Saturday, February 25, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 5

Pura-Pura Pacaran


OMG!! menurut kalian gimana? Aku harus pura-pura pacaran sama kakak kandungku sendiri. Tapi masih mending lah kalo cuman pura-pura. Yang bahaya itu, kalo sampai beneran. Sebenarnya sih, aku agak berat untuk melakukan semua ini. Tapi ya mau gimana lagi. Sebagai adik yang baik, aku harus menolong kakakku yang lagi beruntung banget dikejar-kejar cewek cantik. Tapi sayangnya, mungkin dia bukan cowok normal. Buktinya, dikejar-kejar cewek cantik, malah menghindar. Kalo cowok-cowok lain sih, pasti kesenengan tuh digila-gilai banyak cewek.

Mulai hari ini, samapai waktu yang gak tahu kapan, aku akan berangkat sekolah bareng kak Rangga. Jadi, untuk sementara, aku menggeser tempat kak Andre.

Kak Yudha bingung melihat keanehan aku dan kak Rangga, pagi ini. Secara, biasanya kan aku dan kak Rangga selalu berantem kayak tikus sama kucing. Tapi hari ini, kita super tenang dan akur banget.

"Yaaahh, kakak kehilangan  temen ngobrol deh, pas didalam mobil nanti." kak Yudha menggodaku. "Abisnya temen ngobrol kakak udah pindah tempat."
"Kak Yudhaaa," aku memeluk kak Yudha. "Kan ada Devand yang bakalan nemenin kakak."

Kak Yudha hanya tersenyum. Aku suka senyum itu. Senyum yang ku yakini bisa membuat cewek-cewek dikampusnya melting. Senyum yang selalu meneduhkan jiwaku. Ya, itu lah kak Yudha, My Angel.

"Iya. Kakak cuma bercanda kok!" katanya kemudian. "Sana, kak Rangga udah nungguin tuh!"
"Iya." kataku tersenyum. "Daah kak Yudha. Daah Devand."

Aku langsung berlari keluar rumah, menuju motor kak Rangga dan duduk manis diboncengannya.

"Udah siap?" tanyanya penuh perhatian.
"Udah." jawabku mantap.

Duuh so sweetnya!! Andai aja aku beneran pacarnya kak Rangga. Seneng banget kali ya? Kalo dipikir-pikir, kayaknya omongan Keyra kemaren wajib dipertimbangkan deh. Seumur hidup, aku belum pernah pacaran. tapi sekalinya pacaran, eh cuma pura-pura. Sama kakak sendiri, lagi.

***

Aku dan kak Rangga sampai disekolah. Dan.. acting-pun dimulai. Bakat nih, aku sama kak Rangga jadi bintang film, hehe. Kak Rangga memegang tanganku dan menggandengku hingga kelas. Satu sekolah pada diem liat aku dan kak Rangga. Lucu juga liat muka konyol mereka semua. Kalo bukan karena tanganku gandengan sama kak Rangga, pasti aku udah ambil Handphone. Terus foto-fotoin muka mereka yang konyol abis, dan bakalan aku pajang di Mading. Kaburrr!!!

"Nay." kak Rangga memperkuat genggamannya. "Sebisa mungkin, kita harus selalu bareng yah."

Aku mengangguk pelan. Dia mengusap rambutku sambil tersenyum tipis, kemudian pergi setelah aku sampai didepan kelas. Aku melambaikan tangan untuk kepergiannya. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, tapi ini menyenangkan. Aku benar-benar seperti memiliki pacar.

"Hai, Nay." Keyra datang dan menyapaku. "Kayaknya lo cocok tuh sama kak Rangga, kenapa gak jadian beneran aja?"
"Hah! Gila lo!" aku melotot pada Keyra. "Gue sama kak Rangga kan kakak-adik."
"Weits, santai dong Nay." Keyra mencolek daguku. "Tapi lo berdua tuh emang beneran cocok."
"Iya juga yah." aku membenarkan ucapan Keyra. "Kalo bukan kakak gue, udah gue pacarin beneran tuh si kak Rangga."
"Serius lo?" mata Keyra membelalak.
"Iya." kataku serius. "Kan tadi lo bilang, gue sama kak Rangga cocok. Ya udah."
"Aduh Nayla, jangan gila deh. Gue kan tadi cuma bercanda ngomongnya." Keyra mulai panik.

Aku tertawa melihat gelagatnya. Padahal, tadi dia sendiri yang mancing buat beneran jadian sama kak Rangga. Tapi sekarang, dia malah ketakutan sendiri, setelah aku menyetujuinya.

"Udah ah. Iya, iya. Gue gak akan mungkin kok kayak gitu." aku merangkul Keyra untuk masuk kelas.
"Beneran yah." Keyra meyakinkan. "Nanti itu jadi cinta terlarang loh."
"Kok kayak judul lagu gitu ya?"
"Itukan emang judul lagu, Mipel."
"Ohh gitu yah?"

***

Jam pelajaran pertama sudah berakhir. Anak-anak satu sekolah pada berhamburan keluar kelas untuk mengistirahatkan otak sehabis menerima pelajaran tadi. Begitu juga denganku, Keyra dan Radit.

"Kantin yuk, girls." ajak Radit, padaku dan Keyra.
"Ayoo!" kataku dan Keyra bersamaan.

Dan, owh my prince datang. Yaahh, walaupun ini cuma pura-pura, tapi dia tetap my prince-ku saat ini. Kalo dirumah, baru deh dia kembali menjadi my brotha-ku sayang.

"Hai semua." sapa kak Rangga.
"Hai kak!" balas kami serempak.
"Gue pinjem Nayla bentar yah." pinta kak Rangga pada Radit dan Keyra.
"Ok deh, kak." jawab Radit.
"Jagain yah." Keyra menimpali.
"Sippp."

Aku dan kak Rangga berjalan bergandengan keluar kelas, menuju kantin. Keyra dan Radit berjalan sekitar sepuluh langkah dibelakang kami. Saat sampai dikantin, semua mata langsung tertuju padaku dan kak Rangga. Kami berusaha cuek, dan langsung duduk disalah satu meja dikantin. Sementara Keyra dan Radit duduk di dua meja dibelakangku. Ini untuk pertama kalinya, aku makan dikantin dan tidak satu meja dengan Keyra dan Radit. Rasanya seperti ada yang kurang.

"Nay, mau makan apa?"
"Apa aja deh, kak."
"Ya udah. Bentar ya."

Selama aku sekolah di SMU yang sama dengan kak Rangga, aku gak pernah sekalipun makan bareng dikantin sama kak Rangga. Ini yang pertama. Abisnya, kak Rangga cuek banget. Tiap papasan aja, dia gak pernah nyapa ataupun senyum. Benar-benar kakak yang cuek. Pantes aja gak ada yang tahu kalo kami kakak adek. Bahkan mungkin anak-anak satu sekolah pada kaget, bagaimana bisa dua orang yang gak pernah saling sapa, bisa jadian. Dan mendadak pula. Bener-bener keterlaluan konyolnya.

Aku duduk santai dimeja kantin. Menunggu kak Rangga datang membawa makanan dari ibu kantin. Aku menoleh pada Keyra dan Radit yang sedang sibuk memakan basonya. Biasanya, aku juga ada disana. Main adu cepat ngabisin basonya. Bikin satu kantin heboh karena keberisikan kita yang selalu teriak-teriak gak jelas.

Tiba-tiba Ruben datang, lalu duduk dibangku kosong yang ada disebelahku. Bangku itu harusnya milik kak Rangga. Awalnya, kami hanya saling senyum, lalu sedikit percakapanpun terlontar.

"Hai, Nay."
"Hai."
"Masih inget gue kan?"
"Ehm, siapa yah?" *gubrak
"Gue anak baru yang duduk sebangku sama Kenzi."
"Oh iya. Ada apa?"
"Gak apa-apa kok. Cuma pengen ngajakin lo ngobrol aja. Boleh kan?"
"Oh, ya boleh lah."

Aku tetap duduk manis dikantin, tanpa ingin meladeni ucapan Ruben. Dan kak Rangga datang dengan senampan makanan dan minuman ditangannya. Dia berang melihat Ruben duduk bersamaku. Satu pukulanpun mendarat di wajah Ruben.

"Kak, jangan." aku menahan tangan kak Rangga yang bersiap untuk melayangkan pukulan lagi pada Ruben.
"Ayo pergi." kak Rangga membawaku pergi. Keluar dari kantin, menuju taman sekolah.

Begitu sampai ditaman sekolah, aku berantem sama kak Rangga.

