kembali pada Adit.

"Steve, ayo!" om Dokter mengisyaratkan Steve untuk segera memasuki ruangan operasi.

Steve menatap kedua sahabatnya dengan haru. Yuki dan Adit, memberikan senyum untuk menyemangati Steve.

***

Operasi berjalan lancar. Steve tinggal menjalani proses penyembuhan yang lain. Tapi ada satu berita buruk, pendonor hati untuk Steve, dinyatakan meninggal dunia. Om Dokter langsung menemui Steve, untuk memberitahunya. Dan disana juga ada Yuki dan Adit. Mereka semua sudah mengetahui perihal meninggalnya sang pendonor.

"Maafkan om, Steve." om Dokter menangis.
"Steve mau lihat dia, om. Steve mau lihat wajah pendonor hati untuk Steve." Steve memaksakan bangun, padahal kondisinya sedang lemah.
"Jangan, Steve." om Dokter menahan Steve. "Om, akan berterus terang mengenai identitas pendonor kamu itu."

Steve, Yuki, dan Adit diam. Menunggu om Dokter membuka suara.

"Pendonor itu, adalah Dinda. Sahabat kamu, Steve." om Dokter mulai bicara.
"Apa?" Steve, Yuki, dan Adit sangat terkejut.
"Om bilang, pendonor itu sudah memenuhi syarat sebagai pendonor." ujar Adit kesal. "Tapi ternyata enggak. Om tau kan, Dinda itu masih 16 tahun. Dia belum bisa jadi pendonor. Kenapa om menerimanya."
"Om akan ceritakan semuanya." om Dokter nampak tegang, lalu mulai bercerita.

Dihari ketika Dinda datang menemui om Dokter untuk menanyakan perihal komplikasi hati yang diderita Steve, terjadilah percakapan berikut ini,

"Saya bersedia jadi pendonornya, om." ujar Dinda sungguh-sungguh.
"Tapi itu tidak mungkin, Dinda. Umur kamu belum cukup." larang om Dokter.
"Saya mohon, om." Dinda benar-benar memohon.
"Itu bisa membahayakan jiwa kamu, Din." om Dokter memperingatkan.
"Tapi om juga gak mau kan, ngeliat Steve terus-terusan tersiksa?" Dinda terus berusaha. "Tolonglah, om. Saya rela, asalakan Steve bisa bertahan hidup." tambah Dinda.
"Kamu yakin?" tanya om Dokter.
"Saya sangat yakin, om." angguk Dinda mantap.
"Kalau begitu, saya harus bertemu dengan kedua orang tua kamu." pinta om Dokter.
"Saya akan bawa mereka kesini, om." Dinda tersenyum lega.

*** 

Hari ini, Dinda akan dimakamkan. Meski masih lemah, tapi Steve tetap datang kepemakaman sahabatnya itu. Steve, Yuki, dan Adit menatap ke langit. Hari ini, langit tampak indah berwarna biru.
"Kami akan selalu menyayangimu, Dinda." ujar Steve pada langit.
"Kamu tetap bagian dari persahabatan ini." Yuki ikut berbicara, sambil menatap langit biru itu.
"Dan satu hal yang tak sempat aku katakan, aku mencintaimu, Dinda." Adit tersenyum pada langit.
"Hatimu, akan selalu hidup didalam hatiku, Dinda." Steve memegang dadanya. "Ini untuk cinta sejatiku, Yuki. Dan untuk persahabatan kita."

Meskipun Dinda telah pergi. Tapi Steve, Yuki, dan Adit selalu mengingatnya. Setiap mereka rindu akan Dinda, maka mereka akan menatap langit biru. Dan mereka selalu seperti bisa melihat senyum Dinda disana. Terima kasih, Dinda.

-END-

Saturday, June 23, 2012

MY HEART, TRUE LOVE - 1

  • Stefan William as Steve
  • Yuki Kato as Yuki
  • Dinda Kirana as Dinda
  • Adipati Dolken as Adit

Cerita ini dibuat, karena saya mengidolakan kedua pasangan dalam sinetron remaja ini. Stefan William dan Yuki Kato (Arti Sahabat). Adipati Dolken dan Dinda Kirana (Kepompong). \(´▽`)/

KISAH TENTANG PERSAHABATAN DAN CINTA EMPAT ORANG REMAJA!


Steve berlari menuju sahabatnya, Dinda. Hari ini adalah hari kelulusan anak-anak SMP Bintang. Sebentar lagi, mereka akan menjadi anak SMA.

"Din, gue lulus, Din. Gue LULUS!" ujar Steve berulang-ulang.
"Iya, Steve. Iya." Dindapun sampai harus menjawab berulang-ulang pula.
"Abis ini, kita bakalan jadi siswa SMA Pelangi." Steve semakin bersemangat.

Dinda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah Steve. Dinda dan Steve sudah bersahabat sejak kelas satu SD. Mereka sudah seperti saudara. Sebenarnya, umur mereka hanya berbeda dua bulan saja. Steve lahir pada bulan Januari, sedangkan Dinda lahir pada bulan Maret. Tapi meski begitu, sikap Dinda lebih dewasa bila dibandingkan dengan Steve.

Dinda adalah pecinta warna biru. Dan Steve adalah pecinta warna merah. Warna biru di ibaratkan langit. Dan warna merah di ibaratkan hati.

"Steve. Kalau suatu saat nanti kita berpisah dan lo merindukan gue, maka lihatlah langit. Dan rasa rindu lo akan terlepaskan." Dinda tersenyum lembut.
"Dinda. Kalau suatu saat nanti kita berpisah dan lo merindukan gue, maka peluklah bantal hati ini. Dan rasa rindu lo akan terlepaskan." Steve tersenyum, sambil memberikan bantal hati itu pada Dinda.

***

Sementara itu di SMP yang lain, dua orang sahabat yaitu Yuki dan Adit juga sedang berbahagia bisa lulus dari SMP Mulia.

"Selamat ya, Ki. Lo jadi murid dengan nilai ujian tertinggi disekolah." Adit menjabat tangan sahabatnya itu.
"Makasih ya, Dit. Gue juga gak nyangka banget." Yuki tersenyum bangga.
"Setelah ini, kita akan jadi siswa SMA Pelangi." Adit mulai membayangkan indahnya jadi anak putih abu-abu.

Yukipun ikut membayangkan hal yang sama seperti Adit. Yuki dan Adit sudah bersama sejak mereka kecil. Mereka berdua adalah cucu dari kakek yang sama, tapi nenek yang berbeda. Kakek mereka memiliki dua orang istri. Dan Yuki juga Adit, menganggap hubungan mereka ini adalah sahabat. Mereka lahir pada bulan yang sama, yaitu Februari. Adit pada tanggal sebelas. Sedangkan Yuki pada tanggal dua puluh satu.

Yuki adalah pecinta warna putih. Dan Adit adalah pecinta warna hijau. Warna putih di ibaratkan kertas. Dan warna hijau di ibaratkan daun.

"Adit. Kalau suatu saat nanti kita berpisah dan lo merindukan gue, maka tulislah nama gue dikertas putih ini. Dan rasa rindu lo akan terlepaskan." Yuki tersenyum, sambil memberi kertas putih itu pada Adit.
"Yuki. Kalau suatu saat nanti kita berpisah dan lo merindukan gue, maka lihatlah daun. Dan rasa rindu lo akan terlepaskan." Adit tersenyum lembut.