"Kakak kok mukul dia sih?"
"Ngapain dia ngedeketin lo?"
"Dia cuma ngajak ngobrol, kak."
"Dan gue gak suka itu."
"Kenapa?"
"Lo tahu siapa dia?"
"Ya tahu lah. Dia anak baru dikelas gue."
"Maksud gue, lo tahu dia anaknya siapa?"
"Mana gue tahu. Ngobrol aja baru sekali. Namanya pun, gue lupa."
"Mulai sekarang lo jangan dekat-dekat lagi sama dia."
"Kenapa?"
"Karena dia adalah anak om Agustira."
"Om Agustira? Siapa tuh?"
"Aduh. Lo lupa yah? om Agustira itu adalah saingan bisnisnya Papa. Dan dia pengen banget ngancurin perusahaannya Papa. Anaknya itu pasti sengaja ngedeketin lo, biar bisa tahu kelemahan perusahaan Papa. Liat aja , dia sampe bela-belain pindah kesekolah yang sama ama kita."
"Oh ya? Masa sih?"
"Iya. Dan Papa udah pernah bilang kekita untuk jangan pernah deket sama siapapun yang punya hubungan darah sama om Agustira."
"Gue gak inget kalo Papa pernah ngomong gitu. Dan gue gak setuju banget sama keputusannya Papa. Yang jadi rivalnya Papa kan om Agustira, bukan kita. Jadi untuk apa kita ikutan bermusuhan."
"Ah, terserah lo deh."

Begitulah akhir pertengkaran kami. Kak Rangga pergi setelah merasa tak bisa lagi mensuggest-ku untuk menjauhi.. siapa yah? Aku lupa siapa nama "dia" yang kata kak Rangga adalah anak dari om Agustira itu. Ah pusinggg!!

***

Sesaat setelah kak Rangga meninggalkanku ditaman sekolah, akupun ikut beranjak dari sana. Aku berjalan gontai menuju kelas dan kemudian bertemu Kenzi.

"Hai, Nay." sapanya.
"Hai, Ken." aku berusaha senyum semanis mungkin.
"Tadi kenapa sih?" Kenzi mulai menjejaliku pertanyaan. "Kok kak Rangga mukul si Ruben. Dia cemburu?"
"Oh, jadi namanya Ruben." aku tak menjawab pertanyaan Kenzi, dan malah berbalik bertanya kepadanya. "Sekarang Ruben dimana?"
"Di kelas." jawab Kenzi.
"Oh ya udah deh, gue kekelas dulu ya, Ken." Aku langsung pergi dan berlari menuju kelas. Meninggalkan Kenzi dengan sejuta pertanyaan di benaknya.

Sesampainya dikelas.

Ups! muka Ruben memar. Kak Rangga sadis banget deh, benakku.

Akupun langsung menghampiri Ruben dan duduk disebelahnya.

"Lo gak apa-apa kan?" tanyaku.
"Menurut lo?" Ruben balik bertanya padaku. "Muka gue memar, Nayla. Dan ini adalah hasil karya pacar lo itu."
"Aduh, sorry banget ya." aku benar-benar menyesal dengan kejadian ini. "Muka lo jadi memar gini. Tapi tolong, maafin dia."
"Ya udalah." Ruben mencoba bijak. "Wajar dia ngelakuin ini. Mungkin dia cemburu karna gue ngedeketin lo."
"Hah! Cemburu? Ya gak mungkinlah. Dia kan..." aku tak melanjutkan kata-kataku.
"Kenapa gak mungkin?" Ruben menatap bingung.
"Ehm, kak Rangga bukan orang yang cemburuan kok." jawabku sekenanya.
"Oh gitu." Ruben tersenyum tipis. "Lo sayang banget ya sama dia?"
"Ya iya lah. Dia kan pacar gue." kata-kata yang terakhir itu bohong banget. Ngaco.

Ruben hanya tersenyum.

***


APA YANG KAU RASA?




Sudah hampir dua tahun,  Lila memendam perasaannya pada Rio. Tapi dia tidak mampu mengatakannya. Selain karena mereka berdua sahabat dan Lila tidak ingin merusak persahabatan itu. Lila juga selalu merasa, dia tidak pantas menjadi pendamping Rio. Tapi Lila sungguh ingin tahu apa perasaan yang tersimpan dihati Rio.
Meskipun dihatinya menyimpan tanya besar, Lila tetap enggan untuk menanyakan kepastiannya. Mereka sahabat. Tapi Lila merasa, Rio juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Rio mungkin juga mencintainya. Tapi terkadang, perlakuan Rio membuyarkan perkiraannya itu. Rio bisa saja tiba-tiba memberikan perhatian dan seperti menginginkan Lila. Tapi diwaktu yang lain, tiba-tiba saja Rio bersikap dingin dan bertingkah seperti orang yang tak pernah mengenal Lila. Lila jadi bingung dibuatnya.
Suatu malam, lagi-lagi Rio membuat Lila bagai terbang diawang kebahagiaan. Sms dari Rio tiba-tiba datang. Rio menanyakan kabar Lila, menanyakan apa yang kini sedang Lila lakukan dirumah. Dan di akhir sms mereka, Rio menyuruh Lila agar segera tidur dan mengucapkan kata-kata indah.
Tapi keesokan harinya.
“Hai Rio.” Lila menyapa Rio dan duduk disebelahnya.
“Hai.” Wajah Rio tak tampak senang saat menerima sapaan dari Lila.
“Semalem..” Lila belum sempat melanjutkan ucapannya.
“Gue mau kekantin dulu.” Rio pergi begitu saja meninggalkan Lila.

Saat jam pelajaran berlangsung, Rio datang menghampiri meja Lila, dan duduk dibangku sebelahnya.

“Gue boleh gabung kan?” tanyanya dengan ramah.
“Boleh.” Lila masih tak habis pikir dengan hati orang yang saat ini berada disebelahnya. Dia menatap wajah itu lekat-lekat. Benarkah orang yang berada disampingnya ini adalah Rio Prasetyo. Bagaimana mungkin ada orang yang selalu berubah setiap waktunya. Apakah Rio sedang mencoba bermain dengan hati Lila?

“Rio.” Kali ini Lila benar-benar sudah tidak tahan. Dia harus menanyakan apa yang ingin dia tahu.
“Ssttt.” Rio menaruh jari telunjuk dibibirnya. “Jangan berisik. Nanti pak Anto marah.”

Lagi-lagi Lila harus menyimpan pertanyaan dihatinya. Ataukah, tuhan memang tak mengizinkan Lila untuk menyatakannya? Atau tuhan tak mau Lila sakit hati, jika nanti Lila tahu bahwa jawabannya memang tidak sesuai dengan keinginan Lila?

Bel istirahat pertama berbunyi. Lila enggan mengikuti ajakan teman-temannya untuk pergi kekantin. Dia memilih tetap dikelas. Menulis sesuatu pada bukunya. Entah apa yang akan dia tulis. Tapi saat ini, Lilapun benar-benar tidak sedang ingin berpikir. Berpikir hanya akan membuatnya bertambah bingung dengan perasaan Rio.

Dan yang sedang tidak ingin dipikirkan itu pun datang.
“Hai, Lila.” Sapa Rio dengan ramah.
“Rio.” Lila menarik nafas berat. Mengapa lagi-lagi Rio mengacaukan suasana hatinya. “Ada apa?”
“Ada yang mau gue omongin nih sama lo.” Tatapan Rio begitu dalam. Itu menunjukan bahwa dia serius dengan apa yang akan dia katakan.
“Apa?” Lila memaksakan bertanya. Tapi sebenarnya dia enggan untuk mendengarkan apa yang akan Rio katakana padanya.
“Gue..” Rio diam sejenak. “Sebenernya, gue..”

Rio menatap Lila. Dan tatapan itu membuat Lila menjadi salah tingkah.

“Gue sakit kanker.” Rio tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan hal itu. Dia merasa senang, karena sudah sukses mengelabui Lila. Tapi Lila masih berusaha untuk tenang.
“Amin.” ujar Lila santai.
“Hah!” Rio terkejut mendengarkan penuturan Lila. “Yah, La. Jangan ngomong gitu dong. Gue kan Cuma bercanda.”
“Bercadaan lo sama sekali gak lucu.” Lila jengah, dan memilih untuk pergi meninggalkan Rio.

Lila tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Mengapa Rio selalu membuatnya galau? Apa yang sebenarnya ada didalam hati Rio? Bagaimanapun, Lila tidak suka dipermainkan seperti ini.

***
Keesokan harinya. Lila bertambah heran. Hari ini, Rio jarang terlihat dikelas. Tidak ada yang tahu dimana dia. Lila hanya melihatnya saat dikelas, pada jam pelajaran. Tapi setelah itu, Rio hilang entah kemana. Tapi Lila tak mau memikirkan hal itu. Setidaknya, Rio sudah memberinya kesempatan untuk membuang perasaan cinta Lila padanya.

Saat jam pulang sekolah, Lila berjalan pelan menuju gerbang sekolah. Dia akan menunggu ayah menjemputnya, seperti biasa. Seluruh siswa sudah hampir habis, meninggalkan sekolah. Dan Lila melihat sosok yang paling dicintainya itu, melaju dengan motornya bersama seorang gadis yang Lila tahu adalah adik kelas mereka. Lila terkejut. Tapi dia tetap mencoba untuk tegar.

Tapi keesokan harinya, pemandangam itu kembali terjadi didepan mata Lila. Rio bersama gadis itu lagi. Gadis itu adalah Tammy. Gadis manis, pintar dan sangat ramah. Lila tak pernah tahu, bahwa gadis itulah yang menjadi impian Rio selama ini. Apakah ini artinya, Lila sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya selama ini tentang perasaan Rio. Lila tersentak. Air matanya hampir jatuh. Dan Lila sekuat tenaga menahannya.