***

Masa Orientasi Siswa (MOS) akan segera dilaksanakan. Semua calon siswa SMA Pelangi sudah berkumpul dilapangan, menghadap pada seniornya. Kali ini, Steve dan Dinda, juga Adit dan Yuki berbeda kelas. Tapi entah apa yang membuat mereka seolah berjodoh. Steve, Yuki, Dinda, dan Adit, sama-sama menjadi siswa yang harus dihukum memunguti sampah di halaman SMA Pelangi.

"Loh, Dinda. Lo dihukum juga?" tanya Steve terkejut.
"Iya. Jadi lo juga?" Dinda tertawa.

Kemudian mereka menoleh pada dua orang yang bernasib sama seperti mereka.

"Astaga, Yuki. Lo dihukum juga?" tanya Adit tak percaya.
"Iya. Lo juga kan?" Yuki nyengir.

Steve dan Dinda menghampiri Adit dan Yuki.

"Hai, kalian." sapa Steve.
"Hai." sahut Adit dan Yuki.
"Kalian dihukum juga?" tanya Dinda.
"Iya nih." jawab Adit.
"Eh, kenalan dulu dong." Steve mengulurkan tangannya pada Yuki. "Gue Steve."
"Gue Yuki." Yuki menjabat tangan Steve.
"Gue Adit." Adit mengulurkan tangannya pada Dinda.
"Gue Dinda." Dinda menjabat tangan Adit.

Mereka semuapun saling tersenyum. Tapi kemudian senyum itu lenyap, karena mereka mendapatkan teriakan dari senior.

"Woi, kalian." teriak senior cowok itu. "Gue itu nyuruh kalian mungutin sampah, bukannya ngobrol."
"Iya, kak." sahut empat sekawan itu serentak.
"Pokoknya kalian gak boleh istirahat, sampai seluruh halaman ini bersih." perintah si senior.

Steve, Yuki, Dinda, dan Adit hanya mengangguk lesu, lalu mulai memunguti sampah-sampah yang berserakan.

Hari pertamapun berlalu penuh warna. Meski kesal karena dihukum memunguti sampah, tapi hari empat sahabat ini juga menyenangkan karena bertemu dua orang baru. Begitulah sampai dua hari berikutnya, hingga MOS selesai. Steve, Yuki, Dinda, dan Adit mulai nyaman menjadi teman.

***

Ini adalah hari pertama masuk sekolah. Hari pertama memakai seragam putih abu-abu. Steve dan Adit terlihat tampan. Sedangkan Yuki dan Dinda terlihat begitu cantik. Dan seolah memang sudah menjadi takdir, mereka berempat satu kelas.

"Hei, kantin yuk!" ajak Adit.
"Yuk!" sahut Steve, Yuki, dan Dinda.

Sesampainya dikantin, Adit dan Dinda yang bersedia memesan makanan untuk mereka berempat pada ibu kantin. Sementara Steve dan Yuki menunggu di meja.

"Sejak kapan lo sahabatan sama Adit?" tanya Steve pada Yuki.
"Sebenernya sih, kita itu bukan sekedar sahabat." jawab Yuki. "Tapi..."
"Makanan datang." teriak Dinda sambil membawa nampan berisi empat mangkok bakso.
"Minuman juga datang." Adit menimpali. Dia membawa nampan berisi empat gelas es jeruk.
"Waktunya makan." ujar Yuki, sambil melahap bakso miliknya.

Mereka semuapun mulai makan, kecuali Steve. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya. Memikirkan tentang hubungan Yuki dan Adit, yang katanya tak hanya sekedar teman. Lalu apa? Steve memberantakan rambutnya.

"Lo kenapa, Steve?" tanya Dinda bingung. "Dari tadi, kok baksonya cuma diaduk-aduk gitu?"
"Gue gak apa-apa kok. Cuma masih kenyang aja." jawab Steve sekenanya.
"Kalo masih kenyang, kenapa tadi ikutan pesen?" tanya Yuki.
"Tadi sih ada rasa laper, tapi sekarang udah nggak." jawab Steve sambil memaksakan senyum.
"Labil banget sih perut lo, Steve." Adit tertawa.

Selesai makan, mereka berempat berjalan-jalan keliling sekolah. Lalu sampai di sebuah ruangan, yaitu ruang musik.

"Wah, ruang musik, Steve." teriak Dinda.
"Siapa yang bisa main alat musik nih?" tanya Adit.
"Steve." Dinda menunjuk pada Steve.
"Wah, sama dong. Adit juga bisa main alat musik." Yuki melirik Adit. Aditpun tersenyum.
"Ya udah, kita masuk yuk!" ajak Steve.
"Yuk!" semua menyetujui.

Merekapun masuk keruang musik. Steve dan Adit segera mengambil dua buah gitar yang tersedia disana. Yuki dan Dinda yang menyanyi.

"Wah, gak nyangka. Ternyata suara lo bagus ya, Din." puji Adit.
"Makasih." Dinda tersenyum manis.
"Yuki juga bagus." ujar Steve malu-malu.

Yuki tersenyum malu.

Hari pertamapun berlalu. Mereka berempat pulang sekolah bersama. Yuki membonceng di sepedanya Adit. Sedangkan Dinda, membonceng di sepedanya Steve. Sebelum pulang kerumah, mereka main dulu ketaman bunga dekat sekolah.

Mereka berempat berbaring diatas hamparan rumput yang hijau, dan bunga-bunga indah berwarna-warni.

"Kalau liat daun, pasti itu Adit." ujar Yuki memulai percakapan.
"Kalau liat kertas putih ini, pasti itu Yuki." Adit mengambil kertas putih pemberian Yuki di tasnya.
"Kalau liat bantal hati ini, pasti itu Steve." ujar Dinda sambil memeluk bantal hati itu.
"Kalau liat langit, pasti itu Dinda." Steve menatap pada langit. "Tapi hari ini, langitnya mendung."
"Jadi, kalian juga punya perumpamaan kayak gitu ya?" tanya Adit terkejut.
"Iya." Dinda mengangguk. "Merah, berarti hati. Itu adalah Steve. Biru berarti langit. Dan itu adalah gue."
"Kita juga kayak gitu." Yuki melirik pada Adit.
"Putih, berarti kertas. Itu adalah Yuki. Hijau, berarti daun. Dan itu adalah gue." terang Adit.
"Warna favorit?" tanya Steve.

Mereka semua mengangguk. Detik kemudian, mereka tertawa bersama.

***

Malam harinya, Steve berencana ingin mengajak Yuki pergi. Sementara Adit juga berencana untuk datang kerumah Dinda.

Steve berjalan pelan memasuki rumah bercat putih itu. Halamannya luas, ditanami bunga melati putih dan lili. Itu adalah rumah Yuki. Steve sudah sampai ditempat tujuannya. Lalu dia mengetuk pintu. Yukilah yang membukakannya.

"Selamat malam." sapa Steve pada Yuki.
"Malam." Yuki tersenyum tipis.

Steve terpukau melihatnya. Yuki sangat anggun dengan gaun putih selutut, di tambah aksen bunga warna merah dibagian dadanya. Steve juga tampak keren dengan baju warna putih polos, dibalut kemeja merah kotak-kotak yang di biarkan tak dikancing.