Hari ini, Lila tampak tak bersemangat untuk masuk kesekolah. Ia hanya diam. Duduk menyendiri. Berfikir sampai kepalanya pusing. Dan lagi-lagi, Rio datang. Andai dia bisa bertanya. Andai dia bisa memohon. Mungkin sekarang ini, Lila akan meneriakan semua uneg-unegnya.

“Hai, La.” Rio duduk dibangku sebelah Lila.
“Hai.” Lila membalas sapaan itu dengantidak begitu semangat.
“Tumben, lo sendirian disini. Gak kekantin.” Rio memulai percakapan seperti biasanya.
“Males.” Lila menjawab sekenanya. “Lo sendiri, tumben ada disini. Gak sama Tammy.”
“Ehm, eh lo udah ngerjain tugas PKN belum?” Rio mengalihkan pembicaraan.
“Belum.” Lila mencoba tetap tenang.
“Ya udah. Kalo gitu gue mau kekelas aja. Mau ngerjain tugas.” Rio pergi meninggalkan Lila. Selalu begitu. Dan Lila tahu, dia memang harus memaklumi sifat Rio yang seperti itu. Pada semua orang? Tidak! Rio hanya berprilaku seperti itu pada Lila. Entah mengapa? Dan karena itulah, Lila sangat ingin mengetahuinya.

Beberapa kali setiap Lila membahas tentang Tammy. Rio selalu mengalihkan pembicaraan. Enggan untuk membahas tentang Tammy, bila sedang bersama Lila. Begitulah seterusnya, sampai Lila lupa, kapan terakhir kali dia bisa berbicara sedekat itu dengan Rio. Lila tak tahu kapan terakhir kali dia saling menyapa dengan Rio. Rio semakin menjauh, setelah dia memiliki Tammy. Tapi selalu menghindar setiap Lila membahas Tammy.

Mereka sudah bukan seperti sahabat lagi. Bahkan benar-benar seperti orang yang tak pernah saling mengenal. Diakhir masa SMA, Rio dan Lila benar-benar berpisah. Mungkin Rio sudah memiliki jalannya yang lain. Tapi Lila tahu, hingga saat ini, Tammy masih tetap berada disisi Rio. Mereka masih sepasang kekasih. Dan Lila masih memendam rasa itu. Dia selalu akan mencintai Rio, sampai dia tahu apa perasaan Rio yang sebenarnya. Sedangkan Rio akan selalu mencintai Tammy. Yang begitu berharga dan sangat disayangi oleh Rio.

Suatu hari, setelah hampir satu tahun tak bertemu setelah hari perpisahan sekolah waktu itu. Lila bertemu dengan Rio kembali. Rio melihatnya, tapi enggan untuk menyapa Lila. Lila hanya tersenyum. Lila tahu perasaannya pada Rio tak pernah berkuang, apalagi hilang. Tapi hari ini, Lila akan menyapanya sebagai seorang sahabat. Bukan sebagai seseorang yang sangat mencintai Rio.

“Hai. Rio.” sapa Lila seramah mungkin. “Apa kabar?”
“Hai, La.” Rio membalas sapaan Lila dan memaksakan senyum. “Gue baik. Lo sendiri?”
“Hem, iya. Sama. Gue juga baik.” Lila berusaha tenang.
“Ga nyangka ya, udah hampir satu tahun kita gak ketemu.” katanya mencoba tetap ramah.
“Tepatnya sembilan bulan.” Lila tertawa renyah. Rio juga. Mereka berusaha membuat nyaman suasana.
“Kalo ibu-ibu hamil, mungkin sekarang udah waktunya lahiran yah?” Rio mencoba memulai lagi candanya yang dulu. Yang selalu dia lakukan untuk membuat Lila tertawa.

Dan benar saja, Lila kini bisa tertawa lepas. Seperti dulu. Dan Rio bahagia melihatnya.

“Tammy apa kabar?” Lila menanyakanpertanyaan yang paling dihindari Rio.
“Lo tambah cantik ya, sekarang.” Lagi-lagi Rio mengalihkan pembicaraan. “Pasti udah punya pacar ya?”
“Makasih.” Lila hanya tersenyum. “Tapi sampai saat ini, gue masih jomblo.”
“Nanti juga lo pasti bakal ngedapetin cowok yang bener-bener lo sayang dan sayang sama lo.” Kata-kata Rio adalah jawaban yang cukup untuk Lila.

Iya. Rio memang pernah mencintai Lila. Tapi itu dulu. Rio tidak pernah bisa mengatakannya pada Lila. Hanya Lila yang bisa membuatnya begitu gugup. Tapi sekali lagi, itu dulu. Sekarang Rio sudah mempunyai Tammy. Orang yang sangat dicintainya. Tapi dia takut Lila terluka karena itu. Jadi Rio tak pernah bisa membahas Tammy didepan Lila.

“Terima kasih.” Lila tersenyum lega. “Meskipun terlambat mengetahuinya. Tapi aku bahagia, karena kini, aku tahu apa yang kau rasa."

-END-

Tuesday, February 21, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 4

Rencana Kak Rangga


Aku gak tahu kenapa kak Rangga aneh banget hari ini. Dari masih sarapan dimeja makan, dia ngeliatin aku terus. Dan pas mau berangkat sekolah, dia malah maksa aku buat berangkat bareng dia.

"Tapi kak Andrenya gimana?" aku masih super duper bingung dengan perubahan sikap kak Rangga.
"Gampang." katanya meyakinkan. "Tadi gue udah sms dia. Dia bakalan berangkat naik ojek."
"Kak." aku menatap kak Rangga. "Lo kesambet ya?"
"Apa lo bilang?" kak Rangga menjotos kepalaku. "Gue mau berniat baik, malah lo katain kesambet. Gimana sih lo."
"Ya abisnya gue bingung, kenapa lo bisa baik kayak gini?" aku menatap curiga pada kak Rangga. "Atau jangan-jangan, lo ada maunya yaa? Gue curiga nih!"
"Nggak kok!" kak Rangga langsung salah tingkah. "Udah, ayo buruan berangkat!"

Akupun akhirnya menyerah, dan mengikuti ajakan kak Rangga buat berangkat bareng dia.

***

Sesampainya disekolah, seperti biasa, aku langsung pergi meninggalkan kak Rangga begitu motornya sudah sampai diparkiran.

"Duluan ya, kak!" aku langsung berlari kearah kelas. Kak Rangga hanya mengangguk pelan.

Lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Aku masih asyik ngobrol sama Keyra. Aku menceritakan tentang keanehan pada kak Rangga.

"Bagus dong!" komentar Keyra. "Dari pada dia dingin kayak es, terus galak banget sama lo. Mendingan dia berubah baik dan perhatian gini sama lo."
"Iya sih, Key." aku membenarkan. "Tapi gue curiga. Jangan-jangan, ada apa-apa dibalik ini semua."
"Yaelah." Keyra tertunduk lesu. "Elo tuh ya, sama kakak sendiri aja masa mikirnya kayak gitu."
"Tau nih." kak Rangga tiba-tiba datang dan menimpali perkataan Keyra.
"Kak Rangga. Ngapain lo disini?" tanyaku bingung.
"Yaah mau ketemu lo lah." jawaban kak Rangga membuatku semakin tak percaya.

Ting..ting..ting.. bel masuk berbunyi. Semua siswa berhamburan masuk kekelas masing-masing.

"Udah bel tuh." aku mengingatkan kak Rangga. "Sana, masuk kelas lo."

Kak Rangga hanya diam. Aku dan Keyra meninggalkannya, dan berjalan masuk menuju kelas. Tapi tepat dipintu kelas, kak Rangga menarik tanganku, agar tubuhku mendekat padanya. Lalu ia mengelus rambutku, dan mencium keningku.

"Selamat belajar ya." katanya. Kemudian dia melepas genggaman tangannya perlahan, dan pergi.

Aku masih terdiam. Keyra juga. Radit segera menghampiri aku dan Keyra. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia ikutan bingung melihat aku dan Keyra yang terdiam seperti patung.

Walaupun kak Rangga sangat jarang melakukan ini, bahkan tidak pernah. Tapi aku gak merasa aneh. Cuma gak nyangka aja, dengan perubahan sikap kak Rangga. Radit menarik tanganku dan Keyra untuk segera masuk kelas. Anak-anak satu kelas, menatap sinis padaku. Akupun langsung duduk dibangkuku, begitupun Keyra.

"Tuh kan, aneh." kataku akhirnya. "Dia gak pernah kayak gitu sebelumnya. Ngajak gue ngobrol aja jarang. Sekarang malah bersikap kayak gitu didepan anak-anak satu sekolah."
"Oh my god, Nayla." Keyra menatapku tak percaya. "Adegan kayak tadi itu, bikin gue pengen banget punya kakak cowok."
"Apaan sih lo, Key. Gak nyambung banget." umpatku.

Aku mengalihkan pandangan ke meja Kenzi dan Ruben. Tapi, ow.. ow.. mereka menatapku sinis.

Kenapa sih, orang-orang bisa sampai sebegitunya cuma gara-gara gue dicium sama kakak gue sendiri? batinku.

***

Begitu bel istirahat berbunyi, aku, Keyra dan Radit langsung pergi menuju kantin. Tapi baru selangkah aku berjalan keluar pintu kelas, tiba-tiba langkahku dihadang oleh segerombolan cewek-cewek yang aku tahu mereka adalah kakak-kakak kelas tiga. Seangkatan dengan kak Rangga. Mereka langsung mendorong tubuhku, hingga aku jatuh.

Auw! aku berteriak kesakitan. Keyra dan Radit malah pergi gak tahu kemana. Dasar gak setia kawan.

"Bangun lo." kakak kelas super galak itu, menarik kerah bajuku. "Denger ya cewek kecentilan, Rangga itu pangerannya kita semua. Gak ada satupun orang yang boleh milikin dia. Apalagi cuma anak kelas satu kayak lo."
"Tapi kak, aku sama kak Rangga itu...", belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, kakak kelas itu langsung menampar pipi kiriku.

Auw! aku mengaduh kesakitan lagi. Kakak kelas itu kembali mendorong tubuhku kedinding. Anak-anak yang melihat kejadian itu, meringis. Tak tega melihatku. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kepala ku yang terbentur dinding karena didorong, terasa sangat sakit. Pandanganku tiba-tiba gelap, kepalaku pusing. Dan seketika itu juga aku terbaring dilantai kelas, tak sadarkan diri.

Kemudian kak Rangga beserta Keyra dan Radit datang. Kak Rangga segera mengangkat tubuhku yang pingsan tak berdaya.

"Lo bakalan nyesel udah ngelakuin ini sama orang yang gue sayang." kak Rangga membentak kakak kelas yang membuatku pingsan. "Kalo sampai terjadi apa-apa sama Nayla. Gue bakal bikin perhitungan sama lo."

Keyra dan Radit mengikuti langkah kak Rangga yang menggendongku menuju UKS. Kak Andre yang melihat hal itu, langsung menjejeri langkah kak Rangga.

"Ga, Nayla kenapa?" tanya kak Andre.
"Ntar gue ceritain." kak Rangga mempercepat langkahnya. "Sekarang gue mau cepet-cepet bawa Nayla ke UKS."

Kak Andre tidak puas dengan jawaban kak Rangga. Dia mengalihkan pertanyaan itu pada Keyra.

"Key, Nayla kenapa?" tanyanya penasaran.
"Dia dilabrak sama kakak kelas tiga, Kak." jawab Keyra.

Setelah itu, kak Andre tak bertanya lagi. Dia diam dan ikut menjejeri langkah kak Rangga untuk membawaku ke UKS.

***

"Maafin gue ya, Nay." kak Rangga mengusap rambutku. "Padahal gue cuma mau, agar cewek-cewek centil itu berhenti ngejar-ngejar gue. Gue mau mereka ngira kalo lo itu adalah cewek gue, jadi mereka bisa berhenti buat ngejar gue. Tapi ternyata..."
"Sabar ya, Ga." kak Andre menenangkan kak Rangga.
"Harusnya gue bilang dulu sama Nayla soal rencana ini." kak Rangga sangat menyesal.

Aku masih pingsan ditempat tidur UKS, ditemani kak Rangga, kak Andre, Keyra, dan Radit.

"Udah bel." kak Rangga melirik jam ditangannya. "Key, Dit. Kalian masuk kelas duluan aja, sana. Biar gue sama Andre yang jaga Nayla."

Keyra dan Radit mengangguk pelan. Baru saja keduanya akan pergi meninggalkan UKS, akupun tersadar. Keyra dan Radit tidak jadi pergi kekelas. Mereka berbalik untuk melihatku.

"Aduh." aku memegangi pipiku yang sakit. "Kok gue disini?"
"Tadi lo pingsan." jawab Radit.
"Pingsan?" aku terperangah. "Kok bisa? Terus pipi gue kenapa sakit banget?"
"Duh, Nay." Keyra menepuk jidatnya. "Jangan bilang, lo lupa."
"Kayaknya sih, gitu." kataku santai.

Kak Rangga tersenyum tipis. Ini pertama kalinya kak Rangga gak sebel dengan lupaku.

"Maafin kakak, ya?" katanya kemudian.
"Maaf buat apa?" tanyaku bingung.

Kak Rangga menarik nafas. "Pokoknya minta maaf deh. Dimaafin gak?"

"Yaudalah." kataku, tak mau ambil pusing.
"Gitu dong." ujar kak Rangga, lega. "Kalo gitu, lo mau kan nolongin gue?"
"Nolongin apa?" aku menatap curiga.
"Pura-pura jadi cewek gue ya. Mau kan? Please." pinta kak Rangga sambil memohon.
"Ogah." kataku cepat. "Cari aja noh cewek lain. Mereka pasti dengan senang hati mau jadi cewek lo."
"Aduhhh, gak bisa Nay." suara kak Rangga memelas. "Gue minta tolong sama lo itu, justru karna gue gak mau pacaran sama siapapun dulu. Ayolah, tolongin gue. Cuma elo satu-satunya orang yang bisa bantuin gue."

Aku berfikir sejenak.

"Kenapa mesti gue?"
"Karena lo adek gue."
"Terus? Apa hubungannya?"
"Yaa berhubung lo adek gue. Jadi kecil kemungkinan gue bisa suka beneran sama lo. Dengan begitu, gue aman buat nyari cewek lain yang benar-benar gue cinta, tanpa diganggu sama cewek-cewek centil yang ngejar-ngejar gue itu."
"Kalo ketahuan, gimana?"
"Tenang aja. Kan ga ada yang tahu ini, kalo lo itu adek gue. Palingan, yang tahu cuman Andre, Radit, Keyra, sama Devand."

Aku diam dan berfikir lagi.

"Jadi gimana?" tanya kak Rangga memastikan. "Lo mau kan?"
"Yaudah deh." kataku akhirnya.
"Nah, gitu dong. Itu baru namanya adek gue." kak Rangga memelukku. "Tapi lo jangan sampai lupa ya. Dan jangan sampai orang lain tau soal rencana ini, kecuali mereka-mereka yang ada disini."
"Kalo Devand, biar ntar gue yang kasih tau." Radit menimpali.
"Ok. Thanks ya, Dit." kata kak Rangga.

Setelah menyadari bahwa kami sudah terlalu lama berdiam diruang UKS ini, kami pun segera bubar dan berjalan menuju kelas masing-masing.

"Susah ya Nay, punya abang keren kayak kak Rangga." dari dulu, Keyra memang mengagumi kak Rangga.
"Keren apaan." aku membantah ucapan Keyra. "Buta tuh, cewek-cewek yang pada naksir dia."
"Parah lo, Nay." kini giliran Radit yang berbicara. "Abang sendiri, lo katain gitu."
"Itu fakta, Dit." kataku tak mau kalah.
"Terserah lo, deh." Radit mengalah.

Kami meneruskan langkah menuju kelas. Sesampainya dikelas, Bu Murni mempersilahkan kami duduk untuk segera mengikuti pelajaran. Aku menoleh kearah meja Kenzi. Tapi yang terkena pandanganku, adalah Ruben. Dia melirik sebentar, kemudian kembali sibuk pada catatan dibukunya. Sedangkan Kenzi sama sekali tak melihat kearahku.

***

Sunday, February 19, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 3

Dua Anak Baru


Sekarang rumahku penghuninya bertambah. Dulu, hanya ada aku, Papa, Mama, kak Yudha, dan kak Rangga. Kini sudah bertambah dengan datangnya tante Mery dan Devand. Dan pagi ini, kami sarapan pagi bersama.

"Anak-anak!" Papa menunjukan panggilan itu padaku dan kedua kakakku. "Nanti siang, Mama dan Papa akan pergi ke Singapore untuk urusan kerja. Jadi kalian akan dijaga sama tante Mery selama Mama dan Papa pergi."
"Berapa lama Mama dan Papa disana?" itu pertanyaan yang baru saja ingin aku ajukan, tapi sudah keduluan kak Yudha.
"Mungkin sekitar lima hari atau seminggu." Papa mengira-ngira.
"Yaaah, lama banget." rengekku, manja.
"Ga apa-apa sayang." Mama memelukku. "Kan ada tante Mery, kak Yudha, kak Rangga dan Devand yang bakal jagain kamu."
"Iya, Nay." tante Mery menimpali. "Tante akan jaga kamu kok."

Selesai sarapan, aku, kak Rangga, dan Devand, berangkat sekolah. Sementara kak Yudha akan berangkat kekampusnya. Tapi seperti biasa, aku berangkat bersama kak Yudha dengan menggunakan mobil. Sedangkan kak Rangga berangkat menggunakan motornya, bersama kak Andre. Hari ini ada yang berbeda didalam mobil kak Yudha, karena ada Devand disana.