"Yuk, berangkat!" ajak Steve.

Yukipun mengangguk.

Steve membawa motornya keluar dari halaman rumah Yuki. Lalu berhenti diatas bukit. Disini sangat gelap, hanya cahaya bulan dan bintang yang menyinari.

"Kita mau ngapain kesini?" tanya Yuki bingung.
"Liat bintang." jawab Steve, yang lalu mengajak Yuki duduk pada hamparan rumput.

Yuki menurut saja, meski masih sedikit bingung. Disini begitu gelap. Yuki juga merasa kedinginan.

"Lo akan melihat sinaran bintang yang paling indah, kalo berada di tempat yang gelap." Steve terus menatap kelangit.
"Biasanya, sinar bintang-bintang ini tertutupi oleh lampu-lampu kota yang ramai." Yuki ikut mendongak kelangit.
"Kalo mau liat bintang, kesini aja ya." Steve tersenyum lembut. Yuki mengangguk.
"Adit gak bakalan marah kan, kalo gue ajak lo kesini?" tanya Steve hati-hati.
"Ya nggaklah." Yuki tersenyum tipis.
"Tadi siang, lo bilang Adit itu bukan hanya sekedar sahabat lo, lalu apa?" tanya Steve lagi.
"Kita itu saudara." Yuki tersenyum lagi. Senyuman yang selalu berhasil membuat Steve terpesona.
"Ohh." Steve tertawa, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Kirain, kalian berdua pacaran."
"Kalo lo sama Dinda?" giliran Yuki yang bertanya.
"Kita sahabat baik." jawab Steve jujur. "Gue udah kenal Dinda dari kelas satu SD. Kita udah kayak saudara."
"Ohh." Yuki juga tertawa. Seolah sangat lega mendengar jawaban Steve.

*** 

Sementara itu, Adit baru sampai di rumah Dinda. Dinda yang mendengar suara motor Adit, langsung keluar membukakan pintu. Adit juga segera turun dari motornya, dan menghampiri Dinda yang sudah menunggunya di pintu.

"Yuk, masuk!" ajak Dinda.

Dinda mempersilahkan Adit duduk, dan memberinya minum.

"Ini gitarnya." Dinda mengulurkan gitar warna biru itu pada Adit.
"Kita jangan bilang-bilang soal ini ke Yuki sama Steve ya." Adit melihat-lihat gitar itu.
"Nanti kalo mereka curiga gimana?" Dinda tak begitu yakin.
"Sebisa mungkin, kita gak boleh bikin mereka curiga." Adit meyakinkan. "Gue belum siap kasih tau mereka sekarang. Nanti aja, kalo udah satu bulan."
"Oke deh." Dinda mengangguk mantap.
"Sekarang kita latihan dulu ya." ajak Adit.

Adit mulai memainkan gitarnya, sementara Dinda yang menyanyi.

***

Keesokan harinya, Dinda pergi kesekolah sendiri, tanpa Steve. Adit dan Yuki yang melihat itu, langsung menghampiri Dinda.

"Steve mana? Kok lo gak berangkat bareng dia sih, Din?" tanya Yuki.
"Steve harus kerumah sakit. Abis dari rumah sakit, dia baru kesekolah." jawab Dinda.
"Steve sakit?" tanya Adit.
"Cuma cek kesehatan doang kok. Disuruh sama om nya Steve yang dokter." jawab Dinda santai.
"Ohh." Yuki tampak tegar, meski sebenarnya dia khawatir dengan keadaan Steve.

Pada jam istirahat pertama, Steve sudah berada di sekolah dan langsung menemui ketiga sahabatnya di kantin.

"Apa kata dokter, Steve?" tanya Dinda.
"Belum ada hasilnya. Katanya sih lusa baru bisa di lihat." jawab Steve santai.
"Emangnya, kenapa harus diperiksa-periksa sih, Steve?" tanya Yuki.
"Gak tau juga. Om gue yang nyuruh." Steve hanya tersenyum santai.
"Kalo sampai harus di periksa, berarti ada hal yang serius tentang kesehatan lo, Steve." terka Yuki.
"Lo khawatir ya, kalo gue sakit." goda Steve.
"Maksudnya bukan gitu." Yuki tersipu malu. Steve, Dinda, dan Adit menertawakannya.
"Malam ini pada ada acara gak?" tanya Steve kemudian.
"Emang ada apa, Steve?" Dinda balik bertanya.
"Mau ngajakin kalian datang ke peresmian kafe barunya tante gue." jawab Steve.
"Gue sih gak ada acara apa-apa." Yuki melirik Adit.
"Gue ada acara." ujar Adit cepat.
"Gue juga." Dinda menimpali.
"Oh, ya udah. Ki, entar lo gue jemput ya." Steve mengedipkan matanya.

Yuki hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Adit dan Dinda saling melirik, lalu tersenyum.

Jam pulang sekolah, mereka berempat pergi ketaman bunga lagi. Tempat ini telah menjadi tempat favorit mereka untuk berkumpul.

"Apa sih, yang bikin kita jadi deket gini?" Dinda yang membuka percakapan.
"Hukuman." jawan Adit.
"Iya." Steve menimpali. "Gara-gara sama-sama dihukum pas MOS, kita jadi saling kenal, menjalin hubungan sebagai teman, lalu dekat kayak sahabat."
"Dan juga karena kita sama-sama punya misi yang sama pada persahabatan." Yuki menambahkan.
"Kalo diantara kita ada yang jatuh cinta sama sahabatnya sendiri, gimana?" tanya Steve ragu.
"Emangnya lo jatuh cinta sama siapa Steve?" tanya Dinda terkejut.
"Ada deh. Jadi sahabat tuh gak boleh kepo." Steve tersenyum licik.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan kita dan persahabatan kita." ujar Yuki lembut.
"Dan kematian itu pasti akan datang." Adit menatap langit biru. "Hari perpisahan itu, pada akhirnya akan tiba juga."
"Kok jadi pada ngomongi kematian sih?" Dinda mengerutkan keningnya.

Steve, Yuki, dan Adit tertawa. Dinda hanya memanyunkan bibirnya. Sorepun datang, dan mereka bergegas untuk pulang.

Malam harinya, Steve dan Yuki sedang dalam perjalanan menuju kafe tantenya Steve. Sementara Adit dan Dinda juga sedang dalam perjalanan menuju tempat yang berbeda. Dinda membawa gitar birunya.

Tak lama kemudian, Adit dan Dinda sampai di sebuah kafe bernuansa klasik. Adit dan Dinda masuk kedalam, sambil berpegangan tangan. Mereka lalu disambut oleh sang manager kafe. Mereka berbincang sebentar, lalu Adit dan Dinda di persilahkan naik keatas panggung kecil yang menghadap pada semua pengunjung kafe.

Adit lalu memainkan gitarnya, mengiringi nyanyian Dinda. Mereka menghibur semua pengunjung kafe dengan lagu-lagu romantis, seperti Just the way you are - Bruno Mars. Adit dan Dindapun mendapatkan tepuk tangan yang banyak dari para penonton.

Selesai menghibur para tamu di kafe, Adit dan Dinda pergi untuk berjalan-jalan disekitar pusat kota.

"Hari pertama kita kerja jadi penyanyi kafe nih." Adit tersenyum tipis.
"Ternyata seru yah, menghibur orang-orang." Dinda tersenyum bangga.
"Lo gak nyesel kan?" tanya Adit.
"Ya nggak lah. Malah gue seneng. Ini adalah pengalaman yang paling mengesankan." Dinda tersenyum lembut.
"Dulu gue pernah ngajak Yuki, tapi dia gak mau. Dia lebih suka belajar." Adit tertawa.
"Kan biar tambah pinter." Dinda ikut tertawa. "Pulang yuk!"
"Yuk!"

Adit dan Dindapun memutuskan untuk pulang. setelah berjalan-jalan sebentar. Begitupun Steve dan Yuki, usai acara peresmian kafe, mereka juga pulang.

"Gimana, acaranya seru gak?" tanya Steve, begitu mereka sudah sampai dirumahnya Yuki.
"Seru banget." Yuki mengangkat kedua jempolnya. "Adit sama Dinda pasti nyesel deh gak ikut kita malam ini."
"Iya." Steve tertawa. "Kalo gitu, gue pulang dulu ya."
"Hati-hati ya." Yuki melambaikan tangannya.

***

Dinda sedang duduk di depan kelas, sambil membaca novelnya, lalu Yuki datang.

"Baca apaan, Din?" tanya Yuki.
"Novel." jawab Dinda santai.
"Ih, bukannya baca buku pelajaran, malah baca novel." Yuki sewot.
"Biarin." Dinda menjulurkan lidahnya pada Yuki.

Lalu Steve dan Adit datang menghampiri Yuki dan Dinda. Steve duduk disebelah Yuki, dan Adit duduk disebelah Dinda.

"Keruang musik, yuk!" ajak Adit.
"Yuk!" Dinda langsung semangat.
"Gue males ah." ujar Yuki. "Gue mau belajar aja."
"Kalo gitu, gue nemenin Yuki belajar aja deh." Steve menimpali.
"Ya udah." Adit dan Dinda pergi ke ruang musik.

Sementara itu, Steve menemani Yuki belajar.

"Lo beneran cuma mau nemenin nih, Steve?" tanya Yuki.
"Iya." Steve mengangguk.
"Kenapa gak ikut belajar aja sih?" Yuki menyodorkan buku biologi pada Steve. "Gue bakalan seneng banget, kalo lo mau ikutan belajar sama gue."
"Oke, kalo gitu gue bakalan ikut belajar." Steve langsung bersemangat.

Mereka saling tanya jawab dalam pelajaran.

"Ki, besok pagi lo mau gak nemenin gue liat hasil cek kesehatan gue dirumah sakit?" tanya Steve, begitu mendapat sela untuk bicara.
"Yah, gue gak bisa Steve." Yuki menyesal untuk itu. "Kan, besok kita udah mulai belajar. Sorry ya."
"Oh ya udah, gak apa-apa. Biar gue sendiri aja." Steve memaksakan senyum.

Yuki bisa melihat rona kekecewaan dari wajah Steve, saat mendapat jawaban penolakan itu dari Yuki. Tapi Yuki tetap tidak bisa ikut. Yuki hanya berdoa, semoga tidak terdapat sesuatu yang buruk dengan kesehatan Steve.

Adit dan Dinda terus saja latihan di ruang musik., untuk penampilan mereka di kafe besok malam. Karena dalam satu minggu, Adit dan Dinda hanya bernyanyi selama tiga hari saja. Yaitu hari senin, rabu, dan sabtu.

"Nanti nyanyi lagu apa ya, Dit?" Dinda nampak bingung.
"Asal jangan lagu-lagu yang galau aja." Adit tertawa.
"Kalo gitu gue mau nyanyiin lagunya Raisa yang Could it be aja." Dinda melirik Adit.
"Oke. Lagu itu bagus." Adit setuju. "Kalo gitu, sekarang kita latihan dulu."

***

Seperti biasa, setiap pulang sekolah, empat sahabat ini selalu berkumpul di taman bunga dekat sekolah. Tapi hari ini, langit sangat mendung.

"Kok langitnya mendung." Dinda menatap sedih pada langit itu.
"Kayaknya bakalan hujan deh." terka Adit. "Kalo pulang sekarang, kita bisa kehujanan dijalan."
"Kita duduk di kursi-kursi tenda itu aja yuk." ajak Yuki.
"Yuk!" Steve berlari menuju tenda itu, sambil merangkul Yuki.

Tak lama kemudian, hujanpun turun.

"Din, liat deh." Adit menunjuk pada dedaunan yang basah tersiram air hujan. "Daunnya keliatan seger banget ya, kalo lagi disiram air hujan gitu."
"Iya." Dinda mengangguk, sambil menatap pada dedaunan yang ditunjuk Adit.
"Abis hujan nanti, langit lo pasti akan kembali biru lagi, Din." Adit tersenyum tipis. Dan Dinda membalas senyumnya.
"Pertanyaannya, kapan nih hujan berhenti." Steve nyeletuk. "Padahalkan udah sore, kita tuh mesti pulang."
"Sabar, Steve." Yuki memegang bahu Steve. "Nanti kalo hujan gak mau turun lagi, bisa kemarau negara kita."

Steve tersenyum malu. Satu jam berlalu, akhirnya hujanpun reda. Empat sahabat ini memutuskan untuk segera pulang, karena hari sudah semakin sore.

"Hei, lihat!" Steve menunjuk pada langit. "Ada pelangi."
"Eh iya." Adit menatap ke langit.
"Hujan dan pelangi itu, seperti perjalanan hidup pada setiap manusia." Dinda tersenyum, sambil menatap pada langit.
"Maksudnya apa, Din?" tanya Yuki.
"Hujan itu seperti cobaan bagi kehidupan." Dinda mulai menjelaskan. "Apapun yang terjadi, kita harus menghadapinya. Kita bisa berteduh untuk mencari aman, atau hujan-hujanan untuk menjalaninya. Dan ketika hujan itu reda, kita pasti akan mendapatkan hikmah berupa pelangi. Kita melihat keindahan pada akhirnya."
"Indah pada waktunya." Adit menyimpulkan.
"Hujan dan pelangi itu, seperti persahabatan." kini giliran Yuki yang bersuara.
"Maksudnya, Ki?" tanya Dinda.
"Rintikan hujan yang turun itu, seperti jutaan orang yang kita kenal dan menjadi teman." Yuki mulai menjelaskan. "Tapi pada akhirnya, hanya beberapa warna pada pelangilah yang benar-benar menjadi orang-orang terbaik yang kita sebut sahabat."
"Dalam jutaan, hanya beberapa yang benar-benar tulus." Steve menyimpulkan.

Mereka menatap langit, tersenyum, sambil berpegangan tangan. Alangkah indahnya sebuah persahabatan, bila selalu lengkap dan selalu bersama-sama.

***

Steve mengendarai motornya, keluar dari rumah. Tapi dia tak menuju sekolah. Steve menuju Rumah Sakit, untuk menanyakan hasil cek kesehatannya dua hari lalu.

Steve mengetuk pintu sebuah ruangan. Lalu masuk, begitu dipersilahkan. Disana, omnya yang adalah seorang dokter, sudah menunggunya.