"Vand, jangan diem aja dong. Ngobrol." kak Yudha membuka pembicaraan kami dimobil, pagi ini.
"Eh, iya kak. Tapi ngomongin apa ya?" Devand menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Gimana kalo lo ceritain soal sekolah lo yang di Batam, Vand?" kataku memberi topik.
"Oh itu. Apa ya, Nay. Perasaan, ga ada yang menarik deh dari kehidupan sekolah gue yang dulu." Devand masih tampak malu-malu untuk mengenal lebih jauh denganku dan kak Yudha.
"Ya udah, ga apa-apa." kak Yudha tersenyum tipis. "Udah nyampe nih sekolahannya. Jagain adek gue ya, Vand."
"Iya, kak." Devand segera keluar dari mobil. Aku juga.

Setelah mengantarku dan Devand, kak Yudha melajukan mobilnya kearah kampusnya.

"Yuk, Vand. Gue anter lo keruang kepala sekolah." ajak ku pada Devand.
"Ah iya." katanya. Dia sibuk memperhatikan setiap sisi lingkungan disekolah barunya. Bagaimanapun, disinilah nanti dia kan menunutut ilmu selama dua tahun lebih sisa masa SMA nya.

Aku mengantar Devand sampai kedepan ruang Kepala Sekolah. Dan setelah itu, aku melanjutkan langkah menuju kelas.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Semua siswa SMU ini, segera masuk kekelas masing-masing. Beberapa menit kemudian, Bu Murni masuk kekelas dengan membawa Devand dan seorang anak laki-laki lagi yang tak ku kenal. Dan ternyata, laki-laki itu juga adalah siswa baru seperti Devand. Mereka berdua disuruh memperkenalkan diri oleh Bu Murni.

"Pagi semua." Devand menyapa kami. "Nama gue Devand Wiratama. Kalian bisa panggil gue Devand. Gue pindahan dari Batam."

Anak-anak dikelas pada manggut-manggut mendengar perkenalan diri Devand. Dan bagi para siswa centil termasuk sahabat gue Keyra, menyapa Devand sambil melambaikan tangan.
Sumpah! Aku baru tahu kalo si Devand itu lumayan centil juga. Dia membalas sapaan anak-anak cewek dikelasku dengan gaya narsis dan sok cool. Huh! Padahal pas dirumah sampai tadi pagi dimobil, dia pendiem banget. Devand, Devand.

Nah, sekarang giliran anak baru satunya lagi yang memperkenalkan diri. Siapa ya namanya?

"Pagi." sapanya seperti Devand tadi. "Nama gue Ruben Agustira. Panggil aja gue Ruben. Gue pindahan dari Jakarta."
"Hah!" anak-anak pada kaget denger Ruben bilang dia pindahan dari Jakarta.

Kirain, si Ruben pindahan dari kota lain. Tapi tahunya, dari Jakarta juga.

Ruben. Ruben. Ruben. Perlu digaris bawahi tuh nama. Tampangnya sih lumayan. Tapi kayaknya, orangnya jutek abis! benakku.

"Baiklah." kini giliran bu Marni yang bicara. "Devand, kamu duduk dengan Radit. Dan kamu Ruben, kamu duduk dengan Kenzi."
"Baik, bu." ujar Devand dan Ruben bersamaan.

Devand dan Ruben berjalan menuju tempat duduknya masing-masing. Devand duduk dibelakang mejaku dan Keyra, bersama Radit. Sedangkan Ruben duduk di meja seberang kiriku, bersama Kenzi.

Uuhh! Si Ruben jadi ngalangin gue buat meratiin si Kenzi nih! benakku kesal.

Aku terdiam saat Ruben menatapku. Dia sempat tersenyum tipis, sebelum aku mengalihkan pandanganku kedepan. Aku tak sempat membalas senyumnya yang kuakui sangat manis. Meskipun dia tetap tidak bisa mengalahkan senyumnya Kenzi yang bagaikan malaikat. Tapi senyum Ruben barusan, sudah mematahkan perkiraan ku kalau dia itu cowok yang jutek. Justru senyum tadi menandakan kalau Ruben adalah orang yang ramah.

Aku beralih menoleh kebelakang. Radit dan Keyra sudah berkenalan dengan Devand secara sah. Mereka saling menjabat tangan. Dan kini Devand sudah mengetahui siapa nama teman sebangkunya, dan seorang gadis yang menjadi teman sebangkuku, yaitu Keyra.

***

Bel tanda istirahat berbunyi. Semua anak-anak kelasku langsung berhamburan keluar, begitu bu Murni menutup pelajaran pagi ini. Sementara aku masih terus mencatat pelajaran yang diberikan bu Murni, tadi.

"Ya ampun, Nay." Keyra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nyatat yang begituan aja kok lama banget. Dari tadi gak selesai-selesai."
"Iya nih." Radit menimpali. "Buruan dong, Nay. Gue udah laper nih, mau kekantin."
"Ya udah." aku menatap Keyra dan Radit yang mulai jenuh menungguku. "Lo berdua duluan aja. Nanti gue nyusul. Soalnya gue mau nyelesain catetan gue ini."
"Ah, palingan ntar lo lupa lagi buat nyusulin kita." tuduh Keyra.
"Nggak bakalan." kataku pede. "Kalo perut gue ini udah teriak-teriak minta dikasih makan, pasti gue tahu gue harus kemana."
"Ya udah deh. Kalo gitu kita duluan ya." ujar Radit. "Tapi jangan lupa, nanti nyusul ya." tambahnya.
"Iye, iye." ujarku sambil terus mencatat.

Kini kelas menjadi sepi. Hanya ada aku sendiri yang masih sibuk mencatat. Tiba-tiba seseorang datang dan duduk dikursi kosong yang ada disampingku. Aku tersentak dan segera menoleh. Ternyata itu Ruben si anak baru.

"Hai." sapanya.
"Hai." jawabku.
"Kok masih nyatet? Gak kekantin?" tanyanya.
"Nggak." jawabku singkat.
"Oh ya. Kita belum kenalan." Ruben mengulurkan tangannya padaku. "Gue Ruben."
"Gue Nayla." kataku sambil menjabat tangan Ruben.
"Kayaknya lo pinter nih." terkanya. Gue boleh dong belajar sama lo. Gue kan baru disini. Jadi gak tahu siapa yang bisa gue mintain tolong buat belajar. Gue cuma baru kenal sama Devand doang, karena tadi kita ketemu pas diruang kepsek. Sementara si Devand kan juga anak baru."
"Eh. Lo salah, lagi." kataku panik. Gila aja, anak sepertiku dibilang pinter. Otak aja sering lupa-lupa. "Yang pinter itu, temen sebangku lo, si Kenzi."

Aduh! Males banget deh ngeladenin nih cowok. Mesti cari cara nih, biar bisa kabur! pikirku.

Ting.. Ting.. Ting.. bel masuk bunyi. Aku boleh bernafas lega, sekarang. Karena tak harus meladeni si Ruben lagi. Semua siswa kelasku, satu per satu masuk kedalam kelas. Dan akhirnya Rubenpun kembali ketempat duduknya. Keyra dan Radit yang paling belakangan masuk kekelas.

"Nay. Kok lo nggak nyusulin kita kekantin sih?" tanya Keyra, setelah duduk disampingku.
"Tau nih." Radit ikut-ikutan nimbrung dari arah belakang. "Padahal kita udah mesenin siomay favorite lo. Jadi mubazir deh tuh siomay."
"Astaga." aku menepuk jidat. "Sorry guys. Gue lupa."

Keyra dan Radit langsung bete mendengar jawabanku. Lalu bu Asti datang untuk memulai pelajaran jam kedua.

***


Friday, February 17, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 2

Tamu Istimewa


Sebelumnya aku belum pernah cerita ya, kalo aku punya dua kakak cowok. Namanya Yudha Aprian dan Rangga Alvindra. Kak Yudha itu orangnya lembut, ramah, baik, dan sayang banget sama aku. Dia kuliah jurusan hukum semester empat. Kalo kak Rangga itu, SMA kelas tiga. Umurnya cuma beda dua tahun dariku. Dan kita satu sekolah. Kak Rangga berbanding terbalik sama kak Yudha. Kak Rangga itu galak dan cuek, tapi dia juga sayang sama aku. Yaa.. walaupun dia sering sebel dan bete setiap penyakit lupaku kambuh.

Kata Papa dan Mama, hari ini akan ada tamu istimewa yang datang kerumah kami. Siapa ya?
Papa minta agar saat pulang sekolah nanti, aku dan kak Rangga segera pulang kerumah. Sedangkan kak Yudha diminta untuk menjemput tamu istimewa itu dibandara.

"Nay, buruan dong sarapannya! Gue udah mau berangkat nih. Kalo nggak, lo gue tinggal." kak Rangga berteriak sambil memakai sepatunya.
"Hah! Lo ngajakin gue berangkat bareng?" aku terkejut dan bingung.
"Ya iyalah. Kalo nggak, lo mau berangkat sama siapa?" kak Rangga mulai naik darah.
"Ya berangkat sama kak Yudha lah, kayak biasa." jawabku santai.

Aku melirik kearah kak Yudha yang malah senyum-senyum aja sambil geleng-geleng kepala.

Kak Rangga tambah kesal. "Lo pasti amnesia lagi deh. Kan kak Yudha disuruh Papa buat jemput tamu istimewanya."
"Oh iya yah!" aku menggaruk-garuk kepala yang gak gatal, sambil nyengir ke kak Rangga.
"Ayo buruan!" kak Rangga menarik tanganku.
"Berangkat ya kak!" aku melambaikan tangan pada kak Yudha yang masih sarapan dimeja makan.
"Iya!" katanya sambil tersenyum tipis. "Hati-hati." tambahnya.

***

Sesampainya disekolah, aku langsung turun dari motor kak Rangga yang baru saja nyampe diparkiran. Keyra melambaikan tangannya dan memanggilku. Akupun langsung berlari menuju Keyra, tanpa pamit pada kak Rangga.

"Tumben lo berangkat bareng kak Rangga?" Keyra tampak heran.

Tentu saja. Ini merupakan pemandangan yang jarang banget terjadi. Karena memang, meskipun aku dan kak Rangga satu sekolah dan adalah kakak adek, kita jarang banget saling sapa ataupun ngobrol apalagi berangkat bareng. Soalnya kak Rangga selalu berangkat sekolah sama kak Andre, sahabatnya. Bahkan, teman-teman disekolah gak ada yang tahu kalo aku dan kak Rangga itu adek-kakak. Kecuali Keyra, Radit, dan tentunya kak Andre. Soalnya, Keyra dan Radit adalah sahabatku sejak SMP. Sedangkan kak Andre, adalah sahabatnya kak Rangga.

"Soalnya hari ini kak Yudha gak bisa nganterin. Jadi gue berangkat sama kak Rangga deh." jawabku.
"Ohh, tumben lo inget! Gue kira tadi lo mau bilang lupa, alasan kenapa lo bisa berangkat bareng kak Rangga." ejek Keyra.
"Lo sih gitu Key. Gue gak lupa, diejek. Gue lupa, diejek juga. Maunya apa sih?" umpatku, kesal.
"Iya deh, sorry!" Keyra merangkul bahuku. "Yuk kita masuk kelas."
"Eh tunggu. Radit mana?" tanyaku, baru menyadari kekurangan satu orang sahabat.
"Dia gak masuk." jawab Keyra. "Tadi dia sms gue, katanya sih dia sakit.
"Ohh.." aku manggut-manggut.

Aku dan Keyra melanjutkan langkah menuju kelas.

***

Jam istirahat tiba..

"Key, kantin yuk!" ajakku pada Keyra.
"Nggak ah!" Keyra menulis sesuatu dibukunya. "Tadi gue uda sarapan dirumah."
"Oh iya yah, tadikan tumbenan banget lo dateng kesekolahnya gak telat." ejekku.
"Huu rese lo!" Keyra mendorong bahuku.

Tiba-tiba Vivian dan sikembar Kiran Ayunda dan Karin Ayunda, datang kekelasku.

"Hei Keyra, Hei Mipel. Ups!" Vivian menutup mulutnya. "Eh maksud gue, hei Nayla."
"Mau ngapain lo kesini?" bentak Keyra. "Kalo lo kesini cuma buat ngejek temen gue, mendingan sekarang lo pergi. Sebelum sepatu gue ini pindah kemuka lo."
"Wow takut!" kata si kembar bersamaan.
"Apaan lo berdua?" bentak Keyra pada si kembar.
"Udah Key." aku menenangkan Keyra.
"Apaan sih lo, Key!" Kiran nyolot. "Biasa aja dong. Temen lo aja ga apa-apa."
"Iya!" Karin menimpali. "Lagian, temen lo si Nayla itu kan udah biasa dipanggil Mipel."
"Udah dong guys." Vivian menengahi. "Ok. Gue minta maaf karena tadi gue udah manggil Nayla kayak gitu. Tapi tujuan gue kesini, buat nyari Kenzi. Dia ada nggak?"
"Menurut lo?" kalo sudah berhubungan dengan Kenzi, aku yang harus turun tangan. "Lo ngerasa liat Kenzi nggak, disini?"
"Nggak sih!" Vivian melihat sekeliling kelas yang kosong dan hanya ada aku, Keyra dan mereka.
"Ya udah." aku menggebrak meja. "Kalo gitu lo boleh pergi dari sini sekarang. Karena kedatangan lo disini tuh ganggu banget."
"Santai aja kali, Nay. Iya kita pergi sekarang." Vivian berbalik ingin keluar, namun diurungkannya. Dia kembali menatapku sinis. "Oh ya, gue mau tanya. Kok bisa sih tadi pagi lo berangkat bareng kak Rangga?"

Aku diam dan tak menjawab pertanyaan Vivian. Bukan karena aku takut menjawabnya, tapi karena aku pun lupa jawabannya.

Vivian memegang bahuku. "Hati-hati lo, Nay! Lo gak takut apa, kena amukan kakak-kakak kelas dua sama tiga? Mereka itu kan, ngefans banget sama kak Rangga. Kalo mereka liat lo deket-deket sama kak Rangga, lo bisa abis."
"Iya." si kembar menimpali. "Kita berdua juga ngefans banget sama kak Rangga."
"Terserah!" jawabku, sambil menepis tangan Vivian yang tadi berada dibahuku.
"Ok." Vivian tersenyum licik. "Bagus deh kalo lo sama kak Rangga. Daripada ntar lo ambil Kenzi gue."
"Awas lo Mipel." si kembar bersamaan menggebrak meja. Dan Keyra memelototi mereka.

Aku terdiam sekaligus terkejut mendengar ucapan Vivian.

Apa jangan-jangan Vivian tahu kalo gue naksir Kenzi? Tapi.. Vivian tahu darimana? Pertanyaan itu terlintas dibenakku.

"Nay!" Keyra membuyarkan lamunanku. "Lo kenapa sih? Kok bengong?"
"Ga apa-apa kok, Key." kataku semabari tersenyum.
"Lo masih mikirin omongan Vivian yang tadi?" pertanyaan Keyra membuatku tersentak. "Udahlah. Lo ga perlu takut. kak Rangga kan abang lo."

Mendengar ucapan Keyra selanjutnya, akupun langsung tersenyum lega.

"Iya, Key. Gue gak takut kok." kataku tersenyum tipis.

***

Saat pulang sekolah, Keyra mengajakku untuk menjenguk Radit. Dan aku menyetujuinya. Tanpa meminta izin pada kak Rangga, akupun langsung pergi kerumah Radit bersama Keyra dengan menggunakan Taksi.

Ternyata disekolah, kak Rangga mencari-cariku. Dia bertanya pada semua teman sekelasku. Tapi mereka semua menjawab "Gak tahu, kak!"
Sampai kak Rangga bertemu dengan Vivian dan sikembar.

"Hei, kalian!" kak Rangga memanggil Vivian dan si kembar. "Liat Nayla, nggak?"
"Gak tahu tuh, kak!" jawab Vivian acuh. "Tapi kayaknya sih dia pulang duluan. Soalnya takut di damprat sama fans-nya kakak."
"Maksud lo apa?" kak Rangga tak mengerti maksud pembicaraan Vivian.
"Kakak ngapain sih nyariin si Mipel itu?" tanya Kiran, manyun. "Kakak suka ya sama dia?"
"Jangan sampe suka deh kak." tambah Karin. "Nayla itu kan orangnya pelupa banget. Mending kakak sama aku aja." katanya dengan gaya centil.
"Apaan sih kalian?" kak Rangga semakin tak mengerti. " Gue nanya apa, kalian jawabnya apa. Percuma deh gue nanya sama kalian. Buang-buang waktu aja tau gak."

Kak Rangga sebal dengan Vivian dan teman-temannya. Dia pun segera memutar balik arah motornya dan memacu santai menuju gerbang sekolah. Dan akhirnya dia memutuskan untuk menelfonku.

"Halo Nay! Lo dimana sih?"
"Dirumah Radit, kak. Ada apa?"
"Ada apa? Dasar! Lo pasti lupa lagi deh. Kita kan disuruh Papa langsung pulang abis dari sekolah. Karena kita bakalan kedatangan tamu istimewa."
"Astaga! Iya kak, gue lupa! Maaf ya!"
"Maaf, maaf. Udah buruan pulang."
" Iya, gue pulang sekarang."

Kak Rangga menutup telfonnya dengan kesal.

"Ada apa, Nay?" Keyra bingung melihatku yang langsung panik begitu selesai menerima telfon dari kak Rangga.
"Aduh! Mampus gue, Key!" aku menepuk jidat. "Gue lupa kalo tadi Papa nyuruh gue pulang cepet. Soalnya bakalan ada tamu istimewa gitu dirumah."
"Wah, parah lo, Nay." Keyra ikut-ikutan panik. "Masa bisa lupa. Dasar Mipel lo."

Aku tak menghiraukan ucapan Keyra, dan langsung pulang setelah berpamitan dengan Radit.

 *** 

Saat sampai dirumah, semua sudah berkumpul diruang tamu. Termasuk tamu istimewa Papa dan Mama.