"Selamat pagi, om." Steve menyalami tangan omnya.
"Pagi, Steve." sahut om Dokter, sembari mempersilahkan Steve duduk.
"Gimana hasil cek kesehatan saya, om?" tanya Steve to the point. "Saya sehat kan?"
"Steve." panggil om Dokter, serius. "Om sudah mencurigai ini sejak dulu. Makanya, om memintamu untuk mengikuti cek kesehatan."
"Memangnya ada apa, om?" tanya Steve penasaran.
"Kamu menderita komplikasi hati, Steve." om Dokter tertunduk lesu.
"Apa?" Steve terkejut. "Lalu bagaimana, om?"
"Kamu harus menjalani transplantasi hati, Steve."
"Kalau tidak?" tanya Steve ragu.
"Kamu tidak akan bisa bertahan hidup." om Dokter menatap sedih pada Steve.
"Maksud om, saya akan meninggal?" Steve menyimpulkan.
"Om akan berusaha mencari donor hati untuk kamu, Steve." janji om Dokter.
"Tapi itukan gak mudah, om." Steve pesimis.
"Om akan berusaha." ujar om Dokter tegas.

Om dokterpun tertunduk sambil menahan tangis, sementara Steve masih tetap tegar.

***

Jam istirahat pertamapun tiba. Tapi Yuki, Dinda, dan Adit belum melihat keberadaan Steve. Seharusnya, dia sudah kembali dari Rumah Sakit sejak tadi. Yuki sudah berusaha menghubunginya, tapi ponsel Steve tidak aktif. Dinda juga sudah menelepon kerumahnya, tapi menurut pembantunya, Steve sudah berangkat ke Rumah Sakit sejak tadi pagi.

"Aduh, Steve kemana sih?" Yuki semakin khawatir.
"Steve tuh gak pernah kayak gini sebelumnya." Dinda merasa aneh.
"Berarti ada yang gak beres sama Steve." Adit menyimpulkan.
"Mungkin gak ya, kalo dia pergi ketaman bunga?" Yuki melirik Adit dan Dinda.
"Gimana kalo kita cek aja?" usul Adit.
"Gue setuju." angguk Dinda mantap.
"Kalian gak berniat bolos kan?" Yuki curiga.
"Masa lo gak mau berkorban demi sahabat sih, Ki." bujuk Adit.
"Huh!" Yuki berpikir sebentar. "Ya udah deh." ujar Yuki akhirnya.

Mereka bertigapun langsung keluar diam-diam dari sekolah, lalu pergi menuju taman bunga. Sesampainya disana, semua tampak sepi. Lalu Dinda melihat seorang anak laki-laki dengan seragam SMA Pelangi, berbaring dirumput.

"Lihat, deh!" Dinda meminta Yuki dan Adit untuk melihat kearah yang ditunjuknya.
"Kayak Steve, ya." Adit mengira-ngira.
"Itu beneran Steve, kali." Yuki langsung berlari menuju anak laki-laki yang sedang berbaring itu.

Setelah didekati, ternyata itu memang Steve. Dia sedang teridur.

"Ya ampun nih anak." Yuki mengeleng-gelengkan kepalanya. "Dicariin kemana-mana, ternyata malah enak-enakkan tidur disini."
"Woi Steve, bangun lo." teriak Adit.
"Steve, bangun." Dinda menggoyang-goyangkan tubuh Steve.

Akhirnya Stevepun bangun.

"Apaan sih kalian?" Steve membenarkan posisi tidurnya. "Gangguin gue tidur aja."
"Kebangetan ya nih anak. Steve!" Dinda menarik tangan Steve, untuk menyuruhnya bangun.
"Ada apa sih?" teriak Steve, kasar.
"Kenapa lo gak kesekolah?" tanya Adit.
"Gak disuruh masuk sama pak satpam." jawab Steve sekenanya.
"Kenapa handphone lo gak aktif?" tanya Yuki.
"Baterainya abis." jawab Steve santai.

Sikap Steve yang seperti ini, membuat Adit curiga. Adit berencana akan menyelidikinya nanti.

"Ya udah, balik kesekolah yuk." ajak Yuki.
"Gue gak mau." tolak Steve, tegas.
"Kenapa, Steve?" tanya Dinda.
"Gue mau disini aja, sama lo semua." Steve tersenyum lembut.
"Lo aneh, Steve." komentar Adit.

Meski merasa bahwa permintaan Steve ini sangat aneh, mengingat Steve adalah anak yang anti bolos, tapi Dinda masih bisa memakluminya. Sementara Yuki, meskipun tidak suka dengan keputusan Steve untuk bolos, tapi dia menurutinya juga.

-to be continued-


Monday, June 11, 2012

UNTUK CINTA




Dear Adrian,
Cinta itu bukan menunggu, tapi menemukan
Cinta itu bukan menangis, tapi membahagiakan
Cinta itu bukan sempurna, tapi istimewa
Cinta itu bukan hati, tapi perasaan
Cinta itu bukan dia, tapi aku…
Aku mencintaimu…

-CINTA-

Adrian masih menyelipkan senyum, ketika membaca tulisan dikertas putih itu. Kertas yang diberikan oleh sahabatnya, Cinta. Kertas itu baru saja Adrian temukan disaku tasnya, kemarin. Memang sangat terlambat, bila mengingat sang pemberi kertas, yang kini sudah tiada. Cinta meninggal, dua hari yang lalu. Karena sebuah kecelakaan.

Pikiran Adrian, kembali pada hari itu.

***

Cinta tak pernah berbeda, dia selalu sama, selalu ceria, seperti hari ini.

“Adrian!” sapa Cinta penuh semangat. “Pulang bareng, yuk!”
“Aduh.” Adrian menepuk jidatnya. “Maaf banget ya, Ta. Hari ini gue udah janji mau pulang sama Tiara.”
“Oh, ya udah deh!” ujar Cinta tanpa mengurangi semangatnya.
“Lain kali, gue pasti pulang bareng lo lagi kok, Ta.” Adrianpun segera berlalu, meninggalkan Cinta.

Adrian masih sempat melambaikan tangannya, dan dibalas oleh Cinta. Mereka berdua sama-sama mengukir senyum. Kemudian Adrian menghilang dalam tikungan menuju gerbang sekolah. Tinggal Cinta yang masih duduk termenung di salah satu kursi kelas. Lalu Farhan datang menghampirinya.

“Coba liat cewek yang ada disebelah gue ini.” Farhan membicarakan Cinta. “Cuma bisa menatap cintanya dari kejauhan. Padahal bisa dia dekati.”
“Maksud lo apa sih, Han?” Cinta mengerutkan keningnya. “Gak jelas banget deh!”
“Kenapa sih, lo gak bilang aja, kalo lo tuh suka sama Adrian.” Farhan menyarankan. “Gue tuh tau, kalo lo itu udah suka sama Adrian dari kita masih kelas satu.”
“Sok tau, lo!” kecam Cinta. “Kalo gue suka sama Adrian, kenapa juga gue bantuin dia waktu mau jadian sama Tiara.”
“Itulah bodohnya elo.” Farhan menunjuk pada Cinta. “Punya cinta, tapi di pendam aja dalem hati.”
“Itu karena cinta pake perasaan, Han. Bukan pake hati.” Cinta jadi mellow. “Kalo lo jadi gue, lo juga pasti akan ngelakuin hal yang sama.”
“Nggak, Ta.” Farhan menatap serius. “Kalo gue jadi lo, gue akan bilang perasaan gue yang sebenarnya sama Adrian. Apapun hasilnya nanti, meski gue cuma bertepuk sebelah tangan, setidaknya gue udah bilang sama dia, dan dia tau gimana sebenernya parasaan gue. Karena gue tau, kesempatan itu gak selalu dateng dua kali.”
“Pernah denger sebuah kalimat gak, Han?” Cinta melirik Farhan yang bingung. “Aku akan bahagia, jika melihat orang yang aku cinta bahagia. Meskipun bahagianya, bukan bersamaku.”
“Pernah mikir, gak?” tanya Farhan sinis. “Mana ada orang yang bahagia, liat orang yang dia cinta bahagia sama orang lain. Itu munafik, Ta.”
“Tapi gue bahagia kok, liat Adrian bahagia sama Tiara.” Cinta memaksakan senyum.
“Terserah lo deh, Ta.” Farhan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Gue harap, lo gak nyesel nantinya.”
“Menurut lo, gue masih punya kesempatan gak sih?” Cinta mulai berharap. “Soalnya, dulu gue pernah nyelipin sebuah kertas disaku tasnya Adrian. Bisa dibilang, itu ungkapan cinta gue sama dia. Tapi kayaknya, dia belum liat.”
“Lo yakin, dia belum liat?” tanya Farhan.
“Ya, kalo dia udah liat, pasti dia bereaksi dong.” Cinta mengira-ngira. “Tapi buktinya, dia sama sekali gak pernah ngebahas soal kertas itu.”
“Gue rasa lo belum terlambat, Ta.” Farhan meyakinkan Cinta. “Nyatain sekarang juga.”
“Oke.” Cinta tersenyum tipis. “Kalo gitu, gue kejar Adrian sekarang ya, Han.”

Cinta baru saja bangkit dari duduknya, dan berniat pergi. Tapi Farhan menahannya sesaat. Kini, tangan kiri Cinta berada dalam genggaman Farhan.

“Sebelum lo bilang tentang perasaan lo sama Adrian, gue juga mau ngomong satu hal sama lo, Ta.” Ujar Farhan serius.
“Apa, Han?” tanya Cinta penasaran.
“Gue cinta sama lo.” Jawab Farhan sungguh-sungguh. “Sama seperti perasaan lo sama Adrian, gue juga udah suka sama lo sejak kita kelas satu. Gue tau ini emang bukan waktu yang tepat buat ngomongin soal ini. Tapi gue gak tau kenapa, rasanya gue harus ngomong ini sekarang.”
“Farhan…”
“Lo gak perlu jawab kok, Ta.” Farhan menutup bibir Cinta. “Karena gue udah tau jawabannya. Dan sekarang, giliran lo yang ngomong sama Adrian.”
“Iya.” Ujar Cinta lantang. “Gue juga akan bilang hal yang sama dengan yang lo bilang sama gue tadi. Adrian gak perlu jawab, karena gue udah tau jawabannya.”
“Fighting!” Farhan tersenyum.
“Makasih ya, Han.” Cintapun memeluk Farhan.

Cinta melanjutkan langkahnya dengan mantap. Menyusuri jalan menuju rumah Adrian. Tapi siapa sangka, di jalan, dia bertemu dengan Adrian dan Tiara yang baru saja keluar dari sebuah warung makan pinggir jalan. Cinta tak ingin merusak kebahagiaan di wajah Adrian dan Tiara. Mereka berdua sedang berjalan sambil bercanda. Cinta menatapnya dari kejauhan. Selalu begitu. Hanya bisa dari kejauhan.

Tapi ketegangan mulai terjadi, saat Tiara menyebrang tanpa melihat kanan-kirinya yang ternyata ada sebuah mobil melaju kencang. Adrian berteriak, dan ingin berusaha menarik tubuh Tiara ke tepi, tapi dia di hadang oleh warga disitu, karena itu akan membahayakan nyawa dia dan Tiara.

Akhirnya Cintalah yang dengan cepat mendorong tubuh Tiara ke pinggir, tanpa membawa serta dirinya. Mobil dengan kecepatan tinggi itupun menabrak tubuh Cinta.

“Cintaaa…..” Adrian berteriak sekuat tenaga. Cintapun masih sempat memberi senyum pada Adrian, sebelum tubuhnya jauh terpental.

Semua orang yang berada ditempat kejadian, bergegas membawa Cinta kerumah sakit. Sedangkan Adrian dan Tiara hanya duduk lemas di pinggiran jalan. Tiara menepikan airmatanya, lalu memeluk Adrian.

Nasib Cinta mungkin memang tidak seberuntung itu. Sebelum berhasil sampai di rumah sakit, dia sudah tidak bernyawa.

***

“Dri.” Seseorang menepuk bahu Adrian.
“Eh, elo, Han.” Ternyata seseorang itu adalah Farhan.
“Gimana, udah nemuin kertasnya?” tanya Farhan.
“Udah, Han.” Adrian menunjukkan kertas itu pada Farhan. “Udah gue baca juga.”
“Jadi lo udah tau, gimana perasaan Cinta yang sebenernya sama lo kan?” tanya Farhan lagi.
“Iya, Han.” Jawab Adrian. “Gue gak nyangka.”
“Tiara dimana?” Farhan melihat sekeliling.
“Gue disini.” Yang dicaripun akhirnya menampakan diri. Tiara segera menghampiri Adrian dan Farhan.
“Ada yang mau gue omongin sama kalian berdua.” Ujar Farhan serius. “Pertama, Cinta sebenernya suka sama Adrian dari kita masih kelas satu. Kedua, gue juga sebenernya suka sama Cinta, dan gue udah ngomong. Ketiga, gue yakin, Cinta nolongin Tiara, untuk cintanya pada Adrian.”
“Andai aja gue masih punya kesempatan buat ngasih cinta untuk Cinta.” Adrian tertunduk lesu. “Meskipun rasa sayang gue ke Cinta ini bukan rasa sayang sebagai cowok keseorang cewek, melainkan sebagai sahabat. Gue pengen ngasih satu hari terindah untuk Cinta, sebelum dia pergi untuk selamanya.”
“Andai aja gue masih diberi kesempatan buat bilang makasih ke Cinta.” Tiara menepikan airmata. “Gue akan balas semua kebaikan dia sama gue. Gue akan ngasih apapun yang terbaik untuk Cinta.”
“Kalo gue…” Farhan diam sesaat. “Gue rasa gue udah cukup dengan kesempatan mengatakan cinta, di waktu terakhir sebelum Cinta pergi untuk selamanya.”
“Cinta udah ngajarin gue, apa arti cinta yang sesungguhnya.” Tiara masih terisak. “Betapa cinta memang harus bisa berkorban untuk kebahagiaan cintanya. Memberikan yang terbaik untuk cintanya, agar cintanya tetap bahagia.”
“Cinta, makasih ya.” Adrian tersenyum pada langit. Seolah menatap wajah Cinta pada langit sana.

Tiarapun menangis dalam pelukan Adrian. Adrian ikut menangis. Sedangkan Farhan, dia mencoba melihat langit. Dia yakin, Cinta ada disana, melihat mereka semua. Dan Farhanpun mengukir senyum. Semua hal tentang Cinta, kini terputar diotaknya. Bagaimana seorang Cinta yang selalu tersenyum, Cinta yang ceria, Cinta yang dicintainya.