"Nayla. kamu itu kemana saja? Kenapa pulangnya bisa sampai telat. Kan tadi Papa sudah peringatkan untuk pulang cepat." tanya Papa sedikit kesal.
Aku cuma nyengir mendengar ucapan Papa.
"Biasa Pa, Nayla lupa!" kak Rangga memberi jawaban yang sangat tepat. "Untung sama alamat rumah ini, dia gak lupa!"

Papa menggelengkan kepala.

"Ya sudah." Mama menarik tanganku. "Sini, Nay. Mama kenalin sama tamu istimewa kita."

Aku tersenyum semanis mungkin sembari menjabat tangan si tamu istimewa sambil bilang "Nayla". Tamu istimewa itu lalu balas menjabat tanganku sambil bilang "Tante Mery". Dan satu orang lagi yang juga memperkenalkan dirinya dengan nama "Devand Wiratama". Yang berkenalan terakhir adalah anak dari tante Mery. Dia seumuran denganku.

Tante mery adalah orang yang berjasa dalam menyatukan cinta Mama dan Papa. Karena itulah, Papa dan Mama menyebut tante Mery sebagai tamu istimewa mereka. Dan mulai hari ini, tante Mery dan Devand akan tinggal sementara dirumahku, sampai tante Mery mendapatkan rumah yang cocok untuk tempat tinggal barunya. Sedangkan Devand juga akan bersekolah di sekolah yang sama denganku.

Tante Mery terpaksa pindah dari Batam ke Jakarta, karena tante Mery di mutasi kerja disini. Tante Mery menjadi single parent sejak suaminya meninggal dua tahun yang lalu.

"Ya sudah." Papa mengakhiri ceritanya tentang siapa itu tante Mery kepadaku dan kedua kakakku. "Nanti lagi ceritanya. Sekarang kita makan siang dulu. Bi Minah sudah menyiapakannya."

Kamipun langsung menuju ruang makan untuk segera makan siang. Saat sedang makan siang bersama, kak Rangga tak henti-hentinya menatapku.

Mungkin dia kesel gara-gara kejadian tadi! pikirku.

***


Thursday, February 16, 2012

MIPEL (MISS PELUPA) Bagian 1

Saya saranin, sebelum baca bagian pertama sampai selesai cerita ini, baca dulu laman "About Mipel" yang ada di halaman awal blog ini ya guys :)


Golden Memory, 17 Oktober


Hai, namaku Nayla Anggitha. Aku biasa dipanggil Nayla, atauu.. MIPEL alias Miss Pelupa. Aku adalah seorang pelajar kelas satu SMA. Hobiku adalah bikin orang kesel. Jiah! tapi itu bukan kesengajaan kok. Orang-orang biasanya kesel karna aku sering lupa. hehe

Tapi pelupaku gak akut-akut banget kok. Buktinya aku gak lupa sama cinta monyetku si Jonash dan cinta pertamaku si Kenzi, ho ho ho. Aku udah lama banget gak ketemu sama Jonash si monyet, eh si cinta monyet, hehe. Aku ingat banget kalo nama aslinya itu adalah Jonash Raykal. Tapi kayaknya aku lupa sama tampang cute-nya. *parah !!! :D

Nah, kalo sama Kenzi Pramana, aku always remember. Ya iya lah! kan kita satu sekolah, satu kelas pula. Awal pertama kali aku naksir Kenzi itu..

Waktu lagi kikuk dan ribetnya bawa buku seabrek dan ngelewatin koridor kelas, gak sengaja aku nabrak Kenzi. Alhasil, buku-buku yang kubawa jatuh semua.

"Aduh! Maaf ya, Ken." kataku penuh penyesalan. "Gue gak sengaja."
"Iyah! Gak apa-apa kok, Nay." Kenzi membantu memunguti buku-buku ku yang jatuh. "Gue juga yang salah, gak liat lo." lanjutnya.

Parah!! Masa gue yang segede gini gak diliat! umpatku dalam hati.

Setelah membereskan buku-buku ku yang jatuh, Kenzi pergi sembari melayangkan senyuman manis dibibirnya kepadaku.

OMG!! senyumnya manis banget.. aduh! bisa copot nih jantung gue! bisik ku masih dalam hati.

Sejak saat itu, aku merasa ada sesuatu yang beda tiap aku liat Kenzi. Aku jatuh cinta! its my first love. Aku inget banget, hari itu adalah hari Sabtu, 17 Oktober 2009. Hari pertama aku jatuh cinta. Owh! sok sweet, eh so sweet! Aku bahkan gak pernah lupa ama hari dan kejadian itu.

Sayangnya, aku gak mungkin bisa memiliki Kenzi. Aku gak punya keberanian untuk bilang cinta padanya. Pengecut banget ya? So, aku hanya bisa mengagumi cowok cakep, cool dan cute itu dalam hati. Dia juga cuma menganggap aku sahabat baiknya.

Seorang gadis cantik, pinter dan tajir, sangat mencintai Kenzi. Dan mungkin, Kenzi juga mencintainya. Gadis itu adalah Vivian Kenisha. Kenzi beda banget tiap menatap Vivian. Sumpah! Sedih banget tahu kenyataan itu. Tapi ya mau gimana lagi. Vivian yang adalah bintang sekolah, gak mungkin tersaingi oleh aku yang hanya anak SMU biasa, gak cantik, otak biasa aja dan gak tajir-tajir amat. Aku bukan siapa-siapa di SMU ini. Orang-orang mengenalku bukan karena prestasi atau kepopuleranku. Melainkan karna aku adalah Mipel si Miss Pelupa, julukan untukku dari anak-anak satu sekolah.

Uups!! But aku gak boleh putus asa. Cayoo Nayla! Suatu saat, mungkin aku akan menemukan kebahagiaanku. Dan aku berharap penyakit pelupa ku akan hilang. Akan aku tunjukan ke anak-anak satu sekolah yang sering ngejek aku, kalo aku akan sembuh dari penyakit aneh ini. Huh!

Kenzilah satu-satunya orang disekolah ini, yang gak pernah manggil aku si MIPEL. Tuh kan, aku jadi makin cinta nih. Gubrak!!

Saat sedang asik melamun, tiba-tiba dua kuman resek, si Keyra Leanitha dan Raditya Akbar datang mengejutkanku.

"Hayooo!!" Radit menepuk bahuku. "Lagi ngelamunin apa lo?"
"Akh, kalian! Ngagetin aja!" umpatku kesal. "Nggak ngelamunin apa-apa kok."
"Kekantin yuk, Nay!" ajak Keyra. "Gue laper nih. Tadi pagi gak sempet sarapan."
"Elo kan emang gak pernah sarapan. Berangkat sekolah aja, telat mulu. Gimana bisa sarapan." umpatku masih dengan nada kesal.
"Nayla hebat yah. Meskipun pelupa, tapi tetep inget sama kebiasaan buruknya Keyra."

Radit tertawa. Tapi kemudian mengurung untuk tertawa lebih lama, karena mendapat pelototan dari Keyra.

"Gitu banget sih lo, Nay." rengek Keyra.
"Ah udah! Kita ke kantin aja yuk!" Radit menarik tanganku dan Keyra.

Dalam perjalanan ke kantin, aku, Keyra, dan Radit berpapasan dengan Kenzi. Dan Kenzi melemparkan senyumnya padaku. Owh senangnyaaa.
Tapi tiba-tiba Vivian datang bersama kedua sahabatnya, si kembar Kiran dan Karin. Vivian lalu menyapa Kenzi. Kenzi terdiam sesaat, kemudian membalas sapaan Vivian.

Gue makin yakin kalo Kenzi itu naksir Vivian! batinku.

Aku terus menoleh kebelakang sambil melihat gelagat Kenzi dan Vivian. Dan tiba-tiba..

Auw!! Aku memegangi jidatku yang bego banget, pake nabrak dinding beton segala. Dan Dony Satria alias Idon, yang melihat kejadian itu malah tertawa diatas kesakitanku.

"Makanya Mipel, kalo jalan tuh liat ke depan. Jangan liat kebelakang. Nabrak kan lo!" Idon masih terus menertawakanku.
"Akh, rese lo Don!" kataku kesal, sambil memegangi jidatku yang merah dan agak benjol karena abis tabrakan sama dinding beton.
"Loh, kok gue sih yang lo bilang rese?" Idon mengerutkan keningnya. "Dinding beton tuh yang rese. Pake pengen adu kuat sama jidat lo!"

Haloo please deh Idon. Malah nyalahin dinding beton yang gak berdosa itu! umpatku dalam hati.

"Lo mau kemana sih?" pertanyaan Idon itu membuatku bingung.
"Kemana?" aku mulai berfikir. "Ya mau ke kelas lah!" jawabku, akhirnya.
"Yaelah! Kelas mah arahnya kesono, bukan kesoni. Eh kesini maksud gue." Idon mengingatkan dengan gaya lawaknya.
"Makasih!" kataku sedikit tak rela mengucapkan kata itu pada Idon.

Akupun berjalan menuju kelas, sambil terus berfikir.