“Kita ke makamnya Cinta, yuk!” ajak Farhan pada Adrian dan Tiara.
“Yuk!” jawab Cinta.
“Tapi kita ke toko bunga dulu ya.” Ujar Adrian. “Gue mau beli bunga lili kesukaannya Cinta.”
“Oke.”

***

Dari Cinta…
“Adrian, aku melakukan ini karena cintaku kepadamu. Aku bahagia, bisa melihatmu tetap bahagia hidup bersama Tiara. Dan untuk Farhan, terima kasih untuk cintamu kepadaku. Aku tak pernah membayangkan, aku akan dicintai oleh orang sehebat kamu. Orang dengan hati yang tulus. Orang yang mengajarkanku tentang cinta yang sesungguhnya, sebelum aku pergi. Tiara, jangan sia-siakan cinta yang sudah kutitipkan padamu. Jaga Adrian untukku.”

“Aku akan menjaga Adrian untukmu, Cinta.” Ujar Tiara yang seolah-olah bisa mendengar suara-suara yang bergumam dilangit sana.

***

Dear Cinta,
Cinta itu seperti kertas putih
Cinta akan tetap putih, bila tak ada warna dari bahagia
Tapi Cinta akan kotor, bila warna yang diberi adalah luka
Cinta akan selalu memberi, meski tak menerima
Untukmu, akan ku jaga kertas putih ini
Agar selalu bersih
Akan kuberikan warna yang indah
Yang kau dapat dari bahagia

-ADRIAN-

Adrian menaruh kertas dan bunga lili itu di makam Cinta. Itu adalah balasan untuk kertas yang di berikan Cinta pada Adrian dulu. Adrian menuliskan itu untuk Cinta.

-END-

Wednesday, June 6, 2012

SATU PENGORBANAN




“Terkadang memang harus mengorbankan satu kebahagiaan, untuk kebahagiaan yang lain. Meskipun satu kebahagiaan yang aku korbankan itu, adalah mimpi terbesarku.”

Giska berjalan pelan menuju rumahnya. Dia baru saja pulang dari sekolah. Pikirannya berkecamuk. Mengingat semua hal yang terjadi di sekolah hari ini. Belum lagi mengenai ujian akhir nasional, yang akan dilaksanakan sebentar lagi.

“Ah, pusing!” Giska memukul kepalanya sendiri. Lalu berjalan masuk ke halaman rumahnya yang di penuhi tanaman dan bunga yang segar dan indah.
“Assalamualaikum.” seorang wanita berumur 30 tahunan, yang sedang menyapu halaman itu, mengucapkan salam pada Giska.
“Eh, Bunda. Waalaikumsalam.” Sahut Giska malu. “Maaf ya Bun, Giska gak liat Bunda di sini. Jadi, gak ngucap salam deh.”
“Kamu ngelamun ya?” tanya Bunda.
“Nggak kok, Bun.” Jawab Giska sembari tersenyum. “Giska masuk dulu ya, Bun. Mau mandi.”
“Iya.” Bunda kembali meneruskan pekerjaannya.

Jam makan malampun tiba, Giska, Ayah dan Bundanya, makan malam bersama.

“Gimana tadi di sekolahnya, Gis?” tanya Ayah.
“Biasalah, Yah.” Giska melahap nasinya. “Masih sibuk belajar buat UN.”
“Eh, UN nya tinggal enam hari lagi ya?” Bunda ikut bertanya.
“Iya, Bun.” Giska menghela nafas berat.

***

Hari pertama UN pun akhirnya sampai juga. Suasana ruangan ujian sangat tenang. Semua siswa sibuk dengan soal-soal yang harus mereka jawab. Begitulah hingga empat hari berlalu. Dan UN pun selesai.

“Ah, lega gue.” Ujar Farah, sahabat Giska. “Akhirnya UN selesai juga.”
“Tapi masih ada hari pengumuman kelulusan.” Giska merangkul bahu sahabatnya itu.
“Iya sih.” Wajah Farah kembali pucat. “Eh iya, Gis, rencananya lo mau kuliah dimana?”
“Gak tau, Far.” Giska tertunduk lesu. “Lo kan tau sendiri gimana keadaan ekonomi keluarga gue. Mungkin, gue gak akan bisa kuliah.”
“Yah, kok gitu sih, Gis.” Farah ikut prihatin. “Lo kan pinter. Masa gak kuliah.”
“Abisnya mau gimana lagi.” Giska pasrah.
“Oh iya, lo mau gak ikut tes beasiswa?” Farah menawarkan. “Gue denger, lagi ada tes beasiswa buat anak yang pinter, tapi kurang mampu gitu.”
“Beasiswa apa?” tanya Giska semangat.
“Beasiswa S-1 di salah satu perguruan tinggi di Sumatera.”
“Gue mau.”
“Oke, gimana kalo besok kita ke tempat pendaftarannya?”
“Oke.”

Giska sangat senang mendengar tentang tes beasiswa itu. Dia meminta izin pada Ayah dan Bundanya, untuk ikut tes itu. Dan merekapun menyetujuinya.

Hari ini, Giska sudah mendaftarkan diri untuk tes itu. Dan minggu depan, tesnya akan dilaksanakan.

“Aduh Far, gue deg degan nih.” Ujar Giska.
“Semangat!” Farah memberi kekuatan pada Giska. “Yang penting, lo belajar. Biar bisa ngerjain soal-soal tes nanti.”
“Oke.” Giska pun semangat lagi untuk tes itu. “Bismillah.”

***

Hari pelaksanaan tes beasiswapun akhirnya sampai pada waktunya. Giska harus berjuang mendapatkan nilai yang baik, agar bisa terpilih menjadi salah satu siswa yang beruntung untuk kuliah.
90 menitpun berlalu tanpa suara. Giska akhirnya bisa menyelesaikan semua soal yang di berikan.

“Gimana, Gis?” tanya Farah was-was.
“Soalnya susah banget.” Giska menjawab lesu.
“Tetep optimis, Gis.” Farah menepuk bahu Giska. “Lo kan udah berusaha. Insyaallah dapet.”
“Amin.” Giska mengamini. “Makasih banyak ya, Far.”

Farah mengangguk pelan, lalu mereka berpelukan.

Hasil tes itu akan diumumkan satu minggu lagi. Selama itu, Giska menunggu dengan sabar. Giska dan Farah juga sedang was-was menunggu hasil pengumuman kelulusan UN mereka.

***

“Giska.” Teriak Farah. “Kita lulus, Gis. Kita lulus.”
“Iya, Farah.” Giska tersenyum bahagia. “Alhamdulillah.”
“Akhirnya, setelah tiga tahun kita belajar disekolah ini, kita ngedapetin hasil yang baik juga.” Ujar Farah bijak.
“Iya, Far.” Giska tak bisa berkata banyak. Dia benar-benar bahagia.
“Oh iya, hari ini juga hari pengumuman tes beasiswa lo kan, Gis?” Farah bertanya ragu.
“Oh iya, Far.” Giskapun baru menyadari itu.
“Yuk kita beli koran, kan pengumumannya ada di koran.” Ajak Farah.
“Yuk!”