Kayaknya ada yang salah deh. Perasaan, gue gak lagi mau kekelas. Tapi kemana yah? batinku.

***

"Lo kemana aja sih, Nay?" tiba-tiba Keyra bertanya ketus padaku. "Kita tungguin di kantin, gak nongol-nongol juga."
"Kantin?" Aku mengerutkan kening, pertanda tak mengerti maksud ucapan Keyra. "Ngapain lo berdua nungguin gue di kantin?" tanyaku.
"Aduh! Please deh, Nayla." Radit menepuk jidatnya. "Kitakan tadi mau ke kantin, buat nemenin Keyra makan. Tapi pas gue sama Keyra nyampe kantin, lo nya malah ilang."
"Oh, sorry deh. Gue lupa!" kataku santai.
"Yaah, ok lah. Kita emang harus selalu ngertiin alasan lo itu." kata Radit maklum.
"Tuh jidat kenapa?" Keyra menunjuk jidatku yang benjol.
"Nah itu dia." aku menjentikan jari. "Gue lupa."
"Dasar Mipel!!!" Keyra dan Radit serentak menyorakiku.
"Lo itu ya, Nay. Apa-apa lupa." Keyra menggelengkan kepalanya. "Dulu, lo lupa alamat rumah, lupa kelas, lupa pake sepatu, lupa bikin PR, dan gak terhitung lagi deh lupa-lupa yang pernah lo alamin itu."
"Dan lupa yang paling parah adalah, yang waktu itu lo lupa nama pacarnya ka Yudha." Radit mengingatkan.
"Kenapa lupa yang itu, yang lo bilang paling parah?" tanyaku bingung.
"Ya iya lah, Nay. Secara, waktu pacarnya ka Yudha main kerumah lo. Lo tanya dia siapa. Trus dia bilang, dia pacarnya ka Yudha. Trus lo absenin deh nama-nama cewek-cewek yang lo sendiri aja gak tau itu siapa didepan pacarnya ka Yudha. Sampai tuh cewek mikir kalo ka Yudha itu pacarnya banyak. Dan akhirnya mereka putus." Radit ngoceh panjang lebar.
"Dan gue gak abis fikir, kenapa waktu itu ka Yudha masih bisa bersikap manis dan gak marah sama lo, padahal dia udah kehilangan cewek yang paling dia cinta cuma gara-gara lo lupa nama." tambah Keyra.

Gue terdiam denger ceritanya Radit dan Keyra. Bukan karena gue merasa bersalah sama ka Yudha saat diingetin soal kejadian itu, tapi karena gue mikir : emangnya iya yah, gue pernah berbuat itu? Gubrak!!!

"Kenapa diem, Nay?" tanya Keyra. "Apa perlu, kita ceritain kejadian-kejadian lain tentang penyakit lupa lo itu?"
"Ga usah lah, Key. Karena gue yakin dia gak bakalan inget. Kan otaknya Nayla, emang gak ada Memory nya." tuduh Radit, sinis.
"Enak aja!" aku tidak terima dengan apa yang dituduhkan Radit. "Ada satu kejadian yang gak akan pernah gue lupain."
"Apa?" Keyra dan Radit serentak ingin tahu.
"Golden Memory, 17 Oktober." kataku bersemangat.
"Apaan tuh?" Keyra semakin penasaran.
"Rahasia dong!" kataku licik.

Huu... Keyra dan Radit menjotos kepalaku. Dan aku tertawa puas karena sudah bisa membuat mereka penasaran.

***

Wednesday, February 15, 2012

CITA-CITAKU, MASA DEPANKU



Kisah hidup Kiran adalah inspirasi bagi semua cerpen dan puisi yang dibuatnya. Kiran bercita-cita menjadi seorang penulis, yang nanti tulisannya bisa menjad motivasi dan pembelajaran untuk orang lain.

Kiran hidup disebuah desa terpencil bernama Desa Mimpi. Bagi semua orang yang tinggal di desa Mimpi, cita-cita dan harapan memang hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang tak pernah jadi kenyataan. Tak ada seorangpun yang mampu bercita-cita seperti Kiran.

Ayah Kiran bahkan pernah mengatakan pada Kiran bahwa "Bagi setiap manusia yang terlahir didesa ini, cita-cita dan impian itu hanyalah sebuah mimpi". Namun perkataan itu, tak pernah dihiraukan Kiran. Kiran terus optimis dan berusaha keras untuk menggapai cita-citanya. Kiran berusaha untuk memotivasi teman-temannya yang lain, agar tak putus asa dan terus berusaha mewujudkan mimpi mereka.

"Eh Kiran, mimpi kamu itu udah ketinggian. Kalo gak kesampaian, nanti kamu bisa jadi gila!" bentak Vita sahabatnya, dengan kasar.

Kiran tak memperdulikan ucapan Vita. Dia terus saja menulis cerpennya yang hampir selesai. Semua kisah hidupnya, bahkan kisah tentang Desa Mimipi yang terkadang amat kejam memupuskan mimpi banyak orang yang ada didalamnya. Bersama buku Hijau tebal pemberian ibunya saat hari ulang tahunnya, Kiran mengukir kisah demi kisah. Buku itu selalu berada dalam genggaman Kiran, dimanapun ia berada.

Bertahun-tahun Kiran berusaha untuk mewujudkan cita-citanya. Namun cita-cita itu tak kunjung tergapai. Mimpi Kiran untuk menjadi penulis, seolah benar-benar hanya akan menjadi Mimpi belaka.

Kini kedua orang tua Kiran sudah meninggal. Usianya sudah menginjak 24 tahun. perlahan kiran mencoba melupakan cita-citanya. ia berhenti menulis. Dulu Kiran memiliki motto hidup "Cita-citaku, Masa Depan ku", dan sekarang pemikirannya tentang itu semua berubah buram. Kini dia beranggapan bahwa " cita-citaku, mimipi kosongku". Benarkah harapan didesa Mimpi, hanyalah sebuah Mimpi?

Kiranpun memutuskan untuk meninggalkan Desa mimpi dan pindah ke kota Pengwujud mimpi, yaitu kota Jakarta. Di Jakarta, Kiran menjalani hidup dalam bayang-bayang mimpi buruknya. Buku hijau yang berisi karya-karya memukau itu, kini sudah usang dan berdebu. sejak dua tahun lalu, buku itu tak pernah lagi ditulisi Kiran dengan karya-karyanya. ia sudah benar-benar membuang mimpinya.

namun pada suatu hari, entah mengapa Kiran kembali menuliskan sesuatu pada buku itu. Setelah menulis di beberapa lembar buku itu, Kiran segera menutupnya. dan membawa buku itu bersama dengannya. Kiran melangkah meninggalkan rumahnya, dan buku itu mengiringi langkah Kiran dlam genggamannya seperti dulu.

Kiran terus berjalan, menundukan kepalanya. Diwajahnya terlukis sebuah kelelahan yang sudah tidak bisa dia atasi. Tiba-tiba sebuah mobil yangmelaju kencang, menabrak tubuhnya. Tubuh itu kini lemah tak berdaya.

Satu minggu berlalu, Kiran tidur dalam ketenangan diranjang rumah sakit. Matanya enggan terbuka. seorang laki-laki duduk disampingnya sambil membaca lembar demi lembar, apa yang tertulis dibuku hijau milik Kiran. Laki-laki itu adalah Kevin, orang yang sudah menabrak KIran. Setelah lembar demi lembar dibaca Kevin, kini tibalah Kevin pada lembar yang terakhir. Lembar terakhir yang menjadi akhir dari cerita yang dimuat Kiran. Lembar yang hari itu, baru ditulis Kiran, setelah sekian lama ia melupakannya.

Dan disaat yang bersamaan, mata Kiran pun terbuka.

"Kiran!" sapa Kevin, sambil memegang tangannya.

Kevin segera memanggil Dokter. Sedang Kiran hanya diam. Matanya tertuju pada buku hijau miliknya.

"Hanya untuk kisah ini, aku mampu membuka mata." ucapnya dengan nada tersenggal-senggal.

Kemudian Kiran kembali menutup matanya, dan melepas genggamannya dari buku itu. Sekejap itu juga, Kiran menghembus nafas terakhirnya.

"Semoga kisah ini bisa menjadi motivasi bagi kita semua. Cita-cita bukanlah mimpi yang tak akan menjadi nyata, tapi cita-cita adalah sebuah mimpi untuk pembelajaran yang nyata." ucap Kevin pada Launching buku yang dibuat Kiran.

Setelah Kiran meninggal, Kevin memutuskan untuk mengirim Draft Novel Kiran ke Penerbit. Dan penerbitpun setuju untuk menerbitkan buku itu.

"Penulis buku ini sudah tiada." lanjutnya. "Tapi dia sangat berharap bahwa buku yang berjudul "Cita-citu, Masa depanku" ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa kita tidak perlu ragu untuk bercita-cita. Karena tak ada yang tak mungkin." tambah Kevin pada sambutannya.

Meskipun Kiran tak bisa hidup dalam masa depannya yang gemilang, namun dialam sana dia pasti tahu bahwa mimpinya kini telah menjadi kenyataan.




-END-