Merekapun pergi untuk membeli koran. Dan begitu mendapatkannya, Giska dan Farah segera mencari kolom pengumuman tes itu.

“Ah, lo lulus, Gis.” Teriak Farah seketika. “Ini, nama lo di urutan ketiga.”
“Eh, iya. Gue lulus!” teriak Giska senang. “Alhamdulillah.”

Giska pulang dengan senangnya menuju rumah. Sepanjang perjalanan, Giska terus memandang koran itu. Besok, dia akan pergi ke Kantor Dinas Pendidikan, untuk kelanjutan beasiswanya ini. Saking bahagianya Giska, dia tak sadar, sebuah mobil akan menabraknya.

Tapi beruntunglah, seseorang menyelamatkan Giska dari tabrakan itu. Dan si penyelamatlah yang harus merasakan tabrakan mobilnya.

Giska menjerit ketakutan. Dia tak sanggup melihat tubuh berseragam SMU itu terpental dan berlumuran darah. Dialah si penyelamat nyawa Giska.

Seketika itu juga, para warga yang melihat, segera membawa anak laki-laki yang berseragam SMU itu ke rumah sakit. Meski takut dan merasa bersalah, Giska tetap memberanikan diri untuk ikut mengantar sang penyelamatnya itu ke rumah sakit. Ayah dan Ibu Giska juga bergegas ke rumah sakit, begitu mendapat kabar dari Giska. Dan orang tua anak laki-laki itu juga telah berhasil dihubungi.

“Giska takut, Bunda.” Ujar Giska sambil terisak.
‘Gak apa-apa sayang. Kamu jangan takut, ya.” Ujar Bunda menenangkan.

Tak lama, keluarga anak laki-laki itupun datang, seiring dengan keluarnya dokter dari ruang UGD.

“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanya seorang ibu yang masih sangat muda itu.
“Sepertinya, dia akan mengalami kelumpuhan, Bu.” Jawab Dokter itu.

Ibu dari anak laki-laki itupun menangis tersedu, dalam dekapan suaminya. Giska semakin merasa bersalah.

Hingga hari ketiga, anak laki-laki itu masih terbaring tak berdaya di rumah sakit. Giska sudah menceritakan semuanya, pada kedua orang tua anak laki-laki itu, dan beruntunglah, mereka tak menyalahkan Giska. Tapi Giska merasa, dia tetap harus bertanggung jawab.

Kemarin, Giska sudah mengatakan caranya untuk bertanggung jawab pada anak laki-laki itu, pada Farah.

“Far, gue udah mutusin.” Ujar Giska sungguh-sungguh.
“Mutusin apa, Gis?” tanya Farah.
“Gue, gak akan ambil beasiswa itu.” Jawab Giska.
“Apa?” Farah benar-benar terkejut. “Tapi kan, Gis…”
“Mungkin beasiswa itu bukan jalan gue.” Ujar Giska. “Biarlah beasiswa ini menjadi milik orang lain. Karena gue gak mungkin pergi ke Sumatera, dan meninggalkan orang yang udah nyelametin hidup gue disini.”
“Tapi, ini kan adalah mimpi terbesar lo, Gis.” Farah masih belum bisa menerima. “Lo mau kuliah. Lo mau jadi guru. Dan lo mau ngebahagiain Ayah sama Bunda lo.”
“Tapi kalo gue ambil beasiswa itu, sama aja dengan gue bahagia di atas penderitaan orang lain.”

Ucapan Giska yang terakhir, membuat mulut Farah tertutup rapat untuk mengatakan hal yang lain. Tentang mimpi Giska yang terbesar. Tapi kini harus dia relakan untuk kebahagiaan yang lain. Giska akan lebih bahagia, jika dia tak harus bahagia diatas penderitaan orang lain. Mungkin satu pengorbanan ini, akan membawa Giska pada bahagia yang lain. Yang sudah di rencanakan tuhan untuknya. Dan Giska sangat percaya itu.

Kini Giska sudah duduk di samping, tubuh lemah itu.

“Halo.” Sapa Giska. “Makasih ya, lo udah nolongin gue dari tabrakan itu. Gue bener-bener ngerasa bersalah dengan keadaan lo yang sekarang. Kata Farah, gue bodoh karena udah ngorbanin mimpi terbesar gue, demi lo. Tapi coba deh kita pikir lagi. Kalo aja hari itu lo gak nolongin gue, mungkin sekarang, gue juga tetep gak bisa menggapai mimpi terbesar gue itu.”

Giska menggenggam erat tangan anak laki-laki yang masih belum sadarkan diri itu.

“Pasti selalu ada makna, dari setiap kejadian.” Giska bicara lagi. “Semua ini sudah rencana tuhan. Kadang kita memang harus mengorbankan satu kebahagiaan, demi kebahagiaan yang lain. Meskipun satu kebahagiaan yang kita korbankan itu, adalah mimpi terbesar kita.”

***

Hari ini, Farah akan berangkat ke Jogja, untuk kuliahnya. Dan Giska datang ke bandara, untuk mengantarkan kepergiaannya.

“Gue terpaksa pilih kuliah di Jogja, karena Papa gue di pindah tugas kesana.” Ujar Farah pada Giska. “Tapi gue janji, kalo ada libur kuliah nanti, gue bakal kesini buat nemuin lo.”
“Iya. Udah deh, pokoknya lo kuliah yang bener aja.” Giska tersenyum tipis. “Lagian kan, Jakarta-Jogja gak jauh-jauh banget. Gak mesti lintas pulau, ataupun negara.”
“Iya deh.” Farah ikut tersenyum. “Salam ya, buat sang penyelamat lo itu. Semoga dia cepat sembuh.”
“Oke.” Merekapun berpelukan.

Farah melambaikan tangannya pada Giska.

Kini, sang penyelamat Giska sudah keluar dari rumah sakit. Tapi seperti yang dikatakan dokter, dia lumpuh. Dan Giskalah yang bersedia merawatnya, sampai suatu saat nanti, sang penyelamatnya itu sembuh. Nama sang penyelamat itu adalah Gavin. Dia seumuran dengan Giska. Saat kejadian tabrakan itu, Gavin juga baru saja merayakan kelulusannya.

“Gue gak nyangka kalo kejadiannya bakal kayak gini.” Ujar Gavin. “Dan gue juga jadi merasa bersalah, karena lo malah mau bertanggung jawab kayak gini.”
“Gue rasa, ini emang udah jadi kewajiban gue.” Giska tersenyum tipis. “Lo udah nolongin gue, jadi gue harus balas budi baik lo.”
“Makasih ya.” Gavin tersenyum bahagia.
“Sama-sama.”
“Oh iya, kemaren, gue minta sama Mama, buat beliin gue dua kalung dengan bandul huruf G. Yang satu buat lo, dan yang satu lagi buat gue.”
“Tapi, ini buat apa?”
“Gak buat apa-apa sih. Abisnya kan, gue pikir, nama kita itu di awali dengan huruf yang sama. Yaitu G. Dan huruf G, sama-sama ada di kata ‘Kebahagiaan’ dan ‘Pengorbanan’. Dua kata, yang udah mengajarkan gue banyak hal. Dan itu dari lo.”
“Makasih ya, Gavin.”
“Makasih juga ya, Giska.”

-END-